Sunday, November 11, 2012

Bau Busuk dalam Sumur

Cerpen Fandrik Ahmad


DI korneanya, makanan yang tersaji di atas lincak kosong tanpa rasa. Nyeri pada bagian paha kiri telah meraibkan selera makannya. Sedikit-sedikit meringis, menggeliat, dan beringsut membetulkan posisi duduk agar terhindar dari rasa sakit, kram dan kesemutan. Betapa setiap gerakan itu tercermin sebuah alamat seseorang yang bosan menjalani hidup.

“Dimakan, Pak, mumpung masih hangat. Kapan mau sembuh kalau terus-terusan begitu,” tegur Misnatun, duduk di sampingnya. Sambal terasi sisa kemarin pagi yang sudah digoreng kembali disodorkannya.

“Taruh saja di situ. Belum lapar,” tukasnya. Salim tak berminat kendati di atas lincak tergeletak terong rebus—yang paling disukai—menggoda. Ikan asin pun gagal memancing lidahnya.

Salim berdiri. Langkahnya lambat. Tertatih-tatih ke beranda. Istrinya lesu di atas lincak. Seakan ada semacam tumpukan ulat yang sedang berpesta di dalam luka yang terus membengkak itu. Ketika pintu dibuka, secarik cahaya melabrak pahanya. Hangat. Hangat sekali. Barulah Salim sadar kalaulah matahari sudah cukup tinggi untuk dikatakan pagi.

Tangannya mengepal bersandar pada pilar bambu. Kedua alisnya mengerut, membentuk semacam kepak sayap burung elang yang tengah menemukan mangsa. Angin bertiup cukup kencang. Kepulan debu memanjang. Bergoyang-goyang. Menutup sebagian pandangannya. Daun-daun terlihat meranggas. Bertahan agar tak lepas dari tangkainya. Cericit burung hanya terdengar sekejap pada saat matahari belum tiba. 
Sudah menjadi keputusannya kalau Parjo akan dicoret dari daftar teman kerjanya. Toh, kehilangan Parjo bukan perkara memusingkan. Masih ada Dulla, Comper, Sadden, atau yang lain yang pasti mau bila diajaknya bekerja. Intinya bukan dengan Parjo…!

Salim menyelonjorkan kaki. Pahanya dipanggangkan pada terik yang berhasil menembusi beranda. Umpatan kerap tumpah ketika ember usang berisi parang tumpul yang digunakan untuk merapikan tepian sumur menusuk lamunannya. Ya, musibah itu tak mungkin, tak akan, dan tak pasti terjadi bila tangan lelaki hitam dan dekil itu cekatan meraih ember selepas menyudahi menggali sumur suatu hari, milik nyai Tomang. Akibat kelalaiannya, jadilah ember itu nyemplung kembali pada kedalaman sumur yang sudah hampir mencapai enam meter itu. Sialnya, ujung parang menancap dan menimbulkan histeris sesaat sebelum raib karena tak sadarkan diri.

Warga kampung dan yang setetanggaan dengannya sangat menyayangkan peristiwa itu. Pasalnya, mereka kini diselimuti perasaan cemas. Takut Salim tak mau lagi menggali sumur. Beberapa kali Salim melontarkan pernyataan tak ingin lagi menggali sumur kepada setiap warga yang datang membesuknya. Siapa nanti yang akan memberikan pasokan kebutuhan air bila Salim menjadi trauma dan tak mau lagi menggali sumur. Tak terbayang susahnya mencari air. Bila kemarau, ketergantungan kepada sumur sangatlah besar. Hanya sumur yang tak pernah susut kendati harus membuat lagi, lagi, dan lagi, bila sudah tandas.

Betapa pekerjaan yang semula dipandang sebelah mata kini bisa mengundang ketakutan. Ketergantungan pada Salim sangatlah besar. Tak terhitung seberapa banyak jasanya. Lebih banyak ketimbang lembaran kertas yang didapat dari hasil nyata atas jasanya. Satu sumur yang biasa dikerjakan dalam tempo seminggu cuma bisa dihargai antara 150 sampai 200 ribu rupiah. Itu pun seperempatnya masih dibagikan kepada tukang arit tanah galian. Tak ada yang mau mengambil alih pekerjaan itu tersebab upah tak sebanding dengan pekerjaan. Bila ada, mereka cuma bersedia menjadi tukang arit tanah galian. Tak ada yang berani turun dan mengeruk tanah sedalam mungkin sampai memuncratkan air. Lebih baik bekerja ke luar negeri ketimbang menggali sumur, begitulah kata sebagian besar warga.

