Cerpen Ganjar Ayu
PEREMPUAN itu selalu melewati jalan raya yang menjadi jalan utama dengan menaiki sepeda usangnya. Wajahnya sebagian tertutup topi caping warna cokelat tua. Pakaiannya pun biasa saja. Kalau tidak celana panjang hitam, pasti rok lebar dengan corak bunga-bunga.
Sepeda usang yang selalu ia kayuh dengan semangat itu, bukan sembarang sepeda biasa. Sepeda itu seperti layaknya mobil pengangkut barang hasil bumi dari desanya. Di kanan kiri bagian belakang sepeda yang biasanya berfungsi untuk membonceng orang, digantung semacam kantung besar dari bahan karung goni untuk meletakkan sayuran. Sementara di atas batang besi penyambung dekat setang diikat pula sayuran lain yang mungkin tidak muat diletakkan di kantung besar tadi. Di dekat setang sepedanya kadang menggantung juga hasil palawija lain, seperti jagung atau umbi-umbian. Pokoknya sepeda tua usang itu selalu berisi penuh dengan hasil bumi. Entah bagaimana caranya ia bisa mengimbangi beban berat yang ia bawa dengan kekuatan sepeda usang itu sendiri.
Kadang-kadang, jika musim buah rambutan atau bengkuang tiba, kantong besar dan di dekat setang sepedanya itu terisi ikatan rambutan memerah yang siap dibeli kapan saja oleh yang berminat. Tidak harus dijualkan hingga sampai di pasar. Kalau ada yang hendak membeli ketika ia masih di tengah jalan, pasti ia ladeni. Kadang ikatan buah-buahan itu berjumlah dua atau satu-satu. Boleh dibeli satu ikat saja atau dua-duanya. Harganya pun terjangkau.
Sepeda tua itu memang setia mengantarkan tuannya hingga sampai ke tujuan.
Kalau dari arah ia datang, jarak yang ditempuh hingga mencapai pasar atau tempat tujuannya berjualan tidaklah dekat. Bisa berkilo-kilometer, melewati banyak jalan raya dan jalan kecil.
Saat pagi baru merekah saat orang lain baru mau memulai berkarya mengejar cita, ia bisa lebih pagi terlihat mengayuh sepeda. Menjelang malam kayuhannya melintas di sepanjang jalan itu lagi.
Perempuan bersepeda itu raut mukanya selalu biasa saja. Datar. Tanpa ekspresi dan tidak terlihat lelah. Kalau boleh dibilang, tampaknya ia sangat menikmati pekerjaannya ini. Bahkan ketika barang yang ia bawa tidak berkurang banyak alias tidak laku dibeli.
Aspal jalan serta debu adalah saksi bagaimana ia berjuang demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
***
Hari ini perempuan paruh baya itu menuntun sepedanya pelan-pelan. Tidak ia naiki.
Wajahnya lebih muram dari biasanya. Caping cokelat yang menemani ia sehari-hari makin kusam warnanya, tetapi tidak dapat menutupi kemuraman dirinya. Sepeda ia tuntun pelan-pelan seperti tanpa nyawa.
Angin yang kencang berhembus menambah kesan kesedihan yang ditebarkan perempuan tegar itu. Mestinya hembusan angin yang tidak biasa itu, bisa meluruhkan segala sesuatu yang tidak menyenangkan. Nyatanya tak mampu juga. Bahkan perempuan itu sedikit kepayahan mempertahankan posisi caping yang ikut berlari ke samping kanan dan kiri, mengikuti hembusan angin kencang tadi.
Rok polos cokelat tua dengan sedikit corak kembang-kembang yang ia kenakan hari ini juga sempat merepotkannya. Angin mengibarkan rok yang tidak terlalu lebar tersebut bersamaan dengan caping di kepalanya. Maka, demi tidak membuatnya lebih repot, perempuan itu berhenti di pinggir trotoar jalan. Sepeda ia parkirkan di dekat situ. Ia usahakan tidak mengganggu lalu lintas yang melintas di sekitarnya. Perempuan itu beristirahat sejenak di samping sepedanya.
