Sunday, January 26, 2014

Aroma Kematian

Cerpen Tita Tjindarbumi

RASANYA sudah terlalu lama kubiarkan otak ini kaku. Memasungnya dalam kegelisahan yang tak berujung pangkal. Sudah lama pula ingin kutandaskan semua yang bernama keraguan. Kegamangan yang kian menebal dan mengkristal menjadi ketidakpercayaan.

Sudah sangat lama aku mengeja setiap gerak tubuhmu. Bahkan setiap gerak bibirmu bermain di mataku, sungguh aku seperti sedang berada di belantara yang gelap. Bahkan cahaya bulan dan kerlip bintang pun tak mampu menembusnya. Inilah yang aku rasakan setiap aku mencoba dan mencoba menerjemahkan tiap gerak organ tubuhmu.

Tetapi mengapa sampai detik ini aku masih bisa bertahan? Setidaknya membiarkan pikiranku dipenuhi dengan hal-hal yang tak pasti. Membiarkanmu berenang sebebas-bebasnya di benakku. Lalu apa yang menjadi goal dari hubungan ini?

Aku mencoba tersenyum, menarik kedua ujung bibirku dengan berat. Bagaimana senyumku bisa merekah sementara hatiku terpenjara? Meski harus kuakui magnitmu begitu kuat menarikku untuk mempelajari siapa dirimu yang sebenarnya.

“Sebaiknya kegelisahanmu kau bagi padaku,” ujar Jero dengan suara lembutnya. Suara yang selalu membuat hatiku lemah.

“Tersenyumlah pasti kecantikan auramu akan terpancar,” katanya lagi, seakan bisa membaca pikiranku yang semakin diselimuti kabut kegelisahan.

“Aku tak bisa ...bagaimana bisa tersenyum jika kelakuanmu tidak juga berubah,” kataku lirih, seakan ditujukan pada diriku sendiri.

Aku bodoh ya? Tak bisa menyembunyikan kecamuk di dada ini.

Jero tersenyum. Lalu dengan sigap ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Nyaris saja ujung bibirnya menyentuh keningku. Untunglah, tak kena. Perasaan tak pernah bisa berbohong. Aku bukan tergolong perempuan yang bisa memamerkan senyum di saat hatiku sedang diamuk kemarahan. Apalagi lumer hanya karena sentuhan basa-basi!

Jero memandangku tak percaya. Mungkin ia berpikir aku sedang berpura-pura marah atau sok jual mahal dan tidak butuh sentuhannya. Uff, lelaki selalu saja menganggap sentuhan bisa meluluhkan keberangan. Mereka selalu pukul rata dalam memberi penilaian pada perempuan.

Atau...Jero justru merasa begitu yakin, caranya menaklukan perempuan bisa diterapkan pada setiap perempuan yang diincarnya?

Oh, betapa naifnya? Tidakkah ia berpikir dari sekian banyak perempuan yang masuk dalam perangkapnya, masih banyak perempuan yang sebetulnya menghitung setiap langkahnya. Bahkan tak hanya sekadar menghitung, banyak perempuan yang jeli dalam menimbang untung dan rugi dalam sebuah hubungan.

Dan aku?

Dalam rasa kesal, marah dan perasaan lain yang menggumpal di dada, aku ingin mencari jawab atas tanya yang sering kali menghantui dan mengganggu pikiran. Kehadiran Jero dalam hidupku, setidaknya tak bisa kupungiri kehadirannya memang dapat mengobati kerinduanku akan perhatian seorang laki-laki. Kukatakan begitu, bukan berarti aku tergolong perempuan yang kesepian. Dalam kenyataan keseharianku tak pernah sepi. Ya terutama sepi masalah.

Masalah silih berganti menghampiri hidupku. Datang tidak diundang, lalu pergi begitu saja. Seperti rutinitas saja. Harus kuakui kehadiran Jero cukup bisa membunuh sepi, terutama sepi akan tawa. Joke-joke Jero dapat membuatku tertawa, bahkan terpingkal-pingkal, meski semakin hari terasa seperti sebuah suguhan dengan menu yang sama setiap hari. Membosankan dan garing abis!

“Baru kali ini aku melihatmu tak berdaya menghadapi laki-laki itu,” ujar Ella teman sekantorku dengan suaranya yang lantang. Suara Ella jelas menggambarkan kekesalan hatinya. Ella adalah temanku yang paling dekat dan awet. Ella banyak men-support-ku dalam banyak hal, tetapi Ella juga banyak mengkritikku. Kadang kritikannya bikin telinga keriting, bagiku tak mengapa, bukankah teman sejati adalah teman yang berani mengatakan hal yang sebenarnya, seburuk apa pun itu.

“Laki-laki itu punya nama, La! Jero namanya. J-E-R-O,” jawabku dengan suara tenang, menyimpan kegalauan yang bisa mendadak muncul setiap mendengar nama itu disebut.

