Sunday, December 1, 2013

Pengantin

Cerpen Dyah Merta


Kehilangan

“Kehilangan berarti kau terbebas dari beban,” kudengar kata-katanya seperti palu, berusaha mencongkel keluar paku yang menancap di ulu hatiku.

“Sebab setelah itu kau tidak memiliki apa-apa lagi.”

Kehilangan berarti tidak memiliki apa-apa, pikirku. Rasa-rasanya ada hembusan angin menyentuh pipiku dengan lembut. Kembali pada kosong. Kembali tidak memiliki. Kembali tidak punya. Apa sulitnya? Aku mencoba menepis gagasan itu, tapi kata-katanya perlahan bergerak menguasaiku. Berulang-ulang dia katakan jika aku adalah pilihan. Dia, pria yang kutemui, atau mungkin tepatnya dia menemukanku begitu yang dia tegaskan, di satu malam di sebuah tempat nongkrong yang sepi. Waktu itu, aku sendiri saja.

Dari dia, aku seperti mendapatkan uluran tangan, tepat ketika aku berada di tubir jurang, persisnya saat tak seorang pun melihatku. Mungkin dia sejenis malaikat penolong yang diutus Tuhan.

Pil Prozac

Tak ada lagi waktu, bahkan untuk secangkir kopi hangat. Tiba-tiba semua menjadi dingin. Kehidupan terasa hambar. Aku juga tak ingat lagi apakah waktu bergerak lebih cepat atau justru melambat.

“Mungkin kau ‘mati rasa’,” komentar Shita, entah kapan itu, saat kami menikmati malam bersama dengan coffee latte di sebuah kafe.

Saat itu aku benar-benar patah hati. Aku gagal menikah, hingga sangat sulit bagiku untuk jatuh cinta lagi. Masih di masa rapuhku, pria itu datang dan bilang bahwa, “Kau terpilih.” Cukup sulit waktu itu untukku memahami kata-katanya. Tulang pipi lelaki itu tertutup bulu-bulu yang terpangkas tipis. Matanya memercikkan keteduhan. Tak sengaja, aku menangkap siluet cahaya memendar di belakang kepalanya membuatku terseret semakin jauh dalam percakapannya.

Kau sudah bisa menduga jika aku pernah jatuh cinta. Aku juga pernah bermimpi menjadi pengantin.

Bagiku jatuh cinta itu kekuatan. Cinta menyalakan caudate nucleus untuk memancarkan dopamin. Dengan dopamin, kau akan merasa gembira, seluruh perhatianmu terpusat. Buruknya, pada saat yang bersamaan ada dorongan kuat untuk memperoleh imbalan. Kau butuh perhatian. Balasan atas cinta.

Masuk akal jika ada “cinta buta”. Cinta sering membuat kita menempuh risiko besar. Cinta juga dekat dengan gangguan OCD atau Obsessive-Compulsive Disorder akibat “ketidakseimbangan” serotonin. Ini sejenis penyimpangan kejiwaan. Kau musti tahu, jika cinta dan gangguan jiwa itu pada prinsipnya sulit dibedakan. Bisa saja kau tiba-tiba menghitung anak tangga terus-menerus. Awalnya, hanya untuk mengalihkan pikiran dari orang yang kau cintai. Akhirnya kau terus menghitung apa saja, mulai dari orang yang kau temui di jalan, garis zebra, mobil yang berlalu lalang hingga bulu alismu sendiri.

Kudengar ada pil anticinta, yaitu pil Prozac. Jika gangguan kejiwaan mulai menghampirimu, sebaiknya kau beli Prozac di apotek. Dia bisa menumpulkan gagasan cinta. Dia ibarat peluru yang membuat kita “ogah” bahkan menyantap kenikmatan seks yang tersaji di depan kita. Pil ini mampu mengacaukan kemampuan untuk jatuh cinta. Setidaknya, bagian terbaik juga bisa mengobati sakit menstruasi.

