Sunday, December 8, 2013

Awas, Jangan Salah Pilih

Cerpen Tarpin A. Nasri


BUAT yang terhormat Marzuki Danubrata Wicaksono, ada seribu jalan menuju Roma untuk mewujudkan keinginan, cita-cita, obsesi, harapan, dan impiannya menjadi orang No. 1 di Provinsi Kamis Berseri, setelah dua periode berturut-turut menjadi wakil rakyat dan berkantor di Senayan, Jakarta.

Tampaknya setelah menjadi wakil rakyat berturut-turut dalam dua komisi, Marzuki masih ingin menjadi “presiden” atau “raja” di provinsi. Hebat! Salut!

Bagi Marzuki—dan tentu saja bersama tim suksesnya—semua jalan itu jadi halal. Yang abu-abu, yang haram, yang tidak beretika dan atau yang tidak bermoral, bisa menjadi terang, halal, dan sangat santun. Yang penting dalam pelaksanaannya lembut dan cantik, serta polesan, sentuhan, dan kemasannya manis. Oleh karena itu, aku benar-benar prihatin dan sedih dengan perilaku yang sangat tendensius itu.

Untuk meraup suara dan guna dipilih rakyat, Marzuki—dan orang-orang pilihannya yang bekerja  untuk  mencetak kemenangan untuknya—telah merambah mulai dari wilayah provinsi, kabupaten, kotamadya, kecamatan sampai ke desa-desa, serta bekerja jorjoran memburu, menjaring, dan bila perlu membeli suara rakyat. Karena selain Marzuki, masih ada tiga calon lain, yakni Siti Aisyah, Arif Markasan, dan Edy Nurbawono, yang tidak kalah terkenal di tengah-tengah masyarakat Provinsi Kamis Berseri. Mereka itu adalah putra daerah, keluarga pejabat, serta pengusaha yang juga elite pengurus suatu parpol. 

Perilaku seperti itu tidak ewuh pakewuh dan tidak malu-malu lagi dikerjakan Marzuki. Mulai dari pohon, tembok, jembatan, tikungan jalan, pos ronda, warung, toko, salon, bengkel, tambal ban, cucian mobil, pompa bensin, rumah makan, perempatan jalan dan tempat-tempat terbuka lainnya, telah dihiasi dan dibanjiri potret dirinya, lengkap dengan identitas di bawah atau di atas fotonya: Dr. Marzuki Danubrata Wicaksono, S.H., M.H., Calon Gubernur Provinsi Kamis Berseri Periode 2020-2025, dengan tambahan kredibilitas: wong dhewek, dari rakyat, untuk rakyat! Tujuannya pasti, agar Marzuki dikenal luas, lalu ketika tiba waktunya pencoblosan berharap minta dipilih, dan untuk dipilih itu Marzuki sudah menggelontorkan uang miliaran, dan juga sudah bersilaturahmi atau bermanuver ke mana-mana dengan berbagai acara yang dibuat, diikuti, dan dihadirinya.

Marzuki tidak hanya telah menebar kaus, poster, spanduk, dan baliho, akan tetapi nama atau foto Marzuki juga ada di kemasan sabun mandi, kaleng susu, karung beras, bungkus gula pasir, ada di handuk, ada di kaleng ikan sarden, ada di bungkus kopi, dan ada di bungkus mi yang dibagi-bagikan kepada rakyat. Selain itu, Marzuki juga mengagendakan datang ke hajat sunatan, pesta pernikahan, pengajian, silaturahmi dengan tokoh agama, sowan ke pondok kiai, mendatangi  tokoh/lembaga adat, menggandeng tokoh pemuda dan tokoh masyarakat, merapat kepada ketua/tokoh lembaga, minta dukungan LSM, menyambangi preman sampai dengan menghadiri upacara kematian warga. Sungguh luar biasa dana dan energi Marzuki untuk menjadi Kamis Berseri-01.

Aku sih melihat tata cara yang digunakan Marzuki  untuk meraup suara dan dukungan, senyum-senyum saja.

“Marzuki sedang berakrobat untuk mendapat simpati rakyat agar pada pemilukada nanti dipilih oleh rakyat,” kataku ke Kang Sarman setelah membaca berita di koran, mendengarkan siaran di radio, dan melihat di televisi atas apa yang telah dilakukan Marzuki.

Di pagi yang cerah pada bulan Desember, Kang Sarman kembali silaturahmi ke rumahku. Kang Sarman itu tetangga empat rumah dari rumahku.  Kang Sarman orangnya aktif dan gemar bersilaturahmi sebagaimana yang diajarkan oleh Islam yang dianutnya.

Terkait akrobat Marzuki, Kang Sarman punya penilaian tersendiri. “Untuk mendapatkan  dukungan dan suara rakyat, tidak semua cara jadi halal begitu dong, Mas,” jawab Kang Sarman dengan nada setengah protes.

“Makanya rakyat jangan sampai tergiur dan rakyat juga jangan sampai terkecoh dalam memilih wakil rakyat atau gubernur—juga dalam memilih bupati, wali kota, atau kepala desa,” tukasku.

“Tegasnya rakyat tidak boleh salah dalam memilih pemimpin atau keliru menentukan wakil rakyat ya, Mas,” ujar Kang Sarman minta kepastian, sekaligus  minta dibenarkan pendapatnya, dan aku menyikapinya dengan tersenyum santai.

Aku mengajak Kang Sarman masuk ke ruang tamu rumahku, dan Anisyah—istriku—langsung menyediakan kopi, serta singkong goreng dan munthul rebus.

“Monggo kopinya diminum,“ tawarku. “Sekalian singkong goreng dan ubi rebusnya dinikmati Kang Sarman,” lanjutku dengan tulus dan ikhlas.

“Gulanya, kopinya, dan airnya dijamin tidak ada Cap Marzuki-nya, juga minyak untuk menggoreng  singkong dan gas untuk merebus muthul ini bukan dari tanda cinta, tanda kasih, tanda sayang, tanda peduli, tanda perhatian, dan tanda bakti dari Marzuki,” seloroh istriku.

“Hus! Saru!” cegahku sambil senyum, “Jangan sinis begitu, dia itu calon terkuat dan terpopuler untuk gubernur provinsi kita lo.”

“Benar, Mas. Menurut saya mbakyu Ani tidak salah, Mas,” bela Kang Sarman. “Memang di lapangan begitu kok dan itu fakta. Semua telah dikepung, semua sudah disisir dan semua sudah sukses digarap Marzuki!”

“Maksudnya gimana, Kang Sarman?” tanyaku penasaran.

“Untuk mendapat suara dan dipilih rakyat, Marzuki telah merambah atau menggurita ke mana-mana, Mas,” lanjut Kang Sarman penuh semangat.

“Apa contohnya?” pancingku sambil senyum.

“Kemarin Marzuki menyumbang dan menghadiri pentas kuda lumping—jaranan terbaik asli dari Tulungagung—dan pentas reog terjoss asal Ponorogo, dan belum lama ini Marzuki juga membantu rehab bangunan panti asuhan, merampungkan pembangunan musala, meletakkan batu pertama pembangunan masjid, lalu tempo hari juga memperbaiki sekolah yang mau roboh, memperbaiki gorong-gorong dan jembatan yang rusak, menambal jalan-jalan yang berlubang, serta mengkhitankan anak yatim piatu dan menyantuni anak-anak miskin. Bahkan yang terbaru…” ujar Kang Sarman sambil diselang minum kopi.

“Bahkan yang terbaru apa, Kang Sarman?” tanyaku. “Kok tidak dilanjutkan...”

“Minggu besok Kelompok Pengajian Ibu-ibu dan Kelompok Jemaah Yasinan kampung kita akan dikunjungi dan akan diberi bantuan tikar, buku Yasin, Alquran, sarung, sajadah, busana muslimah, baju muslim, peci dan juga bantuan dalam bentuk uang kas untuk melancarkan roda kegiatan,” jawab Kang Sarman mantap sekali.

“Tujuannya untuk apa ya, Kang Sarman?” tanyaku pura-pura tidak tahu, atau berlaga tidak  nyambung, sekaligus untuk menguji pengetahuan Kang Sarman terkait manuver Marzuki, “Saya sih melihatnya sederhana saja, supaya Marzuki dapat dukungan suara dari kita, dan pada pemilukada nanti minta dipilih oleh rakyat agar jadi gubernur. Iya kan, Mas?”

“Kang Sarman setuju tidak dengan cara-cara seperti itu?” tanyaku ingin tahu isi hati dan pikiran Kang Sarman.

Kang Sarman diam sejenak, mikir juga dia rupanya, dan aku menunggu dengan sabar.

“Sebenarnya sih saya risi, bahkan tidak sepenuhnya setuju dengan cara-cara seperti itu, karena itu dilakukan tidak tulus, mboten ikhlas, ada maunya, ada tujuannya, atau ada udang di balik batunya. Dan semuanya itu demi suara!”

Aku membiarkan Kang Sarman menikmati singkong goreng yang diselingi dengan makan ubi rambat. Dia tampak menikmati kopi dan makanan yang kami suguhkan, dugaanku Kang Sarman tadi pagi belum sempat dibuatkan sarapan oleh istrinya—mbakyu Genuk.

“Kira-kira untuk semua itu, Marzuki sudah mengeluarkan uang berapa miliar ya, Mas?” tanya Kang Sarman sambil ber-hehehe, dan hehehe-nya Kang Sarman kemudian aku hentikan dengan, “Kira-kira jika Marzuki terpilih, uang yang dihabiskan itu harus kembali tidak ya selama yang bersangkutan menjabat?” kataku balik bertanya ke Kang Sarman.

Sebelum menjawab Kang Sarman berpikir dalam-dalam sehingga kesannya jadi takut salah omong. “Kalau menurut saya…kalau menurut saya…kalau menurut saya… ya pasti dipikirkan bagaimana caranya uang itu agar bisa kembali selama dia menjabat!”

“Apa alasannya, Kang Sarman?” tanyaku lagi dengan santai.

“Peribahasa mengatakan ‘tidak ada makan siang yang gratis’ di dunia ini, Mas,” ujar Kang Sarman dengan sangat cerdas, “Lha segelas kopi yang saya nikmati buatan mbakyu Ani ini, dan ditambah dengan singkong goreng dan ubi rebus ini, tidak gratiskan? Karena saya membayarnya dengan bersedia ngobrol dengan Mas Bayu Priyo. Apalagi yang bentuknya uang sampai miliaran rupiah, pasti uang itu harus kembali, Mas!”

“Makanya saya pesan, Kang…” tukasku hati-hati sekali.

“Pesan apa, Mas?” sambutnya dengan cepat dan penuh semangat.

“Awas: jangan salah memilih pemimpin,” kataku, seraya melanjutkan, “Pilihlah pemimpin yang bersih, yang bersedia mengabdi untuk rakyat, yang tulus berjuang untuk rakyat, yang ikhlas membela kepentingan rakyat, yang berasal dari rakyat, dan yang benar-benar mau bekerja untuk melayani rakyat, agar rakyat yang memilihnya menjadi lebih baik nasibnya, lebih makmur ekonominya dan lebih sejahtera hidupnya.”

“Bukan jadi preman berdasi, bukan menjadi pengisap ganja dan shabu-shabu, bukan menjadi peminum, bukan menjadi pemangsa perempuan,  bukan menjadi penjudi, bukan menjadi calo proyek, bukan menjadi pemakan uang rakyat, bukan menjadi pengisap keringat rakyat, bukan menjadi pemeras  tenaga rakyat, dan bukan juga menjadi peminum darah rakyat! Begitu ya, Mas?!”

Aku tersenyum dan tersedak ketika akhirnya aku “ditembak” dengan jitu oleh Kang Sarman, “Lha Mas Bayu Priyo itu berkampanye untuk siapa sih, atau mendukung siapa sih?!”

Setelah aku berhasil menguasai diri, aku berkata hati-hati sekali untuk tidak salah bicara. “Begini, Kang. Saya pribadi tidak punya kepentingan apa-apa. Saya hanya tidak ingin rakyat salah memilih atau keliru menentukan pemimpin, karena jika rakyat salah memilih pemimpin, rakyat juga yang harus menerima dan memikul akibatnya,” kataku.
Kang Sarman menyimak ketika aku melanjutkan omonganku. ”Uang yang dikucurkan dalam bentuk itu dan ini guna membeli suara dan agar dipilih dalam pemilukada seperti Kang Sarman bilang ‘tidak ada makan siang yang gratis’, saya setuju sekali, dan itu pasti dipikirkan bagaimana cara pengembaliannya saat yang bersangkutan menjadi pemimpin, atau saat dia duduk menjabat.”

Kang Sarman manggut-manggut, pertanda dia mengerti, maka kulanjutkan apa yang ingin aku sampaikan, ”Semua itu nantinya yang membayar dan yang menanggung akibatnya adalah rakyat, yang notabene terjebak dan terikat dengan kenikmatan sesaat berupa bantuan itu dan pemberian  ini. Maka pilihlah pemimpin yang benar-benar diajukan dan dipercaya oleh rakyat, bukan memilih pemimpin yang bisa membeli suara rakyat dan terang-terangan minta dipilih oleh rakyat!” 

Kang Sarman manggut-manggut lagi. “Nah siapa calon gubernur yang harus kita pilih nanti, saya harap Kang Sarman dan… tolong ini juga disampaikan ke teman-teman yang lainnya, jangan sampai salah memilih pemimpin. Jika kita salah memilih pemimpin, kita semua yang susah, dan yang senang adalah pemimpin yang kita pilih. Pilihlah pemimpin yang bekerja untuk rakyat dan yang mau melayani rakyat!”

Setelah berjanji untuk menonton pergelaran seni  janger yang diboyong langsung dari Banyuwangi dengan lakon Damarwulan Ngarit malam Minggu besok, dan bersedia menyaksikan pentas wayang kulit semalam suntuk dengan lakon Semar Dadi Rojo di lapangan kecamatan malam Minggu berikutnya— yang kesemuanya diiming-imingi dengan hadiah traktor, sapi, kambing, bibit sawit, bibit karet, bibit padi, bibit jagung, dan bibit ikan yang disponsori oleh Marzuki—Kang Sarman pamit pulang, dan aku melepasnya dengan senyum dan dalam hati berkata—tepatnya berdoa, ”Semoga Allah berkenan membimbing, mengarahkan, dan memberi petunjuk untuk rakyat dalam memilih gubernur—juga memilih bupati, wali kota, wakil rakyat, dan kepala desa—karena selama ini rakyat secara sistematis dan terencana sudah dibimbing, diarahkan, dan diberi petunjuk untuk hanya memelih seseorang dengan serangkaian program-programnya yang manis di awal, dan semoga setelah terpilih dan menjabat tidak banyak melukai hati dan perasaan rakyat yang memilihnya, yakni dengan jalan melaksanakan kontrak politik dan mewujudkan janji-janji manis bermadunya. Tolonglah ya Allah, agar rakyat jangan sampai terus-menerus menjadi susah, dan menjadi korban atas berbagai tanda cinta, tanda kasih, tanda sayang, dan tanda bakti yang diterimanya dengan membayar harga yang sangat mahal, berupa penyesalan dan penderitaan yang harus dipikulnya selama sedikitnya lima tahun,” ujarku sambil menghela napas dalam dan berat.

—Brajaselebah, Lamtim, Agustus-September-November 2013           
    
    
Lampung Post, Minggu, 8 Desember 2013

No comments:

Post a Comment