Cerpen Mashdar Zainal
DALAM keriuhan pasar malam, gadis kecil itu seperti seekor serangga di antara ribuan serangga dan ngengat yang berpesta mengelilingi pijar bohlam. Gadis kecil itu masih utuh berdiri di depan pagar yang memutar, mengitari kincir raksasa dengan kurungan bergelantungan, yang terus memusing seperti roda raksasa di hadapannya.
Melihat itu, mata kecil gadis itu sempat berkunang-kunang, tapi sesekali ia ikut tertawa saat melihat beberapa anak berteriak histeris di dalam kurungan kincir yang bergulir sampai nyaris ke hulu langit itu.
***
Gadis kecil itu masih berdiri, menggaruk kakinya yang dikerubuti nyamuk. Ia juga masih menggenggam sesobek kertas yang diberikan Mama padanya. Kata Mama, kertas itu penting dan tidak boleh hilang.
Gadis kecil itu celingukan. Bertanya-tanya, mengapa Mamanya lama sekali membeli gula kapas. Sebenarnya kakinya sudah sangat pegal, tapi ia tak berani duduk, karena Mama tak menyuruhnya duduk. Gadis kecil itu tak tahu sudah berapa lama ia berdiri di samping pagar melingkar itu, yang ia tahu adalah: Mama menyuruhnya menunggu di situ, dan ia tak boleh pergi ke mana pun sampai Mama datang.
“Ingat, jangan ke mana-mana, Mama akan membelikanmu gula kapas sebentar, kau mau kan? Kalau mau, kau tunggu di sini. Jangan pergi ke mana-mana sebelum Mama datang. Kalau ada orang bertanya padamu, Mama di mana, kasihkan saja kertas ini, kertas ini penting, jadi jangan sampai hilang. Paham?”
Kata-kata Mama lebih terdengar seperti ancaman ketimbang perintah. Gadis kecil itu hanya mengangguk. Ia terus mengawasi punggung Mamanya yang berguncang dan menjauh. Ia tersenyum membayangkan sebongkah gula kapas yang lezat.
Sebenarnya gadis kecil itu sedikit heran ketika Mama menyuruhnya mandi dan memakai pakaian terbaiknya petang tadi. Karena tidak biasanya Mama mengajaknya jalan-jalan. Mama lebih sering mencubit pahanya sampai lebam, ketimbang mengajaknya jalan-jalan.
Mama memang suka sekali mencubit, meski terkadang juga menjewer. Ia ingat, ketika ia lupa menaruh pensil, Mama mencubitnya. Ketika ia tidak menghabiskan makan malam, Mama juga mencubitnya. Bahkan ketika ia tidak sengaja pipis di celana, Mama juga mencubitnya. Namun, ketika ia menumpahkan nasi, Mama tidak mencubitnya, Mama hanya menjewer telinganya sampai panas dan memerah, seolah hampir putus.
Tiba-tiba gadis kecil itu membayangkan punya Papa, seperti Rere, seperti Nina, seperti Farhat, dan seperti teman-temannya yang lain. Mungkin akan sangat menyenangkan punya Papa, ada yang menggendongnya, mengajaknya jalan-jalan, dan tentu ada yang mengingatkan Mama bila Mama mencubitnya.
Gadis kecil itu termangu, ia pernah bertanya sekali pada Mama tentang Papa, tapi Mama malah marah-marah dan membentaknya, “Siapa yang mengajarimu bertanya seperti itu? Papamu sudah mati, sekarang Papamu adalah Mama… Jangan pernah bertanya begitu lagi atau Mama akan mencubitmu.”
***
Gadis kecil itu mengeluh dalam hati, kakinya mulai terasa pegal. Tapi tetap saja, ia tak berani duduk, karena Mama tak menyuruhnya duduk. Ia jadi ingat kejadian beberapa minggu lalu ketika Mama menyuruhnya berdiri di atas kursi plastik di pojokan.
Mama menghukumnya seperti itu karena ia menjatuhkan sabun mandi ke dalam kloset. Jadi setelah mandi dan berganti baju, Mama menarik kursi plastik dan menaruhnya di pojokan, lantas Mama menyuruhnya berdiri di atas kursi itu.
“Tetap berdiri di situ, sampai mama bilang ‘cukup’.”
