Cerpen Syaiful Irba Tanpaka
BONGKOT terpesona memandangi malam yang bewarna biru keemasan. Menurut dia, inilah malam yang paling menakjubkan dibanding dengan malam-malam yang pernah ia lihat sebelumnya. Betapa tidak! Kegelapan malam yang biasanya berwarna hitam, kali ini berwarna biru. Dan di atas bentangan warna biru itu ada sepuhan aura warna keemasan yang bening berkilau. Sungguh membuat setiap orang yang melihatnya pastilah terpukau.
Mulanya Bongkot tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Bagaimana mungkin kegelapan malam bisa berwarna biru keemasan," pikirnya.
"Warna apakah yang kau lihat di kegelapan malam ini, kawan?"
"Warna biru keemasan!" jawab kawan.
"Warna apakah yang kau lihat di kegelapan malam ini, teman?"
"Warna biru keemasan!" sahut teman.
Bongkot masih ragu-ragu mendengar jawaban kedua sobatnya. "Jangan-jangan karena kami bertiga terlalu banyak minum alkohol," pikirnya lagi. Bongkot lalu menarik perempuan yang ada di sebelahnya.
"Sayang, warna apakah yang kau lihat di kegelapan malam ini?"
"Warna biru keemasan!" ucap perempuan di sebelahnya.
"Memang kenapa kau bertanya serupa itu, sayang?"
"Kamu tidak bergurau, kan?"
"Kenapa aku harus bergurau untuk mengatakan sesuatu yang kulihat dengan benar."
"Kalau begitu katakan sekali lagi kepadaku!"
"Warna biru keemasan!"
Sementara penyanyi duet di atas panggung pertunjukan melantunkan lagu romantis Jangan Ada Dusta di Antara Kita yang dipopulerkan Broery Pesolima dan Dewi Yull di tahun ‘90-an.
Semua terserah padamu
Aku begini adanya
Kuhormati keputusanmu
Apapun yang akan kau katakan...
Bongkot menatap dalam-dalam wajah perempuan yang ada di sebelahnya. Wajah cantik dengan polesan make-up yang menggiurkan. Dengan tatapan mata sayu menantang gairah setiap laki-laki.
"Bisakah kupercaya ucapan gadis yang biasa mengumbar kata-kata manis ini? Gadis yang sering penuh basa basi untuk menyenangkan tamu yang ditemaninya. Atau jangan-jangan dia telah mendengar perkataan kawan dan teman?" Bongkot menimbang-nimbang. Ia ingin percaya tapi hatinya tidak begitu yakin.
"Sayang, kenapa memandangku seperti itu?"
"Eh, tidak. Aku hanya ingin meyakinkan diriku."
"Tentang apa? Tentang malam yang berwarna biru keemasan?" suara si perempuan dengan renyah dan manja.
Bongkot tidak menjawab. Ia berdiri dari kursinya dan perlahan melangkah menuju panggung pertunjukan. Kemudian ia mengambil mikrofon dari tangan seorang penyanyi. Seketika musik berhenti.
"Saudara-saudara, maaf kalau saya sudah mengganggu keasyikan kalian," suara Bongkot berkumandang.
Para pengunjung kafe yang didesain di tengah alam terbuka itu serentak bergumam: "Huuuuuu...!"
"Sebelum kita lanjutkan, saya ingin bertanya kepada kalian, warna apakah yang kalian lihat di kegelapan malam ini?"
Seperti dikomando para pengunjung kafe menjawab, "Warna biru keemasan!"
"Apa peduli kita dengan warna malam?" teriak seorang pengunjung.
"Mau biru, mau merah, kuning, hijau, ungu, di sini kita cuma butuh kesenangan!"
"Betul..., kita cuma butuh kesenangan!" timpal yang lain.
"Tapi ada baiknya kita dengar ucapan lelaki yang memegang mikrofon di panggung itu. Barangkali ia ingin meyakinkan penglihatannya bahwa malam ini betul-betul berwarna biru keemasan," ucap pengunjung yang lain lagi.
