Sunday, October 7, 2012

Penyapa Langit

 Cerpen Yulizar Fadli
YA, akulah akar bahar yang melingkar di pergelangan tangannya, akulah saksi kematiannya, akulah yang tahu lekuk-liku hidupnya, yang tahu asal usul keluarganya, dan perlu pula rasanya kuberi tahu bahwa aku adalah bagian dari dirinya dan dia adalah bagian dari diriku.

***

SUATU malam ketika bulan separuh disatroni kawanan awan yang tengah mengandung bayi hujan, ketika itu pula kulihat dia khusyuk memandang langit lebam. Kulihat mulutnya kemudian bergerak-gerak seperti mengucapkan sesuatu.

Dia memang begitu, tak pernah jerih memandang langit. Tak tahu kenapa, mungkin saja dia ingin menyapa penduduk di atas sana, mungkin juga dia hendak bertanya pada salah satu dewa tentang siapa nama aslinya, sebab sejak sepuluh tahun lalu dia tak pernah berhasil mengingat nama itu. Tapi, sungguh, aku tahu siapa nama aslinya. Sudah berkali-kali aku coba memberitahukannya, tapi percuma, dia tak dapat mendengarku.

Bisa betah sampai empat jam dia pandangi langit ketika malam. Setelah itu barulah lelah bisa merayunya untuk duduk di bangku taman kota yang ditinggal pengunjungnya. Merebahkan badan, lalu merogoh saku celana dan mengeluarkan potret bergambar perempuan. Aku tahu siapa perempuan itu. Sudah berkali-kali aku mencoba memberitahukannya, tapi percuma, dia tak dapat mendengarku.

Pernah suatu ketika, di tengah ritis gerimis, dia menangis sambil memungut satu per satu serakan sampah plastik di sekitar taman, lalu melipatnya rapi. Kecil-kecil. Setelah itu memegang-pandangi lagi selembar potret buram bergambar perempuan, kemudian duduk di atas bangku kayu yang dicat putih susu.

?Ayah tidak adil, saya benci ayah!? katanya. Kalimat itulah yang sering dia katakan pada dirinya sendiri semasa ayahnya masih ada. Hampir saja aku luput menceritakannya. Ayahnya itu lelaki keras, bersahaja, dan punya sikap. Sekilas wajahnya mirip Bung Hatta. Dia tak pernah lagi mengulang kalimat itu ketika ayahnya meninggal dan dikebumikan bersebelahan dengan kuburan kakek-neneknya. Dia pastilah menyesal, terpukul, terguncang, dan baru sadar bahwa ayahnya memanglah benar menyayanginya.

Semasa hidup, ayahnya adalah seorang sekretaris daerah di selatan Lampung, ketika itu provinsi ini baru mempunyai tak lebih dari tiga kabupaten. Ayahnya pegawai yang setia dan tak banyak ulah. Tak ingin punya tanah dan rumah mewah, seperti yang dilakukan teman sejawatnya. Terbukti bahwa ia hanya tinggal di rumah dinas, menaiki kendaraan yang juga milik dinas, milik pemerintah.

Mungkin itulah ihwal yang dia benci. Terang, semasa sekolahnya, dia tak diizinkan membawa kendaraan. Padahal dia merasa bahwa ayahnya sangatlah mampu membeli kendaraan roda empat seperti ayah teman sekolahnya, yang sejatinya berkedudukan sama dengan ayahnya.

Selain memelihara rasa prihatin, ayahnya itu punya satu kebiasaan, melipat kantong plastik-plastik bekas. Ya, ia selalu melipat dan menumpuknya di lemari belakang. ?Sampah plastik tak boleh dibuang sembarangan. Plastik tidak mudah terurai. Seratus tahun baru bisa terurai,? ujar ayahnya suatu sore di bulan Juli yang sebentar panas sebentar hujan. Semenjak itulah, dia mulai ikut-ikutan melipat plastik bekas. Tak pernah lagi sampai sekarang, sampah plastik serampang-sembarang dia buang.

Jika ditanya perihal ibunya, sahihnya aku hanya sedikit tahu. Tapi pernah kudengar, itu pun hanya sekali. Ketika itu, di meja makan, suasana makan malam dia dan ayahnya terasa hambar. Meja makan seperti makhluk murung, dan karena itu tiba-tiba dia menghentikan suapannya.

?Saya ingat saat Ibu meninggal lantaran tertabrak mobil ketika hendak mengantar jajanan ke warung seberang jalan. Saat itu saya masih kecil. Kenapa cepat sekali ibu pergi. Padahal dokter sudah berusaha agar Ibu bisa selamat. Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain,? ujarnya membahas kembali kematian ibunya. Sendok ayahnya mengambang, keduanya bertukar pandang tanpa ucapan. Makan malam yang hambar.