Berkat dirinya, warga di kampung itu teringankan dari derita kemarau berkepanjangan. Tangannya seperti sebuah sumber yang memancarkan air. Yang menyelamatkan kampung dari kekeringan. Apabila salah satu dari mereka ada yang kebetulan tengah lewat di dekat sumur Nyai Tomang, tak lupa mereka meninggalkan umpatan kepada Parjo. Mengumpat apa saja yang bisa diumpat: memperkarakannya kepada yang berwajib, mendapat balasan yang serupa, mengasingkan atau mengusirnya dari kampung, sampai ada yang berani mengancam akan membunuhnya apabila Salim betul-betul tak mau lagi menggali Sumur.

“Parjo harus bertanggungjawab,” kata salah seorang warga.

“Mau bertanggungjawab bagaimana? Ya, namanya sudah apes,” yang satunya bersikap pasrah.  

“Kamu mau menggantikan kang Salim? Jadi tukang gali sumur?”

“Lha. Kok, jadi saya.”

“Makanya, pikirkan bila kang Salim tak mau menggali sumur. Siapa yang akan menggantikannya. Tak ada sumur. Tak ada air. Kampung ini akan mati!”

Kalajengking seperti baru saja menyengat bokongnya. Air mukanya menjadi keruh. Lamunannya membuat sketsa sejarah kampung yang dilanda kekeringan dan kelaparan hanya karena tukang gali sumur. Sebuah kampung yang melantunkan orkestra memilukan: kemerisik angin, desis kelaparan, dan lenguhan ternak yang memanjang. Terbayang kerabat dan tetangga menekankan kedua tangan di atas perut. Seperti sakratul maut, mereka merintih sampai ada yang menjerit sebelum berdamai dalam sebuah tidur panjang.

“Kamu benar. Parjo harus bertanggungjawab. Paksa dia menjadi pengganti kang Salim.” Lelaki itu pun terhasut.

Kebencian terhadap Parjo bertumpuk di dalam sumur itu. Menggantikan air yang gagal menggenang. Seperti sebuah gaung, darimanapun berteriak, gemanya akan sampai ke gendang telinga Parjo. Parjo tak tinggal diam. Ia mesti mencari perlindungan. Siapa tahu gaung itu akan bersambut menerkam dirinya.

Parjo mencari kuasa hukum yang bisa melindungi dan memberikan keadilan untuk dirinya. Toh, peristiwa itu terjadi bukan karena kehendaknya. Parjo mencoba bertamu ke rumah Ke Ramuk. Baginya, Ke Ramuk memiliki payung hukum negara. Bukankah kepala kampung juga pejabat pemerintah kendati cuma sekelas kampung, pikirnya. Ke Ramuk menyambut Parjo dengan muka Berat. Bibirnya ditarik separuh. Sepertinya lelaki tambun itu sudah mengetahui maksud kedatangannya. Parjo dipersilakan duduk.

“Tolong saya, Pak. Ancaman kepada saya semakin banyak,” jelas Parjo.

“Ancaman yang bagaimana?” Tenang Ke Ramuk bertanya. Wajahnya disetel supaya terlihat berwibawa.

“Pokoknya banyak. Ada yang ingin mengusir saya. Ada yang ingin membakar rumah saya. Ada juga yang mengatakan ingin membuat paha saya bengkak seperti kang Salim. Bahkan ada yang ingin membunuh saya,” jelasnya dengan nada yang sangat yakin dan melas.

“Begitukah? Hem…” Muka sinis tak bisa disembunyikan oleh Ke Ramuk.

“Ya, Pak,” tegasnya.

Sejenak keduanya terjebak diam. Parjo tak sabar menunggu ucapan Ke Ramuk yang selanjutnya.

“Kenapa kamu ke sini?”

“Saya mau meminta keadilan, Pak.”

“Lha, Kok ke saya? Memangnya saya polisi? Satpam? Atau tentara?”

“Selain pada bapak, saya harus meminta kepada siapa lagi. Bapak kan kepala kampung,” tegasnya.

“Tunggu dulu. Kalau urusan kampung, baru ke saya. Ini urusanmu,” pungkasnya tenang.

“Semua orang mengancam saya. Bukankah ini sudah menjadi urusan kampung? Ya, bapak wajib menolong saya.” Parjo mulai jengkel. Ia merasa dipermainkan.

“Ya, kamu pindah saja dari kampung ini. Selesai.”

“Bapak mengusir saya?”

“Tidak”

“Terus?”

“Apanya yang terus?”

“Siapa yang akan mencarikan emak uang?”

“Suruh saja melepas jandanya. Atau, saja sekalian bawa pergi.”

“Bapak ngawur!” Parjo mendorong cepat kursi duduknya ke belakang. Ia berlalu dengan langkah cepat namun berat.

“Ketimbang digebuki banyak orang!” teriak kepala kampung. Jelas suara itu ditangkap. Parjo tak mempedulikan. Sebagai orang kecil, betapa ia merasa kesulitan mencari keadilan di kampungnya sendiri.

Parjo tak tahu lagi harus berbuat apa. Ditatapnya perempuan tua yang tengah berdiri di depan pintu menunggu kedatangannya. Jelas sekali kerutan wajahnya di bawah lampu dop 5 watt di atas pintu itu. Melihat wajah anaknya yang redup, tak banyak yang dikatakan oleh perempuan itu kecuali memeluknya. Erat. Hangat.

