Sunday, January 19, 2014

Pada Hari Pemakaman

Cerpen Yuli Nugrahani


SEBENARNYA dia sudah terlihat ketika iring-iringan jenazah melewati lampu merah dekat pasar. Tapi tak seorang pun memperhatikan karena dia berbaur bersama dengan para pelayat lain, berjalan tanpa menunjukkan sikap yang berbeda. Aku sempat melihatnya karena suatu kali dia menjejeri kami, para perempuan yang berjalan tertinggal, di bagian belakang rombongan.

Kemudian dia meninggalkan deretan kami, berjalan dengan cepat hingga berada di depan, berjalan seiring dengan peti jenazah. Beberapa lama dia berjalan di samping jenazah, dengan ayunan kaki mengikuti derap para penandu jenazah. Lalu dia mundur berbaur bersama para bapak yang sedang membaca doa-doa dengan suara rendah, di bagian tengah.

Yang membedakannya dengan pelayat lain adalah badan dan bajunya yang kotor. Begitu dekil dan berdebu, hingga hanya semacam kelabu saja dari kepala hingga kaki. Dan dibanding dengan semua pelayat lain yang minimal memakai selop atau sandal jepit, dia bertelanjang kaki.

Dia menarik perhatian para pelayat lain ketika mulai melambai-lambaikan tangan di sisi luar iring-iringan jenazah. Dia membuat tanda-tanda dengan tangannya, seolah ingin mengatur supaya kendaraan dari arah belakang tidak menyalip iring-iringan rombongan ini, dan kendaraan dari arah depan tidak mendekati. Dia terus-menerus menggerakkan tangannya hingga semua orang mau tidak mau melihatnya.

Lalu, ketika kami sudah berada di jalan yang lebih sempit, jalan masuk ke kompleks permakaman, dia berjalan cepat ke arah depan, tak terduga hingga persis berada di depan usungan peti jenazah. Andai kata para pemanggul jenazah tidak sigap, tentu orang itu sudah tertabrak, karena tiba-tiba dia berhenti, berbalik badan dan menyetop jalannya rombongan. Hidungnya persis menyentuh peti jenazah, dan peti agak terjungkit karena berhenti mendadak. Beberapa orang yang melihatnya terpekik.

Orang-orang berusaha menghalaunya. Semula, matanya kelihatan melawan, tapi tanpa bujukan yang lama, dia pun minggir, mengelesot di tanah dengan isakan sedu sedan seperti anak kecil yang dicabut dari susu ibunya. Semua orang menoleh padanya tapi tak seorangpun berhenti untuk menghiburnya.

“Apakah dia keluarga dari almarhumah?” Seseorang di dekatku berbisik.

“Tidak. Aku tidak mengenalnya.” Kakakku yang sedang berjalan sambil menggamit tanganku yang menjawab.

Aku menoleh pada laki-laki itu ketika melewatinya. Dia duduk di tanah, di depan salah satu rumah. Rambutnya nyaris uban semuanya, kelabu cenderung putih. Bisa jadi umurnya sudah lebih dari 70 tahun. Kulit dan bajunya memang sangat kotor, terlihat jelas ketika aku berada pada jarak terdekat dengannya.

Kulitnya, seharusnya kulitnya putih kalau melihat perbedaan yang tampak jelas di wajah yang tersiram air mata dengan kulit lain yang tak tersentuh usapan tangannya. Aku berdebar ketika melihat matanya yang serupa garis melintang tipis sarat duka, berurai air mata hingga tak tampak manik matanya. Mengapa dia kelihatan begitu bersedih?

“Sepertinya aku pernah melihat orang itu. Mengapa dia ada di sini? Bagaimana dia ke sini?”

“Oh ya. Dia si penyair itu kan?”

“Dia orang gila, yang biasa berkeliaran di sekitar terminal. Kau ingat? Dia pernah mengikuti kita saat akan naik bus dulu.”

Kasak-kusuk di belakangku terdengar begitu jelas walau mereka berbisik-bisik. Aku menahan diri tidak menoleh pada mereka, tapi aku mendengarkan perbincangan itu.

“Dia itu dulunya seorang penyair. Dia jadi gila ketika istrinya meninggal.”

“Setahuku dia tak pernah menikah. Dia ini tetangga dari temannya teman ibuku. Katanya dia hidup sendiri kok. Mungkin karena sendirian itu dia menjadi gila.”

“Ah, itu pasti penyair yang lain. Yang ini kabarnya sudah punya anak kok. Dua anaknya tinggal di luar negeri, membuat dia tak terurus. Kasihan.”

“Kau ini bicara seolah-olah ada dua penyair yang gila di kota kita.”

“Mungkin lebih banyak lagi. Kota kita punya banyak penyair. Bukankah menjadi penyair adalah tanda pertama dari seseorang yang mulai gila?”

“Apa? Menjadi penyair? Lalu kau?”

“Iya, aku juga. Hehehe... Hush.” Mereka berdua tertawa tertahan tapi kemudian segera menyetop sendiri tertawanya, dan mereka kembali melafal doa-doa ketika aku menoleh. Dua laki-laki yang tak kukenal. Sejurus kemudian, mungkin karena sungkan, mereka mempercepat jalan dan beralih di barisan depan.

