Sunday, February 23, 2014

Kembang Api di Stasiun Kereta

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko



Di kota yang tidak pernah mengubur masa lalu,
kami tidak memerlukan panggung.
Hanya satu-dua cahaya lampion, percik kembang api, lalu, malam.


MALAM ini malam Bonfire di Lancaster. Rencananya, kembang api akan diluncurkan dari menara-menara kastil. Rencananya pula, Lati akan ikut menyaksikan pesta kembang api itu bersama teman-temannya dari lapangan Giant-Axe. Tapi malam kemarin, Lati menerima pesan itu. Dan pesan itu, tentu saja, mengubah rencananya.

Lati tiba di depan pintu stasiun lima menit sebelum waktu kedatangan kereta yang ia tunggu. Ia mengibaskan air dari payungnya, melipatnya rapi dan mengalungkan tali payung ke lengannya. Di layar kedatangan yang ditempel di dinding di atas mesin tiket, ia membaca: Arrivals Time: 18.13, Origin: Manchester Airport, Plat: 3, Expected: On time.

Lati melangkah menuju pintu bertuliskan ‘To the Trains’, mengikuti arah tanda panah ke peron 3, melalui lorong jembatan yang berada di atas rel kereta dan kemudian menuruni tangga. //Keep Left.//

Lati berdiri mematung di tepi peron. Ia merasa gugup. Pandangannya berpindah-pindah dari papan pengumuman elektrik yang digantung di langit-langit peron ke pekat malam, ke arah kedatangan kereta. Dua menit lagi. Lati merasai pipinya memanas. Ia merapikan kerudung putih yang menutupi kepalanya. Kereta akan tiba kapan saja. Mungkin sekarang. Dan Steen akan melihatnya berdiri di sini, menunggunya. Ah, sungguh memalukan, pikir Lati. Ia bergegas pergi, menuju Passenger Lounge and Buffet, dan lekas menutup pintu kaca di belakangnya. Kereta belum datang. Lati menghembuskan napas lega. Ia tidak ingin Steen berpikir kalau ia tidak sabar untuk bertemu dengannya. Nanti saja, pikir Lati, ketika kereta sudah datang dan penumpang sudah turun, ia akan keluar dari ruang ini. Ia ingin melihat wajah Steen mencari-cari dirinya dan bukan sebaliknya.

Apakah Steen tetap sama? Apakah rambut cokelatnya yang halus dan bergelombang itu masih gondrong, hingga menyentuh bahunya? Masihkah ia memandang dengan sorot mata yang lembut dan berbicara tenang, dengan menyuarakan huruf “r” seperti mengeram dan menyisipkan puluhan kata “ja ... ja .. ja” di setiap percakapan?

Tiga tahun, dua bulan, dan satu hari. Selama itu mereka tak jumpa. Terakhir kali, mereka berpisah di stasiun kereta Maastricht Centraal. Saat itu, ia yang berada di kereta dan Steen berdiri mematung di peron. Saat itu, kereta bergerak pergi dan bukan datang untuk berhenti. Saat itu ia meninggalkan Steen dan bukan ingin menemuinya kembali, seperti saat ini. Tapi, bukankah ia masih memiliki waktu untuk pergi? Sebelum kereta tiba dan Steen turun, lalu menemukan ia berdiri di sini?

Di luar ruang tunggu, deru kereta terdengar mendekat. Ujung lokomotif yang serupa peluru bergerak cepat menarik gerbong-gerbong merah-perak. Kereta telah tiba. Apakah sebaiknya ia bersembunyi? Ia masih memiliki waktu untuk keluar dari pintu samping ruang tunggu. Ia masih bisa pergi menuju lapangan Giant-Axe, menemui teman-temannya dan  melihat pesta kembang api, seperti yang telah ia rencanakan sebelumnya.

Lati merasakan debar jantungnya menguat, napasnya sesak. Sudah sejauh ini ia berjalan, sudah selama ini ia menjauh dari Steen. Tapi mengapa sekarang ia berada di stasiun ini, menunggu Steen? Terlebih lagi, mengapa ia kembali ke kota kecil ini? Kota tempat ia pertama kali bertemu Steen, mengenalnya dan lalu, tanpa ia duga, jatuh cinta padanya. Sedemikian banyak kota di dunia ini untuk dijadikan tempat belajar, mengapa ia memilih kembali ke Lancaster? Mengapa memilih melanjutkan studinya di kota tua yang sunyi, di kota yang tiga tahun lalu, ia menjalani kuliah masternya bersama-sama Steen?