Ketika caping ia buka, terlihat rambut hitamnya dicempol ke atas. Begitu caping terbuka, cempolan rambutnya itu meluruh, menjadikan rambutnya terurai lepas.
Ternyata, meski dengan segala beratnya ia menanggung hidup, perempuan paruh baya ini masih bisa mengurus dirinya sendiri. Dibuktikan dengan rambut hitamnya itu. Jenis rambut seperti itu adalah jenis rambut yang dipelihara meski dengan cara tradisional biasa. Ia juga sempat mengikat kembali rambutnya.
Caping kembali ia kenakan.
Angin yang membuatnya berhenti sejenak ini, masih terus berhembus kencang. Langit mendung menandakan hujan yang bisa jadi akan kembali datang. Semalam memang hujan mengguyur bumi membuat tanah basah tak tersisa. Sisa genangan air hujan pun masih terlihat di jalanan ini terutama di tempat yang sedikit berlubang. Kalau tidak hati-hati, bisa menimbulkan masalah.
"Hhh...," perempuan itu mendenguskan napasnya.
Sebentuk keresahan lain muncul di raut wajah tuanya seiring awan hitam yang makin menutupi alam raya.
Dalam ingatannya muncul banyak hal yang mengharuskan ia berjuang seperti sekarang. Tentang masa lalunya yang ditinggal suami hanya demi janda muda di kampung sebelah di saat anak mereka masih kecil-kecil. Tentang asal muasal ia bisa bekerja seperti sekarang karena kebaikan Wak Haji yang memiliki kebun palawija dan memberi kesempatan padanya untuk menjualkan ke kota. Tentang kebutuhan hidup yang makin mengimpit termasuk keharusannya berutang kepada seorang rentenir dan tentang usianya yang kian menua, tetapi ia harus terus bekerja sendiri seperti sekarang, tidak berubah sejak bertahun-tahun lalu.
Perempuan itu melepaskan capingnya lagi, tapi talinya sengaja ia ikatkan di bawah leher sehingga capingnya menggantung di punggung belakang.
Matanya menatap awan-awan yang kian berarak menghitam. Angin kencang sudah sedikit berkurang. Kendaraan malah yang makin banyak berlalu lalang .
Di antara awan-awan yang berarak menghitam itu, tampak wajah ketiga anak kebanggaannya. Yang bungsu masih sekolah di bangku akhir SMA. Yang kedua sedang kuliah D-3 di sebuah lembaga bahasa. Dan, yang pertama akan diwisuda seminggu lagi. Atas prestasi ketiga anaknya ini, membuat perempuan itu kian bergairah, bersemangat, dan bangga karenanya terutama apa yang akan terjadi pada si sulung. Kerja keras selama ini membuahkan sebuah hasil berupa prestasi berarti dalam balutan sebuah gelar sarjana ekonomi yang akan disandang si sulung. Bahkan oleh karenanya, selepas wisuda nanti, si sulungnya akan langsung bekerja di sebuah perusahaan besar di kota ini. Ada kebanggaan berlipat-lipat menyeruak di dadanya.
Terbayang, seminggu lagi ia bisa menyaksikan sebuah pesta wisuda yang selama ini tidak pernah ia ketahui. Jangankan ketahui, bagaimana bentuknya saja ia tidak tahu. Yang ia tahu, anak terkasihnya itu akan menjadi bagian dari sebuah kegiatan sebagai tanda akan sahnya kelulusan sang anak dari perguruan tinggi yang selama ini menjadi tempatnya menuntut ilmu.
Senyum tipis berkembang terlukis di wajah perempuan sederhana itu.
Tidak sia-sia apa yang ia korbankan selama ini.
Dari pekerjaan yang ia lakoni tiap hari dalam sekian tahun ini akan membuahkan kebanggaan yang membuat nafasnya lebih terasa lega. Tidak peduli karenanya ia harus banyak berkorban bahkan tak sempat memikirkan lebih untuk dirinya sendiri.
