Cerpen Hazwan Iskandar Jaya
ROMAN wajahnya bagai diukir pada batu padas, kaku, keras, dan tak berubah. Ekspresi seperti itu sudah berlangsung beberapa tahun belakangan ini. Shinta, yang kini berusia 9 tahun, mengenalnya sebagai seorang nenek yang superpendiam. Ia tak pernah melihat wanita itu tersenyum. Walau cuma satu kali pun. Ayahnya bilang, nenek adalah wanita besi yang keras hatinya dan juga keras kepala. Tak ada satu orang pun dalam keluarga yang mampu menaklukkannya.
Shinta tahu, nenek hidup dalam kesendiriannya. Ia sangat sehat secara fisik. Mungkin rajin berjalan pagi beberapa ratus meter untuk sekadar mencari keringat. Atau sibuk mengurus kebun bunga di halaman depan. Dan untuk itu, ia tak peduli lagi sekelilingnya karena semua hasrat ia tumpaskan bercengkerama dengan bunga-bunga yang tumbuh subur berkat tangannya.
“Nenek… kami mengundangmu pada perayaan Hari Raya bulan depan. Kami ingin Nenek berkumpul dengan kami. Ibu akan memasak semua kesukaanmu,” Shinta memohon padanya.
Nenek menatap gadis mungil itu setajam belati, menusuk jantung hatinya, dan dengan ekspresinya yang khas itu. Gadis mungil itu pun merinding. Tatapan itulah yang membuat ketakutan semua keluarganya.
Paman dan bibi pun tak ada yang berani, walau sekadar menegurnya. Jika mereka berkunjung, mereka hanya sibuk bercerita tentang keluarga masing-masing. Dan membiarkan Nenek bersama dengan pikiran-pikirannya.
Jika Hari Raya kali ini Nenek tak datang ke rumah kami, desah batin Shinta, sudah tahun kelima ini keluarganya berhari raya tanpa kehadiran Nenek. Shinta tak dapat membayangkan, nenek dalam kesendiriannya. Menekuri kesunyian batinnya. Sementara mereka akan makan bersama hanya bertiga lagi. Dan satu kursi yang disediakan untuk Nenek tetap akan kosong tak terisi.
***
Beginilah cerita ibu. Kisah tentang Nenek yang beku.
Rupanya, Nenek telah mempunyai jodoh untuk ibu. Putra seorang pejabat tinggi. Tentu keluarga mampu dan kaya. Keluarga orang terpandang dan berada. Selalu yang menjadi alasan, ini ihwal bobot, bibit, dan bebet keluarga. Asal usul yang terang, jelas, dan terpandang. Bukan keluarga “peteng” yang tak tahu juntrungnya.
Tapi ibu tak ingin dijodohkan dengan sang pilihan nenek. Ia membangkang. Karena telah punya tambatan hatinya sendiri. Pemuda sederhana dari keluarga biasa-biasa saja. Namun kebersahajaan hatinya cukup untuk memaknai hidup yang tenteram dan damai.
“Hidup ini tidak sesederhana cinta yang telah membutakan mata. Kau membutuhkan rezeki yang cukup untuk hidup di tengah kerasnya persaingan. Jika kau hanya mengandalkan cinta…makan saja itu cinta!” Nenek marah membuang muka.
Ibu terdiam. Tak hendak membalas api dengan bensin yang hanya akan melukai. Ibu tahu ia telah membuat Nenek makin kesal. Ia sadar bahwa restu seorang ibu adalah restu Tuhan.
Tapi kali ini, Ibu telah mengeraskan hatinya.
Ia memilih sang ayah sepenuh jiwa.
Nenek pun bagai tembok Berlin. Berdiri kokoh dan bergeming. Keluarga ibu yang lain telah berusaha keras untuk membujuk dan melunakkan perasaan Nenek. Namun, hati seorang perempuan telah terlukai, telah menjadi badai yang mengamuk walau hanya dalam batin. Nenek membiarkan semuanya terjadi, perkawinan yang tak direstui secara batiniah. Perkawinan dalam suasana kesal dan amarah Nenek.
Isak tangis Ibu tak ada gunanya. Tak mampu menaklukkan “macan tidur yang terjaga”. Bertahun-tahun pun telah berlalu.
Tapi terhadap Ayah, Nenek tak menunjukkan rasa senang walau sedikit pun. Nenek selalu menghindar dan tak ingin bertemu muka dengan Ayah. Apalagi untuk sekadar bercengkerama, Nenek sudah memutuskan, Ibu adalah anak yang terbuang.
