Cerpen Dina Amalia Susamto
SINAR biru melesat saat malaikat buta keluar jendela kafe. Hanya seorang bocah perempuan yang melihatnya.
Sejak beberapa jam yang lalu sang bocah duduk saja di beranda kafe dengan pandangan takjub ke arah panggung kecil di pojok dalam kafe. Ia melihat melalui jendela kaca yang sangat transparan sambil tangannya tak henti-henti menghitung tasbih menyebut nama-nama Tuhan di mana pun ia berada. Ia diajarkan ayahnya sejak kanak-kanak, kalimat-kalimat doa yang panjang, nama-nama Tuhan, dan selawat nabi-nabi dan rasul agar dapat masuk salah satu surga.
Tapi sejak ayahnya tiada, cita-cita hidupnya hanya ingin menyusul ayahnya. Dan ia sangat percaya ayah berada di surga Eden yang tamannya indah, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai dengan mata air yang sangat jernih, penuh buah-buah apa pun, dan pelayan-pelayan cantik bernama bidadari.
“Jika aku bisa menyusul ayah? Apakah akan cemburu pada bidadari-bidadari?”
“Hussh!! Teriak ibu warung yang pernah menemukannya menangis tanpa orang dewasa satu pun yang bertanggung jawab padanya di geladak kapal Pelabuhan Bakauheni. Saat itu bocah perempuan itu berumur 4 tahun dan mengaku bernama Binar.
Suatu ketika, ia melihat ada yang tidak biasa, saat sedang berjalan pulang ke rumah ibu angkatnya yang terletak persis di belakang tembok kafe, setelah ia menyelesaikan rutinitas pekerjaannya menjaga warung. Malam Sabtu di atas pukul 22.00, sesosok tubuh dengan cahaya kebiruan bergerak masuk dan keluar pada pukul 03.00 dini hari, melewati jendela. Seperti mimpi dalam tidur sang bocah perempuan, tapi ia yakin tidak bermimpi, karena sedang terjaga di warung rokok ibu angkatnya. Cahaya kebiruan itu selalu melewati jendela. Kemudian ia duduk di kursi yang disediakan di atas panggung kecil, sambil memangku gitar yang sebelumnya juga sudah disediakan. Penjaga kafe ternyata tak pernah tahu, bahkan tak seorang pengunjung pun tahu, bahwa ia keluar-masuk melalui jendela.
Semua pengunjung terkagum padanya, pada suara baritonnya, terlebih pada jemari-jemarinya yang lentik memetik gitar, dan kemampuannya bernyanyi sesuai suasana hati pengunjung. Ia laki-laki tampan, paruh baya, dengan gurat-gurat di dahinya yang tidak terlalu lebar, tapi juga tidak bisa dikatakan sempit. Gurat itu bukan jenis penuaan, lebih menarik karena mempunyai alur kisah tersendiri. Dan dari semua pengunjung, tak satu pun yang mengetahui, bahwa ia malaikat buta yang datang dari negeri langit bernama surga Eden, kecuali Binar yang senantiasa memikirkan tentang surge Eden.
Binar hanya menikmati resital gitar malaikat buta di beranda kafe. Ia tak mau memasukinya. Tak akan pernah mau. Ayahnya pernah berpesan, jangan pernah memasuki tempat-tempat seperti itu, apalagi buat anak perempuan seakan banyak kejahatan di sana seperti tipuan-tipuan iblis buat anak perempuan dengan cara licik dan halus. Bocah itu semakin teringat ayahnya apalagi pernah satu lagu kesukaan ayahnya terselip, dinyanyikan dengan sangat baik oleh malaikat buta. Ia sangat merasa bahagia. Mungkin iblis memang akan menipu bocah perempuan itu, karena ingatannya pada ayahnya.
“Kapan aku bisa bicara pada malaikat buta?” tanyanya pada ibu warung.
“Ibu, saya melihat malaikat turun bersayap biru bawa pesan dari ayahku.”
“Malaikat, turun, bersayap biru?” Ibu warung geleng-geleng kepala.
