Sunday, February 1, 2015

Wajah dalam Potret

Cerpen Siti Marliah


“KAU masih suka memelihara mawar?”

“Begitulah,” ujar wanita berkacamata itu.

Hampir bersamaan kedua perempuan itu memandang mawar yang sedang mekar di halaman. Ada beberapa mawar di dalam pot-pot dengan berbagai ukuran. Tapi hanya ada satu tangkai yang sedang berbunga di sana. Kedua perempuan itu dapat mengamati kelopak merah dari kursi teras tempat mereka duduk. Di antara tanaman pot dan pohon palem yang berjajar rapi terpakir Honda Jazz putih di halaman.

Kedua perempuan itu memiliki tinggi yang sama. Salah seorang dari mereka mengenakan kacamata dan sebuah syal membebat lehernya. Perempuan berkacamata itu masih memegang buku bacaan. Sementara perempuan di depannya mengetuk-mengetukkan jemarinya di atas meja. Dua gelas teh tampak anggun di atas tatakan. Sebuah kertas hijau toska berpita merah tergeletak di atas meja.

“Kenapa tetap warna merah?”

“Aku menyukai mawar merah, Maya. Dan aku tidak mudah berubah.”

“Aku pun suka mawar. Tapi aku tak punya cukup waktu untuk merawat tanaman.”

“Kau bekerja sangat keras.”

“Aku hanya merasa perlu melakukannya.”

Maya tersenyum dan mengambil teh dari tatakan lalu menyeruputnya. Ia meletakkan kembali cangkir itu di atas meja. Beberapa kali jemari kanannya meremas jemarinya yang sebelah kiri. Perempuan di hadapannya mengamati setiap gerakannya.

“Sudah tiga tahun. Kau telah banyak berubah. Kau lebih anggun dan dewasa.”

“Semoga kau bukan sedang berkomentar tentang umur, Andini,” ujar Maya sambil menarik anak rambutnya ke sela daun telinga.

“Hahaha... Kenapa kau begitu gugup, Maya? Ayolah, kita baru 28 tahun,” Maya kembali mengambil gelas teh dan menyeruputnya lalu meletakkannya kembali. Perempuan itu membetulkan posisi duduknya. Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas lututnya sendiri.

“Dua puluh delapan tahun adalah alasan yang tepat untuk segera menikah.”

“Tentu. Dan kertas ini sudah di sini, apalagi yang kau cemaskan?” ujar Nandini sambil memegang kertas berpita merah di atas meja.

“Tidak. Mungkin aku hanya terlalu bersemangat.” Maya kembali menggeser posisi duduknya.

“Mahesa orang yang baik.”

“Iya. Dia telah banyak belajar dari kegagalannya.”

Nandini mengangguk dan tersenyum. Ia meletakkan buku bacaan di atas meja dan menghela napas panjang. Wanita itu mengambil gelas teh dan menyeruputnya. Ia tetap memegang gelas hangat itu.

“Aku pun belajar banyak hal dari dia,” ucap Andini lalu kembali tersenyum dan menaruh gelas di atas tatakan.

“Gagal bukan sebuah kesalahan. Sekarang itu hanya masa lalu,” lanjutnya.

“Kau benar, Andini,” ujar Maya. Hari mulai sore dan sinar matahari menerobos ke dalam teras. “Lalu kapan kau akan balas mengirimiku undangan?” lanjut Maya berseloroh.

“Oh... Tampaknya kau harus sedikit bersabar,” balas Andini.

“Ayolah, Din. Jangan mematahkan hati laki-laki lebih banyak lagi.”

“Haha.. Bukan begitu, Maya. Aku ingin fokus menyelesaikan disertasiku.”

“Baiklah. Tidak pernah ada yang bisa memaksamu, Andini.”

Maya kembali mengambil gelas teh dan menyeruputnya. Semetara Andini membuka dan mengamati kertas hijau toska berpita merah. Wanita itu meletakkan kacamatanya dan tersenyum.

“Aku suka desain undanganmu. Foto yang bagus. Kalian tampak serasi,” kata Andini.

“Mahesa yang mendesainnya. Aku hanya membantu memilih warnanya.”

“Pilihan warna yang bagus. Oh, mengapa Mahesa tak ikut kemari? Seharusnya kita bisa melakukan reuni kecil di sini.”

“Tidak. Dia banyak lembur untuk mengambil cutinya. Dia hanya menitip salam untukmu dan berharap kau datang.”

“Oh, sayang sekali. Tapi, setidaknya aku bertemu denganmu lagi setelah tiga tahun.”

“Baiklah. Sebentar lagi hari akan gelap, aku harus membeli beberapa barang sebelum kembali ke hotel. Aku akan kembali ke Semarang besok pagi,” ucap Maya.

“Kau sangat buru-buru rupanya.”

“Kau tahu, banyak yang harus aku kerjakan di sana.”

“Baiklah.”

“Sebelum aku pulang aku harus tahu. Akankah sahabatku memastikan kedatangannya di hari pernikahanku?” tanya Maya.

“Tentu saja, Maya. Namaku akan ada di urutan pertama dalam buku tamumu,” balas wanita berkacamata. “Aku pasti akan datang,” lanjutnya.

Kedua perempuan itu berbagi pelukan. Maya mengenakan sweter dan mengambil tas tangannya di atas kursi. Ia merogoh tas itu dan mengeluarkan kunci mobil. Andini mengantar Maya hingga memasuki pintu mobil. Perempuan di dalam mobil itu membuka kaca jendelanya dan tersenyum.

“Sampaikan salamku pada calon suamimu,” ujar Andini.

“Tentu. Selamat malam, Andini.”
           
***

Honda Jazz putih itu melewati pintu gerbang dan melaju ke arah selatan. Hari telah gelap, Andini bergegas masuk setelah membereskan gelas dan buku bacaannya. Ia juga mengambil kertas undangan berwarna hijau toska di atas meja. Dibacanya kembali kedua nama yang tertera di dalam kertas itu.

Wanita berkacamata itu masuk ke kamarnya. Ia duduk menghadap bingkai foto yang tergantung di tembok di samping tempat tidurnya. Bingkai itu memajang foto dirinya bersama Maya yang tengah bertoga. Ia lekas beranjak ke laci mejanya. Diletakkan undangan pernikahan Maya di sebelah undangan lain yang telah pudar warna merahnya. Di sampul depan undangan pudar itu tertera namanya sendiri dan nama Mahesa. n

Bandar Lampung, 2014


Lampung Post, Minggu, 1 Februari 2015

No comments:

Post a Comment