Beberapa orang keluar dari ruang tunggu. Sebagian dari mereka menaiki kereta, sementara yang lain menemui orang-orang yang telah mereka nantikan kedatangannya. Mereka berpelukan, tertawa, dan pergi bersama-sama menuju pintu keluar. Penumpang yang ramai turun terlihat menyeret koper-koper mereka, menenteng bawaan atau melenggang keluar stasiun. Peluit berbunyi nyaring, dan Lati tetap berdiri di ruang tunggu, di dekat pintu kaca, ragu untuk membukanya.

Tiga tahun, dua bulan, dan satu hari. Siapkah ia untuk menemui Steen lagi?

Kereta menderu pergi. Hujan telah reda. Hampir semua penumpang yang turun telah meninggalkan stasiun. Hanya satu-dua orang masih tersisa di peron, menghubungi penjemput yang belum datang melalui telepon genggam mereka.

"Where art thou?”

Tapi Lati tidak melihat Steen. Lati berdiri bingung di tepi peron. Steen tidak ada. Ia tidak datang. Apakah pesan yang ia dapat dari Maaike sekadar lelucon belaka? Maaike tidak mungkin berbuat demikian. Maaike adalah sahabat baiknya, dan Maaike telah lebih dahulu bersahabat dengan Steen.

“Steen tersiksa olehmu, Lati. Betapa teganya kamu. Tidak pernah mau mengangkat Skypenya, teleponnya, tidak pernah membalas surelnya, bahkan menghapusnya dari Facebook-mu. Dia bilang, ia merindukan kamu.”

Apakah Maaike tahu, betapa tersiksanya dirinya sendiri melakukan semua itu?

Lati tersenyum pahit. Dan ternyata Steen tidak ada di sini. Steen tidak datang. Tidak seperti ia, dulu. Ia yang memutuskan untuk menyelesaikan semuanya, berhadapan muka dan berbicara jujur. Ia yang ingin memastikan akhir kisah mereka, sebelum kepulangannya ke Tanah Air. Saat itu, Steen telah lebih dulu menyelesaikan tugas akhirnya di Lancaster University dan kembali ke Maastricht. Lati memutuskan untuk menyusul Steen. Ia telah berangkat dari stasiun ini, menuju Manchester Airport, terbang ke Schipol lalu mengendara kereta ke ujung selatan Belanda, ke Maastricht, untuk menemui Steen dan bertanya padanya, “Apakah ada kemungkinan, sekecil apa pun itu, untuk kamu percaya?” Tapi nyatanya, tidak ada ruang untuk mereka bisa bersama. Tidak ada. Dan mereka menangis malam itu, sampai kering air mata dan serak suara.

Apa setelah semua pintu tertutup sedemikian rupa, sekarang Steen mau menempuh perjalanan yang telah ia lalui? Maukah Steen bertolak dari Maastricht Centraal menuju Schipol, lalu terbang ke Manchester Airport dan kemudian mengendara kereta ke ujung utara Inggris, ke Lancaster, untuk menemuinya?

Lati mengetuk-ketuk kepalanya beberapa kali. Betapa bodohnya aku, pikirnya. Tentu Steen tidak akan datang. Untuk apa? Bukankah semua sudah usai—tiga tahun, dua bulan, dan satu hari yang lalu? Tetapi, jika benar semua telah usai, lalu mengapa ia sekarang menangis? Mengapa air mata bergulir tanpa mampu ia tahan, dan mengapa hatinya lara, mencari-cari dia?

“Where art thou?”

Kalaupun ini sebuah lelucon, ini sungguh lelucon yang tidak lucu, Lati mendengus. Ia akan marah besar kepada Maaike. Betapa teganya! Lati mengusap air matanya. Ia menarik napas dalam, mengeluarkan teleponnya dan membuka surat elektronik yang malam tadi ia terima dari Maaike.

Steen akan ke Lancaster besok. Ia akan tiba pukul 18.13 di stasiun kereta. Dia bilang, dia sangat berharap kamu mau datang menemuinya.

Sungguh tidak lucu, batin Lati. Betapa tega Maaike mempermainkannya.

