Sunday, January 25, 2015

Dua Ufuk Langit pada Sepasang Mata

Cerpen Adi Zamzam


LANGIT adalah ruang yang selalu dapat memberikan perasaan lapang pada sepasang mata kita ini. Karena itulah, ia selalu suka memandangi langit, terutama saat dadanya disesaki masalah. Seolah langit bisa menjadi dadanya, atau dadanya bisa berubah seperti langit.

Kebiasaan ini sudah sejak ia masih umur sepuluh. Sepotong episode hidup ketika ia lebih banyak belajar tentang arti mengalah, hingga kini ia lebih banyak tahu lagi tentang arti mengalah. Ia telah yatim piatu sejak umur lima. Bersama tiga saudara tuanya, paklik1) kemudian mengambil alih peran orang tuanya. Tapi tentu saja tidak semua hak sebagai anak ia dapatkan. Anak pakliknya sendiri ada empat orang. Maka langitlah yang kemudian kerap ia jadikan tempat mengadu. Meski langit bisu.

Ada yang amat ia suka dari ufuk langit timur. Saat sebelum dan sesudah cahaya terbit. Bukan lantaran langit menyuguhkan permainan warna yang menakjubkan. Perpaduan jingga, merah muda, dan warna tembaga, sering kemudian menjelma wajah seorang perempuan. Kenangan yang amat menyenangkan untuk diulang-ulang. Tentu saja sepasang mata ini mengenal siapa wajah perempuan itu. Seorang gadis yang pernah membuatnya berhenti dari masa-masa petualangan tanpa tujuan.

“Kelihatannya dia gadis lugu, Dir. Selain hanya tamatan SD, sehari-hari waktunya hanya untuk menenun dan membantu emaknya di dapur. Sepertinya tipe yang mudah didapat. Apa istimewanya hingga dirimu ngotot ingin mendapatkannya? Di Troso, banyak yang setipe itu,” suara Karmawi berpusar-pusar di liang telinganya.

Sepasang mata kita ini kemudian menemukan seekor pipit yang melompat-lompat di reranting kamboja. Tak dilepaskannya segala tingkah makhluk mungil itu. Ia tahu, sedari tadi sepi tengah mengintainya.

“Kenapa tak Arini saja, anak Haji Warsono itu? Sudah terawat, berpendidikan pula.”

Namun, akhirnya pipit kecil tadi lolos dari kedua mata tatkala suaranya sendiri mengisi telinga, “Yang seperti Arini aku yakin takkan kuat dijadikan punggung,” ujarnya membuka alasan di hadapan sepupunya itu. “Lagi pula siapalah aku.”

Karmawi baru paham maksud ucapan sepasang mata kita ini beberapa tahun setelah pernikahan itu jalan. Ketika kedua mata kita ini mulai  memuaskan dahaga kaki menjejak ke berbagai kota demi uang, Karmawi melihat dan mencatatnya. Ia mengangguk-angguk paham tatkala menceritakan ulang apa-apa yang dilakukan perempuan itu ketika ditinggal sepasang mata kita ini.

“Ternyata kau memang tak salah pilih, Dir…,” begitulah Karmawi memulai pujiannya. Ia ceritakan ketabahan perempuan itu ketika uang kiriman tak mencukupi. Ia puji keuletan perempuan itu memutar uang dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Ada yang tersenyum saat mendengar celotehan itu. Karmawi adalah anak paklik, sepupu yang paling dekat dengan sepasang mata kita ini. Mendengar semua pujian itu, semangatnya pun bertambah-tambah. Dan ia memang telah merasakannya sendiri. Setiap pulang dari rantau, jarang terdengar keluhan apa pun tentang rumah. Seolah di situ tak pernah terjadi masalah serius, perhiasan atau bahkan kelaparan bukanlah hal yang patut dirisaukan.   
                       
***

Dan perjalanan waktu pun membawa sepasang mata kita ini pada masa kejayaan. Di kota rantau, bisnis mebelnya mendapatkan pengakuan. Ia yang mula-mula hanya berperan sebagai distributor, akhirnya bisa buka gudang sendiri demi memenuhi permintaan pelanggan.

Perempuan itu akhirnya turut menjadi pemegang kendali atas semua denyut gudang selama ia memperlebar relasi di berbagai kota lainnya. Seiring tokonya yang beranak-pinak menjajah ke kota-kota lain, perempuan itu pun melahirkan dan merawat dengan telaten benih-benih yang ia taburkan.

Hidup pun seperti ingin membalas atas masa lalu kelam yang pernah diberikannya. Orang-orang kaya yang dulu pernah meremehkan sepasang mata kita ini mulai disadarkan kenyataan. Ada yang mengangguk hormat (begitu nasib mereka sendiri telah terbalik), tetapi ada pula yang masih enggan memasang wajah pengakuan di hadapannya. Sepasang mata kita ini tak pernah ambil pusing dengan semua itu.

Ada yang kemudian berubah beberapa tahun kemudian. Ini perihal kesenangannya memandangi ufuk langit barat tatkala senja hampir tenggelam. Ini bukan soal keindahan semburat warna jingga, merah muda, dengan sedikit sapuan jelaga yang terkombinasi sempurna. Ini tentang sebuah kisah lain.

