Cerpen F. Moses
SIANG cerlang berpemandangan sepi, ditambah beberapa perempuan dan lelaki, anak delapan tahun itu kembali bergegas keluar rumah untuk melihat langit di hamparan cakrawala. Kala gambar belum terselesaikan. Kala separuh gumpalan awan itu masih diwarnainya cergas dengan pensil hitam.
Kini gambar itu hampir selesai, tetapi aneka peralatan warnanya keburu habis. Maklum, tak hanya ke dalam buku gambar, tetapi juga ruas-ruas dinding di dalam rumah. Hampir semuanya menjadi gambar entah berpenuh warna. Meski demikian, kapan waktu apabila ia mau memajangnya, beberapa gambar yang hampir selesai itu tampak siap untuk dipajang.
Pernah aku bilang padanya agar segera dijadikan hiasan dinding saja biar lebih pantas, tapi ia berkeras melarang karena masih dianggapnya belum selesai. Ya, belum, karena masih diperlukannya tampak gambar matahari yang menangis, air hujan berwarna merah, sungai cokelat keruh, sumur tanpa air, pohon-pohon tanpa daun, dan sebuah gunung yang seolah siap meletus kapan waktu, serta perkelahian antarkelompok, katanya suntuk.
Sejak kejadian aneh menyergap kampung ini, saat penduduk mulai kelimpungan kebingungan, dan anak-anak dalam pengawasan para orang tua yang begitu ketat ketakutan, anak itu tetap tampak bersahaja, hampir separuh hari diisinya dengan menggambar. Hal itu dilakukannya sekuat tenaga, tiada takut waktu lain tersita. Menggambar dan menggambar.
Ia selalu sibuk menggambar, seperti penuh pengembaraan jauh ke dalam angan-anganya. Seperti hujan yang meresapkan air bagi pepohonan untuk mengantarnya ke mana celah-celah akar itu berada. Sering kedua orang tuanya resah, mengapa ia tak berhenti barang beberapa waktu dari aktivitas itu. Sering ditakutinya pula, khawatir kalau ia menderita kelainan. Seperti gila, misalnya. Betapa gawat dan menakutkan menjadi si gila yang tak pernah bisa sembuh. Paling kurang berterima, mereka kerap kesulitan menangkap maksud dari gambar-gambarnya. Seperti tampak tak mengartikan apa-apa. Kecuali berbekas jadi bayangan ketakutan saja.
Untuk kesekian-kalinya, tiap kali pula orang tuanya mesti dipaksa mengomentari warna paling cocok ke dalam gambar-gambarnya.
”Kuning, hijau, ungu, cokelat, atau, ah, terserahmu, Nak.”
”Apa dong paling cocok, Mah?” Katanya merengek.
”Iya apa, Mamah tak tahu.”
”Hitam, betul, kan?” katanya memungkas yakin.
”Loh, kok!”
Mamah tak menyahut. Kecuali menaikkan kedua alisnya. Tampak dahinya mengernyit. Setelahnya mengusap dada. Tampak telapaknya yang halus. Seketika lemas tak habis pikir, menyaksikan sang buah hati menggambar sesuka hati.
Mamah paling takut dengan warna hitam. Masih membekas beberapa tahun lalu, setelah ia menggambar dengan hitam, tak lama berselang, mala pun datang—sebelum akhirnya semua orang mesti mengungsi dengan batin terpaksa. Lantaran perang antarkampung tak bisa dihindari. Juga lantaran banjir pernah menyergap beberapa kampung di sini. Membuat banyak orang memaksa menangisi takdir hidupnya. Memaksa semua manusia bahwa kesembuhan adalah air mata yang saban waktu mesti diteteskan. Semoga bukan lantaran sugesti belaka. Ah, tetapi mengapa hitam ke dalam gambar yang selalu ia pilih.
Ia memang lebih memilih menghibur diri dengan menggambar kala liburan begini, menyempatkan waktu kala tugas-tugas sekolah mulai membosankan. Apalagi ekstrakurikuler yang seperti dipaksakan. Papah menyuruh agar meluangkan waktu sambil membaca, Mamah berpesan untuk bermain saja dengan teman-teman sekampung di dekat rumah, tapi ia lebih memilih menggambar. Ia merasa lebih lepas berekspresi, itu saja. Serasa lebih menyatu dengan warna kesukaannya. Mendaging dari segala ia ciptakan. Selain juga berdarah dan berkeringat atas pesona gambar yang ia buat.