Anak yang ditemukannya di geladak kapal ini sudah lama menurutnya agak kurang waras. Perkataannya sering aneh, sejak ia sering teringat-ingat ayahnya.
Sebenarnya bocah perempuan itu merasa tidak tahu apakah surga, kecuali janji-janji makanan dan minuman enak, serta sungai yang jernih, yang sungguh segar bila berenang di dalamnya. Justru itu ia ingin bicara pada malaikat buta, ia ingin tahu segala tentang surga Eden; dan barangkali malaikat buta itu membawa pesan dari ayahnya.
Bocah perempuan itu memasuki kafe melewati pintu yang biasa dilewati para pengunjung masuk. Tak ada satu pun pengunjung yang memperhatikannya. Begitu pun pemilik dan penjaga kafe. Mungkin mereka tahu, tetapi mereka menganggap, mempertanyakan bocah perempuan dekil itu, sama saja membiarkan kejorokan bersemayam di kepala.
Ia mencium harum aroma kopi. Mungkinkah ini harum Taman Eden? Ia juga sangat hafal harum bunga kopi, saat musim berkembang. Dulu. Di tanah ayahnya berladang. Rumah ayah yang terakhir juga disemayamkan di ladang, bertaburan bunga kopi. Tapi kini ladang itu sudah menjadi milik orang lain. Bocah perempuan tidak tahu, ladang dan makam ayahnya telah ditumbuhi pohon sawit.
Ia duduk di lantai depan panggung. Tepat di hadapan malaikat buta yang sedang bernyanyi.
“Hai, malaikat buta, apa kau utusan langit? Kau mengembara sambil bawa gitar dan pesan-pesan dari surga dari ayah?” Tak ada yang menjawab pertanyaan itu, bahkan malaikat buta. Binar tidak peduli, masih duduk di sana, menunggu jawaban. Ia setia menunggu, sama sekali tak merasa lelah tanpa sapaan, tanpa perhatian malaikat buta yang sangat dipujanya. Bocah perempuan sudah merasakan, betapa bahagia hanya duduk di hadapan malaikat buta, mendengar suaranya dari jarak dekat, dan melihat jemarinya yang lentik, seakan segala keindahan Taman Eden telah hadir di kafe itu.
Ketika malaikat buta telah selesai dengan lagu terakhirnya, bocah perempuan itu berdiri, mengulurkan tangan kecilnya pada jemari lentik yang kini bebas. Tetapi malaikat buta melenggang turun panggung dan begitu cepat melesat dengan bayangan biru, keluar melalui jendela seperti biasanya.
Binar mengejarnya. Tapi di luar ia tidak menemukan siapa-siapa. Tak sekejap sayap yang terbang di langit menjelang pagi dapat tertangkap oleh sepasang matanya. Bocah perempuan itu masih berdiri di belakang pagar, menatap langit. Ada satpam di dekatnya, ia merasa satpam itu melihatnya, tapi ternyata sama sekali satpam itu pun tak menyapanya.
Bocah perempuan masih berdiri di halaman kafe. Ia mengambil tasbihnya yang sejenak tadi terlupa ketika ia duduk di panggung di hadapan malaikat buta. Ditatapnya lekat-lekat tasbih itu, yang didapatnya ketika melangsungkan yasinan 100 hari kepergian ayah. Ia menggerakkan tangannya sekuat tenaga, melempar tasbih itu ke taman kafe. Terdengar bunyi “plung” yang memecah keheningan sebelum azan subuh. Tampaknya tasbih itu jatuh tepat di kolam.
Betapa bodohnya aku memikirkan surga Eden, pikirnya. Apakah tidak mungkin ayah bohong. Tapi bukankah ayah berkata sesuai dengan kitab suci? Dan ia juga pernah membacanya sendiri. Ayah, entah ke mana ayah pergi setelah tiada. Ke mana malaikat buta itu, yang mungkin juga hanya seorang pengamen pengembara yang sedang menghibur dirinya sendiri. Tak ada pesan dari surga Eden. Mungkin sebenarnya tak ada pertemuan dengan ayah nanti. Lalu bagaimana, ia rindu pada ayahnya? Juga malaikat buta, sang pengembara itu yang telah membuat hatinya begitu bahagia seperti bertemu ayahnya. Kini keduanya tak akan ditemukannya lagi.
