Cerpen Tarpin A. Nasri
DALAM urusan memilih jodoh, Prawiro Satrio Karto Subagyo?Papaku, dan Endang Dyah Sulastri Rahayuningsih?Mamaku, benar-benar menempatkan bibit, bebet, dan bobot, menjadi acuan utama, sehingga ketika aku memutuskan untuk menikah dengan Marina Zaraswati, Papa dan Mamaku yang masih berdarah biru itu langsung melakukan litsus dan hasilnya langsung disampaikan, ?Jika kamu berkeras untuk menikah dengannya, menikahlah dan itu artinya kamu tidak perlu lagi doa dan restu dari kedua orang tuamu,? kata Papa yang dijunjung tinggi oleh Mamaku.
Hal itu terjadi ketika aku bilang sejujurnya tentang Marina, ?Aku kenal Marina di sebuah klub malam secara tak sengaja, dan asal Marina dari keluarga kaya yang berantakan. Marina korban perceraian kedua orang tuanya sehingga Marina boleh dibilang produk wanita kota yang bebas bergaul atau salah urus, akan tetapi kini Marina telah kembali ke jalan yang lurus dan aku yakin Marina telah bertobat dengan sungguh-sungguh, maka aku ingin menikahinya lahir-batin.?
"Sudah berasal dari keluarga yang berantakan, calon istrimu itu rusak pula tampaknya," kata Mama dengan sangat kecut dan sinis sekali.
"Dia bekas bintang wanita malam, juara dugem, jago narkoba dan ratu seks bebas, Mam," tambah Dimas Ario Jayaningrat?adikku, mengompori Papa dan Mama.
"Apa di kolong jagat raya ini sudah tidak ada wanita lain yang pantas, layak dan terhormat untuk jadi menantuku, Joko?" tanya Papa dengan nada jauh sekali dari ramah. Apalagi wajahnya!
"Tak terbayang jika cicit-cicitku harus lahir dari wanita hina dan nista seperti itu," timbrung Ijjah Siti Kulsum, nenekku.
"Mau jadi apa nanti cicit-cicitku, Tarub?" tambah Amran Halim Karto Subagyo-kakekku. "Ini aib, noda dan najis untuk keluarga!" protes kakek.
Dalam "sidang paripurna" keluarga itu, semua tak ada yang setuju aku menyunting Marina. Akan tetapi semakin ditentang begitu, niatku semakin bulat menjadikan Marina sebagai Belahan Jiwaku. Aku yakin?bahkan haqul yaqin?Marina bisa menjadi istri yang salihah! ?Lihatlah buktinya nanti,? ujarku dalam hati.
***
KETIKA niat itu aku bicarakan dari hati ke hati dengan Marina, aku melihat ketabahan Marina yang luar biasa, dan aku juga melihat kehancuran Marina yang sangat dahsyat bila Marina tidak jadi kuselamatkan. Aku ingat pertanyaan Marina kala itu, "Apakah wanita bekas sampah dan kotor sepertiku tidak bisa atau haram menjadi perhiasan rumah tangga yang indah, Mas? Apakah terlarang bagiku untuk menjadi seorang wanita salihah, Mas?"
Aku menggeleng dengan mantap.
"Aku sudah memastikan keluarga besar Mas pasti akan menolak mantan wanita yang hina, penuh noda, nista, dan najis sepertiku," ujar Marina dengan tegar. "Dan ini jauh-jauh hari sudah kusampaikan kepada Mas, akan tetapi Mas selalu bilang 'Mas siap melawan gempuran badai', bahkan demi niat Mas untuk menyuntingku, Mas juga bilang 'Mas siap jika harus menebusnya dengan dibuang dari keluarga sekalipun'," lanjutnya dengan tenang.
Aku mengangguk dengan mantap sekali, lalu kuraih jemari tangan Marina, kuremas dengan lembut dan mesra, kemudian kubawa kedua tangan yang tergenggam itu ke hidungku, dan aku menciumnya dengan cinta selembut sutra, dengan kasih semanis madu dan dengan sayang yang tulus dan ikhlas seputih kapas.
"Mas tak akan mundur selangkah pun dari semua ini, Rin," tegasku setegar gunung batu.
"Apakah Mas siap sengsara dengan terbuang dari keluarga, lalu menikah dan hidup tanpa restu dari kedua orang tua Mas?" tanya Marina kembali.