Aku masih tak tahu mengapa ia sedemikian menyukai hitam. Menggambar sawah dan langit yang semestinya hijau dan biru, justru dipilihnya hitam. Pegunungan dengan segala ngarai lembahnya pun hitam. Perbukitan dan segala tubirnya juga hitam. Lalu laut dengan segenap pulau serta pantainya pun hitam. Semoga bukan karena selalu kuceritakan kepadanya, betapa kedatangan mala kadang seperti hantu dalam gelap. Namun, tak kuhubung-hubungkan antara keduanya itu dan hitam. Dan di sini, saat para penduduk begitu ketakutan atas keakraban bencana yang akhir-akhir ini kerap hadir, ia justru bernafsu menggambar. Riang bersahaja membawa imajinasinya ke luar dari lingkaran ketakutan, menerbangkannya cerdik leluasa. Semoga juga hitam tak selalu dekat pada kehirapan kehidupan ini.
”Aku hanya meniru, Pah.”
”Ya sudah, teruskanlah, Nak. Yang kau lakukan dan pilih, itulah warnamu. Dan yang kau lakukan serta bagimu hobi, itulah pekerjaanmu. Tapi jangan pernah melupakan belajar!”
Memang, selain alam yang diwarnainya hitam, anak itu juga mewarnai jalan raya dan segenap ruas-ruasnya, plaza, permukiman, sekolah, hingga etalase-etalase pertokoan yang tertampak rapi di sepanjang jalanan dengan warna yang sama.
“Bila perlu, sebagian orang-orangnya juga berwarna sama, Pah,” kata si anak sambil menggigit ujung pensil.
Papah tampak menerawang pada bulan dan malam berpenuh bintang. Entah apa dipikirnya. Sebatang dua batang, berlanjut tiga dan empat batang diisapnya. Kepulan tampak membubung tak berhenti dari bibirnya
***
Sepanjang hari Papah dan Mamahnya memang kerap menyaksikan ulah gambaran anaknya itu. Mamah semakin panik. Ia berharap kepada suaminya untuk bersepakat membawa anaknya ke dokter spesialis psikiater anak. Lantaran kesehariannya tak kunjung berubah. Apa-apa segala sesuatunya menggambar dengan satu warna saja, yakni hitam. Tapi Papah dengan tenang hanya mempertanyakan saja niatan istrinya itu.
”Untuk apa?”
”Loh, Papah ini bagaimana, sama sekali tak panik melihat anaknya yang saban hari cuma menggambar dan menggambar. Kapan waktu dia buat belajar,” kata Mamah sambil merengut.
”Kan masih liburan. Memang menggambar bukan belajar?”
”Ya memang. Tapi kan, juga mesti belajar yang lainnya. Atau paling tidak melakukan aktivitas lain juga, kek. Apalagi setiap menggambar selalu diwarnainya hitam. Menakutkan. Seperti tiada warna lain. Lagi pula monoton juga jadinya. Anak-anak, kok, sukanya warna hitam! Perasaan keturunan dari masing-masing kita juga enggak ada yang sedemikian fanatik dengan warna hitam.”
”Hei, sampai hari ini aku juga suka hitam, Mah. Hitam rambutmu yang pertama kali membuatku jatuh cinta kepadamu. Lagi pula, masak Mamah tak tahu, sejak kecil anak kita juga memang sudah suka dengan hitam, kan? Ingat enggak saat ia berumur empat tahun pernah polos bilang kalau Tuhan itu cuma ada di waktu malam saat langit mulai hitam. Terus katanya, pada waktu itulah rumah Tuhan baru terlihat; yakni di dalam bulan.”
”Oh..yayaya, terus kata anak kita bilang bahwa rumahnya Tuhan di bulan ya, Pah. hahaha. Ya, aku ingat betul. Lucu ya, Pah, anak kita itu,” Mamah tertawa.
”Iya, Mah. Iya.”
”Lo, kok, Papah sepertinya malah senang? Tapi, kan, tak berlaku saat usianya mau masuk sepuluh tahun begini. Bagimana kamu ini, Pah. Makanya jangan cuma keasyikan kerja!” kata Mamah bernada ketus.
Mamah langsung sontak tegap bersedekap. Wajahnya berpaling. Bergegas memilih tak melanjutkan topik pembicaraan. Kecuali mendekat ke anaknya yang sedang sibuk menggambar. Lagi-lagi hitam, lirihnya membatin.