Sejak itu, Binar tak pernah lagi datang ke kafe. Ia pergi dari ibu angkatnya, menggelandang, bernyanyi, menjajakan lagu-lagu yang pernah ia dengar dari suara baritone yang merdu milik malaikat buta. Pada awalnya masih saja langkahnya pada setiap malam, melewati kafe itu, selalu menoleh beberapa saat, dan menunduk berkaca-kaca. Tapi kemudian, ia memilih pergi tertelan malam, tak pernah kembali.
Kelak kau melihatnya menjadi salah satu bunga di jalanan, yang selalu berlari-lari setiap ada petugas-petugas negara yang gagah berpatroli. Bocah perempuan itu sebenarnya tidak peduli, jika tertangkap sekalipun. Baginya siang dan malam sudah tak ada bedanya, apalagi tanah yang ia pijak masih juga bernama dunia, di mana tak ada lagi ayah, malaikat buta, surga Eden dan harapan bertemu kembali. Menyanyi..menyanyi..dan menyanyi saja ia, semua lagu yang pernah ia dengar dari malaikat buta, dan tidak tahu untuk apa. Bahkan ia masih juga bergumam, ketika tangan-tangan kekar, kasar mengangkut tubuhnya ke mobil patroli, sementara teman-temannya melawan, berteriak, dan menangis.
***
Begitulah tukang dongeng itu mengakhiri kisahnya dengan pelahan diiringi suara kecapi yang dimainkannya sendiri di kafe. Pengunjung bertepuk tangan. Hiburan berupa dongeng yang menyenangkan, jeda obrolan obrolan tentang politik, anggaran, dan kemiskinan.
Depok-Menteng, Mei 2011
Lampung Post, Minggu, 9 Februari 2014
SINAR biru melesat saat malaikat buta keluar jendela kafe. Hanya seorang bocah perempuan yang melihatnya.
Sejak beberapa jam yang lalu sang bocah duduk saja di beranda kafe dengan pandangan takjub ke arah panggung kecil di pojok dalam kafe. Ia melihat melalui jendela kaca yang sangat transparan sambil tangannya tak henti-henti menghitung tasbih menyebut nama-nama Tuhan di mana pun ia berada. Ia diajarkan ayahnya sejak kanak-kanak, kalimat-kalimat doa yang panjang, nama-nama Tuhan, dan selawat nabi-nabi dan rasul agar dapat masuk salah satu surga.
Tapi sejak ayahnya tiada, cita-cita hidupnya hanya ingin menyusul ayahnya. Dan ia sangat percaya ayah berada di surga Eden yang tamannya indah, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai dengan mata air yang sangat jernih, penuh buah-buah apa pun, dan pelayan-pelayan cantik bernama bidadari.
“Jika aku bisa menyusul ayah? Apakah akan cemburu pada bidadari-bidadari?”
“Hussh!! Teriak ibu warung yang pernah menemukannya menangis tanpa orang dewasa satu pun yang bertanggung jawab padanya di geladak kapal Pelabuhan Bakauheni. Saat itu bocah perempuan itu berumur 4 tahun dan mengaku bernama Binar.
Suatu ketika, ia melihat ada yang tidak biasa, saat sedang berjalan pulang ke rumah ibu angkatnya yang terletak persis di belakang tembok kafe, setelah ia menyelesaikan rutinitas pekerjaannya menjaga warung. Malam Sabtu di atas pukul 22.00, sesosok tubuh dengan cahaya kebiruan bergerak masuk dan keluar pada pukul 03.00 dini hari, melewati jendela. Seperti mimpi dalam tidur sang bocah perempuan, tapi ia yakin tidak bermimpi, karena sedang terjaga di warung rokok ibu angkatnya. Cahaya kebiruan itu selalu melewati jendela. Kemudian ia duduk di kursi yang disediakan di atas panggung kecil, sambil memangku gitar yang sebelumnya juga sudah disediakan. Penjaga kafe ternyata tak pernah tahu, bahkan tak seorang pengunjung pun tahu, bahwa ia keluar-masuk melalui jendela.