"Aku tidak hanya siap, Rin," jawabku dengan mantap seliat kayu. "Akan tetapi aku juga tidak takut hidup denganmu. Tuhan bersama kita dan pasti Beliau menolong kita. Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Rin," lanjutku.
Marina menjatuhkan kepalanya di dadaku. Setelah kuelus kepalanya, tangisnya pecah. Baju dan dadaku tersiram air matanya yang deras mengalir. "Bukan dikarenakan kecantikanmu yang selangit dan mengguncangkan hati, bukan disebabkan keseksianmu yang bisa merontokan kesetiaan laki-laki, serta bukan juga tergiur kekayaanmu yang membuatku bertekad untuk menyuntingmu sekuat apapun rentetan badai yang pasti menggulung dan menghempasku, akan tetapi niatmu untuk tobat nasuha dan menjadi wanita salihah yang membuatku tak rela jika engkau harus kembali jadi kembang utama wanita malam, kembali jadi anak emas narkoba dan kembali jadi primadona kesayangan belantara seks bebas," tegasku.
Marina jatuh terkulai di pangkuanku, dan itu kutangkap sebagai perlambang hidup dan matinya telah bulat diserahkan kepadaku.
***
AKHIRNYA aku menikahi marina dan kami langsung hidup mandiri. Aku tak lagi dapat bantuan keuangan dari keluargaku, dan aku pun tidak lagi kerja di perusahaan keluargaku. Aku kerja di perusahaan orang lain. Untuk menutupi kebutuhan hidup kami di awal pernikahan, Marina--dengan tabungannya yang segunung dan aliran dana dari Bapak dan Ibunya yang deras--berperan sekali dalam mengepulkan asap dapur dan menggelindingkan roda rumah tangga kami.
Untungnya posisiku di kantor juga dari waktu ke waktu bergerak sangat bagus. Akan tetapi, sungguh bukan hanya karena itu yang membuatku layak bahagia, bersyukur, dan berterima kasih kepada Tuhan. Tekad Marina yang istikamah untuk menjadikan dirinya sebagai wanita salihahlah yang memikatku untuk siap menangkis setiap badai yang datang mendera, utamanya badai yang datang dari tiga dunia yang pernah menjadikan Marina sebagai wanita yang memiliki kelas sangat istimewa. Di dunia malam: siapa yang tak kenal Marina? Di ranah narkotika: siapa yang tak tahu Marina? Di belantara seks bebas papan atas: siapa yang tak memuja Marina?
Di rumah Marina tidak bersedia mempekerjakan pembantu. ?Demi aku, Mas saja bersedia terbuang dari keluarga, masak aku dalam melayani semua kebutuhanmu harus dibantu pembantu,? katanya. ?Selagi aku masih bisa, biarlah semuanya kukerjakan sendiri, Mas. Melayani dan berbakti kepada suami buatku kini adalah suatu anugerah dan kehormatan, serta kewajiban dan ibadah!? lanjutnya dengan mantap.
"Apa tidak ingin bekerja dan tidak jenuh di rumah, Rin?" tanyaku sambil mencium keningnya dan membetulkan jilbab indahnya.
"Selain melaksanakan ibadah-ibadah wajib dan sunah, kan masih banyak ibadah lainnya yang bisa aku kerjakan untuk membuang jenuh, Mas," jawabnya. "Aku total memilih jadi ibu rumah tangga agar aku bisa seratus persen mengabdikan diriku kepada suami," lanjutnya.
Aku mendengar baik-baik setiap untaian kata curahan hati Marina.
"Masa laluku yang hitam dan kelam di dunia malam dan narkotika, serta penambang dosa di lembah nista, kemudian dientaskan oleh Mas menjadi istri yang terhormat, rasanya tak cukup kubalas dengan pengabdianku 1 x 24 jam kepadamu, Mas?"
Kuraih bahu Marina lalu kurebahkan kepalanya di lekuk leherku. "Tidak segitunya kali," godaku kepadanya sambil kucium pipinya. "Tetaplah melangkah di jalan lurus untuk masa depan dan anak-anak kita kelak, Sayang," lanjutku.
"Apa pun yang Mas perintahkan asal itu tidak melanggar larangan agama, undang-undang, peraturan, etika, norma dan yang lainnya, dengan tulus dan ikhlas pasti kukerjakan meski harus bertaruh dengan nyawaku?" sambutnya.