“Aku hanya berpikir akan ada yang bisa melayaniku meski umur sudah condong ke barat. Kau tahu batas umur kekuatan laki-laki?” sepasang mata kita bertanya balik kepada Karmawi yang menuduhnya sudah gila karena mengkhianati kesetiaan perempuan berharga. “Kau pernah dengar tentang kasus seorang kakek-kakek cabul? Itu karena kekuatan laki-laki tak begitu terpengaruh umur. Sepertinya hanya penyakit saja yang bisa menggembesi keperkasaan laki-laki. Sedang dia? Umurnya sudah empat delapan. Dia selalu saja menghindar ketika aku menginginkannya. Aku sadar bahwa dia sudah tidak mampu lagi,” tuturnya dengan tanpa nada bersalah. Tanpa malu pula.

“Tapi kau melukai perasaannya. Bukankah niat awalmu menikahinya bukan untuk kau perlakukan seperti itu?” tanggapan Karmawi.

“Kupikir malah dialah yang melukai perasaannya sendiri. Seharusnya dia tak kecewa jika mau mengerti keadaanku. Aku hanya ingin menyelamatkan diri. Aku tak ingin mati di tempat pelacuran.”
“Tapi dialah punggung yang pernah menegakkanmu,” suara Karmawi masih saja bernada menusuk.

“Dia memang pagi yang menerbitkan aku. Tapi dia lupa bahwa kami sama-sama menuju senja. Dia tak sadar, bahwa dialah yang tenggelam duluan.”

“Kau tak berperasaan!”

“Oya?”

“Kau tak menganggapnya sebagai manusia. Kau mungkin memang matahari yang diterbitkan oleh pagi. Tapi sadar jugakah dirimu? Pagi memang akan terus seperti itu karena tak memiliki perasaan, tak punya hati, tak mengenal lelah. Dia perempuan, dia bukan pagi,” Karmawi sudah benar-benar geram.

Sepasang mata kita ini paham mengapa Karmawi begitu membela perempuan itu—meski dulu pernah meremehkannya. Perempuan itu konon sering menyelamatkan keuangan keluarga Karmawi.

Demikian juga ketika anak-anaknya mulai memasang bendera permusuhan. Meski ia sudah berusaha bersikap adil, sepasang mata kita ini tak  memedulikan itu. Saat rumah pagi tak lagi hangat menyambutnya, rumah kedua pun menjadi tempat pulangya kemudian.

Banyak desas-desus miring berhembus perihal perempuan di rumah keduanya. Bahwa perempuan yang mantan sekretarisnya itu mau menerima tubuh tuanya hanya lantaran harta. Tapi ia tak peduli. Meski hal itu benar sekalipun, ia akan bisa memakluminya. Toh perempuan muda itu begitu hangat dalam melayaninya.

Memang, ada sebuah masa yang dicatat dengan baik oleh sepasang mata kita ini. Itu terjadi ketika keran-keran uangnya macet dan ratusan karyawannya terancam kehilangan pekerjaan. Pasca-“reformasi”, harga kayu bersaing dengan harga emas. Pencurian dan perusakan hutan lokal mewabah di mana-mana. Perempuan mudanya pun mulai diuji keadaan.

Sepasang mata kita ini sempat merasai kesedihan dan ketakutan yang mengguncang hati. Hingga akhirnya ia memutuskan pulang ke rumah pagi. Betapa pun di saat ia masih ditolak oleh anak-anaknya sendiri. Namun, sungguh tak diduganya, perempuan pagi itu masih menyuguhkan kesetiaan yang dulu sempat renggang.

“Apa kau pikir aku akan tega melihatmu terusir dari rumah barumu itu? Ambillah sebagian simpananku itu. Selamatkan orang-orang yang masih setia denganmu. Buatlah perempuan itu kembali terkesan denganmu. Aku akan tetap mengawal anak-anakku di sini. Aku sudah tak butuh apa-apa lagi,” kata perempuan pagi saat itu.

Kadangkala tumbuh penyesalan mengapa dulu ia tega mengkhianati perempuan ini. Padahal kesetiaannya sudah amat teruji. Entah apa itu dulu yang bisa menutupi keistimewaan perempuan itu di matanya. Dan justru orang lainlah yang malah bisa merekam keistimewaannya. Sayangnya, waktu tak bisa diputar ulang.
                       
***

Sudah hampir seharian penuh sepasang mata kita ini berada di tempat itu. Sejak pagi menerbitkan cahaya hingga semuanya beranjak pulang ke rumah senja. Ia sadar sudah tak ada yang memedulikannya lagi. Baik perempuan di rumah keduanya maupun anak-anak di rumah pertamanya. Ia sadar bahwa kini semakin tak dibutuhkan. Kejayaannya hanyalah masa lalu. Orang-orang akan selalu mengutamakan kepentingannya sendiri meskipun di atas kepentingan suami atau bapaknya sendiri.

Sepasang mata kita ini menitikkan air mata ketika meninggalkan makam itu. “Bukankah matahari selalu sendirian ketika terbit dan tenggelam?” bisik hatinya. Itulah sebabnya, ia senang memandangi dua ufuk langit, di saat pagi dan lalu petang. Pagi yang selalu diikuti segala keramaian dan kesibukan, serta petang yang segera dibekap kesunyian. Ia seperti mendapatkan teman senasib. n

Banyuputih, Kalinyamatan, Jepara 2014.

1) Paman


Lampung Post, Minggu, 25 Januari 2015

No comments:

Post a Comment