"Aku setuju denganmu kawan. Setidaknya kita jangan hanyut dengan diri kita masing-masing. Aku juga mulai menaruh perhatian, kenapa malam ini berwarna biru keemasan," tambah seseorang lainnya.
"Kamu mulai terprovokasi oleh lelaki itu," sungut seorang pengunjung.
"Bukan begitu, aku hanya ingin menghormati pandangannya. Mungkin betul juga pendapatnya, kita memang harus punya kepedulian terhadap lingkungan. Bukankah suatu keanehan ketika kita melihat malam ini berwarna biru keemasan?" balas seseorang lainnya.
"Ach..., sudahlah kawan, lupakan lelaki di atas panggung itu. Mari kita jelang kembali kenikmatan kita yang sudah terganggu."
Kemudian lelaki yang baru saja berkata itu mengajak kawan-kawannya mengangkat gelas, melakukan tos dan menenggak minuman di gelas masing-masing. Lalu tertawa terbahak-bahak.
"Anggap saja kita sedang berada di surga. Hahahaaa...!"
Bongkot memandangi satu per satu pengunjung kafe. Tapi tak satu pun dari mereka yang ada memperhatikannya. Semua asyik tenggelam dalam diri atau kelompok masing-masing. Tercenung, bernyanyi kecil, mengobrol, bercanda, merayu, dan bermesraan dengan pasangannya.
"Baiklah, Saudara-saudara. Sekali lagi saya minta maaf, dan terima kasih sudah mau menjawab pertanyaan saya."
Namun, kali ini tak ada satu pun pengunjung kafe yang bereaksi. Bongkot menyerahkan mikrofon pada penyanyi. Kemudian ia kembali ke tempat duduknya. Musik kembali bergema.
Memang kau bukan yang pertama bagiku
Pernah satu hati mengisi hidupku, dulu.....
Dan kini semua kau katakan padaku
Jangan ada dusta di antara kita...
Bongkot masih tercenung. Pandangannya jauh menembus malam yang berwarna biru keemasan. Menurutnya; inilah malam yang paling menakjubkan dibanding dengan malam-malam yang pernah ia lihat sebelumnya.
"Sayang..., ngapain sih mikirin warna malam. Kurang kerjaan."
Namun, Bongkot seperti tidak mendengarkan ucapan perempuan di sebelahnya. Ia masih asyik mereka-reka. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi?
Apakah gerhana matahari, gerhana bulan, atau mungkin pengaruh global warming! Bongkot tiba-tiba nyengir sendiri. Mana mungkin pengaruh global warning. Sebab kalau karena hal itu, pastilah warna malam bukan biru keemasan, melainkan kuning kecokelat-cokelatan, atau merah membara sebagai cermin dari kegersangan dan udara panas menggila.
"Sayang, minum lagi yuk! Jangan bikin aku seperti patung dong, dicuekin."
Bongkot mengambil gelas yang disodorkan dan menenggak minuman Black Label yang terisi di gelas itu. Beberapa saat kemudian tatapannya kembali pada perempuan disebelahnya. Mencoba tersenyum, tapi tiba-tiba ia terkejut ketika melihat baju perempuan di sebelahnya yang juga berwarna biru keemasan.
"Sayang, apa warna baju yang kau pakai?"
"Warna biru keemasan!"
"Kamu tidak bergurau, kan?"
"Kenapa aku harus bergurau untuk mengatakan sesuatu yang kulihat dengan benar."
"Kalau begitu katakan sekali lagi kepadaku!"
"Warna biru keemasan!"
Sementara di atas panggung pertunjukan; seorang gadis cantik sedang melantunkan lagu kasmaran Cinta Satu Malam yang dipopulerkan Melinda tahun 2010.
Walau cinta kita sementara
Aku merasa bahagia
Kala kau kecup mesra di keningku
Kurasa bagai di surga....
"Sayang..., kamu dengar lagu itu?"
"Tentu...!"
"Nah, itu pas untuk kita, daripada mikirin warna malam."
"Masak, sih," Bongkot tertawa. Si perempuan juga ikut tertawa.
"Ya iyalah, hehe..." dengan gesit jemari si perempuan mencubit lengan Bongkot.
"Auw...."
"Kamu suka, kan?"
"Suka apa?"
"Romantisme...."
"Selalu suka."
"Kalau gitu...."
"Apa sayang...."
"Kecup keningku, walau sementara, aku merasa bagai disurga xixixi...." senarai si perempuan memejamkan mata. Bongkot lalu mengecup kening si perempuan juga sambil memejamkan mata. Lama adegan itu berlangsung tanpa ada seorang pun yang memperhatikan.
Cinta satu malam oh indahnya
Cinta satu malam buat kumelayang...
Suara gadis cantik terus berkumandang membasahi malam. Sebagian dari pengunjung mulai berhambur dan berjoget di depan panggung pertunjukan. Irama house music membuat mereka aktase. Bergoyang dan terus bergoyang.
Bongkot dan si perempuan masih berciuman. Saling memeluk dan membelai. Dan perlahan-lahan tubuh mereka berdua melayang. Melayang dan terus melayang. Membumbung tinggi ke angkasa raya.
"Sayang, aku mau dibawa ke mana?"
"Lho, bukannya kamu yang membawa aku?"
"Jangan bercanda, sayang...."
"Sungguh....!"
"Lalu kita akan kemana?"
"Entah! Mungkin ke surga/"
"Menjadi Adam dan Hawa?"
"Hehee...."
"Kok tertawa?"
"Asyik aja dari dunia turun ke surga."
"Apa surga juga berwarna biru keemasan?"
Bongkot kembali tertawa. Dia memandangi malam yang bewarna biru keemasan. Menurut dia, itulah malam yang paling menakjubkan dibanding dengan malam-malam yang pernah ia lihat sebelumnya. Betapa tidak! Kegelapan malam yang biasanya berwarna hitam, kali ini berwarna biru. Dan di atas bentangan warna biru itu ada sepuhan aura warna keemasan yang bening berkilau. Sungguh membuat setiap orang yang melihatnya pastilah terpukau.
Bandar Lampung, 010/12
Lampung Post, Minggu, 1 Juli 2012
BONGKOT terpesona memandangi malam yang bewarna biru keemasan. Menurut dia, inilah malam yang paling menakjubkan dibanding dengan malam-malam yang pernah ia lihat sebelumnya. Betapa tidak! Kegelapan malam yang biasanya berwarna hitam, kali ini berwarna biru. Dan di atas bentangan warna biru itu ada sepuhan aura warna keemasan yang bening berkilau. Sungguh membuat setiap orang yang melihatnya pastilah terpukau.
Mulanya Bongkot tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Bagaimana mungkin kegelapan malam bisa berwarna biru keemasan," pikirnya.
"Warna apakah yang kau lihat di kegelapan malam ini, kawan?"
"Warna biru keemasan!" jawab kawan.
"Warna apakah yang kau lihat di kegelapan malam ini, teman?"
"Warna biru keemasan!" sahut teman.
Bongkot masih ragu-ragu mendengar jawaban kedua sobatnya. "Jangan-jangan karena kami bertiga terlalu banyak minum alkohol," pikirnya lagi. Bongkot lalu menarik perempuan yang ada di sebelahnya.
"Sayang, warna apakah yang kau lihat di kegelapan malam ini?"
"Warna biru keemasan!" ucap perempuan di sebelahnya.
"Memang kenapa kau bertanya serupa itu, sayang?"
"Kamu tidak bergurau, kan?"
"Kenapa aku harus bergurau untuk mengatakan sesuatu yang kulihat dengan benar."
"Kalau begitu katakan sekali lagi kepadaku!"
"Warna biru keemasan!"
Sementara penyanyi duet di atas panggung pertunjukan melantunkan lagu romantis Jangan Ada Dusta di Antara Kita yang dipopulerkan Broery Pesolima dan Dewi Yull di tahun ‘90-an.
Semua terserah padamu
Aku begini adanya
Kuhormati keputusanmu
Apapun yang akan kau katakan...
Bongkot menatap dalam-dalam wajah perempuan yang ada di sebelahnya. Wajah cantik dengan polesan make-up yang menggiurkan. Dengan tatapan mata sayu menantang gairah setiap laki-laki.
"Bisakah kupercaya ucapan gadis yang biasa mengumbar kata-kata manis ini? Gadis yang sering penuh basa basi untuk menyenangkan tamu yang ditemaninya. Atau jangan-jangan dia telah mendengar perkataan kawan dan teman?" Bongkot menimbang-nimbang. Ia ingin percaya tapi hatinya tidak begitu yakin.
"Sayang, kenapa memandangku seperti itu?"
"Eh, tidak. Aku hanya ingin meyakinkan diriku."
"Tentang apa? Tentang malam yang berwarna biru keemasan?" suara si perempuan dengan renyah dan manja.
Bongkot tidak menjawab. Ia berdiri dari kursinya dan perlahan melangkah menuju panggung pertunjukan. Kemudian ia mengambil mikrofon dari tangan seorang penyanyi. Seketika musik berhenti.
"Saudara-saudara, maaf kalau saya sudah mengganggu keasyikan kalian," suara Bongkot berkumandang.
Para pengunjung kafe yang didesain di tengah alam terbuka itu serentak bergumam: "Huuuuuu...!"
"Sebelum kita lanjutkan, saya ingin bertanya kepada kalian, warna apakah yang kalian lihat di kegelapan malam ini?"
Seperti dikomando para pengunjung kafe menjawab, "Warna biru keemasan!"
"Apa peduli kita dengan warna malam?" teriak seorang pengunjung.
"Mau biru, mau merah, kuning, hijau, ungu, di sini kita cuma butuh kesenangan!"
"Betul..., kita cuma butuh kesenangan!" timpal yang lain.
"Tapi ada baiknya kita dengar ucapan lelaki yang memegang mikrofon di panggung itu. Barangkali ia ingin meyakinkan penglihatannya bahwa malam ini betul-betul berwarna biru keemasan," ucap pengunjung yang lain lagi.
"Aku setuju denganmu kawan. Setidaknya kita jangan hanyut dengan diri kita masing-masing. Aku juga mulai menaruh perhatian, kenapa malam ini berwarna biru keemasan," tambah seseorang lainnya.
"Kamu mulai terprovokasi oleh lelaki itu," sungut seorang pengunjung.
"Bukan begitu, aku hanya ingin menghormati pandangannya. Mungkin betul juga pendapatnya, kita memang harus punya kepedulian terhadap lingkungan. Bukankah suatu keanehan ketika kita melihat malam ini berwarna biru keemasan?" balas seseorang lainnya.
"Ach..., sudahlah kawan, lupakan lelaki di atas panggung itu. Mari kita jelang kembali kenikmatan kita yang sudah terganggu."
Kemudian lelaki yang baru saja berkata itu mengajak kawan-kawannya mengangkat gelas, melakukan tos dan menenggak minuman di gelas masing-masing. Lalu tertawa terbahak-bahak.
"Anggap saja kita sedang berada di surga. Hahahaaa...!"
Bongkot memandangi satu per satu pengunjung kafe. Tapi tak satu pun dari mereka yang ada memperhatikannya. Semua asyik tenggelam dalam diri atau kelompok masing-masing. Tercenung, bernyanyi kecil, mengobrol, bercanda, merayu, dan bermesraan dengan pasangannya.
"Baiklah, Saudara-saudara. Sekali lagi saya minta maaf, dan terima kasih sudah mau menjawab pertanyaan saya."
Namun, kali ini tak ada satu pun pengunjung kafe yang bereaksi. Bongkot menyerahkan mikrofon pada penyanyi. Kemudian ia kembali ke tempat duduknya. Musik kembali bergema.
Memang kau bukan yang pertama bagiku
Pernah satu hati mengisi hidupku, dulu.....
Dan kini semua kau katakan padaku
Jangan ada dusta di antara kita...
Bongkot masih tercenung. Pandangannya jauh menembus malam yang berwarna biru keemasan. Menurutnya; inilah malam yang paling menakjubkan dibanding dengan malam-malam yang pernah ia lihat sebelumnya.