***
Shinta pada akhirnya berkirim surat kepada Neneknya. Bukan kata-kata yang dituliskannya pada selembar kertas putih itu. Akan tetapi, sebuah gambar sketsa meja makan, lengkap dengan hindangan dan kursi. Ia menggambar empat buah kursi. Satu digambarnya seorang laki-laki dewasa, dia tulis ‘Ayah’. Satu lagi digambarnya wanita dan ditulisnya ‘Ibu’, sedangkan satu lagi dia menggambar gadis kecil yang ditulisnya ‘Shinta’. Sementara dia gambar satu kursi yang kosong, tetapi dia menuliskan ‘kami rindu Nenek’.
Dua minggu sebelum Hari Raya, ia kirimkan surat itu melalui Kantor Pos dekat rumahnya. Dan setiap usai salat, ia selalu berdoa agar Tuhan melunakkan hati Neneknya, dan bisa berhari raya bersama keluarganya. Hari-hari berlalu sudah. Tanpa terasa bulan suci Ramadan pun hampir usai. Shinta menitikkan air mata setiap usai mendoakan neneknya.
“Kamu tidak boleh cemas dan sedih hati. Biarlah tangan ajaib Tuhan yang akan membimbing Nenekmu sampai kemari. Tapi….,” ujar Ibu sembari mengelus rambutnya yang panjang. Shinta menatap wajah ibunya dengan penuh harap dan cemas. Bahwa Hari Raya kali ini tak lengkap tanpa kehadiran Nenek di tengah mereka.
“Jika Nenek tak juga hadir di tengah kita, masih ada Hari Raya di tahun-tahun mendatang. Siapa tahu… Nenekmu akan berubah pikiran!” Ibu memberi semangat dan nasihat.
Shinta menganggukkan kepalanya yang mungil.
Ia memeluk Ibunya dengan sangat erat.
Menumpaskan segala rasa di hatinya yang lembut.
***
Pagi masih remang-remang. Matahari masih enggan bangkit dari peraduannya di ufuk timur. Cahayanya temaram diselimuti mendung yang tipis. Hari ini adalah hari kemenangan, hari yang menegasi kembalinya manusia pada kesuciannya. Orang-orang berbondong-bondong untuk saolat id. Ada yang menuju lapangan terbuka, ada pula yang menuju masjid-masjid “besar”. Orang-orang merayakan Hari Raya dengan penuh gembira. Meskipun ada yang tak penuh berpuasa selama satu bulan.
Usai salat id, orang-orang tak bergegas pulang. Mereka saling meminta dan memberi maaf dengan bersalam-salaman. Anak-anak kecil berharap “angpau” Hari Raya yang banyak. Mereka keliling dari rumah ke rumah tetangga.
Ayah, Ibu, dan Shinta, pagi itu sudah kembali ke rumah. Ibu sudah menyediakan hidangan makanan istimewa untuk menyambut Hari Raya di meja makan. Ayah dan Ibu sudah duduk di kursinya masing-masing. Shinta melihat masih ada satu kursi yang belum ditarik. Ia pun menariknya dari bawah meja makan.
“Ini untuk Nenek…,” desahnya penuh harapan.
Mereka kemudian berdoa sebelum makan. Ayah meminta Shinta untuk memimpin doa. Agar Tuhan memberi berkah pada keluarga mereka.
“Ya, Tuhan… jauhkanlah kebencian di hati kami. Hindarkan rasa iri, dengki, dan amarah bersemayam di hati kami. Dan jadikanlah kami orang yang pemaaf. Wahai Tuhan, sentuh dan gerakkan hati Nenek agar bisa memaafkan Ayah dan Ibu, dan kembalikanlah Nenek kepada keluarga kami… kami bersyukur atas nikmat dan rezeki yang telah engkau berikan kepada kami hari ini dan yang akan datang…. Kabulkan doa kami, Tuhan. Amin!.”
Tiba-tiba bel pintu depan berbunyi. Tanda ada tamu yang datang. Ibu bergegas membukakan pintu.
Degg!
Nenek berdiri di rahang pintu.
Shinta berlari memeluknya.
“Dua hari lalu, aku menerima pesan dari malaikat. Meskipun malaikat itu tidak bersayap dan terang benderang. Ia mengirimkan surat kepadaku. Bukan dalam bentuk tulisan, melainkan dalam bentuk gambar orang-orang yang tengah patah hati. Jadi… aku kemari untuk mengobati hati yang terluka dari cucuku yang manis ini…,” Nenek memeluk erat Shinta.