Perempuan itu benar-benar merasa bahagia mengingat itu semua.
Tapi... Sebelum semua terjadi, hari ini ia harus mencari duit untuk mencukupi syarat pembayaran wisuda anaknya itu yang harus dibayarkan besok. Jika tidak dibayarkan besok, buyarlah segala bayangnya tadi. Si sulung tidak akan bisa mengikuti wisudaannya.
Mata perempuan itu beralih pada segala barang dagangannya di sepeda usangnya. Barang-barang dagangannya itu sejak kemarin hanya berkurang sedikit. Itu berarti hasil penjualannya hanya menghasilkan uang yang tidak banyak, tidak cukup untuk menutupi kebutuhan wisuda si sulung. Padahal uang yang dibutuhkan bukanlah jumlah yang kecil untuk ukuran dirinya.
Apakah ia harus berutang lagi kepada sang rentenir? Bukankah utangnya sudah menumpuk di sana dan entah kapan bisa terbayarkan?
Hati perempuan itu kembali terkoyak-koyak. Kebanggaan serta kebahagiaan yang sesaat memenuhi jiwa raganya layaknya sebuah kertas, sedikit demi sedikit mulai terkoyak menjadi belahan kecil-kecil. Meskipun mungkin bisa dipungut lagi dan disatukan seperti puzzle, dengan kondisi seperti sekarang, kerapuhan dan kelemahan hati, sekonyong-konyong menguasai diri hingga mencapai kedalaman semangat serta perjuangannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Belum lama otak perempuan itu berpikir keras, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah mobil yang melintas cepat. Karena kecepatannya, lubang di tengah jalan yang membuat genangan sisa hujan tadi malam memuncrat tepat membasahi hampir keseluruhan barang dagangannya. Sayur-mayur dan sedikit buah-buahan yang ia bawa menjadi basah dan agak kotor karenanya.
Perempuan itu terkejut. Tapi, ia tak bisa apa-apa sebab mobil yang menyebabkan hal ini sudah melaju kencang. Tinggal pandangannya saja memelas. Sedikit bingung dengan segala kejadian yang begitu cepat.
Tak sampai lima menit ia merenungi kejadian itu, dari atas kepalanya terasa ada air jatuh dari langit. Sontak ia mendongak ke atas.
Astaga.
Sudah akan mulai hujan lagi.
Tanpa ba-bi-bu lagi, perempuan itu dengan tangkas langsung membuka tas kecil yang ia bawa. Di sana ada sebuah plastik putih lebar yang sudah ia modifikasi sedemikian rupa hingga menyerupai jas hujan. Sebelum hujan lebih deras, ia kenakan plastik putih tersebut yang menutupi tubuh bagian atasnya.
Mengingat waktu yang kian menghimpit maka perempuan itu segera pula melepas standar sepedanya kemudian mengayuhnya, menuju ke pasar tujuannya.
Ketika baru tiga-empat ia kayuh sepeda, hujan deras tanpa ragu turun dari langit menuju tanah pertiwi. Banyak manusia yang tidak sempat berlindung dari serangan hujan tersebut minggir buat sekadar berteduh.
Tapi, tidak dengan perempuan itu.
Tak ada tanda-tanda ia akan kembali menepi.
Ia terus mengayuh sepeda usangnya. Walaupun jalannya melambat, hujan deras tidak menghalangi niatnya. Dalam niatnya hari ini, ia harus mencari duit lebih banyak. Untuk sebuah cita-cita, untuk sebuah masa depan anak kebanggaan dan tercintanya.
Senyum tipis mengiring kayuhan sepeda di sela hujan yang tidak mau kompromi. Semangatnya kembali tumbuh.
Perempuan itu biasa dipanggil Yu Ngatemi.
Dan, aku adalah anak sulungnya....
(kenangan rumah Pasir Gintung)
Lampung Post, Minggu, 26 Juni 2011
No comments:
Post a Comment