"Hehehe. Maksudnya apa dan ke mana nih? Kok sampai harus bertaruh dengan nyawa segala, Kasih?" tanyaku.
Marina mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Aku tadi ke Dr. Mirna Astuti, Sp.O.G., katanya aku mulai hamil, Mas?" lanjutnya dengan lembut, mesra dan penuh syukur.
Karena aku tak kuat menahan bahagia dan syukur, refleks aku bopong Marina, dan aku melakukannya dengan menari dan berterima kasih tiada henti. "Terima kasih untuk anugerah yang terindah ini, ya Allah," ujarku. Habis itu kami berdua bersujud syukur untuk karunia dan anugerah yang tiada ternilai harganya ini.
***
DARI buah cinta kami lahirlah Laras Ayu Kembang Ati, yang pada suatu acara di sekolah anakku lima tahun kemudian menyedot perhatian seorang Bapak yang memberikan bantuan beasiswa untuk siswa teladan di sekolahnya. Orang tua itu jatuh hati pada darah dagingku dan Marina.
Penampilan Laras yang cantik, bersih, sopan, rendah hati, memikat dan cerdas mengantarkan pertemuan antara orang tua/wali murid dengan sang donatur, yang tidak lain dari Papaku. Kami berpelukan, bertangisan dan ketika seminggu kemudian Papa-Mama ke rumah, Laras dengan tiada keraguan sedikit pun diakui dan diterima sebagai cucunya. "Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah," ujar kami dalam sebuah sujud syukur.
"Mana istrimu, Joko?" tanya Papa dengan wajah dan mata yang memancarkan kebahagiaan.
"Iya mana menantu Mama, Nak?" sambung Mama tak kalah gembira dan syukur dengan Papa.
Ketika aku mencari-cari Marina ke segala arah, Marina muncul. "Saya di sini, Mas, Papa, Mama. Assalamualaikum?" jawabnya dengan sopan dan penuh hormat.
Kami sungguh terhipnosis melihat penampilan Marina yang sempurna sebagai wanita muslimah.
"Marina di awal hidupnya memang pekat melakukan amalan-amalan penduduk neraka, akan tetapi dan insya Allah setelah itu ia bisa dan biasa melakukan amalan-amalan penduduk surga," pujiku dengan tulus. "Dialah yang menjadikan rumah ini sebagai firdaus. Oleh karena dia, saya lebih betah di rumah dibandingkan berada di mana pun," lanjutku. "Karena di rumah ini ada Marina, istri saya yang terpilih, Papa, Mama," tegasku.
Kulihat Papa dan Mama membiarkan tangannya dicium Marina dan Laras, bahkan beberapa kali kulihat Marina dan Laras dipeluk dengan hangat dan mesra oleh Papa dan Mama.
"Kamu tidak salah pilih, Joko," aku Papa lembut sambil senyum tulus.
"Iya, Nak," timpal Mama. "Kami yang selama ini salah lihat, dan terlalu cepat memutuskan," lanjutnya. "Sekarang tidak ada lagi dinding pemisah di antara kita," lanjut Mama lagi.
"Semua ini karena Mas Joko Tarub Umbaran yang sukses melintasi rentetan dan menangkis gempuran badai, sampai Laras lahir, besar, serta ketemu dengan kakek dan neneknya," ujar Marina dengan sinar mata lembut dan penuh cinta yang diarahkan kepadaku.
Sejak itu setiap akhir pekan jika tidak Papa dan Mamaku yang melewatkannya di rumah kami, kamilah yang menghabiskan akhir minggu di rumah Papa dan Mamaku, dan Marina?juga Laras?selalu jadi bintang karena kesalihanan dan keagungan budinya.
Marina yang telah berhasil menjadi sebaik-baiknya perhiasan rumah tangga, juga membuat kakek dan nenekku selalu minta dilayani dan diurusi olehnya, dan Marina menyambutnya dengan tulus dan ikhlas untuk ibadah sehingga Marina melakukannya dengan cinta sebening embun, mengerjakannya dengan kasih seanggun gunung dan menunaikannya dengan sayang seputih salju.