***
Kesabaran Mamah memuncak. Terlalu banyak diingatnya segala hal buruk mengenai warna hitam. Mamah masih tak pernah tahu alasan sebenarnya mengapa ia senantiasa menggemari warna itu. Alasan dari dokter pun, menyoal warna kesukaan bagi tiap anak, tentulah berbeda. Meski kecenderungan bagi anak selalu memilih warna yang beraneka ragam.
Meski pun tunggal, setidaknya warna cerah yang kerap dipilih. Meskipun tdak, setidaknya bertahan beberapa hari saja, karena anak-anak juga tak bisa lepas dari kecenderungannya merasakan bosan. Terlebih aktivitasnya, beraneka ragam pula. Tak mesti melulu menggambar.
Meski sebenarnya dirasa tak sabar, Mamah tetap mengikuti petunjuk dokter supaya tetap kembali melakukan pendekatan terbaik kepada anaknya. Sabar adalah obat terbaik, katanya membatin. Maka, selain mengamatinya dari jauh, Mamah mulai kembali untuk tampil di sampingnya. Meski akhirnya keluar juga komentar spontannya. Selain si anak juga spontan mengomentari gambar bagi dirinya sendiri kepada Mamah.
”Ya jangan selalu hitam dong, Nak. Masak seperti enggak ada warna lainnya saja..”
”Enggak ada warna lain, Mah. Oh ya, Mah, lihat nih adek ngegambar seorang perempuan mulai jelas, kan?"
Mamah menggeser tubuhnya. Mendekat sembari merangkulnya. Sesekali mengusap kepala anaknya.
”Tuh, Mah,” kata si anak semangat memperlihatkan selembar kertas pada buku gambarnya. ”Lihat matanya, giginya yang sedang tersenyum, telinganya, dahinya, pipinya, bibirnya, badannya, tangan serta kakinya, adek bubuhkan dengan warna hitam. Bagus, kan?” Si anak semangat menambahkan.
”Cobalah dengan pilihan warna lain, Nak,” kata Mamah sambil menarik napas.
”Enggak, Mah. Warna adek suka cuma satu, hitam. Kecuali baju dan celana yang setiap hari adek pake.”
”Iya...tapi apa indahnya warna hitam itu. Gambar adek yang banyak itu, masak diwarnainya hitam terus. Sampai semuanya serbahitam. Lalu apa indahnya, Mamah pusing tak habis pikir!” kata mamah bernada meninggi. Kesabarannya masih ditahan sekuat tenaga. Mesti bersabar dan sabar. Tidak ada kata lain selain sabar, lirihnya dalam hati.
***
Sepulang Papah dari kantor, di ruang keluarga, istri dan anaknya masih tampak seperti memperdebatkan sesuatu. Lagi dan lagi adalah menyoal warna hitam. Seperti tak ada persoalan lain saja untuk dibahas. Papah bergeming saja, di balik pintu yang sudah setengah terbuka. Membiarkan mereka bercakap.
”Pokoknya Mamah sedih. Titik. Mamah tak mau lagi adek menjadi penyuka hitam, hitam dan hitam!” Kata Mamah yang kesabarannya seperti mulai meredup.
”Tapi adek maunya cuma dengan warna hitam saja, Mah, Terus...”
”Enggak ada tapi-tapian, Nak. Ayolah bekerja sama, jangan bikin kepala Mamahmu ini sakit. Kamu menggambar segalanya dengan hitam. Segala alasan adek juga tak jelas. Pokoknya adek jangan lagi menggambar dengan hitam. Kalau masih, maaf, Mamah terpaksa membuang saja pewarna yang kamu gunakan itu!” Mamah menyergah.
Setelah memotong pembicaraan dengan anaknya, Mamah langsung berdiri untuk berlanjut memilih ke kamar. Baru saja hendak menuju kamar, perlahan langkahnya melambat lantaran anaknya seperti hendak memberikan alasan kepadanya.
”Mamah, pokoknya adek selalu suka dengan hitam, biar enggak kelihatan lagi segala yang membuat dunia ini menangis. Lagi pula, biar rumahnya Tuhan juga kelihatan jelas. Saat langit mulai hitam, bulan dan bintang pun tampak terang benderang. Maukah Mamah membantu adek melihatnya lagi malam ini? Adek mau lihat halaman dan kamar tidurnya Tuhan, Mah.”
Lampung-Jakarta-Bandung, 2012-2013
Lampung Post, Minggu, 2 Februari 2014
SIANG cerlang berpemandangan sepi, ditambah beberapa perempuan dan lelaki, anak delapan tahun itu kembali bergegas keluar rumah untuk melihat langit di hamparan cakrawala. Kala gambar belum terselesaikan. Kala separuh gumpalan awan itu masih diwarnainya cergas dengan pensil hitam.
Kini gambar itu hampir selesai, tetapi aneka peralatan warnanya keburu habis. Maklum, tak hanya ke dalam buku gambar, tetapi juga ruas-ruas dinding di dalam rumah. Hampir semuanya menjadi gambar entah berpenuh warna. Meski demikian, kapan waktu apabila ia mau memajangnya, beberapa gambar yang hampir selesai itu tampak siap untuk dipajang.
Pernah aku bilang padanya agar segera dijadikan hiasan dinding saja biar lebih pantas, tapi ia berkeras melarang karena masih dianggapnya belum selesai. Ya, belum, karena masih diperlukannya tampak gambar matahari yang menangis, air hujan berwarna merah, sungai cokelat keruh, sumur tanpa air, pohon-pohon tanpa daun, dan sebuah gunung yang seolah siap meletus kapan waktu, serta perkelahian antarkelompok, katanya suntuk.
Sejak kejadian aneh menyergap kampung ini, saat penduduk mulai kelimpungan kebingungan, dan anak-anak dalam pengawasan para orang tua yang begitu ketat ketakutan, anak itu tetap tampak bersahaja, hampir separuh hari diisinya dengan menggambar. Hal itu dilakukannya sekuat tenaga, tiada takut waktu lain tersita. Menggambar dan menggambar.
Ia selalu sibuk menggambar, seperti penuh pengembaraan jauh ke dalam angan-anganya. Seperti hujan yang meresapkan air bagi pepohonan untuk mengantarnya ke mana celah-celah akar itu berada. Sering kedua orang tuanya resah, mengapa ia tak berhenti barang beberapa waktu dari aktivitas itu. Sering ditakutinya pula, khawatir kalau ia menderita kelainan. Seperti gila, misalnya. Betapa gawat dan menakutkan menjadi si gila yang tak pernah bisa sembuh. Paling kurang berterima, mereka kerap kesulitan menangkap maksud dari gambar-gambarnya. Seperti tampak tak mengartikan apa-apa. Kecuali berbekas jadi bayangan ketakutan saja.
Untuk kesekian-kalinya, tiap kali pula orang tuanya mesti dipaksa mengomentari warna paling cocok ke dalam gambar-gambarnya.
”Kuning, hijau, ungu, cokelat, atau, ah, terserahmu, Nak.”
”Apa dong paling cocok, Mah?” Katanya merengek.
”Iya apa, Mamah tak tahu.”
”Hitam, betul, kan?” katanya memungkas yakin.
”Loh, kok!”
Mamah tak menyahut. Kecuali menaikkan kedua alisnya. Tampak dahinya mengernyit. Setelahnya mengusap dada. Tampak telapaknya yang halus. Seketika lemas tak habis pikir, menyaksikan sang buah hati menggambar sesuka hati.
Mamah paling takut dengan warna hitam. Masih membekas beberapa tahun lalu, setelah ia menggambar dengan hitam, tak lama berselang, mala pun datang—sebelum akhirnya semua orang mesti mengungsi dengan batin terpaksa. Lantaran perang antarkampung tak bisa dihindari. Juga lantaran banjir pernah menyergap beberapa kampung di sini. Membuat banyak orang memaksa menangisi takdir hidupnya. Memaksa semua manusia bahwa kesembuhan adalah air mata yang saban waktu mesti diteteskan. Semoga bukan lantaran sugesti belaka. Ah, tetapi mengapa hitam ke dalam gambar yang selalu ia pilih.
Ia memang lebih memilih menghibur diri dengan menggambar kala liburan begini, menyempatkan waktu kala tugas-tugas sekolah mulai membosankan. Apalagi ekstrakurikuler yang seperti dipaksakan. Papah menyuruh agar meluangkan waktu sambil membaca, Mamah berpesan untuk bermain saja dengan teman-teman sekampung di dekat rumah, tapi ia lebih memilih menggambar. Ia merasa lebih lepas berekspresi, itu saja. Serasa lebih menyatu dengan warna kesukaannya. Mendaging dari segala ia ciptakan. Selain juga berdarah dan berkeringat atas pesona gambar yang ia buat.
Aku masih tak tahu mengapa ia sedemikian menyukai hitam. Menggambar sawah dan langit yang semestinya hijau dan biru, justru dipilihnya hitam. Pegunungan dengan segala ngarai lembahnya pun hitam. Perbukitan dan segala tubirnya juga hitam. Lalu laut dengan segenap pulau serta pantainya pun hitam. Semoga bukan karena selalu kuceritakan kepadanya, betapa kedatangan mala kadang seperti hantu dalam gelap. Namun, tak kuhubung-hubungkan antara keduanya itu dan hitam. Dan di sini, saat para penduduk begitu ketakutan atas keakraban bencana yang akhir-akhir ini kerap hadir, ia justru bernafsu menggambar. Riang bersahaja membawa imajinasinya ke luar dari lingkaran ketakutan, menerbangkannya cerdik leluasa. Semoga juga hitam tak selalu dekat pada kehirapan kehidupan ini.
”Aku hanya meniru, Pah.”
”Ya sudah, teruskanlah, Nak. Yang kau lakukan dan pilih, itulah warnamu. Dan yang kau lakukan serta bagimu hobi, itulah pekerjaanmu. Tapi jangan pernah melupakan belajar!”
Memang, selain alam yang diwarnainya hitam, anak itu juga mewarnai jalan raya dan segenap ruas-ruasnya, plaza, permukiman, sekolah, hingga etalase-etalase pertokoan yang tertampak rapi di sepanjang jalanan dengan warna yang sama.
“Bila perlu, sebagian orang-orangnya juga berwarna sama, Pah,” kata si anak sambil menggigit ujung pensil.
Papah tampak menerawang pada bulan dan malam berpenuh bintang. Entah apa dipikirnya. Sebatang dua batang, berlanjut tiga dan empat batang diisapnya. Kepulan tampak membubung tak berhenti dari bibirnya
***
Sepanjang hari Papah dan Mamahnya memang kerap menyaksikan ulah gambaran anaknya itu. Mamah semakin panik. Ia berharap kepada suaminya untuk bersepakat membawa anaknya ke dokter spesialis psikiater anak. Lantaran kesehariannya tak kunjung berubah. Apa-apa segala sesuatunya menggambar dengan satu warna saja, yakni hitam. Tapi Papah dengan tenang hanya mempertanyakan saja niatan istrinya itu.
”Untuk apa?”
”Loh, Papah ini bagaimana, sama sekali tak panik melihat anaknya yang saban hari cuma menggambar dan menggambar. Kapan waktu dia buat belajar,” kata Mamah sambil merengut.
”Kan masih liburan. Memang menggambar bukan belajar?”
”Ya memang. Tapi kan, juga mesti belajar yang lainnya. Atau paling tidak melakukan aktivitas lain juga, kek. Apalagi setiap menggambar selalu diwarnainya hitam. Menakutkan. Seperti tiada warna lain. Lagi pula monoton juga jadinya. Anak-anak, kok, sukanya warna hitam! Perasaan keturunan dari masing-masing kita juga enggak ada yang sedemikian fanatik dengan warna hitam.”
”Hei, sampai hari ini aku juga suka hitam, Mah. Hitam rambutmu yang pertama kali membuatku jatuh cinta kepadamu. Lagi pula, masak Mamah tak tahu, sejak kecil anak kita juga memang sudah suka dengan hitam, kan? Ingat enggak saat ia berumur empat tahun pernah polos bilang kalau Tuhan itu cuma ada di waktu malam saat langit mulai hitam. Terus katanya, pada waktu itulah rumah Tuhan baru terlihat; yakni di dalam bulan.”
”Oh..yayaya, terus kata anak kita bilang bahwa rumahnya Tuhan di bulan ya, Pah. hahaha. Ya, aku ingat betul. Lucu ya, Pah, anak kita itu,” Mamah tertawa.
”Iya, Mah. Iya.”
”Lo, kok, Papah sepertinya malah senang? Tapi, kan, tak berlaku saat usianya mau masuk sepuluh tahun begini. Bagimana kamu ini, Pah. Makanya jangan cuma keasyikan kerja!” kata Mamah bernada ketus.
Mamah langsung sontak tegap bersedekap. Wajahnya berpaling. Bergegas memilih tak melanjutkan topik pembicaraan. Kecuali mendekat ke anaknya yang sedang sibuk menggambar. Lagi-lagi hitam, lirihnya membatin.
***
Kesabaran Mamah memuncak. Terlalu banyak diingatnya segala hal buruk mengenai warna hitam. Mamah masih tak pernah tahu alasan sebenarnya mengapa ia senantiasa menggemari warna itu. Alasan dari dokter pun, menyoal warna kesukaan bagi tiap anak, tentulah berbeda. Meski kecenderungan bagi anak selalu memilih warna yang beraneka ragam.
Meski pun tunggal, setidaknya warna cerah yang kerap dipilih. Meskipun tdak, setidaknya bertahan beberapa hari saja, karena anak-anak juga tak bisa lepas dari kecenderungannya merasakan bosan. Terlebih aktivitasnya, beraneka ragam pula. Tak mesti melulu menggambar.
Meski sebenarnya dirasa tak sabar, Mamah tetap mengikuti petunjuk dokter supaya tetap kembali melakukan pendekatan terbaik kepada anaknya. Sabar adalah obat terbaik, katanya membatin. Maka, selain mengamatinya dari jauh, Mamah mulai kembali untuk tampil di sampingnya. Meski akhirnya keluar juga komentar spontannya. Selain si anak juga spontan mengomentari gambar bagi dirinya sendiri kepada Mamah.
”Ya jangan selalu hitam dong, Nak. Masak seperti enggak ada warna lainnya saja..”
”Enggak ada warna lain, Mah. Oh ya, Mah, lihat nih adek ngegambar seorang perempuan mulai jelas, kan?"
Mamah menggeser tubuhnya. Mendekat sembari merangkulnya. Sesekali mengusap kepala anaknya.
”Tuh, Mah,” kata si anak semangat memperlihatkan selembar kertas pada buku gambarnya. ”Lihat matanya, giginya yang sedang tersenyum, telinganya, dahinya, pipinya, bibirnya, badannya, tangan serta kakinya, adek bubuhkan dengan warna hitam. Bagus, kan?” Si anak semangat menambahkan.
”Cobalah dengan pilihan warna lain, Nak,” kata Mamah sambil menarik napas.
”Enggak, Mah. Warna adek suka cuma satu, hitam. Kecuali baju dan celana yang setiap hari adek pake.”
”Iya...tapi apa indahnya warna hitam itu. Gambar adek yang banyak itu, masak diwarnainya hitam terus. Sampai semuanya serbahitam. Lalu apa indahnya, Mamah pusing tak habis pikir!” kata mamah bernada meninggi. Kesabarannya masih ditahan sekuat tenaga. Mesti bersabar dan sabar. Tidak ada kata lain selain sabar, lirihnya dalam hati.
***
Sepulang Papah dari kantor, di ruang keluarga, istri dan anaknya masih tampak seperti memperdebatkan sesuatu. Lagi dan lagi adalah menyoal warna hitam. Seperti tak ada persoalan lain saja untuk dibahas. Papah bergeming saja, di balik pintu yang sudah setengah terbuka. Membiarkan mereka bercakap.
”Pokoknya Mamah sedih. Titik. Mamah tak mau lagi adek menjadi penyuka hitam, hitam dan hitam!” Kata Mamah yang kesabarannya seperti mulai meredup.
”Tapi adek maunya cuma dengan warna hitam saja, Mah, Terus...”
”Enggak ada tapi-tapian, Nak. Ayolah bekerja sama, jangan bikin kepala Mamahmu ini sakit. Kamu menggambar segalanya dengan hitam. Segala alasan adek juga tak jelas. Pokoknya adek jangan lagi menggambar dengan hitam. Kalau masih, maaf, Mamah terpaksa membuang saja pewarna yang kamu gunakan itu!” Mamah menyergah.
Setelah memotong pembicaraan dengan anaknya, Mamah langsung berdiri untuk berlanjut memilih ke kamar. Baru saja hendak menuju kamar, perlahan langkahnya melambat lantaran anaknya seperti hendak memberikan alasan kepadanya.
”Mamah, pokoknya adek selalu suka dengan hitam, biar enggak kelihatan lagi segala yang membuat dunia ini menangis. Lagi pula, biar rumahnya Tuhan juga kelihatan jelas. Saat langit mulai hitam, bulan dan bintang pun tampak terang benderang. Maukah Mamah membantu adek melihatnya lagi malam ini? Adek mau lihat halaman dan kamar tidurnya Tuhan, Mah.”
Lampung-Jakarta-Bandung, 2012-2013
Lampung Post, Minggu, 2 Februari 2014
No comments:
Post a Comment