Malam semakin larut tanpa dekapan sepotong bulan. Lampu dop tetap menyala membagi sinarnya ke beranda dan ruang dalam. Warga menyemut ke rumah Parjo. Mereka membawa parang, golok, celurit, pentungan, pikulan, gentong dan benda apa saja yang bisa menggebuk si empu rumah itu. Sementara di tangan kiri mereka memegang satu benda yang sama, obor.

“Penduduk kampung mendatangi rumah Parjo, Pak. Mereka membakar rumahnya,” lapor istrinya panik.

Sontak Salim bergegas ke beranda, mendongakkan kepala. Dari arah barat, kobaran api membubung tinggi. Salim merasa kalau kemarahan warga tersebab dirinya yang tak mau lagi menggali sumur. Satu sisi ia merasakan sebuah kebanggaan akan keberhargaan dirinya. Namun, itu hanya secuil ketimbang rasa ibanya. Bagaimanapun Parjo adalah orang yang kerap meyepuh peluh bersamanya. Menyeruput kopi dan menghisap sebatang rokok bersama. Makan ketela pohon yang dipanggang yang menghadirkan tawa ketika mendapati arang kulit ketela menempel di gigi. Dan, kenangan itu berjejak pada setiap langkah menuju kobaran itu.

“Terlambat, Pak,” teriak istrinya. Salim tak peduli. Ia terus melangkah. Akhirnya, Misnatun menjinjing sampirnya setinggi lutut dan bergegas membuntuti suaminya.

Kini Salim menatap sesuatu yang belum pernah dilihatnya seumur hidup. Api yang sangat besar begitu nyata di matanya. Umpatan warga yang menyaksikan turut melumat rumah yang sebagian besar dibangun menggunakan bambu itu. Letupan mengerikan. Salim menggigit bibir sebelum menggeram. Matanya berubah basah. Di depannya, seorang perempuan tua menjerit-jerit seperti seorang yang kesurupan.

“Rasakan! Dasar pembawa sial!”  

“Mampus!”

Salim berusaha sekuat mungkin memegang emak Parjo yang berusaha keras ingin masuk ke dalam rumahnya. Di tengah ketidakpercayaan kenapa warga melakukan perbuatan senekat itu, yang ingin dilihatnya adalah Parjo. Ke mana anak itu? Kenapa hanya emaknya? Tak selamatkah dirinya? Oh, tidak. Semoga terjadi sesuatu apa pun dengannya, harap Salim. Matanya tak lebih panas dari api di depannya.

Kabar tentang Parjo baru tercium keesokan hari setelah pihak yang berwajib memastikan tidak ada korban jiwa dalam aksi pembakaran itu. Amarah warga belum reda tersebab sasaran utama raib entah ke mana. Namun, mereka lebih fokus membujuk Salim agar bersedia menggali sumur kembali. Apa jadinya jika tak ada yang mau menjadi tukang gali sumur. Ironis bila kampung dikenang sejarah hanya gara-gara tukang gali sumur. Sudah berulang kali Salim kedatangan tamu. Dan jawaban yang keluar tetap sama. Tidak!

Melalui kesepakatan bersama, kepala kampung membentuk kelompok penggali sumur. Suka tidak suka, bila sudah ditunjuk, maka harus bersedia. Warga bersepakat akan meneruskan sumur milik Nyai Tomang yang belum selesai. Setidaknya ada lima orang setiap hari yang harus bersedia menggali sumur. Yang bertugas di hari itu segera menjalankan tugasnya. Sampai di dekat sumur, mereka mencium bau yang janggal. Busuk. Ternyata, di dalam sumur itu, seonggok mayat tergeletak. Diangkatnya mayat itu beramai-ramai. Sebagian sisi kiri tubuhnya, dari kaki sampai kepala sudah melepuh dimakan ulat. Mereka berkesimpulan kalau posisi mayat ketika ditemukan menelungkup ke samping. Dan, mereka mengenalinya: Parjo.

Kematian Parjo seperti menjadi sebuah kutukan. Setiap kali menggali sumur, mereka hanya mentok pada kedalaman yang tak lebih dari sembilan meter. Macam-macam yang dirasakan si penggali sumur: gelap, pengap, menggigil, serta mencium bau bangkai.

Satu persatu sumur yang tersisa tandas. Kering. Namun, tak ada lagi yang berani menggali sumur. Kepala kampung kembali mengumpulkan para warga. Laki-laki atau perempuan, tua atau muda, semua harus berkumpul. Lelaki tambun itu akan mengajak mereka, bersama-sama mendatangi rumah Salim untuk bersedia menggali sumur. Dengan cara apa pun. n

Jember, 22 September 2012


Lampung Post, Minggu, 11 November 2012

No comments:

Post a Comment