Di saat Lati menduga-duga seperti itu, pengumuman dari pengeras suara terdengar memecah sepi: kereta dari Manchester Airport dengan tujuan Glasgow Central tertahan di Preston karena kerusakan mesin. Petugas yang berbicara di pengeras suara memohon maaf atas ketidaknyaman yang terjadi. Lati gegas mendongak ke arah layar keberangkatan. Time: 18.14, Destination: Glasgow Central, Expected: 18.52.

Ternyata kereta yang tadi datang bukanlah kereta yang ia tunggu. Kereta yang membawa Steen akan tiba dua puluh menit lagi.

Lati kembali masuk ke ruang tunggu, menuju bufet dan memesan satu cangkir teh. Ia mengambil dua batang cokelat yang diletak di samping tempat majalah. Ketika Lati kembali duduk di ruang tunggu, dari layar kedatangan ia tahu bahwa waktu penantiannya kembali memanjang: Departures Time: 18.14, Destination: Glasgow Central, Plat: 3, Expected: 19.14. Kereta akan terlambat selama satu jam. Tidak biasanya hal seperti ini terjadi, pikir Lati. Apakah ini sebuah pertanda? Apa Tuhan memberi kesempatan padanya untuk pergi dan membatalkan pertemuannya dengan Steen?

Lati menghabiskan teh di cangkir kertas yang sedari tadi ia genggam dengan kedua tangannya. Ia menuju bufet dan membuang cangkir ke tempat sampah. Lebih baik ia pergi saat ini juga, tekadnya. Untuk apa bertemu lagi?

Kisah mereka hanyalah sebuah kesalahan.

Lati membuka pintu ruang tunggu, menutupnya perlahan-lahan dan kembali berdiri mematung di peron, di bawah papan pengumuman elektrik. Di belakangnya, pintu menuju keluar seolah menunggu. Way Out. Itukah jalan keluar yang terbaik baginya? Namun, mengapa kakinya terasa berat untuk melangkah menuju pintu itu? Mengapa hatinya terus mengharap keajaiban terjadi untuk Steen dan ia?

Alih-alih meninggalkan stasiun, Lati malah melangkah ke sudut jauh peron 3, menuju Purple Zone, tempat quiet coach biasanya berhenti. Lati teringat, Steen selalu memilih duduk di quiet coach, selalu begitu di setiap perjalanan mereka. Berapa banyak sudut kota dan situs bersejarah di Inggris yang telah mereka jelajahi berdua? Berapa banyak kanal, danau dan pegunungan, gedung-gedung dan istana? Selama ini Lati tidak pernah menghitung-hitung, dan sekarang, kenangan-kenangan itu seolah datang bersamaan, membanjiri benaknya, menyesaki hatinya.

Di bangku besi merah-perak, di sudut Purple Zone itu, Lati duduk mematung. Kerumunan orang berduyun-duyun melaluinya, beberapa dari mereka membawa lampion kertas dan tongkat bersinar. Anak-anak mengenakan bando, gelang, dan kalung bercahaya warna-warni, berjalan setengah meloncat dan terlihat penuh semangat. Mereka keluar dari stasiun melalui pagar besi, menuju jalan setapak ke arah lapangan Giant-Axe. Lati mendengar sayup genderang ditabuh.

Di depannya, menara kastil mengintip dari celah gelap dedaunan Birch yang berayun-ayun diusik angin. Lati termenung, berapa banyak pertemuan dan perpisahaan yang telah disaksikan oleh menara itu? Bagi menara yang dibangun di abad pertengahan, dan stasiun yang berdiri sejak tahun 1900 ini, tentu cerita cinta seperti yang ia alami bukanlah hal yang baru. Tentu sudah ribuan orang berdiri di peron ini dan mengalami hal yang sama dengannya, sejak lebih seratus tahun yang lalu. Lati memandang ke arah menara, kemudian ke sekeliling peron. Lati tersenyum, dan entah mengapa, ia merasa pipinya menghangat.

Dari balik menara, kembang api diluncurkan, jejak asapnya membelah pekat malam, membubung tinggi dan kemudian memecah-mecah, menciptakan bunga-bunga warna-warni di langit Lancaster. Layar pengumuman elektrik yang digantung di langit-langit peron mengedip dan menampakkan tulisan: Time: 18.14, Destination: Glasgow Central, Expected: Delayed.

Melalui pengeras suara, di sela-sela ledakan kembang api, petugas stasiun kembali menyampaikan permohonan maaf. n

Lancaster, November 2013


Lampung Post, Minggu, 23 Februari 2014

No comments:

Post a Comment