Sayang sekali ketika Mama meninggalkannya ke dapur ia lupa, karena kakinya terlampau pegal ia kemudian duduk di atas kursi yang seharusnya ia gunakan untuk berdiri itu. Ketika Mama kembali dari dapur dan mendapati ia tengah duduk, Mama berteriak-teriak, “Siapa yang menyuruhmu duduk? Kalau Mama tidak menyuruhmu duduk, kamu tak boleh duduk.”
Sambil berteriak seperti itu, Mama mencubiti lengan dan pahanya tak henti-henti, bahkan sampai ia menangis, Mama masih belum berhenti mencubitinya. Karena itulah, sekarang, meski kakinya terasa pegal, ia tak berani duduk. Ia takut kalau Mama mencubitinya seperti tempo hari.
***
Gadis kecil itu membuka sesobek kertas yang masih ia genggam erat-erat. Ada tulisan di sana. Sayang sekali ia belum bisa membaca. Di sekolah, ia baru diajarkan mengenal angka: satu seperti pentungan, dua seperti bebek, tiga seperti burung yang terbang miring, empat seperti kursi terbalik, dan seterusnya…. Juga mewarnai gambar dan menyebut huruf-huruf: A untuk Apel, B untuk Bola, C untuk Cicak, D untuk Durian, dan seterusnya… Ia belum diajarkan membaca tulisan.
Gadis kecil mecoba memelototi tulisan itu, ada huruf M, atau mungkin N, juga ada huruf A, ada huruf P, dan masih banyak huruf-huruf lain yang ditulis dengan sangat buruk. Gadis itu menyerah, sesobek kertas itu ia genggam kembali, erat-erat.
Gadis itu mulai khawatir, mengapa Mama lama sekali. Kaki kecilnya juga mulai gemetar karena kecapaian berdiri. Tapi ia masih berusaha untuk tidak ambruk. Ia mencengkeram kuat-kuat pagar yang melingkar di hadapannya.
Ia menatap nanar orang-orang yang berlalu lalang di sekelilingnya. Seorang anak kecil yang dituntun ibunya sambil membawa balon berbentuk ikan lumba-lumba. Juga seorang gadis kecil yang digendong ayahnya, gadis kecil itu menjilati lolipop yang besarnya seperti kipas.
Gadis kecil itu menelan ludah. Pasti lolipop itu lezat sekali. Mengapa Mama lama sekali, apa Mama tidak mendapat gula kapasnya?
Karena kakinya sudah benar-benar pegal dan kesemutan, diam-diam gadis itu mulai duduk. Namun, ketika matanya menangkap seorang perempuan melintas, cepat-cepat ia berdiri. Ia mengira itu mamanya. Ketika ia menyadari bahwa perempuan itu bukan Mamanya, ia kembali duduk dan menghela napas lega. Begitulah, lelah duduk gadis itu berdiri, lelah berdiri, ia kembali duduk. Terus begitu. Sampai lama sekali.
***
Perlahan, keriuhan pasar malam mulai berkurang. Beberapa penjual sudah mengukuti barang dagangan mereka dan beranjak pulang. Para pengunjung juga sudah mulai pulang.
Pasar malam menjadi sedikit lebih sepi dari sebelumnya. Lampu-lampu yang berkerlap-kerlip sudah mulai dimatikan. Loket dan aneka permainan juga sudah mulai ditutup. Mesin-mesin pun dimatikan.
Gadis kecil itu semakin cemas karena Mamanya tidak juga datang. Karena sudah tidak bisa menyembunyikan ketakutannya, gadis kecil itu akhirnya menangis. Suara tangisannya cukup nyaring untuk menarik perhatian beberapa orang di sekelilingnya.
Seketika, sorang lelaki baya mendekatinya dan tersenyum, “Adik ke sini sama siapa?”
Gadis kecil itu semakin takut, tetapi sambil terisak mulutnya bergerak, “Ma.. ma..” suaranya tersendat.
“Lalu Mama di mana?”
Gadis kecil itu menggeleng. Pelan-pelan ia memberikan sesobek kertas yang diberi mamanya. Ia ingat Mama menyuruhnya untuk menyerahkan sesobek kertas itu pada orang yang bertanya “Mama di mana?”
“Kertas apa ini?” Lelaki itu membaca kertas di tangannya perlahan-lahan, kemudian ia menghela napas berat. Lelaki itu tampak bingung. Air mukanya berubah sedih.
“Mama bilang, kamu harus ikut, Om.”