Semua pengunjung terkagum padanya, pada suara baritonnya, terlebih pada jemari-jemarinya yang lentik memetik gitar, dan kemampuannya bernyanyi sesuai suasana hati pengunjung. Ia laki-laki tampan, paruh baya, dengan gurat-gurat di dahinya yang tidak terlalu lebar, tapi juga tidak bisa dikatakan sempit. Gurat itu bukan jenis penuaan, lebih menarik karena mempunyai alur kisah tersendiri. Dan dari semua pengunjung, tak satu pun yang mengetahui, bahwa ia malaikat buta yang datang dari negeri langit bernama surga Eden, kecuali Binar yang senantiasa memikirkan tentang surge Eden.
Binar hanya menikmati resital gitar malaikat buta di beranda kafe. Ia tak mau memasukinya. Tak akan pernah mau. Ayahnya pernah berpesan, jangan pernah memasuki tempat-tempat seperti itu, apalagi buat anak perempuan seakan banyak kejahatan di sana seperti tipuan-tipuan iblis buat anak perempuan dengan cara licik dan halus. Bocah itu semakin teringat ayahnya apalagi pernah satu lagu kesukaan ayahnya terselip, dinyanyikan dengan sangat baik oleh malaikat buta. Ia sangat merasa bahagia. Mungkin iblis memang akan menipu bocah perempuan itu, karena ingatannya pada ayahnya.
“Kapan aku bisa bicara pada malaikat buta?” tanyanya pada ibu warung.
“Ibu, saya melihat malaikat turun bersayap biru bawa pesan dari ayahku.”
“Malaikat, turun, bersayap biru?” Ibu warung geleng-geleng kepala.
Anak yang ditemukannya di geladak kapal ini sudah lama menurutnya agak kurang waras. Perkataannya sering aneh, sejak ia sering teringat-ingat ayahnya.
Sebenarnya bocah perempuan itu merasa tidak tahu apakah surga, kecuali janji-janji makanan dan minuman enak, serta sungai yang jernih, yang sungguh segar bila berenang di dalamnya. Justru itu ia ingin bicara pada malaikat buta, ia ingin tahu segala tentang surga Eden; dan barangkali malaikat buta itu membawa pesan dari ayahnya.
Bocah perempuan itu memasuki kafe melewati pintu yang biasa dilewati para pengunjung masuk. Tak ada satu pun pengunjung yang memperhatikannya. Begitu pun pemilik dan penjaga kafe. Mungkin mereka tahu, tetapi mereka menganggap, mempertanyakan bocah perempuan dekil itu, sama saja membiarkan kejorokan bersemayam di kepala.
Ia mencium harum aroma kopi. Mungkinkah ini harum Taman Eden? Ia juga sangat hafal harum bunga kopi, saat musim berkembang. Dulu. Di tanah ayahnya berladang. Rumah ayah yang terakhir juga disemayamkan di ladang, bertaburan bunga kopi. Tapi kini ladang itu sudah menjadi milik orang lain. Bocah perempuan tidak tahu, ladang dan makam ayahnya telah ditumbuhi pohon sawit.
Ia duduk di lantai depan panggung. Tepat di hadapan malaikat buta yang sedang bernyanyi.
“Hai, malaikat buta, apa kau utusan langit? Kau mengembara sambil bawa gitar dan pesan-pesan dari surga dari ayah?” Tak ada yang menjawab pertanyaan itu, bahkan malaikat buta. Binar tidak peduli, masih duduk di sana, menunggu jawaban. Ia setia menunggu, sama sekali tak merasa lelah tanpa sapaan, tanpa perhatian malaikat buta yang sangat dipujanya. Bocah perempuan sudah merasakan, betapa bahagia hanya duduk di hadapan malaikat buta, mendengar suaranya dari jarak dekat, dan melihat jemarinya yang lentik, seakan segala keindahan Taman Eden telah hadir di kafe itu.
