Sunday, August 26, 2012

Tuhan, Aku Gelas Kosong

Cerpen Tandi Skober


DIKMAS Redaktur Cerpen yang saya sayangi, judul cerpen ini saya petik dari status pisbuk Miranda Risang Ayu Palar. Maklum, saya ini yang mana fan berat Miranda sejak dianya menulis esais resonasi di koran X terbitan Jakarta. Kagumku itu bertambah-tambah manakala Miranda naik pangkat ke strata tertinggi kepenulisan yaitu menjadi sang penyair.

Hal lain, yang juga menginspirasi cerpen ini adalah baliho 2 m x 5 m  bergambar Ahmad Heryawan yang terletak di pengkolan jalan utama kompleks Bumi Panyileukan Bandung. Selama Ramadan 1433 H, gambar itu telah menjadi pelipur lapar puasa saya. Tiap kali haus menggerus, perut gemeruput, langsung saya duduk di bawah baliho itu. Tanganku membuka, wajahku tengadah ke ruang langit tak berbatas. Terus dalam desir angin keriting kering kerontang, saya bicara, "Tuhan, aku gelas kosong."

Miranda tentu beda dengan Heryawan, "Beliau itu gubernur Jabar," ucap sahabat saya.

"Loh, kok bisa jadi gubernur?"

"Hmm, bisa jadi disebabkan Heryawan lahir 19-6-1966," balas Somari, "Kan ada angkatan enam-enam yang menjadi angkutan politik. Ada banyak cerita di pusaran angkatan enam-enam yang terposisikan sebagai wali kota atau gubernur. Hal lain, persis seperti main domino. Yang memiliki kartu balak enam, pastilah bisa menjadi pemenang."

Tuturan Somari saya terima sebagai hal yang patut dihormati dan diapresiasi. Kenapa? Somari itu hobi banget iktikaf di masjid Al Ukhuwwah Panyileukan dan membacakan ayat-ayat suci Alquran. Mengingat saya ini ditakdirkan menjadi gelas kosong, mohon maklum bila saya selalu duduk di samping Somari, memejamkan mata menikmati aliran jernih suaranya. Terus terang, suara lembut Somari selalu membuat saya ketiduran dan baru terjaga njelenggenek bangun ketika ia menepuk kopiahku seraya berkata, "Punya rokok garpit?"

Hmm, tentu itu sudah saya sediakan. Ini membuat Somari senang, "Sebaik-baiknya pengarang adalah sebagian honorarium karangan itu dibelikan sebungkus-dua bungkus rokok," ucapnya sambil klepas-klepus merokok di teras masjid. Fatwa Somari Itu saya amalkan.

Yang tidak saya setujui (baca belum saya mengerti) adalah fatwa dilarang melamun di bawah baliho Heryawan. "Sebaik-baiknya gambar di dalam kalbu adalah lukisan niat amalkan apa yang diperintahkan Gusti Allah dan apa yang dikerjakan Kanjeng Nabi Muhammad saw.," tuturnya sesaat jelang iktikaf di pertengahan Ramadan 1433H. "Sebagai penulis lansia yang sudah bau tanah, sebaiknya mengubur semua gambar dunia."

Hmm, saya mantuk-mantuk. Somari bersandar di dinding teras masjid. "Gambar dunia itu sebagus apa pun yang mana merupakan perilaku tingalira. Perilaku yang memuja harta, kursi dan gua garba kekuasaan. Tinemu wong awing uwung ngantuk anemu kethuk. Malenuk samargi-margi. Marmane  bungah kang nemu. Marga  jroning kethuk  isi. Kencana sesotya ...byor."

"Artinya, Stadz?"

"Akan ditemukan manusia kosong yang melangkah dalam keadaan tak sadar di jalan-jalan labirin. Lantas mereka menemukan kethuk (gong kecil). Sesaat semringah. Padahal isi kethuk itu cuma emas dan kencana. Itu kan dolanan dunia belaka."

Akan tetapi, entah kenapa ujaran Somari itu lagi-lagi tidak bisa saya mengerti. Bahkan, saat Ramadan 1433 H memasuki sepuluh hari terakhir, dipastikan saya suka ngabuburit di bawah baliho balak enam itu. Saat sirine meraung-raung tanda buka puasa tiba, langsung saya makan sebiji kurma dan seteguk air mineral seraya memandangi mata berkacamata Heryawan.

Yang ajib, tindak-tanduk tandi ini ternyata diperhatikan artis Ria Irawan. Tidak jelas kenapa Ria Irawan pun mengikuti jejak pikir saya. Jelang buka puasa ia duduk ngelemprak di bawah baliho balak enam membawa sebiji kurma dan segelas air mineral. Bukan cuma membawa seonggok badan sendiri, juga ditemani anak, suami, tetangga bahkan keponakan  Irawan dari Medan bernama Fasya pun ikut nimbrung ngabuburit di bawah baliho Heryawan.