Braja Mulia-Braja Selebah-Lamtim, Agustus 2012
Lampung Post, Minggu, 18 November 2012
DALAM urusan memilih jodoh, Prawiro Satrio Karto Subagyo?Papaku, dan Endang Dyah Sulastri Rahayuningsih?Mamaku, benar-benar menempatkan bibit, bebet, dan bobot, menjadi acuan utama, sehingga ketika aku memutuskan untuk menikah dengan Marina Zaraswati, Papa dan Mamaku yang masih berdarah biru itu langsung melakukan litsus dan hasilnya langsung disampaikan, ?Jika kamu berkeras untuk menikah dengannya, menikahlah dan itu artinya kamu tidak perlu lagi doa dan restu dari kedua orang tuamu,? kata Papa yang dijunjung tinggi oleh Mamaku.
Hal itu terjadi ketika aku bilang sejujurnya tentang Marina, ?Aku kenal Marina di sebuah klub malam secara tak sengaja, dan asal Marina dari keluarga kaya yang berantakan. Marina korban perceraian kedua orang tuanya sehingga Marina boleh dibilang produk wanita kota yang bebas bergaul atau salah urus, akan tetapi kini Marina telah kembali ke jalan yang lurus dan aku yakin Marina telah bertobat dengan sungguh-sungguh, maka aku ingin menikahinya lahir-batin.?
"Sudah berasal dari keluarga yang berantakan, calon istrimu itu rusak pula tampaknya," kata Mama dengan sangat kecut dan sinis sekali.
"Dia bekas bintang wanita malam, juara dugem, jago narkoba dan ratu seks bebas, Mam," tambah Dimas Ario Jayaningrat?adikku, mengompori Papa dan Mama.
"Apa di kolong jagat raya ini sudah tidak ada wanita lain yang pantas, layak dan terhormat untuk jadi menantuku, Joko?" tanya Papa dengan nada jauh sekali dari ramah. Apalagi wajahnya!
"Tak terbayang jika cicit-cicitku harus lahir dari wanita hina dan nista seperti itu," timbrung Ijjah Siti Kulsum, nenekku.
"Mau jadi apa nanti cicit-cicitku, Tarub?" tambah Amran Halim Karto Subagyo-kakekku. "Ini aib, noda dan najis untuk keluarga!" protes kakek.
Dalam "sidang paripurna" keluarga itu, semua tak ada yang setuju aku menyunting Marina. Akan tetapi semakin ditentang begitu, niatku semakin bulat menjadikan Marina sebagai Belahan Jiwaku. Aku yakin?bahkan haqul yaqin?Marina bisa menjadi istri yang salihah! ?Lihatlah buktinya nanti,? ujarku dalam hati.
***
KETIKA niat itu aku bicarakan dari hati ke hati dengan Marina, aku melihat ketabahan Marina yang luar biasa, dan aku juga melihat kehancuran Marina yang sangat dahsyat bila Marina tidak jadi kuselamatkan. Aku ingat pertanyaan Marina kala itu, "Apakah wanita bekas sampah dan kotor sepertiku tidak bisa atau haram menjadi perhiasan rumah tangga yang indah, Mas? Apakah terlarang bagiku untuk menjadi seorang wanita salihah, Mas?"
Aku menggeleng dengan mantap.
"Aku sudah memastikan keluarga besar Mas pasti akan menolak mantan wanita yang hina, penuh noda, nista, dan najis sepertiku," ujar Marina dengan tegar. "Dan ini jauh-jauh hari sudah kusampaikan kepada Mas, akan tetapi Mas selalu bilang 'Mas siap melawan gempuran badai', bahkan demi niat Mas untuk menyuntingku, Mas juga bilang 'Mas siap jika harus menebusnya dengan dibuang dari keluarga sekalipun'," lanjutnya dengan tenang.
Aku mengangguk dengan mantap sekali, lalu kuraih jemari tangan Marina, kuremas dengan lembut dan mesra, kemudian kubawa kedua tangan yang tergenggam itu ke hidungku, dan aku menciumnya dengan cinta selembut sutra, dengan kasih semanis madu dan dengan sayang yang tulus dan ikhlas seputih kapas.
"Mas tak akan mundur selangkah pun dari semua ini, Rin," tegasku setegar gunung batu.
"Apakah Mas siap sengsara dengan terbuang dari keluarga, lalu menikah dan hidup tanpa restu dari kedua orang tua Mas?" tanya Marina kembali.