Ketika malaikat buta telah selesai dengan lagu terakhirnya, bocah perempuan itu berdiri, mengulurkan tangan kecilnya pada jemari lentik yang kini bebas. Tetapi malaikat buta melenggang turun panggung dan begitu cepat melesat dengan bayangan biru, keluar melalui jendela seperti biasanya.
Binar mengejarnya. Tapi di luar ia tidak menemukan siapa-siapa. Tak sekejap sayap yang terbang di langit menjelang pagi dapat tertangkap oleh sepasang matanya. Bocah perempuan itu masih berdiri di belakang pagar, menatap langit. Ada satpam di dekatnya, ia merasa satpam itu melihatnya, tapi ternyata sama sekali satpam itu pun tak menyapanya.
Bocah perempuan masih berdiri di halaman kafe. Ia mengambil tasbihnya yang sejenak tadi terlupa ketika ia duduk di panggung di hadapan malaikat buta. Ditatapnya lekat-lekat tasbih itu, yang didapatnya ketika melangsungkan yasinan 100 hari kepergian ayah. Ia menggerakkan tangannya sekuat tenaga, melempar tasbih itu ke taman kafe. Terdengar bunyi “plung” yang memecah keheningan sebelum azan subuh. Tampaknya tasbih itu jatuh tepat di kolam.
Betapa bodohnya aku memikirkan surga Eden, pikirnya. Apakah tidak mungkin ayah bohong. Tapi bukankah ayah berkata sesuai dengan kitab suci? Dan ia juga pernah membacanya sendiri. Ayah, entah ke mana ayah pergi setelah tiada. Ke mana malaikat buta itu, yang mungkin juga hanya seorang pengamen pengembara yang sedang menghibur dirinya sendiri. Tak ada pesan dari surga Eden. Mungkin sebenarnya tak ada pertemuan dengan ayah nanti. Lalu bagaimana, ia rindu pada ayahnya? Juga malaikat buta, sang pengembara itu yang telah membuat hatinya begitu bahagia seperti bertemu ayahnya. Kini keduanya tak akan ditemukannya lagi.
Sejak itu, Binar tak pernah lagi datang ke kafe. Ia pergi dari ibu angkatnya, menggelandang, bernyanyi, menjajakan lagu-lagu yang pernah ia dengar dari suara baritone yang merdu milik malaikat buta. Pada awalnya masih saja langkahnya pada setiap malam, melewati kafe itu, selalu menoleh beberapa saat, dan menunduk berkaca-kaca. Tapi kemudian, ia memilih pergi tertelan malam, tak pernah kembali.
Kelak kau melihatnya menjadi salah satu bunga di jalanan, yang selalu berlari-lari setiap ada petugas-petugas negara yang gagah berpatroli. Bocah perempuan itu sebenarnya tidak peduli, jika tertangkap sekalipun. Baginya siang dan malam sudah tak ada bedanya, apalagi tanah yang ia pijak masih juga bernama dunia, di mana tak ada lagi ayah, malaikat buta, surga Eden dan harapan bertemu kembali. Menyanyi..menyanyi..dan menyanyi saja ia, semua lagu yang pernah ia dengar dari malaikat buta, dan tidak tahu untuk apa. Bahkan ia masih juga bergumam, ketika tangan-tangan kekar, kasar mengangkut tubuhnya ke mobil patroli, sementara teman-temannya melawan, berteriak, dan menangis.
***
Begitulah tukang dongeng itu mengakhiri kisahnya dengan pelahan diiringi suara kecapi yang dimainkannya sendiri di kafe. Pengunjung bertepuk tangan. Hiburan berupa dongeng yang menyenangkan, jeda obrolan obrolan tentang politik, anggaran, dan kemiskinan.
Depok-Menteng, Mei 2011
Lampung Post, Minggu, 9 Februari 2014
No comments:
Post a Comment