Sembari berurai airmata! n
Yogyakarta, Juli 2014
Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2015
ROMAN wajahnya bagai diukir pada batu padas, kaku, keras, dan tak berubah. Ekspresi seperti itu sudah berlangsung beberapa tahun belakangan ini. Shinta, yang kini berusia 9 tahun, mengenalnya sebagai seorang nenek yang superpendiam. Ia tak pernah melihat wanita itu tersenyum. Walau cuma satu kali pun. Ayahnya bilang, nenek adalah wanita besi yang keras hatinya dan juga keras kepala. Tak ada satu orang pun dalam keluarga yang mampu menaklukkannya.
Shinta tahu, nenek hidup dalam kesendiriannya. Ia sangat sehat secara fisik. Mungkin rajin berjalan pagi beberapa ratus meter untuk sekadar mencari keringat. Atau sibuk mengurus kebun bunga di halaman depan. Dan untuk itu, ia tak peduli lagi sekelilingnya karena semua hasrat ia tumpaskan bercengkerama dengan bunga-bunga yang tumbuh subur berkat tangannya.
“Nenek… kami mengundangmu pada perayaan Hari Raya bulan depan. Kami ingin Nenek berkumpul dengan kami. Ibu akan memasak semua kesukaanmu,” Shinta memohon padanya.
Nenek menatap gadis mungil itu setajam belati, menusuk jantung hatinya, dan dengan ekspresinya yang khas itu. Gadis mungil itu pun merinding. Tatapan itulah yang membuat ketakutan semua keluarganya.
Paman dan bibi pun tak ada yang berani, walau sekadar menegurnya. Jika mereka berkunjung, mereka hanya sibuk bercerita tentang keluarga masing-masing. Dan membiarkan Nenek bersama dengan pikiran-pikirannya.
Jika Hari Raya kali ini Nenek tak datang ke rumah kami, desah batin Shinta, sudah tahun kelima ini keluarganya berhari raya tanpa kehadiran Nenek. Shinta tak dapat membayangkan, nenek dalam kesendiriannya. Menekuri kesunyian batinnya. Sementara mereka akan makan bersama hanya bertiga lagi. Dan satu kursi yang disediakan untuk Nenek tetap akan kosong tak terisi.
***
Beginilah cerita ibu. Kisah tentang Nenek yang beku.
Rupanya, Nenek telah mempunyai jodoh untuk ibu. Putra seorang pejabat tinggi. Tentu keluarga mampu dan kaya. Keluarga orang terpandang dan berada. Selalu yang menjadi alasan, ini ihwal bobot, bibit, dan bebet keluarga. Asal usul yang terang, jelas, dan terpandang. Bukan keluarga “peteng” yang tak tahu juntrungnya.
Tapi ibu tak ingin dijodohkan dengan sang pilihan nenek. Ia membangkang. Karena telah punya tambatan hatinya sendiri. Pemuda sederhana dari keluarga biasa-biasa saja. Namun kebersahajaan hatinya cukup untuk memaknai hidup yang tenteram dan damai.
“Hidup ini tidak sesederhana cinta yang telah membutakan mata. Kau membutuhkan rezeki yang cukup untuk hidup di tengah kerasnya persaingan. Jika kau hanya mengandalkan cinta…makan saja itu cinta!” Nenek marah membuang muka.
Ibu terdiam. Tak hendak membalas api dengan bensin yang hanya akan melukai. Ibu tahu ia telah membuat Nenek makin kesal. Ia sadar bahwa restu seorang ibu adalah restu Tuhan.
Tapi kali ini, Ibu telah mengeraskan hatinya.
Ia memilih sang ayah sepenuh jiwa.
Nenek pun bagai tembok Berlin. Berdiri kokoh dan bergeming. Keluarga ibu yang lain telah berusaha keras untuk membujuk dan melunakkan perasaan Nenek. Namun, hati seorang perempuan telah terlukai, telah menjadi badai yang mengamuk walau hanya dalam batin. Nenek membiarkan semuanya terjadi, perkawinan yang tak direstui secara batiniah. Perkawinan dalam suasana kesal dan amarah Nenek.
Isak tangis Ibu tak ada gunanya. Tak mampu menaklukkan “macan tidur yang terjaga”. Bertahun-tahun pun telah berlalu.
Tapi terhadap Ayah, Nenek tak menunjukkan rasa senang walau sedikit pun. Nenek selalu menghindar dan tak ingin bertemu muka dengan Ayah. Apalagi untuk sekadar bercengkerama, Nenek sudah memutuskan, Ibu adalah anak yang terbuang.