Mati menjemput apa saja yang hidup, di mana pun, kapan pun, siapa pun. Sebab, mati bukanlah daftar urut, mati itu daftar cabut?

Perihal Kakeknya? Aku akan bercerita tanpa diminta. Aku ingat saat senja sudah lama disalip isya?kejadian itu terjadi sebelum ayahnya meninggal?dengan alasan berlibur, dia minta diantarkan ke rumah kakeknya di Menggala. Dan kakeknya selalu bilang bahwa Menggala itu adalah Paris Van Lampung.

Dia, ketika itu usianya belumlah banyak, tengah duduk di beranda berdua dengan kakeknya; Guru Bur, begitu penduduk setempat memanggilnya. Guru Bur (H. Burhanudin) adalah seorang tokoh pergerakan sekaligus kepala Negeri Menggala yang paling disegani. Ia memimpin di daerah Bakung sekitar tahun 1960-an, ketika presiden pertama masih berkuasa. Dan ketika tengah asyik duduk itulah tiba-tiba seekor cicak jatuh dari atap plafon menimpa kepalanya?tepat di atas ubun-ubunnya?tepat pula ketika teguk ketiga segelas kopi belum sempat diakhiri. Sial! umpatnya.

Firasatnya mulai tak enak. Dari gerak-geriknya aku dapat membaca bahwa dia merasa mendapat petanda buruk dari kejadian itu. Dia terus saja menduga-duga. Lain hal dengan guru Bur, hal macam itu tidaklah berlaku bagi beliau. Baginya, cicak jatuh adalah hal biasa, bukan petanda apa-apa. Guru Bur taat pada agama, mengajarkan apa saja perihal agama pada murid-muridnya. Konon, menurut cerita, beliau tak segan-segan menampar murid yang kurang ajar atau tak mau patuh dalam mengerjakan kebajikan.

Cicak sudah pergi, tapi pikirannya tentang cicak belumlah pergi. Saat itu, di tengah lamunannya, guru Bur membuyarkannya dengan menepuk keras bahu kanannya. Setelah yang ditepuk sadar, guru Bur melanjutkan wejangan hal-ihwal keagamaan. Beliau kemudian menghadiahi buku tebal berjudul: Manusia Dengan Atoomnja, buah karya Dr. R. Paryana Suryadipura, cetakan 1958). Mulutnya terngaga, mungkin tahu bahwa tak mungkin mampu dia memahami isi buku itu. Kepalanya mulai pening.

?Bacalah kalau kau sudah butuh. Baca mukadimahnya dulu,? kakeknya memberi saran.

?Ya. Tapi, Kek...? tukasnya ragu.

?Sudahlah. Nanti kau pasti tahu,? potong kakeknya sembari tersenyum. Malam merangkak tatkala keduanya masuk ke dalam rumah panggung.

Satu tahun setelah Ayah, Ibu, Kakek, dan neneknya mangkat, dia dikirim oleh tantenya yang tinggal Tanjungkarang ke Yogyakarta?sebuah kota di mana dia bisa menimba ilmu fisika. Satu tahun dia di sana. Mulailah dia buka dan pelajari buku pemberian kakeknya. Sedikit demi sedikit dia tahu isi buku itu. Tapi sayang, beberapa tahun berselang, di Kota Gudeg itu pula kemalangannya bermula, menanggung amnesia lantaran sebuah bus pariwisata menghantam tempurung kepalanya. Banyak darah yang keluar. Tapi lagi-lagi tersebab mukjizat dia bisa selamat dari maut.

Kini, saat ini, dia habiskan sisa kontrak hidupnya di taman kota yang telah ditinggal pengunjungnya, tinggal di sebuah bangku kayu yang dicat putih susu.

Masih di taman itu, di bangku kayu warna putih susu, dia tak lagi menangis, tapi meraung?raung yang mirip sirine ambulans ketika membawa korban perang ke makam massal?kemudian merentangkan kedua tangan lebar-lebar, menengadahkan wajah ke langit yang sedari tadi meludahkan hujan. Dan di saat yang hampir bersamaan, tiba-tiba bau amis menyeruak di antara bau rumput yang menggigil karena hujan. Kulihat bangku kayu kuyu putih susu bisu itu seperti mengenakan gaun berwarna merah.

Kini, raungan itu tak lagi keluar dari liang mulutnya. Kulihat tubuhnya lemah tergeletak di bawah bangku kayu itu. Sekarang, suara hujanlah yang mendominan.

Ya, akulah akar bahar yang melingkar di pergelangan tangannya, akulah saksi kematiannya, akulah yang tahu lekuk-liku hidupnya, yang tahu asal usul keluarganya, dan perlu pula rasanya kuberi tahu bahwa aku adalah bagian dari dirinya dan dia adalah bagian dari diriku.

Gunung Terang, Februari 2012-Gunung Terang, Juli 2012

: buat Bang Urip


Lampung Post, Minggu, 7 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment