Sunday, December 29, 2013

Terompet Kereta dan Teriakan Gajah

- Almarhum Mbah Kakung dan Papa


Cerpen Yulizar Fadli

SUDAH dua puluh menit Marsi Susamto dan Tri Joko Triwikromo duduk di bangku besi stasiun Kereta Tanjungkarang. Mereka duduk berdampingan sambil sesekali memperhatikan gerak-gerik orang, baik yang duduk maupun yang lalu lalang. Keduanya datang dari Way Kambas, sebuah desa di Lampung Timur. Mereka berdua tengah menunggu kereta tujuan Palembang.

Satu tas besar warna cokelat tua yang mereka bawa sengaja ditaruh di atas lantai, tepat di depan sepasang kaki Tri Joko Triwikromo yang bersepatu kulit hitam mengilat. Sementara dari pengumuman yang mereka dengar satu menit lalu, kereta baru akan berangkat sekitar 15 menit ke depan.

“Terompet kereta itu mirip teriakan gajah ya, Yah?” Tri Joko membuka percakapan.

“Ya. Mirip.”

“Ayah masih ingat, lima tahun lalu gajah-gajah mengamuk di kampung kita?”

“Ya, tentu.”

“Aku mau bikin cerita pendek tentang itu.”

“Setelah lulus kuliah nanti, sebaiknya kamu jadi polisi saja,” sahut Marsi. Tri Joko tak menjawab, tetapi ia memakan cokelat pasta kesukaannya. Sementara Marsi, berkali-berkali menempelkan mulut mungil botol minyak angin ke lubang hidungnya.

“Hilangkan kebiasaanmu itu,“ ujar Marsi sambil dua kali menarik napas cepat karena hidungnya yang mampat. Setiap 30 detik sekali, Marsi memang sering demikian ... mungkin karena penyakit polip yang ia derita.

“Susah, Yah.”

“Bagaimana bisa kamu dewasa.”

“Tak ada hubungannya antara cokelat dan dewasa. Tua itu pasti, dewasa itu pilihan,” sahut Tri Joko Triwikromo sambil membenarkan letak kacamata hitamnya yang agak melorot ke batang hidung.

“Halah. Dinasihati kok malah membantah.” Lagi-lagi Marsi Susamto menarik cepat napasnya dua kali.

“Ya, Yah ... ya ...”

Kereta masih nongkrong dan belum beranjak dari stasiun, demikian pula dua pria dan penumpang lainnya. Bedanya, orang-orang itu bisa berjalan mondar-mandir sambil mengumpat dan melihat jam di tangan mereka, memaki sambil membanting botol plastik bekas minuman ke lantai marmer, atau memukul-mukulkan tangan ke paha mereka sendiri. Sementara kereta itu, hanya bisa nongkrong sambil terus menggumam seperti raksasa.

“Siapa nama teman kakek yang mati diinjak gajah?” Tri Joko Triwikromo berhenti memakan cokelat pastanya.

“Pak Jumadi.”

“Tahun berapa, Yah?”

“1963. Umur Ayah 6 tahun waktu itu,” jawab Marsi. Lagi-lagi ia menarik napas cepat sebanyak dua kali.

“Aku mau buat cerita pendek tentang itu.”

“Ada baiknya kamu jadi polisi seperti kakek dan ayah.”

“Tidak. Anak-anak ayah tak ada yang jadi polisi.”

“Terserah kamu Tri.”

“Terus, Yah ... bagaimana lanjutan ceritanya?”

“Tadinya Pak Jumadi almarhum mau berburu menjangan.”

“Terus ... ayo Yah, jangan sepotong-sepotong ceritanya.”

“Kata kakek, Pak Jumadi salah tembak. Dia malah menembak gajah.”

“Salah tembak. Hmmm ...”

Obrolan mereka terhenti karena dari corong toak, suara perempuan mengumumkan bahwa kereta akan berangkat 20 menit ke depan. Marsi dan Tri Joko berikut penumpang lain menghela napas kuat-kuat.

“Halah ... gombal!” celetuk salah satu penumpang.

“Haaaaaaaah ... mungkin besok berangkatnya.” Marsi menyahut.

“Mau minum apa, Yah?”

“Air mineral saja.”

“Ada yang lain?”

“Tidak.”

Tri Joko beranjak dari duduk dan segera menghampiri pedagang rokok, makanan, dan minuman yang tak jauh dari loket pembelian tiket.

“Ngaret, Mas. Biasa,” kata si penjual.

“Yaa. Berapa?

“Lima ribu. Memang mau ke mana, Mas?”

“Ke rumah kakek di Palembang.”

“Oh begitu. Ini kembaliannya, Mas.”

“Ya terima kasih.”

Tri Joko kembali menghampiri ayahnya dan menyodorkan air mineral, sementara calon penumpang lain mondar-mandir, duduk-berdiri kemudian duduk lagi sambil menggerak-gerakkan kaki dan memukul-mukulkan tangan mereka ke kursi besi berlubang kecil-kecil. Kereta masih saja nongkrong sambil menggumam mirip raksasa.

“Aku ingin menulis cerita pendek tentang Pak Jumadi, teriak gajah, dan terompet kereta.”

“Ada baiknya kamu jadi polisi.”

“Ada baiknya ayah ceritakan lagi tentang Pak Jumadi. Ayo Yah...”

“Kamu tanya sendiri pada kakekmu nanti kalau kita sudah sampai di Palembang.” Marsi menarik napas cepat dua kali.

“Kakek kan sedang sakit. Ayolah, Yah ...”

“Yaa. Dia nembak gajah.”

“Ayah ada di sana?”

“Tidak. Ayah dapat cerita dari kakek.”

“Terus ...”

“Karena terluka dan terancam, si gajah langsung mengejar dan menginjak Pak Jumadi.”

“Kenapa bisa salah tembak?”

“Mana ayah tahu. Yang jelas, kata kakek, Pak Jumadi tidak bisa mengelak lagi dan isi perutnya keluar semua.”

“Bagaimana kakek bisa selamat?”

“Gajah itu hewan peka. Dia hanya mengejar Pak Jumadi, bukan kakek.”

“Owh ...”

“Ada baiknya kamu jadi polisi.”

Pengumuman kembali menyampaikan bahwa 10 menit ke depan kereta segera berangkat. Kereta masih saja nongkrong dan menggumam. Tri Joko sedikit membungkuk untuk meraih tas yang ia taruh di lantai, tepat di depan kakinya. Sementara ayahnya langsung berdiri membawa botol minuman di tangan kiri dan botol minyak angin mungil di tangan kanan. Kedua pria itu, diikuti penumpang lain, berjalan memasuki gerbong kereta dan mencari tempat duduk mereka masing-masing.

“Kuharap kereta ini tepat waktu.”

“Ya ...”

“Yah ...”

“Apa?”

“Ayah tak pernah lagi berburu menjangan?”

“Tidak. Ilegal. Dilarang.”

“Aku ingat rasa dagingnya. Agak alot. Dan paling enak kalau digoreng kering.”

“Ya. Tapi itu ilegal. Dilarang.”

“Ya, ya. Yah ...”

“Hmm ...”

”Kalau aku jadi polisi, apa aku akan punya balok kuning bengkok juga di lengan kananku?”

“Tentu saja.” Tiba-tiba Marsi tersenyum, kemudian melanjutkan, “Bahkan bisa lebih dari sekadar dua balok kuning bengkok.”

“Oh ya ... bisa jadi kapolsek atau kompol?”

“Tentu saja ... tentu saja bisa.” Marsi tertawa.

“Tapi bagaimana jika aku jadi penulis saja, Yah? Ibu setuju denganku dan sering membaca cerita-ceritaku.”

“Ada baiknya kalau kamu jadi polisi.” Marsi berhenti tertawa dan kembali menarik napas cepat sebanyak dua kali.

Kereta masih saja nongkrong dan menggumam, tapi bedanya kali ini, ular besi berwana putih itu akan berangkat 5 menit ke depan. Penumpang lain sibuk menata barang bawaan dan sibuk mengobral obrolan. Demikian juga Tri Joko Triwikromo yang terus mengoceh tentang cerita pendek yang akan ia buat.

“Ayah ingat Pak Kartono?”

“Tentu”

“Aku juga ingin menulis naskah tentang almarhum Pak Kartono. Kata ibu, Pak Kartono itu polisi juga. Dulu, Pak Kartono itu berpacaran dengan Bude Sri. Dan tahun meninggal Pak Kartono hanya berselang setahun dengan Pak Jumadi. Bulan dan tanggalnya sama, 14 Agustus. Menurut cerita ibu, kakek-lah yang menyuruh Pak Kartono main drama. Kata ibu lagi, untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan ke-19. Waktu itu pemainnya ada dua orang, Pak Kartono dan Pak Sobirin. Bude Sri dan Ibu juga ada di situ. Kata ibu, sebelum memulai gladi resik, kakek sudah memeriksa  pistol dan mengambil semua peluru di pistolnya. Tapi begitu adegan penembakan dimulai, ternyata pistol yang dipegang Pak Sobirin meletus dan mengeluarkan peluru, kemudian mengenai kepala Pak Kartono. Sejak itu Bude jadi pendiam dan kakek berhenti dari kepolisian. Menarik ya, Yah?”

“Kakek tidak berhenti Tri, tapi memang sudah waktunya pensiun. Itu dua hal yang berbeda. Ada baiknya kamu jadi polisi saja, Tri.”

Terompet kereta yang mirip teriakan gajah itu melenguh panjang. Perlahan-lahan kereta merayap di atas rel baja.

“Ada baiknya kalau aku jadi polisi dan penulis.” Tri Joko Triwikromo berkata tanpa menoleh ke arah ayahnya.

“Ya. Sebaiknya kamu jadi polisi saja,” kata Marsi Susamto tanpa menoleh ke arah anaknya.

Untuk kedua kalinya terompet kereta yang mirip suara gajah itu melenguh. Lama-kelamaan laju kereta bertambah cepat. Marsi memejamkan mata sambil menyandarkan punggungnya ke kursi penumpang, sementara Tri Joko Triwikromo memakan cokelat pastanya sambil melihat pemandangan dari balik jendela kaca.

“Ada baikya, aku jadi penulis saja ...” kata Tri Joko, lirih sekali.

Gunungterang, 13-14 September 2013


Lampung Post, Minggu, 29 Desember 2013

No comments:

Post a Comment