Kok bisa jadi begini sech? Hmm, ternyata ini baru saya mengerti, saat Ria Irawan berdiri berlatar belakang Baliho dan berkata di depan mic, "Saudara-saudara sekalian di Bumi Panyileukan. Ini ada berita utama yang patut diberi tepuk tangan."

Saya lihat tangan saya. Saya siapkan tepuk tangan.

"Seperti kita ketahui bersama, bahwasanya radio PRFM (29-7) saat wawacarai redaktur surat kabar terbitan Ceribon, Dudung, yang mana diberitakan hal mana Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mampu memegang tiga pusaka Keraton Kasepuhan Ceribon. Terus terang, ini baru kali ini ada yang mampu menyentuh tiga benda pusaka itu. Ajaib! Padahal tidak ada satu presidenpun di dunia ini yang mampu melakukan hal itu," tutur Ria Irawan." Maka mari kita tepuk tangan.

Saya langsung berdiri tepuk tangan seraya memandangi gambar Heryawan. "Jadi, beliau itu terlahir tidak hanya untuk jadi gubernur, juga layak jadi presiden Indonesia."

Saya tepuk tangan.

"Tidak hanya presiden Indonesia, juga presiden Perserikatan Bangsa-Bangsa."

Saya tepuk tangan sekitar tujuh detik pada detik ke delapan mendadak tangan saya dipegang Somari. "Tangan diciptakan bukan untuk tepuk tangan, wahai cerpenis lansia Tandi Skober," ucap Somari. "Tapi untuk dibuka berdoa, berzikir dan meluruskan telunjuk saat duduk tasyahdu saalat. Telunjuk yang diarahkan ke kiblat sebagai konsistensi riligi terhadap keesaan Allah swt. dan pengakuan Muhammad saw. sebagai rasul. Akan tetapi, ketika kamu tepuk tangan dan diarahkan ke media baliho, wahai penuis lansia Tandi Skober, yang terjadilah adalah peri laku perih luka kultural yang mematut diri menjadi master of the power game."

Lagi-lagi saya melihat kedua telapak tangan saya.

"Andai saya ada di Ceribon, tentu para pemimpi(n) itu akan saya bawa ke hutan bukit Plangon," sambung Somari lagi, "Itung-itung ziarah sejarah menengok puluhan anak haram kultural yang memuja gua garba kekuasaan. Maklum, dalam jaringan pikir masyarakat pesisir utara Jawabarat, kera Kalijaga Plangon adalah cermin peradaban tanpa jenis kelamin sekaligus telunjuk arief ke arah mana mimpi diarahkan. Manusia Cerbon memosisikan wisata metafisika Plangon ini sebagai langkah primordial dalam menapaki jalan iluminasi tak terbatas."

Sesaat saya terdiam. Somari menepuk bahuku, menuntunku ke teras masjid. Ia perbaiki letak kopiahku. "Gambar baliho itu tidak memakek kopiah kan?" tanya Somari.

Saya mengangguk.

"Camkan wahai Tandi, kepala kita juga mirip sebentuk gelas. Agar tidak dikencingi jin setan merkayangan maka perlu pakek kopiah. Maklum, sebagai makhluk yang hinggap di sebutir pasir, manusia diyakini memiliki potensi Ilahiah."

"Loh,  apa hubungannya kopiah, gelas kosong dan kunyuk ical Plangon?"

"Monyet Plangon juga tidak berkopiah. Tapi abaikan itu. Yang perlu dijelaskan bahwa kunyuk Plangon tak hanya berhenti sebatas seonggok tubuh. Baginya, tubuh lebih dari sekadar tanda yang memikul identitas administratif dan demografis. Tubuh menyimpan rahasia tentang dunia makna yang jauh dan tak terjamah, dunia transendental," ujar Somari, "Itulah esensi gua garba kekuasaan. Maka cobalah sekali-kali kamu mampir ke bukit Plangon."

Saran Somari saya amalkan. Usai salat Idulfitri 1433 H saya mudik ke Ceribon naik montor. Tak lupa saya mampir ke perbukitan Plangon. Maka benar kata Somari, ternyata warga Ceribon tiap kali melewati bukit Plangon di mana di sini ada kunyuk ucul clingak-clinguk tinemu ical, selalu membaca Surah An-Nas. "Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan  manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan ke dalam dada manusia. Dari  jin dan manusia."

Redaktur Cerpen yang saya sayangi, sampai di sini saja yah ceritaku ini. Maafin saya kalau ada kata-kata yang salah. Maklum saya ini cuma gelas kosong...

Rabu, 23 Agustus 2012


Lampung Post, Minggu, 26 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment