Sunday, February 16, 2014

Ribuan Kunang-Kunang

Cerpen Amalia Achmad


04.04

BRAK!

Ribuan kunang-kunang mengangkat tubuhku, Laura. Kunang-kunang yang persis pernah kita saksikan di hutan dengan langit paling bersih dan udara paling segar itu. Pelan-pelan mereka mengeluarkan aku dari rongsokan mobil yang kutumpangi. Tidak kurasakan sakit. Tidak ada tulang-tulang remuk yang memaksa keluar dari daging. Tidak ada luka-luka yang mengalirkan darah. Tidak ada batok kepala yang hancur. Tidak ada, Laura. Mereka menghapusnya, aku kembali sempurna.

Aku terbang, Laura. Tinggi, tinggi, semakin tinggi. Kusaksikan kota tempat tinggal kita mengecil, mengecil, semakin mengecil, hingga hilang sama sekali.

Kutinggalkan kesedihan, kecemasan, dan kemarahan jauh-jauh. Hanya ada perasaan hangat mengalir pelan-pelan, seperti saat kau selimuti aku yang tidur sembarangan, seperti setiap kau peluk aku dari belakang, atau ketika kau siapkan sarapan setangkup roti panggang. Seperti bahagia-bahagia yang kukumpulkan setiap hari darimu, Laura. Jika ada hal yang aku sesalkan, bahwa aku mengalaminya sendiri, bahwa kau tak bersamaku saat ini. Semakin jauh, ribuan kunang-kunang membawaku pergi.


02.47

“Laura! Laura? Laura?!”

Aku mencarimu ke tiap sudut apartemen kecil kita. Kau tak ada di dapur atau kamar mandi. Ruang tengah dan kamar tidur lengang tak berpenghuni. Kau di mana, Laura? Kutemukan asbak dengan puntung-puntung rokok di tepian jendela yang terbuka. Sayup suara bising di kejauhan masuk ke dalam. Kau merokok lagi, Laura? Kau tentu sedang di puncak-puncaknya resah. Salah satu puntung rokok ternyata masih menyala. Kukira belum terlalu jauh kau berjalan.

Tepat ketika pintu lift menyala, dari kaca-kaca pintu apartemen, aku melihatmu. Kau berdiri di tepi jalan, sebuah koper besar di sebelahmu.

“Laura! Laura!”

Kau menoleh, Laura. Waktu bergerak melambat, begitu lambat. Rambutmu yang terayun jatuh helai demi helai, kedipan matamu yang berat satu demi satu, dan caramu memandangku seakan berkata “Mengapa?”  Kau angkat tanganmu, dan sebelum sempat aku mendekat, sebuah taksi sudah lebih dulu berhenti di depanmu. Aku terlambat.

Sebuah pesan singkat masuk ke dalam telepon genggamku. Aku pergi, menginap di rumah teman. Jangan khawatir.
Aku khawatir, Laura. Aku khawatir setengah mati. Dengan kalut yang menghantam-hantam dada, aku pacu mobil mengejar taksi yang kau tumpangi. Tunggu, tunggu aku, Laura. Aku ingin meminta maaf.


KEMARIN

Kau di mana, Danny? Tolong aku. Pulanglah, Danny.
Lagi-lagi pesan darimu, Laura. Aku sedang tak ada waktu. Sistem sarafku sedang tidak mau bekerja sama. Memegang telepon genggam yang ringan saja, tanganku bergetar hebat. Jantungku berdebar-debar, dadaku sesak dan nyeri.

Tolong, pulang Danny. Aku takut, Danny. Kurasa ada seseorang yang berdiri di luar, memperhatikan apartemen kita.
Itu hanya khayalan, Laura. Kau tentu tahu.

Seseorang dalam lingkaran menyodorkan lintingan kepadaku. Ruangan pengap dan bau menyengat menguar dari daun ganja yang dibakar.

“Buddha stick, man… Neat…“
Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang teman lama, dengan mata kuyu dan sesungging senyum aneh. Lalu kulihat ribuan kunang-kunang keluar dari sepasang matanya.

Kau ingat, kan, Laura? Suatu hari kita pernah berkemah di sebuah hutan, mengikuti anjuran terapis. Katanya kita butuh udara segar. Pelan-pelan pohon besar yang berdiri tepat di sebelah tenda kita, mengeluarkan cahaya. Mula-mula hanya satu-dua, hingga tiba-tiba titik-titik cahaya semakin banyak, semakin ramai. Natal datang lebih cepat, pohon cemara berhias kelap-kelip lampu, katamu. Itu kunang-kunang, Laura, jawabku. Dan kita terduduk diam dalam takjub.

Aku melihat mereka lagi, Laura. Ribuan kunang-kunang memenuhi kepalaku.


HARI INI

Danny, kupikir aku dikejar-kejar mata-mata pemerintah. Mereka berhasil menemukan apartemen kita. Kau tak bisa kuhubungi. Bagaimana jika mereka membunuhku? Aku takut, Danny.

Berkas-berkas matahari yang menerobos lewat tirai jendela menimpa wajahku. Sudah siang dan semua orang masih tergeletak tak sadarkan diri. Kau mengirimkan puluhan pesan singkat dan telepon yang terjawab, Laura. Oh, Laura, oh, Laura! Kau merepotkan sekali. Kau tentu tahu semua plot tentang mata-mata pemerintah, dokumen rahasia, dan pembunuhan berencana, itu semua hanya ada di otakmu.


13.07

“Danny?”

Suaramu di ujung telepon berbisik. Kesadaranku setengah terkumpul. Mulut dan mataku terasa kering. Dadaku kembali nyeri.

“Danny, aku harus pergi. Mereka membuntuti aku, Danny. Jangan khawatir, aku tidak akan memberikan namamu jika sampai aku tertangkap. Selamat tinggal, Danny.”

Laura, kaukah itu?

Samar aku mencoba mengingat-ingat. Aku terbangun di atas sofa tapi warnanya bukan cokelat tua. Ini bukan sofa yang ada di ruang tengah apartemen kecil kita. Undangan dari seorang teman lama. Ia bilang ada barang bagus yang merugilah aku bila tak mencoba.

Pertengkaran demi pertengkaran kita, Laura. Ya, aku ingat juga. Serangan panikmu mengintai, dan bisa datang kapan saja. Aku tidak siap, Laura. Kau ciptakan delusi yang tak bisa kupahami. Berhari-hari kita berkutat dalam labirin yang sama. Kau tak mau menemui psikiatri karena dalam pikiranmu ia berkomplot dengan alien untuk mencuri otakmu yang berharga. Kau curiga kepada siapa saja, bahkan kepada tukang susu langganan kita. Suatu ketika, seperti biasa ia menaruh dua botol susu di depan pintu, kau menuduhnya sedang menanam kamera pengintai lalu mengejarnya dengan tongkat kasti terayun-ayun hingga ke jalan raya. Sudah lama sejak kau keluar dari apartemen, kerjamu hanya duduk termenung di depan jendela. Laura, aku khawatir tetapi aku manusia biasa juga.

Laura, aku bisa gila. 

Lalu bujukan datang dalam rupa teman lama. Ya, dia pemasok heroinku dulu, oh, bukan itu saja, juga meth dan MDMA. Sekali-kali, aku ingin bebas, aku ingin terbang, tinggi, tinggi tanpa kau, Laura.

Sisa-sisa bau ganja. Oh, Laura, aku ingkar dari perjanjian kita.


03.34

Mataku masih bisa menangkap ekor taksi yang membawamu pergi, Laura. Membayangkanmu sendirian di dalam sana tidak bisa tidak membawa kalut ke pikiranku. Maafkan aku, Laura.
Kita bertemu kurang lebih enam tahun lalu. Duduk berseberangan pada salah satu kursi-kursi yang disusun melingkar, diam-diam saling mencuri pandang. Di dada sebelah kananmu tersemat label nama bertuliskan “Hi, my name is Laura, and I am a drug addict” serupa milikku.

Rambutmu yang pendek berantakan, sementara wajahmu seperti belum dicuci berhari-hari. Kau hanya mengenakan kaus berwarna putih yang kusam dan celana longgar. Lingkaran hitam membingkai kedua matamu yang sering tampak kosong. Seakan-akan kau tak berada di sana, dan tubuhmu hanya daging tanpa nyawa. Tapi ketika kau tersenyum, Laura. Saat itu kau benar-benar tersenyum. Meski bukan untukku, kurasakan hangat menjalar pelan-pelan ke seluruh tubuh, perasaan yang sudah lama kulupa.

Pada pertemuan pertama itu, aku menemukan pengganti candu. Menjumpai alasan untuk kembali besok dan besoknya lagi. Alasan itu adalah kau, Laura.

Maafkan aku, Laura. Lebih cepat, lebih cepat lagi. Harus kupacu mobil ini lebih cepat lagi. Entah apa yang akan kau lakukan. Benar-benar menginap di rumah teman, atau melompat dari pinggir jembatan layang. Semuanya mungkin. Dan aku tak mau kehilangan kesempatan. Lebih cepat, lebih cepat lagi.

BRAK!

Ribuan kunang-kunang mengangkat tubuhku. Aku mendapatkan apa yang aku mau; terbang tinggi tanpa kau, Laura.  Tetapi anehnya, aku merasa sedih sekali.

04.05


Lampung Post, Minggu, 16 Februari 2014

No comments:

Post a Comment