“Bagaimana dengan aku?” aku berbalik tanya ke Shita, dia meracau mendengar kegilaanku pada Prozac. Wajahnya terlihat begitu nyata di pantulan dinding kaca yang menyekat kafe. Dia masih akan muncul lagi beberapa kali dalam hidupku sampai aku memutuskan untuk sendiri.

Apa yang terakhir kudengar darinya hari itu, dia menguapkan kata-kata jika konon cinta tak sebatas pada gagasan masa depan, tetapi juga bangunan masa lalu.

“Aku tidak lagi jatuh cinta!” mungkin itu jawabanku.

Menurutku, bangunan masa laluku telah runtuh dan saat ini aku tidak memiliki gagasan akan masa depan. Tidak ada sama sekali. Aku tidak tahu apa yang aku butuhkan saat ini, apakah pil Prozac dosis tinggi atau tawaran lelaki itu dengan embel-embel bahwa aku adalah wanita pilihan. Aku pernah gagal menikah dan kini dia menawariku menjadi pengantin.

Sendiri

Akhirnya aku menemuinya. Sekali lagi. Dengan keyakinan sebab aku adalah pilihan.

“Hidup itu sendiri.”

“Sejak awal kelahiran, kau adalah pilihan. Kau telah menyisihkan ribuan sel-sel kehidupan yang lain yang berlomba-lomba untuk dilahirkan. Kau pun harus mengakhiri hidup dengan pilihan.” Setiap kata-katanya rasanya seperti peluru yang menyisir habis hantu-hantu dalam kehidupanku, membawaku perlahan ke puncak ketenangan. Membuatku juga tak ingin menemui Shita.

“Semakin mengerti, semakin kau tahu arti sendiri.”

Lalu dia mengisahkan kepadaku perjalanannya sendirian menjelajahi beberapa belantara hingga sahara. “Aku pernah tinggal di Afghanistan dan Filipina. Kau harus tahu jika saat ini dunia bergerak di luar kendali. Kekuatan perlawanan yang tersisa hanya ada pada yang terpilih.”

Dunia bergerak di luar kendali? Bukankah sejak awal semesta tercipta sudah begitu? Aku diam saja.

Lalu samar kudengar kisah-kisah mulai dituturkannya bak dongeng tentang perjalanan para pejuang di Moro. Aku tidak terlalu paham dengan sejarah hidup tokoh-tokoh dalam kisahnya. Apa peduliku. Entah kapan, aku juga mendengar nama-nama yang tak begitu asing disebut, seperti Hambali, Imam Samudera, Saad alias Faturrahman Al Ghozi, dan Abdul Jabar. Beberapa kisahnya terasa spektakuler, dibumbui dengan aksi seperti koboi dan serupa di film-film Hollywood yang sangat digemari Shita.

Dia juga memperlihatkan kliping surat kabar berisi berita tentang pembakaran kamp di sebuah tempat di Mindanao dan foto-foto penangkapan beberapa orang yang dikenalnya. Dia menjelaskan bahwa dirinya saat ini mendapat tugas untuk memburu dan aku adalah orang yang paling tepat untuk menjalankan aksinya itu.

Tak sebatas itu, dia berulangkali memutar film-film yang tak jauh dari apa yang diceritakan, hanya tokoh-tokoh di film-film itu banyak yang menutup wajah mereka. Kurasa kostum itu cuma sedikit berbeda dengan ninja –tapi gerak ninja lebih lentur, kalau tak ingin kubilang selera mereka dalam berpakaian sangat buruk.

Dia sering mengulang kata-kata itu. Otakku terdikte dengan sempurna. Aku tak melakukan kesalahan sepatah kata pun.

Dua bulan setelah intens bertemu dengannya, aku menemui Shita.
Ketika mendengar pilihanku untuk menjadi calon pengantin, Shita berteriak, “Sebaiknya kau tidur dengan siapa saja. Tak perlu kau pikirkan dia siapa. Anggap saja semua lelaki itu suamimu!”

“Apa kau sudah kehilangan kewarasan berencana mengakhiri hidupmu sendiri?”

“Sepertinya aku perlu mengajakmu ke night club!”

