Cerpen Tarpin A. Nasri
DYAH Nareswari Pramodya Wardhani adalah adik kelasku ketika kami sama-sama di SMP. Tapi aku tidak terlalu akrab dengan Dhani. Aku hanya tahu dan kenal Dhani. Tak lebih dan tak kurang. Maklum selain Dhani itu paling manis dan tercantik di sekolah kami, Dhani juga anak orang paling tajir di kecamatan kami. Meski cuma untuk cinta monyet, hanya siswa yang sepadan sajalah yang sepatutnya dekat dengan Dhani. Aku, Galih Prabu Kreshna, mana berani mendekati Dhani. Pungguk merindukan bulan kupikir masih wajar, tapi kalau aku sampai berani ngesir Dhani, artinya aku sudah lebih edan dari si pungguk yang merindukan bulan. Aku benar-benar tidak ngaca, alias tidak tahu diri bila sampai nekat mencintamonyeti Dhani.
Tapi siapa sangka setelah kami tamat SMP dan tidak bertemu dalam kurun waktu puluhan tahun, kini kami dipertemuakan kembali. Kami sama-sama bekerja di sebuah perusahaan yang dimerger. Kami kini bekerja di perusahaan tambak udang. Kami berkerja dalam satu atap. Hanya beda divisi dan beda ruang kerja.
Karena kami bekerja di perusahaan yang sama, kami jadi sering ketemu. Di antaranya bila kami makan siang atau kalau aku ada keperluan ke divisi tempat Dhani bekerja.
Witing tresno jalaran soko kulino tak dapat kami hindari. Bermula dari kadang-kadang ketemu, lalu sering bertemu, benih-benih sukaku kepada Dhani tumbuh dengan subur dari hari ke hari, dan akhirnya cintaku kepada Dhani mekar tanpa dapat kukerangkeng. Hanya masing-masing kami masih eling.
Untuk mengatakan isi hatiku, jelas aku tak boleh gegabah, karena meski rumah tanggaku tidak terlalu bahagia, dan rumah tangga Dhani juga tengah digempur masalah, tentu cinta ini tak boleh diumbar begitu saja. Selain rawan gosip dan kami bukan ABG lagi, masing-masing dari kami juga masih terikat pernikahan.
Aku dan Dhani lebih memilih menenggelamkan diri pada pekerjaan dan hobi kami masing-masing, dari pada memanjakan cinta kami dengan mencari-cari kesempatan untuk bertemu dan berdekat-dekatan.
Sejalan dengan laju waktu, tampaknya cinta kami terus bertumbuh tanpa bisa dicegah. Aku juga menangkap indahnya pesona sinyal-sinyal keseriusan cinta Dhani. Hanya kami sama-sama masih menahan diri untuk mengutarakannya. Alhamdulillah. Rem cinta kami masih pakem.
***
SETENGAH tahun kemudian aku hampir menyerah oleh hasrat cintaku kepada Dhani yang mendera tanpa ampun. "Maafkan aku, Dhani. Aku... aku..." kataku gagap dan tak lanjut.
"Ada apa, Mas Galih?" sambutnya ketika kami kebetulan makan siang bersama di kantin yang siang itu agak sepi.
"Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu," jawabku. "Tapi nanti saja deh. Ayo sekarang kita makan dulu," elakku berusaha ceria, sekaligus menyelamatkan diri dari sergapan masalah yang hampir pasti bakal membelit kami bila dimanjakan.
Aku makan di depan Dhani dengan hati bergemuruh dan kepala menggasing. "Harus dari manakah aku mengutarakan cintaku yang tulus kepadamu, Dhani?"
Karena aku tak siap dengan risiko ditolak mentah-mentah, dan aku juga tak sanggup jika disebut tak tahu diri, niatku untuk bilang ‘aku cinta padamu’ kukandaskan begitu saja. Aku takut keliru dan salah menangkap sinyal cinta Dhani.