Ibu mertuaku bukanlah orang terpandang. Yang melayatnya tidak telalu banyak, dan separuh lebih dari antaranya tidak kukenali. Aku bisa tanya suamiku tentang mereka, tapi suamiku ikut menggotong peti jenazah di bagian depan. Dan sebenarnya, seusai mendengar kematian ibunya, suamiku dan aku nyaris tidak bertukar suara. Dia asyik dengan kesedihannya dan berusaha mengatasi dukanya dengan tegar. Dia menangis pada  30 menit pertama setelah tahu ibunya meninggal.

Usai itu dia sibuk menelepon, mengurus ini itu bahkan ketika dia sampai di hadapan jenazah ibunya, dia sama sekali tidak menangis. Malah, dia memarahi ibunya yang telah membujur kaku. Dikatakan kalau ibunya terlalu buru-buru. Digugatnya jenazah ibunya karena tak menunggu ajal hingga dia bisa memberikan cucu. Ah, orang sedih memang boleh tidak masuk akal.

Kematian ini menyedihkanku juga. Walau aku tidak tinggal serumah dengan ibu mertua, dia sungguh ibu mertua tepat bagi menantu seperti aku. Suamiku adalah anak tunggal kesayangan, tapi dia tidak suka ikut campur urusan rumah tangga anaknya. Dia tidak cerewet dan tidak banyak komentar tentang segala hal.

Suamiku bilang ibunya itu seorang artis, dulu di zamannya, tapi aku tidak terlalu percaya. Tidak ada bukti tentang itu, dan aku lebih cenderung menilai ibu mertuaku sebagai seorang pemalu. Bahwa dia seperti menyimpan misteri, aku pun mengakuinya karena dia tak banyak bercerita tentang dirinya sendiri seperti kebiasaan ibu-ibu yang sudah tua. Dia tak pernah menyakitiku walau juga tak pernah ada inisiatif untuk memperhatikanku lebih intim sebagai seorang menantu.

Jika sekarang tidak banyak pelayat yang menyertainya ke pemakaman, aku bisa memakluminya. Melihat kecenderungan ibu mertuaku, dan anaknya yang hanya satu, pasti yang hadir ini lingkaran-lingkaran terdekat dari keluarga, kerabat, atau sahabat. Mungkin nanti kalau masa duka sudah lewat aku bisa tanyakan ke suamiku, siapa saja mereka yang telah hadir di pemakaman ini. Termasuk lelaki tua itu. Mungkin suamiku tahu lebih baik dari dua orang yang kasak-kusuk tadi.

Aku tak pernah melihat lelaki itu sebelumnya. Seolah-olah dia datang secara khusus untuk pemakaman ini. Jika dia orang waras, tentu ibu mertuaku adalah orang istimewa baginya sehingga kedukaan bisa membuatnya tampak segila itu. Atau, jika dia memang orang gila, mungkin dia mengira ibu mertuaku adalah orang lain yang istimewa baginya. Dan ini tetap menarik karena ternyata orang gila pun punya kenangan akan seseorang secara luar biasa.

Dia muncul kembali saat jenazah sedang diturunkan ke liang kubur. Entah bagaimana dia datang, tiba-tiba dia menyeruak, mendorong tubuhnya sehingga terayun ke lubang. Kalau tidak segera ditangkap oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, dia pasti sudah menimpa jenazah dan ikut terjerembap ke dalam lubang kubur.

“Jangan! Jangan kuburkan dia. Jangan!”

Parau suaranya seperti lolong liar. Bulu kudukku berdiri dan aku spontan memeluk kakakku. Laki-laki itu menjelma singa lapar yang meraung dalam keputusasaan, dan berusaha memberontak dari cengkeraman orang-orang.

Rambut putihnya yang panjang berantakan berkibar-kibar mengikuti ayunan tubuhnya sendiri yang ingin maju, dan melawan tarikan orang-orang yang memegangnya. Kelihatan dia memberontak sekuat tenaga sehingga para laki-laki yang menahannya kewalahan. Kulitnya memerah karena tenaga luar biasa yang berusaha dia keluarkan. Orang-orang di sekitarnya  menyingkir memberi ruang supaya dia bisa diseret menjauh.

“Kemuning! Kemuning! Jangan mati! Bawa aku, Kemuning!”

Dia mengulang-ulang panggilan itu. Orang-orang menyeretnya lebih jauh lagi. Sesekali lengkingannya berubah menjadi tawa yang mengenaskan. Tangis dan tawa bergantian. Aku masih sempat mendengar ujung tertawanya sesaat sebelum suaranya hilang. Entah dia dibawa ke mana, tidak ada orang yang bertanya, tapi beberapa orang menyeletuk lirih, ”Gila.” 

Suamiku menjadi satu-satunya orang yang tak terusik oleh peristiwa itu. Dia terus memegang cangkul, yang kemudian diikuti orang-orang lain, melemparkan tanah-tanah merah basah ke dalam lubang kubur hingga menjadi gundukan. Lantunan doa-doa tak berhenti, tak terganggu lagi oleh apa pun kecuali suara tanah yang berantuk dengan tanah, dan angin yang merontokkan bunga kamboja. Lelaki tua itu tak muncul lagi, bahkan pembicaraan tentang kekacauan yang dibuatnya pun ikut lenyap. 

Tapi aku tak akan pernah melupakan peristiwa ini. Seumur hidup aku pasti akan mengingat lelaki tua itu, yang mungkin memang gila, yang bisa jadi memang seorang penyair, yang memanggil-manggil jenazah ibu mertuaku dengan panggilan sayang: Kemuning. n


Lampung Post, Minggu, 19 Januari 2014

No comments:

Post a Comment