***
Shinta pada akhirnya berkirim surat kepada Neneknya. Bukan kata-kata yang dituliskannya pada selembar kertas putih itu. Akan tetapi, sebuah gambar sketsa meja makan, lengkap dengan hindangan dan kursi. Ia menggambar empat buah kursi. Satu digambarnya seorang laki-laki dewasa, dia tulis ‘Ayah’. Satu lagi digambarnya wanita dan ditulisnya ‘Ibu’, sedangkan satu lagi dia menggambar gadis kecil yang ditulisnya ‘Shinta’. Sementara dia gambar satu kursi yang kosong, tetapi dia menuliskan ‘kami rindu Nenek’.
Dua minggu sebelum Hari Raya, ia kirimkan surat itu melalui Kantor Pos dekat rumahnya. Dan setiap usai salat, ia selalu berdoa agar Tuhan melunakkan hati Neneknya, dan bisa berhari raya bersama keluarganya. Hari-hari berlalu sudah. Tanpa terasa bulan suci Ramadan pun hampir usai. Shinta menitikkan air mata setiap usai mendoakan neneknya.
“Kamu tidak boleh cemas dan sedih hati. Biarlah tangan ajaib Tuhan yang akan membimbing Nenekmu sampai kemari. Tapi….,” ujar Ibu sembari mengelus rambutnya yang panjang. Shinta menatap wajah ibunya dengan penuh harap dan cemas. Bahwa Hari Raya kali ini tak lengkap tanpa kehadiran Nenek di tengah mereka.
“Jika Nenek tak juga hadir di tengah kita, masih ada Hari Raya di tahun-tahun mendatang. Siapa tahu… Nenekmu akan berubah pikiran!” Ibu memberi semangat dan nasihat.
Shinta menganggukkan kepalanya yang mungil.
Ia memeluk Ibunya dengan sangat erat.
Menumpaskan segala rasa di hatinya yang lembut.
***
Pagi masih remang-remang. Matahari masih enggan bangkit dari peraduannya di ufuk timur. Cahayanya temaram diselimuti mendung yang tipis. Hari ini adalah hari kemenangan, hari yang menegasi kembalinya manusia pada kesuciannya. Orang-orang berbondong-bondong untuk saolat id. Ada yang menuju lapangan terbuka, ada pula yang menuju masjid-masjid “besar”. Orang-orang merayakan Hari Raya dengan penuh gembira. Meskipun ada yang tak penuh berpuasa selama satu bulan.
Usai salat id, orang-orang tak bergegas pulang. Mereka saling meminta dan memberi maaf dengan bersalam-salaman. Anak-anak kecil berharap “angpau” Hari Raya yang banyak. Mereka keliling dari rumah ke rumah tetangga.
Ayah, Ibu, dan Shinta, pagi itu sudah kembali ke rumah. Ibu sudah menyediakan hidangan makanan istimewa untuk menyambut Hari Raya di meja makan. Ayah dan Ibu sudah duduk di kursinya masing-masing. Shinta melihat masih ada satu kursi yang belum ditarik. Ia pun menariknya dari bawah meja makan.
“Ini untuk Nenek…,” desahnya penuh harapan.
Mereka kemudian berdoa sebelum makan. Ayah meminta Shinta untuk memimpin doa. Agar Tuhan memberi berkah pada keluarga mereka.
“Ya, Tuhan… jauhkanlah kebencian di hati kami. Hindarkan rasa iri, dengki, dan amarah bersemayam di hati kami. Dan jadikanlah kami orang yang pemaaf. Wahai Tuhan, sentuh dan gerakkan hati Nenek agar bisa memaafkan Ayah dan Ibu, dan kembalikanlah Nenek kepada keluarga kami… kami bersyukur atas nikmat dan rezeki yang telah engkau berikan kepada kami hari ini dan yang akan datang…. Kabulkan doa kami, Tuhan. Amin!.”
Tiba-tiba bel pintu depan berbunyi. Tanda ada tamu yang datang. Ibu bergegas membukakan pintu.
Degg!
Nenek berdiri di rahang pintu.
Shinta berlari memeluknya.
“Dua hari lalu, aku menerima pesan dari malaikat. Meskipun malaikat itu tidak bersayap dan terang benderang. Ia mengirimkan surat kepadaku. Bukan dalam bentuk tulisan, melainkan dalam bentuk gambar orang-orang yang tengah patah hati. Jadi… aku kemari untuk mengobati hati yang terluka dari cucuku yang manis ini…,” Nenek memeluk erat Shinta.
Sembari berurai airmata! n
Yogyakarta, Juli 2014
Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2015
No comments:
Post a Comment