"Aku tidak hanya siap, Rin," jawabku dengan mantap seliat kayu. "Akan tetapi aku juga tidak takut hidup denganmu. Tuhan bersama kita dan pasti Beliau menolong kita. Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Rin," lanjutku.
Marina menjatuhkan kepalanya di dadaku. Setelah kuelus kepalanya, tangisnya pecah. Baju dan dadaku tersiram air matanya yang deras mengalir. "Bukan dikarenakan kecantikanmu yang selangit dan mengguncangkan hati, bukan disebabkan keseksianmu yang bisa merontokan kesetiaan laki-laki, serta bukan juga tergiur kekayaanmu yang membuatku bertekad untuk menyuntingmu sekuat apapun rentetan badai yang pasti menggulung dan menghempasku, akan tetapi niatmu untuk tobat nasuha dan menjadi wanita salihah yang membuatku tak rela jika engkau harus kembali jadi kembang utama wanita malam, kembali jadi anak emas narkoba dan kembali jadi primadona kesayangan belantara seks bebas," tegasku.
Marina jatuh terkulai di pangkuanku, dan itu kutangkap sebagai perlambang hidup dan matinya telah bulat diserahkan kepadaku.
***
AKHIRNYA aku menikahi marina dan kami langsung hidup mandiri. Aku tak lagi dapat bantuan keuangan dari keluargaku, dan aku pun tidak lagi kerja di perusahaan keluargaku. Aku kerja di perusahaan orang lain. Untuk menutupi kebutuhan hidup kami di awal pernikahan, Marina--dengan tabungannya yang segunung dan aliran dana dari Bapak dan Ibunya yang deras--berperan sekali dalam mengepulkan asap dapur dan menggelindingkan roda rumah tangga kami.
Untungnya posisiku di kantor juga dari waktu ke waktu bergerak sangat bagus. Akan tetapi, sungguh bukan hanya karena itu yang membuatku layak bahagia, bersyukur, dan berterima kasih kepada Tuhan. Tekad Marina yang istikamah untuk menjadikan dirinya sebagai wanita salihahlah yang memikatku untuk siap menangkis setiap badai yang datang mendera, utamanya badai yang datang dari tiga dunia yang pernah menjadikan Marina sebagai wanita yang memiliki kelas sangat istimewa. Di dunia malam: siapa yang tak kenal Marina? Di ranah narkotika: siapa yang tak tahu Marina? Di belantara seks bebas papan atas: siapa yang tak memuja Marina?
Di rumah Marina tidak bersedia mempekerjakan pembantu. ?Demi aku, Mas saja bersedia terbuang dari keluarga, masak aku dalam melayani semua kebutuhanmu harus dibantu pembantu,? katanya. ?Selagi aku masih bisa, biarlah semuanya kukerjakan sendiri, Mas. Melayani dan berbakti kepada suami buatku kini adalah suatu anugerah dan kehormatan, serta kewajiban dan ibadah!? lanjutnya dengan mantap.
"Apa tidak ingin bekerja dan tidak jenuh di rumah, Rin?" tanyaku sambil mencium keningnya dan membetulkan jilbab indahnya.
"Selain melaksanakan ibadah-ibadah wajib dan sunah, kan masih banyak ibadah lainnya yang bisa aku kerjakan untuk membuang jenuh, Mas," jawabnya. "Aku total memilih jadi ibu rumah tangga agar aku bisa seratus persen mengabdikan diriku kepada suami," lanjutnya.
Aku mendengar baik-baik setiap untaian kata curahan hati Marina.
"Masa laluku yang hitam dan kelam di dunia malam dan narkotika, serta penambang dosa di lembah nista, kemudian dientaskan oleh Mas menjadi istri yang terhormat, rasanya tak cukup kubalas dengan pengabdianku 1 x 24 jam kepadamu, Mas?"
Kuraih bahu Marina lalu kurebahkan kepalanya di lekuk leherku. "Tidak segitunya kali," godaku kepadanya sambil kucium pipinya. "Tetaplah melangkah di jalan lurus untuk masa depan dan anak-anak kita kelak, Sayang," lanjutku.
"Apa pun yang Mas perintahkan asal itu tidak melanggar larangan agama, undang-undang, peraturan, etika, norma dan yang lainnya, dengan tulus dan ikhlas pasti kukerjakan meski harus bertaruh dengan nyawaku?" sambutnya.
"Hehehe. Maksudnya apa dan ke mana nih? Kok sampai harus bertaruh dengan nyawa segala, Kasih?" tanyaku.
Marina mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Aku tadi ke Dr. Mirna Astuti, Sp.O.G., katanya aku mulai hamil, Mas?" lanjutnya dengan lembut, mesra dan penuh syukur.
Karena aku tak kuat menahan bahagia dan syukur, refleks aku bopong Marina, dan aku melakukannya dengan menari dan berterima kasih tiada henti. "Terima kasih untuk anugerah yang terindah ini, ya Allah," ujarku. Habis itu kami berdua bersujud syukur untuk karunia dan anugerah yang tiada ternilai harganya ini.
***
DARI buah cinta kami lahirlah Laras Ayu Kembang Ati, yang pada suatu acara di sekolah anakku lima tahun kemudian menyedot perhatian seorang Bapak yang memberikan bantuan beasiswa untuk siswa teladan di sekolahnya. Orang tua itu jatuh hati pada darah dagingku dan Marina.
Penampilan Laras yang cantik, bersih, sopan, rendah hati, memikat dan cerdas mengantarkan pertemuan antara orang tua/wali murid dengan sang donatur, yang tidak lain dari Papaku. Kami berpelukan, bertangisan dan ketika seminggu kemudian Papa-Mama ke rumah, Laras dengan tiada keraguan sedikit pun diakui dan diterima sebagai cucunya. "Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah," ujar kami dalam sebuah sujud syukur.
"Mana istrimu, Joko?" tanya Papa dengan wajah dan mata yang memancarkan kebahagiaan.
"Iya mana menantu Mama, Nak?" sambung Mama tak kalah gembira dan syukur dengan Papa.
Ketika aku mencari-cari Marina ke segala arah, Marina muncul. "Saya di sini, Mas, Papa, Mama. Assalamualaikum?" jawabnya dengan sopan dan penuh hormat.
Kami sungguh terhipnosis melihat penampilan Marina yang sempurna sebagai wanita muslimah.
"Marina di awal hidupnya memang pekat melakukan amalan-amalan penduduk neraka, akan tetapi dan insya Allah setelah itu ia bisa dan biasa melakukan amalan-amalan penduduk surga," pujiku dengan tulus. "Dialah yang menjadikan rumah ini sebagai firdaus. Oleh karena dia, saya lebih betah di rumah dibandingkan berada di mana pun," lanjutku. "Karena di rumah ini ada Marina, istri saya yang terpilih, Papa, Mama," tegasku.
Kulihat Papa dan Mama membiarkan tangannya dicium Marina dan Laras, bahkan beberapa kali kulihat Marina dan Laras dipeluk dengan hangat dan mesra oleh Papa dan Mama.
"Kamu tidak salah pilih, Joko," aku Papa lembut sambil senyum tulus.
"Iya, Nak," timpal Mama. "Kami yang selama ini salah lihat, dan terlalu cepat memutuskan," lanjutnya. "Sekarang tidak ada lagi dinding pemisah di antara kita," lanjut Mama lagi.
"Semua ini karena Mas Joko Tarub Umbaran yang sukses melintasi rentetan dan menangkis gempuran badai, sampai Laras lahir, besar, serta ketemu dengan kakek dan neneknya," ujar Marina dengan sinar mata lembut dan penuh cinta yang diarahkan kepadaku.
Sejak itu setiap akhir pekan jika tidak Papa dan Mamaku yang melewatkannya di rumah kami, kamilah yang menghabiskan akhir minggu di rumah Papa dan Mamaku, dan Marina?juga Laras?selalu jadi bintang karena kesalihanan dan keagungan budinya.
Marina yang telah berhasil menjadi sebaik-baiknya perhiasan rumah tangga, juga membuat kakek dan nenekku selalu minta dilayani dan diurusi olehnya, dan Marina menyambutnya dengan tulus dan ikhlas untuk ibadah sehingga Marina melakukannya dengan cinta sebening embun, mengerjakannya dengan kasih seanggun gunung dan menunaikannya dengan sayang seputih salju.
Braja Mulia-Braja Selebah-Lamtim, Agustus 2012
Lampung Post, Minggu, 18 November 2012
No comments:
Post a Comment