“Katakan padaku siapa lelaki yang menemuimu itu? Dia bukan ustaz, melainkan bagaimana otakmu bisa melengkung sejauh itu. Aku harus bertemu dengannya. Aku tidak mau satu-satunya temanku punya keputusan gila!”

Suaranya detik itu berlompatan tak henti, begitu sumbar, seperti panci-panci dipukuli beramai-ramai. Bagiku Shita adalah tipe perempuan yang tidak percaya pada tatanan sosial, termasuk pernikahan. Dia hidup bebas, itu persepsinya. Dia berbanding 180 derajat denganku.

Kurasa karena jengah, dia berdiri dari tempatnya duduk dan memutar tubuhnya yang tinggi semampai berbalut gaun sifon mini tanpa lengan dengan motif hati berbaris di bagian payudara. Pahanya menjuntai seperti sepasang leher jerapah beriringan. Warna merah marun mendominasi bagian atas berpadu dengan motif abu. Di sisi tepi ada renda tipis. Rambut panjangnya tergerai. “Ini seri Flaming Hearts,” jelasnya menekan rasa penasaranku melihat ke arah gaun yang dikenakannya. Dengan gaun itu, dia semakin mirip burung flamingo.
Lalu dia rebahkan tubuhnya ke sofa.

“Coba kau rasakan hidup bebas seperti burung!” Matanya menerawang.

“Burung tidak benar-benar mengalami kebebasan. Mereka terhambat topografi dan musim,” tukasku.

“Aku cukup bebas.”

“Itu hanya pandanganmu. Dan kau bukan burung. Sepanjang kamu hidup, kebebasan hanya kesemuan. Hanya impian. Itu tidak benar-benar ada.”

“Setidaknya itu lebih baik daripada kau bunuh diri!”

“Bukan begitu, aku mau menjadi pengantin.”

Bicara dengan Shita rasanya sia-sia. Memang dia tidak terkejut dengan pilihanku, atau mungkin dia bisa menduga bahwa keputusan itu sangat bisa kupilih. Sekali lagi karena kami sangat berbeda.

“Apa kau tidak sedih meninggalkan kehidupan?” suaranya mendadak dramatis.

“Kau pernah bilang bahwa aku mati rasa. Maka bagaimana mungkin aku bisa merasakan sedih?”

Benar, aku kehilangan sensitivitas rasa. Tidak senang, tidak juga sedih. Bahkan cita rasa berpakaianku bertambah buruk separah kostum peniru ninja itu.

Tapi keputusanku semakin bulat.

Teroris

Inilah hari terakhir itu. Hari ketika aku yakin untuk tidak memiliki apa-apa. Termasuk tubuh dan jiwaku. Aku tak lagi ingin mendengar suara Shita yang terus memekak di telingaku. Aku tak lagi ingin melihat wajah Shita. Aku tak lagi ingin dia berpikir bahwa aku akan mengikuti kegilaannya. Aku bukan Shita. Aku adalah pilihan.

Dan ini adalah hari ketika aku menjadi pengantin.

“Kau sangat cantik!” ujar pria itu. Dia telah mendandaniku dengan rok panjang dengan celah tinggi di sisi kanan, berwarna emas, dengan lingkar pinggang elastis. Aku nampak seperti putri duyung berbalur atasan hitam berkilat. Aku yakin kata-katanya bukan basa-basi. Sebab hari ketika kau menjadi pengantin adalah hari di mana kau ingin tampil paling cantik dari yang lain. Rasanya, hari ini aku lebih mirip Shita.

Aku pun bergerak ke tengah ruangan yang riuh oleh dentum musik house. Dia sudah memastikan bahwa “siapa” yang dia buru ada di situ. Musik mengentak itu seakan memicuku untuk menekan tombol peledak dalam hitungan detik. Detik ketika aku tidak punya apa-apa. Tidak tubuh dan jiwaku. Juga “dia” yang kuburu.

Di kehidupan yang masih terus bergerak, pada beberapa sekon setelah ini, mereka akan menyebutku “teroris”, sedang keluargaku akan bilang, “dia sudah lama tidak pulang.” n


Lampung Post, Minggu, 1 Desember 2013

No comments:

Post a Comment