Sunday, November 25, 2012

Cincin Hujan

Cerpen Arman A.Z.


Kisah 1


AKSA dan Mayang terjebak di ruang tunggu bandara. Hujan pagi itu membuat penerbangan mereka delay. Duduk di bangku panjang, sepasang suami istri itu leluasa mengamati orang-orang hilir mudik. Aksa menangkupkan tangan kirinya ke tangan kiri Mayang yang mendekap tas jinjing di pangkuan. Mayang yang tersipu, sepintas melirik tahi lalat di bawah mata kiri Aksa. Ada benda bergesekan dalam genggaman mereka: sepasang cincin kawin berhias batu permata.

Percakapan Aksa dan Maya terputus oleh gerutu seorang ibu tambun berdandan menor yang berdiri gelisah tak jauh dari tempat mereka duduk. Ini bukan melatih kesabaran, ini tentang konsumen yang dirugikan, protes ibu itu pada petugas yang berdiri salah tingkah di pintu keberangkatan. Seorang pria tua menimpali, menuding pemerintah yang tak peduli pada penumpang yang terlantar karena pesawat telat berangkat.

"Mereka tak bisa bercanda dengan waktu..." desis Aksa. Mayang tersenyum sambil mencubit paha Aksa. "Menurutmu, apa yang menggerakkan mereka kemari?!" sambung Aksa.

"Ya, urusan mereka masing-masing." jawab Mayang. Aksa menggeleng, "Ada yang lebih dari itu..." sahutnya. Mayang menengok. Dahinya berkerut.

"Ini yang menggerakkan mereka," jelas Aksa sembari menggesek-gesekkan jempol dan telunjuk kanannya. Sepasang alis Mayang naik, seperti tak sepakat dengan kalimat suaminya.

"Jadi, kita pun ada di sini karena diatur uang?"

Aksa menjawab dengan senyum, lalu mengalihkan topik percakapan seraya menatap wajah istrinya, "Sudah lama kita tak pergi berdua seperti ini. Tiap rencana liburan sering gagal." Jauh hari mereka menyusun rencana pelesiran ke Bali, merayakan selusin tahun usia pernikahan.

"Kau kelewat sibuk dengan kerjaan. Pulang saat anak-anak sudah tidur. Bangun ketika mereka sudah pergi sekolah. Anak-anak lebih akrab dengan sopir dan pembantu. Kita mirip orang asing yang tinggal serumah," sindir Mayang. Barusan tadi, tanpa disuruh Aksa, Mayang menelepon ke rumah. Memastikan lewat ibunya bahwa ketiga anaknya berangkat sekolah.

"Kau juga sibuk bisnis dan arisan dengan teman-temanmu," dalih Aksa.

Diam. Waktu menitik seperti butir-butir air hujan yang gamang di telapak dedaunan sebelum luruh ke tanah.

Maya mendengus kesal. "Sudah setengah jam hujan reda. Tapi kenapa belum juga ada panggilan untuk berangkat?"

Aksa menghela napas. "Iya. Capek juga jadi manusia di ruang tunggu."


Kisah 2

SIANG mendung di kafe terbuka tepi pantai yang sepi pengunjung. Wara duduk di pojok ruangan, terhalang deretan pot gantung dengan bunga pelastik berjuntai-juntai. Ditemani sekaleng bir dingin dan sebungkus rokok di meja. Gelisah menunggu pria bertahi lalat di bawah mata kiri itu. Sesekali kepalanya mendongak ke langit, berharap rinai tak segera menjelma hujan lebat.

Berbinar matanya memergoki Aksa berjalan tergesa di pedestrian. Seraya menarik bangku di depan Wara dan mendudukinya, dia minta maaf karena terlambat datang. Dia sempat nyasar sebelum bertanya pada pemilik warung tentang lokasi kafe itu, tempat mereka janji bertemu. "Menunggumu tak pernah membosankan," kata Wara singkat, mengobati rasa bersalah Aksa.

Ketika Aksa menyampaikan rencana liburan ke Bali bersama istrinya, mereka sepakat bertemu di tempat yang sama. Demikianlah, Wara lebih dulu datang dan menyewa kamar hotel tak jauh dari cottage tempat Aksa dan istrinya menginap.

"Orang Romawi zaman dulu memakai cincin kawin di jari tengah tangan kiri. Konon, mereka percaya ada pembuluh darah yang mengalir lewat jari itu, langsung ke hati," kata Wara usai melirik cincin kawin di jari manis Aksa.

"Kau kelewat banyak baca buku," sindir Aksa.