"Sayang..., ngapain sih mikirin warna malam. Kurang kerjaan."
Namun, Bongkot seperti tidak mendengarkan ucapan perempuan di sebelahnya. Ia masih asyik mereka-reka. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi?
Apakah gerhana matahari, gerhana bulan, atau mungkin pengaruh global warming! Bongkot tiba-tiba nyengir sendiri. Mana mungkin pengaruh global warning. Sebab kalau karena hal itu, pastilah warna malam bukan biru keemasan, melainkan kuning kecokelat-cokelatan, atau merah membara sebagai cermin dari kegersangan dan udara panas menggila.
"Sayang, minum lagi yuk! Jangan bikin aku seperti patung dong, dicuekin."
Bongkot mengambil gelas yang disodorkan dan menenggak minuman Black Label yang terisi di gelas itu. Beberapa saat kemudian tatapannya kembali pada perempuan disebelahnya. Mencoba tersenyum, tapi tiba-tiba ia terkejut ketika melihat baju perempuan di sebelahnya yang juga berwarna biru keemasan.
"Sayang, apa warna baju yang kau pakai?"
"Warna biru keemasan!"
"Kamu tidak bergurau, kan?"
"Kenapa aku harus bergurau untuk mengatakan sesuatu yang kulihat dengan benar."
"Kalau begitu katakan sekali lagi kepadaku!"
"Warna biru keemasan!"
Sementara di atas panggung pertunjukan; seorang gadis cantik sedang melantunkan lagu kasmaran Cinta Satu Malam yang dipopulerkan Melinda tahun 2010.
Walau cinta kita sementara
Aku merasa bahagia
Kala kau kecup mesra di keningku
Kurasa bagai di surga....
"Sayang..., kamu dengar lagu itu?"
"Tentu...!"
"Nah, itu pas untuk kita, daripada mikirin warna malam."
"Masak, sih," Bongkot tertawa. Si perempuan juga ikut tertawa.
"Ya iyalah, hehe..." dengan gesit jemari si perempuan mencubit lengan Bongkot.
"Auw...."
"Kamu suka, kan?"
"Suka apa?"
"Romantisme...."
"Selalu suka."
"Kalau gitu...."
"Apa sayang...."
"Kecup keningku, walau sementara, aku merasa bagai disurga xixixi...." senarai si perempuan memejamkan mata. Bongkot lalu mengecup kening si perempuan juga sambil memejamkan mata. Lama adegan itu berlangsung tanpa ada seorang pun yang memperhatikan.
Cinta satu malam oh indahnya
Cinta satu malam buat kumelayang...
Suara gadis cantik terus berkumandang membasahi malam. Sebagian dari pengunjung mulai berhambur dan berjoget di depan panggung pertunjukan. Irama house music membuat mereka aktase. Bergoyang dan terus bergoyang.
Bongkot dan si perempuan masih berciuman. Saling memeluk dan membelai. Dan perlahan-lahan tubuh mereka berdua melayang. Melayang dan terus melayang. Membumbung tinggi ke angkasa raya.
"Sayang, aku mau dibawa ke mana?"
"Lho, bukannya kamu yang membawa aku?"
"Jangan bercanda, sayang...."
"Sungguh....!"
"Lalu kita akan kemana?"
"Entah! Mungkin ke surga/"
"Menjadi Adam dan Hawa?"
"Hehee...."
"Kok tertawa?"
"Asyik aja dari dunia turun ke surga."
"Apa surga juga berwarna biru keemasan?"
Bongkot kembali tertawa. Dia memandangi malam yang bewarna biru keemasan. Menurut dia, itulah malam yang paling menakjubkan dibanding dengan malam-malam yang pernah ia lihat sebelumnya. Betapa tidak! Kegelapan malam yang biasanya berwarna hitam, kali ini berwarna biru. Dan di atas bentangan warna biru itu ada sepuhan aura warna keemasan yang bening berkilau. Sungguh membuat setiap orang yang melihatnya pastilah terpukau.
Bandar Lampung, 010/12
Lampung Post, Minggu, 1 Juli 2012
No comments:
Post a Comment