Lelaki itu menuntunnya pergi sambil bertanya-tanya di mana ia bisa menemukan panti asuhan terdekat. n
Malang, Juni 2013
Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013
DALAM keriuhan pasar malam, gadis kecil itu seperti seekor serangga di antara ribuan serangga dan ngengat yang berpesta mengelilingi pijar bohlam. Gadis kecil itu masih utuh berdiri di depan pagar yang memutar, mengitari kincir raksasa dengan kurungan bergelantungan, yang terus memusing seperti roda raksasa di hadapannya.
Melihat itu, mata kecil gadis itu sempat berkunang-kunang, tapi sesekali ia ikut tertawa saat melihat beberapa anak berteriak histeris di dalam kurungan kincir yang bergulir sampai nyaris ke hulu langit itu.
***
Gadis kecil itu masih berdiri, menggaruk kakinya yang dikerubuti nyamuk. Ia juga masih menggenggam sesobek kertas yang diberikan Mama padanya. Kata Mama, kertas itu penting dan tidak boleh hilang.
Gadis kecil itu celingukan. Bertanya-tanya, mengapa Mamanya lama sekali membeli gula kapas. Sebenarnya kakinya sudah sangat pegal, tapi ia tak berani duduk, karena Mama tak menyuruhnya duduk. Gadis kecil itu tak tahu sudah berapa lama ia berdiri di samping pagar melingkar itu, yang ia tahu adalah: Mama menyuruhnya menunggu di situ, dan ia tak boleh pergi ke mana pun sampai Mama datang.
“Ingat, jangan ke mana-mana, Mama akan membelikanmu gula kapas sebentar, kau mau kan? Kalau mau, kau tunggu di sini. Jangan pergi ke mana-mana sebelum Mama datang. Kalau ada orang bertanya padamu, Mama di mana, kasihkan saja kertas ini, kertas ini penting, jadi jangan sampai hilang. Paham?”
Kata-kata Mama lebih terdengar seperti ancaman ketimbang perintah. Gadis kecil itu hanya mengangguk. Ia terus mengawasi punggung Mamanya yang berguncang dan menjauh. Ia tersenyum membayangkan sebongkah gula kapas yang lezat.
Sebenarnya gadis kecil itu sedikit heran ketika Mama menyuruhnya mandi dan memakai pakaian terbaiknya petang tadi. Karena tidak biasanya Mama mengajaknya jalan-jalan. Mama lebih sering mencubit pahanya sampai lebam, ketimbang mengajaknya jalan-jalan.
Mama memang suka sekali mencubit, meski terkadang juga menjewer. Ia ingat, ketika ia lupa menaruh pensil, Mama mencubitnya. Ketika ia tidak menghabiskan makan malam, Mama juga mencubitnya. Bahkan ketika ia tidak sengaja pipis di celana, Mama juga mencubitnya. Namun, ketika ia menumpahkan nasi, Mama tidak mencubitnya, Mama hanya menjewer telinganya sampai panas dan memerah, seolah hampir putus.
Tiba-tiba gadis kecil itu membayangkan punya Papa, seperti Rere, seperti Nina, seperti Farhat, dan seperti teman-temannya yang lain. Mungkin akan sangat menyenangkan punya Papa, ada yang menggendongnya, mengajaknya jalan-jalan, dan tentu ada yang mengingatkan Mama bila Mama mencubitnya.
Gadis kecil itu termangu, ia pernah bertanya sekali pada Mama tentang Papa, tapi Mama malah marah-marah dan membentaknya, “Siapa yang mengajarimu bertanya seperti itu? Papamu sudah mati, sekarang Papamu adalah Mama… Jangan pernah bertanya begitu lagi atau Mama akan mencubitmu.”
***
Gadis kecil itu mengeluh dalam hati, kakinya mulai terasa pegal. Tapi tetap saja, ia tak berani duduk, karena Mama tak menyuruhnya duduk. Ia jadi ingat kejadian beberapa minggu lalu ketika Mama menyuruhnya berdiri di atas kursi plastik di pojokan.
Mama menghukumnya seperti itu karena ia menjatuhkan sabun mandi ke dalam kloset. Jadi setelah mandi dan berganti baju, Mama menarik kursi plastik dan menaruhnya di pojokan, lantas Mama menyuruhnya berdiri di atas kursi itu.
“Tetap berdiri di situ, sampai mama bilang ‘cukup’.”