"Buku itu jendela dunia."

"Resletingmu juga jendela dunia," gurau Aksa.

"Dasar cabul..."

Wara mengeluhkan istrinya yang cerewetnya akut. Sejak tiba di sini, sudah puluhan kali dia menelepon, memastikan semuanya baik-baik saja. Kesehatan, makan, pakaian, sampai oleh-oleh untuk anak-anak. Ingin rasanya Wara membuang ponsel yang dirasanya jadi semacam teror.

"Kita bakal sulit bertemu seperti ini. Beberapa teman kantorku tampaknya mengendus hubungan kita."

"Siapa? Hati-hatilah. Jangan sampai reputasiku hancur."

"Tenang saja. Jangan panik. Bukan cuma kamu, karierku pun akan habis."

"Bisa kamu selesaikan?"

"Mudah-mudahan."

"Harus dipastikan!"

"Yakinlah, semua akan beres. Makin terancam, kan makin menggairahkan," timpal Aksa dengan senyum penuh makna.

Ah, selain tempat dan waktu, cinta pun bisa melepas jangkar pada orang yang tak tepat. Begitulah Aksa dan Wara.

"Hujan sudah reda. Mau ke kamar hotelku?"

"Itu yang kutunggu. Semoga hujan lebat."

"Jika Mayang mencari?"

"Sudah kumatikan ponsel. Kalau dia curiga, cuaca bisa dijadikan kambing hitam."

"Benar katamu, tempat ini menyimpan gairah. Sudah lama aku menginginkan suasana seperti ini. Bercinta di hotel tepi pantai, dengan jendela terbuka, ditemani debur ombak dan rintih hujan..."

"Sstt, jangan kuat-kuat. Kita buktikan saja siapa yang lebih kuda dari kuda..."

"Dasar kamu, kuda liar..."


Kisah 3

DARI jendela yang separuh terbuka, Lala termangu menatap lantun gerimis. Gadis berhidung bangir itu suka suasana saat gerimis tiba. Romantis. Mistis. Iramanya menjelma nyanyian pilu di batin Lala. Tetesnya yang jatuh di genangan air mencipta lingkaran-lingkaran serupa cincin yang membesar menyebar lalu raib.

Dia teringat ibunya. Sebelum berangkat, beliau sempat berpetuah. Meski diucapkan secara tersirat, namun Lala paham maksudnya: Ibu meminta Lala segera menemukan pendamping hidup. Lala nyengir kuda menanggapinya. Bagi Lala, pernikahan hanya ihwal secarik kertas, juga status yang tak penting. Ada orang yang hidup normal, banyak juga yang berantakan. Lala hanya ingin bahagia dengan versinya sendiri.

Rokok putih terjepit di sela jemari kirinya. Dia abaikan abu yang jatuh ke lantai yang licin bersih. Lala menginap tak jauh dari tempat Mayang menginap. Pagi tadi sendirian dinikmatinya sarapan, lalu melewati waktu bercanda bersama anjing-anjing kecil di tepi pantai. Dia bayangkan ada anjing bersemayam dalam dirinya. Lambat laun dia paham, ada naluri anjing dalam tubuh semua orang.

"Apa yang ada di benakmu tentang Desember?" gamang tanya Lala. Perempuan yang duduk di tepi ranjang menatap televisi, mengalihkan pandangnya ke jendela.

"Ulang tahun pernikahanku. Itu yang membawaku kemari," jawab Mayang.

"Tak ada yang lebih indah dari itu?" kejar Lala. Mayang sudah menduga, pertanyaan itu akan disusul dengan pertanyaan berikutnya. Mayang memilih diam.

"Aku sudah terbiasa menikmati sakit ini sendirian," sambung Lala sejurus kemudian.

Mayang enggan berdebat lebih jauh dengan Lala. Ini tentang kesepian dan hasrat wanita. Baginya, bertemu dengan Lala sudah cukup membahagiakan.

"Kubayangkan kita menyusuri pedestrian sepanjang pantai ini. Menikmati malam bertabur bintang di sebuah cafe terbuka. Ditemani lagu-lagu romantis dan lilin kecil yang menari di tengah meja..." suara Lala mengambang.

Selain tempat dan waktu, cinta pun bisa jatuh pada orang yang salah. Mayang dan suaminya sepakat hari ini mereka bebas pergi sendirian. Saat kembali ke hotel, mereka akan saling cerita bagaimana mereka mengisi waktu sendirian sepanjang hari itu. Mayang tak risau. Dia selalu dapat nilai bagus waktu pelajaran mengarang dulu. Lala tersenyum mendengar cerita Mayang.