“Ya..JERO!!” sahutnya cepat, memberi tekanan pada nama itu. Sepertinya Ella kena imbasnya juga. Teman sejati...? Ah...

Hatiku tertawa. Senang dapat teman dalam urusan galau.

“Aku tak suka padanya,” kata Ella tiba-tiba tanpa kuduga. Rupanya Ella tidak puas hanya dengan menggambarkan ketidaksukaannya pada Jero hanya dengan sikap. Ia perlu mengatakan langsung, keluar dari mulutnya yang berbibir sensual itu.

“O,ya? Tadinya kupikir kamu suka padanya. Caramu mencuri pandang setiap kali bertemu dengannya kadang membuatku cemburu!” kataku asal saja.

Sengaja memutarbalikkan fakta. Sering aku melihat tatap mata Ella setajam silet ketika melihat Jero bermanis-manis padaku. Kami sudah lama bersahabat, nyaris tak ada rahasia di antara kami.

“Aku tahu kamu membutuhkannya sekadar untuk pembunuh sepi. Bisa jadi ...pelarian gitu...” kata Ella seenak hatinya tanpa memikirkan perasaanku.

Aku nyengir. Tak terlalu salah sih ucapannya. Aku memang sering memikirkan laki-laki itu, tapi tak selalu. Sebab, hari-hariku terlalu banyak masalah, masalah yang mendatangkan uang buatku. Sebagai lawyer lumayan kelimpungan jika tak ada klien yang datang dengan membawa masalah dan uang sebagai imbalan jasa konsultasi yang telah kuberikan.

“Gaya bicaramu seperti pakar, Ella. Kesimpulanmu kali ini seribu persen salah. Tega sekali kamu menyamakan Jero seperti sebuah lagu yang kita dengar saat kita butuh saja. Saat kita ingin rileks sambil rebahan dengan mata terpejam. Kejamnya dirimu....” kataku cepat sebelum Ella memberikan penilaian-penilaian konyol berikutnya.

“Aku tahu...kamu pengin serius, tetapi mana mungkin bisa jika melihat Jero-mu itu seperti kucing garong?!”

Jiaaaaaaaaah...sekarang dia bilang kucing garong.

“Kalo dibilang serius, mana ada perempuan yang tidak ingin menjalin hubungan yang serius. Emakku sudah ribut pengin momong cucu. Tetapi enggak semudah itulah....”

“Ya enggak semudah itu sebab kriteria lelaki idaman yang ada di kepalamu tidak ada satu pun di diri seorang Jero. Lalu mengapa kamu galau?”
Duh..Ella kok  merepet terus?

***

Cinta memang sungguh aneh dan jelimet. Padahal kata banyak orang hasil akhirnya yang begitu-begitu saja. Happy ending atau sad ending!

Aku tak ingin cinta berujung di kegelapan.

Cinta bagiku hanya segumpalan kegelisahan yang bikin sakit kepala. Dia melebihi benang kusut yang tak terurai. Tetapi, aku selalu saja ingin menyisihkan sebuah tempat untukmu, di hatiku yang paling dalam. Di sana hanya aku dan Tuhan yang tahu apa yang kurasa dan segala apa yang kumau. Meski kadang aku merasa tak selalu tahu apa yang aku mau. Tetapi aku terus mencoba. Mencari tahu apa yang kuinginkan.

Satu per satu bayangan masa lalu acap membuat langkahku kaku. Aku ingin menepi dan membiarkan bayang-bayang itu benar-benar berlalu. tetapi mengapa mata ini tak bisa menahan kedip? Mengapa hati ini tak juga bisa membeku. Mereka seperti tak rela membiarkan kenangan demi kenangan ini berlalu begitu saja. Padahal mereka juga tahu, semua ini membuat luka lama menganga dan basah...

Jika kudengar suara derit ban atau aroma bensin bercampur debu, seketika tubuhku menggigil. Rasanya aku sedang berada di sebuah kamar sunyi dengan suhu terdingin dan cahaya lampu menyilaukan mata. Aku seperti berada di sebuah ruangan dengan aroma khas yang melelapkan, yang dalam hitungan tak lebih dari sepuluh menerbangkanku pada keadaan di dunia ada dan tiada. Kecelakaan itu membuatku hilang entah berapa lama. Sungguh telah kujelajahi dunia tanpa senyum. Dunia tanpa kata-kata.

Tak ada Ella. Tak ada Jero yang sempat kuharapkan bisa membangun cinta bersamaku. Tak ada siapa pun! Hanya aroma yang tak kukenal.

Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang selama ini tak pernah kurasakan. Inikah yang disebut kenyamanan? Ketenangan? Inikah aroma kematian itu? n
               

Lampung Post, Minggu, 26 Januari 2014



No comments:

Post a Comment