Sayang sekali ketika Mama meninggalkannya ke dapur ia lupa, karena kakinya terlampau pegal ia kemudian duduk di atas kursi yang seharusnya ia gunakan untuk berdiri itu. Ketika Mama kembali dari dapur dan mendapati ia tengah duduk, Mama berteriak-teriak, “Siapa yang menyuruhmu duduk? Kalau Mama tidak menyuruhmu duduk, kamu tak boleh duduk.”
Sambil berteriak seperti itu, Mama mencubiti lengan dan pahanya tak henti-henti, bahkan sampai ia menangis, Mama masih belum berhenti mencubitinya. Karena itulah, sekarang, meski kakinya terasa pegal, ia tak berani duduk. Ia takut kalau Mama mencubitinya seperti tempo hari.
***
Gadis kecil itu membuka sesobek kertas yang masih ia genggam erat-erat. Ada tulisan di sana. Sayang sekali ia belum bisa membaca. Di sekolah, ia baru diajarkan mengenal angka: satu seperti pentungan, dua seperti bebek, tiga seperti burung yang terbang miring, empat seperti kursi terbalik, dan seterusnya…. Juga mewarnai gambar dan menyebut huruf-huruf: A untuk Apel, B untuk Bola, C untuk Cicak, D untuk Durian, dan seterusnya… Ia belum diajarkan membaca tulisan.
Gadis kecil mecoba memelototi tulisan itu, ada huruf M, atau mungkin N, juga ada huruf A, ada huruf P, dan masih banyak huruf-huruf lain yang ditulis dengan sangat buruk. Gadis itu menyerah, sesobek kertas itu ia genggam kembali, erat-erat.
Gadis itu mulai khawatir, mengapa Mama lama sekali. Kaki kecilnya juga mulai gemetar karena kecapaian berdiri. Tapi ia masih berusaha untuk tidak ambruk. Ia mencengkeram kuat-kuat pagar yang melingkar di hadapannya.
Ia menatap nanar orang-orang yang berlalu lalang di sekelilingnya. Seorang anak kecil yang dituntun ibunya sambil membawa balon berbentuk ikan lumba-lumba. Juga seorang gadis kecil yang digendong ayahnya, gadis kecil itu menjilati lolipop yang besarnya seperti kipas.
Gadis kecil itu menelan ludah. Pasti lolipop itu lezat sekali. Mengapa Mama lama sekali, apa Mama tidak mendapat gula kapasnya?
Karena kakinya sudah benar-benar pegal dan kesemutan, diam-diam gadis itu mulai duduk. Namun, ketika matanya menangkap seorang perempuan melintas, cepat-cepat ia berdiri. Ia mengira itu mamanya. Ketika ia menyadari bahwa perempuan itu bukan Mamanya, ia kembali duduk dan menghela napas lega. Begitulah, lelah duduk gadis itu berdiri, lelah berdiri, ia kembali duduk. Terus begitu. Sampai lama sekali.
***
Perlahan, keriuhan pasar malam mulai berkurang. Beberapa penjual sudah mengukuti barang dagangan mereka dan beranjak pulang. Para pengunjung juga sudah mulai pulang.
Pasar malam menjadi sedikit lebih sepi dari sebelumnya. Lampu-lampu yang berkerlap-kerlip sudah mulai dimatikan. Loket dan aneka permainan juga sudah mulai ditutup. Mesin-mesin pun dimatikan.
Gadis kecil itu semakin cemas karena Mamanya tidak juga datang. Karena sudah tidak bisa menyembunyikan ketakutannya, gadis kecil itu akhirnya menangis. Suara tangisannya cukup nyaring untuk menarik perhatian beberapa orang di sekelilingnya.
Seketika, sorang lelaki baya mendekatinya dan tersenyum, “Adik ke sini sama siapa?”
Gadis kecil itu semakin takut, tetapi sambil terisak mulutnya bergerak, “Ma.. ma..” suaranya tersendat.
“Lalu Mama di mana?”
Gadis kecil itu menggeleng. Pelan-pelan ia memberikan sesobek kertas yang diberi mamanya. Ia ingat Mama menyuruhnya untuk menyerahkan sesobek kertas itu pada orang yang bertanya “Mama di mana?”
“Kertas apa ini?” Lelaki itu membaca kertas di tangannya perlahan-lahan, kemudian ia menghela napas berat. Lelaki itu tampak bingung. Air mukanya berubah sedih.
“Mama bilang, kamu harus ikut, Om.”
Lelaki itu menuntunnya pergi sambil bertanya-tanya di mana ia bisa menemukan panti asuhan terdekat. n
Malang, Juni 2013
Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013
No comments:
Post a Comment