Cuaca dingin dari luar jendela memaksa Lala beranjak dari tempatnya berdiri. Berjalan ke tepi ranjang. Duduk di samping Mayang. "Kapan kita bertiga seranjang. Aku, kau, dan suamimu. Bercinta sampai pagi," usul Lala dengan tatapan nakal, disusul tawa langu.

"Gila!"

Mayang hendak pulang. Lala mencegah. Gerimis masih mengalun di luar. "Tak apa. Sudah lama aku tak berjalan di bawah gerimis." Dihampiri dan diciumnya tengkuk Lala, sambil berkata "Jaga dirimu, Sayang."

Tangan kiri Mayang telah menyentuh gagang pintu ketika Lala mengejutkan, "Selalu ada yang terlupakan..." Mayang menunda langkah. Menoleh ke belakang. Mata Lala mengantar Mayang ke atas ranjang. Mayang terkejut teringat sesuatu. Bergegas dia mencari benda mungil itu di balik selimut yang masih acak-acakan. Mengenakannya kembali di jari manis tangan kiri.

"Melepas cincin nikah sebelum bercinta, bukan berarti melupakannya, apalagi meninggalkannya."

Usai cincin itu telah terpasang di jari manis, ada yang berkelebat dalam benak Mayang. Benda mungil itu tak lagi berkilau. Dia selalu cuai menyepuhnya.

"Kabari aku jika kamu sudah pulang. Siapa tahu aku bisa menjemputmu, kemudian menemaniku ke toko emas..." kata Mayang sembari melanjutkan langkah ke pintu keluar. Mimik wajah Lala bertanya untuk apa.

"Menyepuh cincin ini, agar berkilau kembali..." sahut Mayang.


Kisah 4

"CUACA kok kayak kuda liar, susah diterka maunya...," celetuk Aksa. Di ruang tunggu bandara, dalam perjalanan pulang, ia kembali mengeluhkan penerbangan yang tertunda karena gerimis.

"Sabarlah..." imbau Mayang. Tatapannya tak sengaja membentur tahi lalat di bawah mata kiri suaminya. Menghilangkan jenuh, Aksa iseng menggumamkan siapa di antara orang yang lalu lalang di sekitar mereka yang akan duduk dekat pintu darurat pesawat.

"Lo, apa urusannya dengan pintu darurat?"

"Bisa menyelamatkan banyak orang."

"Ah, zaman sekarang, orang cari selamat masing-masing."

Giliran Mayang mengajak Aksa bertaruh. Siapa yang akan duduk di bangku pesawat bersama mereka. Aksa menerka lelaki. Mayang menebak perempuan. Mereka serempak tersenyum. Siapa pun yang melihat mereka di ruang tunggu bandara itu, tentu menduga mereka pasangan yang romantis dan bahagia. Sebuah rumah tangga yang utuh. Bukan sepasang suami istri yang sedang menipu diri sendiri.

Tangan kiri Aksa menggenggam tangan kiri Mayang. Menyentuh dan meraba cincin yang melingkar di jemari itu. Orang Romawi zaman dulu memakai cincin kawin di jari tengah tangan kiri, kata Aksa. Mereka percaya ada pembuluh darah yang mengalir lewat jari itu langsung ke hati. Mayang nyengir dan meledeknya sok tahu.

"Selusin tahun cincin ini melingkari jari manis kita. Seperti jimat, cincin ini membuatku kebal dari segala godaan," teduh mata Aksa menatap Mayang.

"Gombal," rajuk Mayang.

Dalam benak Aksa, dibayangkannya Wara pulang sendirian nanti sore. Sementara Mayang berpikir entah bagaimana ujung kisahnya dengan Lala.

"Gerimis begitu liris. Mungkin, di suatu tempat, ada yang sedang merangkai kalimat-kalimat romantis..."

"Atau... Meneguk bir dingin..."

Aksa dan Mayang bertatapan, tersenyum langu, lalu melengoskan pandang; menepis kelebat bayang seseorang benak masing-masing. Banyak yang terdengar dan terlihat seperti cinta, padahal omong kosong belaka. Aksa meremas jemari Mayang. Sepasang suami istri itu merasakan cincin kawin yang saling bergesekan. Rasa ngilunya menjangkau hati masing masing. Gerimis telah beranak pinak.

"Lucu ya, hujan menemani kita saat pergi dan pulang..."

Bandar Lampung, 2011


Lampung Post, Minggu, 25 November 2012

No comments:

Post a Comment