Meski aku tidak terus bilang "aku cinta kepadamu", aku menyalurkan hasrat ikhlasku kepada Dhani dengan mengirim short message service (SMS) secara berkala, seperti mengucapkan: assalamu’alaikum dan selamat pagi, tanya: apa kabar, mengingatkan: sudah makan siang atau salat belum, sampai kepada pesan yang lebih spesial dan tendensius: jangan lupa istirahat, kerja yang rajin, jaga kesehatan, jaga diri, jaga kehormatan, atau ngecek dengan penuh perhatian : gimana kabar anak-anak.
***
KETIKA kebersamaan kami genap setahun, tentunya kami tidak bisa terus begini. Ini adalah sepenggal cinta terlarang. Cintaku kepada Dhani yang menggunung bisa memuncratkan lahar aib bila diteruskan. Sementara itu aku juga merasakan cinta Dhani kepadaku dihadapkan pada kondisi seperti harus makan buah simalakama. Karena Dhani bukan wanita bebas. Dhani wanita berstatus. Itulah tebing karang tajam yang tak dapat kupanjat, setelah di ceruknya kurenggut cinta Dhani.
Dari pada menuai badai dan diamuk bencana, aku mengambil sikap untuk menjauhi Dhani. Ketika ada peluang mutasi dalam grup perusahaan, aku ambil kesempatan emas itu. Kini kami sudah direntangkan jarak hampir ribuan kilometer, dihalangi gunung dan dipisahkan lautan. Tapi jarak, gunung, dan lautan ternyata tak mampu membentengi dan memisahkan getar cinta kami. Karena aku ternyata tak bisa menolak telepon dan SMS Dhani. Dan ketika kami tak bisa lagi menghindar untuk bertemu, maka pertemuan itu terjadi di saat kami sama-sama mengambil cuti tahunan.
Kami bertemu di Bali. “Selamat datang di Bali. Gimana kabar anak-anak dan suamimu, Cinta,” sapaku ketika aku menjemputnya di Bandara Ngurah Rai.
Aku tak mencium pipinya, aku hanya menjabat tangannya, yang kemudian tanganku oleh Dhani dicium dengan lembut dan mesra. Tuhan, inikah pertanda cinta sejati Dhani kepadaku? Batinku tergetar dahsyat.
"Kabar anak-anak, alhamdulillah baik dan sehat...," yang kemudian ditutup dengan tangis kecil Dhani yang tiba-tiba pecah. Aku jadi tak nyaman karena tangis itu pasti terkait dengan ulah suaminya.
Akhirnya aku memeluk bahunya, lalu kami berjalan menuju mobil yang sengaja kusewa selama kami liburan di Bali. "Kamu semakin manis dan kian cantik sekali, Sayang," pujiku yang langsung mengepitingrebuskan wajah Dhani. Kulihat Taman Sriwedari bermekaran di kedua kelopak matanya.
"Karena selalu ditelepon dan di-SMS sehingga menjadikan cintaku kepadamu menjadi seperti ini, Kasih," jawabnya dengan manja. "Efeknya semoga aku jadi bertambah manis dan kian cantik sekali kan?" lanjutnya dengan manja dan menggemaskan.
Karena sudah waktunya makan siang aku langsung mengajak Dhani makan di Pantai Kuta. Selama makan aku tak membicarakan cinta kami yang terlarang. Aku menjaga dan takut merusak selera makan Dhani. Hanya ketika senja jatuh dan merona di Pantai Kuta, aku mulai menyinggung hubunganku dengan Dhani.
"Jujur, aku tak bisa melupakanmu, Honey," ujarku. "Semakin kubunuh dirimu dari hati dan pikiranku, engkau semakin hidup. Engkau tak bisa kubuang dari napas dan detak jantungku. Engkau tak bisa kulenyapkan dari aliran darahku," lanjutku.
Dhani tampak menikmati sekali curhat-ku. Kalau sudah begini, siapa sih lelaki yang sanggup untuk berpisah dengan Dhani?
"Buatku dirimu sudah jadi napas kerjaku dan nyawa hidupku, Kasih," kataku lagi. "Tapi kutahu ini adalah cinta yang salah, My Sun!"
Dhani melonggarkan rapat pelukannya dariku. "Mencintaimu dengan segenap jiwa ragaku, bukankah tidak harus memiliki, Arjunaku?"
Aku menatap mata dan wajah Dhani dan di sana kutemukan cinta tercetak dengan megah tanpa dusta. Sayangnya dilihat dari sudut mana pun cinta kami itu tak ada yang membenarkan. "Ya, cinta kita tidak harus bersatu, Srikandiku," sambutku layu.
***
AKU benar-benar tak tega merusak kebahagiaan Dhani selama berlibur di Bali. Tapi di hari menjelang Dhani pulang, kabut malas untuk berpisah berarak di wajah dan mata Dhani yang terus mewartakan duka. "Berpuluh-puluh tahun kumimpikan dan kurindukan kebahagiaan yang manis dan indah seperti ini, tapi waktu begitu cepat berlalu. Seakan baru kemarin kita bertemu dan kini kita harus berpisah. Asal tahu saja, aku sejatinya tak sanggup berpisah denganmu. Tolong selamatkan aku dari neraka kehidupan rumah tanggaku, Romeoku..." rintih Dhani menyilet, merobek, dan menggedor hatiku.
"Aku bisa saja mengangkatmu dari neraka hidupmu, Julietku," jawabku. "Tapi tolonglah jaga hati suamimu dan perasaan anak-anak. Mereka sangat membutuhkanmu, Sayang," lanjutku dengan hati-hati. Aku harus berani dan aku harus kuat. Aku tak boleh lembek. Apalagi mewek. Aku laki-laki. Laki-laki harus tegar.
"Lantas Mas sendiri gimana?" tanya Dhani.
"Meski aku belum menemukan kebahagiaan, aku tak menghendaki hati dan perasaan anak-anakku rusak, Kasih."
"Itu artinya kita harus berkorban untuk mereka, Pranacitraku?"
Aku memegang kedua bahu Dhani, lalu kutatap wajah dan matanya dengan cintaku yang tak pernah berkurang secuil pun. "Kebahagiaan anak-anak kukira lebih penting dan segalanya, Roro Mendutku."
Dhani kemudian memelukku dan menangis di dadaku. Kubiarkan Dhani menangis sampai pesawatnya yang akan membawanya ke Jakarta siap.
"Lalu gimana dong dengan cinta kita selanjutnya, Mas?"
"Jujur, apa yang kamu rasakan, aku juga merasakannya, dan bukankah semua itu sudah menyatu di hati kita, mengalir di darah kita, berdetak di jantung kita, mengalun di napas kita, dan berdenyut di nyawa kita. Percayalah, engkau dan aku itu satu. Galih dan Dhani itu tak terpisahkan."
"Apakah ini artinya kita menyerahkan semua ini kepada apa yang telah digariskan Tuhan, Ramaku?" desak Dhani penuh kasih dan sayang.
"Ya! Kalau kita berjodoh, kita pasti akan disatukan Tuhan. Oleh sebab itu, mulai saat ini mari kita belajar, berusaha, dan bekerja mahakeras guna menghindari pertemuan berisiko tinggi seperti ini semampu yang bisa kita lakukan, Shintaku."
Aku mengantar Dhani sampai pesawat yang membawanya mengudara meninggalkan Ngurah Rai. Setelah itu aku melangkah ke mobilku. "Demi Tuhan, aku mencintaimu, Dhani," ujarku dalam hati. "Tapi kita tahu, ini adalah cinta yang sangat terlarang untuk diteruskan dan tidak baik untuk anak-anak kita, Sayang," lanjutku pasrah.
Aku menyetir mobil sambil melamun, karena mobil yang kularikan sudah di jalan sepi menuju perkampungan Bali yang begitu asri. "Tuhan, jika Dhani itu memang jodohku, kumohon satukanlah kami dalam cinta abadi kapan dan di mana pun. Tapi bila Dhani dan aku bukanlah belahan jiwa, tolong anugerahkanlah kebahagiaan buat rumah tangga dan anak-anak kami terkasih dan tersayang," ujarku.
Tuhan, kepada-Mu semua ini kuserahkan. Aku tak mungkin berpaling dari-Mu.... n
Brajaselebah, Lampung Timur, Juni 2011
Lampung Post, Minggu, 5 Juni 2011
No comments:
Post a Comment