Sunday, April 20, 2014

Pesugihan Zombi

Cerpen Sungging Raga


KETIKA wanita itu melihat kekasihnya telah menjadi zombi, ia berlari ke tepi laut dan menangis seperti alien.

Suara tangis wanita itu menderit keras seperti gesekan seng pada lantai keramik, dan gesekan itu terdengar sampai ke radius 300 meter. Air matanya pun bukan air mata biasa, tapi berupa lahar panas, mengucur lewat pipi, jatuh di pasir, membuat kawah-kawah kecil. Tak seorang pun penduduk pantai yang berani mendekatinya, mereka bahkan harus menutup telinga karena miris dengan suara deritnya.

Sementara itu, kekasih si wanita juga telah dibawa ke puskesmas oleh warga sekitar, puluhan orang berkumpul di halaman puskesmas yang kecil, berebut melihat ke dalam ruangan di mana telah terbaring seorang lelaki yang rambutnya rontok, kulit tubuhnya membusuk, giginya tanggal dan berganti balok besar seukuran tuts piano. Sebuah pemandangan yang tak pernah terjadi sebelumnya.

“Kenapa bisa seperti itu?”

“Zombi, dia pasti mengikuti ritual pesugihan zombi.”

“Pesugihan zombi?”

“Itu lo, pesugihan baru di Gunung Barokwok.”

“Oh, yang sering dibicarakan orang-orang di pasar ikan?”

Sebagian warga memang sudah mendengar desas-desus tentang pesugihan zombi. Jika dahulu pesugihan menggunakan tuyul atau babi ngepet, beberapa bulan terakhir mereka mendengar bahwa di Gunung Barokwok ada seorang kakek sepuh yang bisa mengajarkan pesugihan dengan membuat pelakunya menjelma zombi, membuat wajah dan tubuh pelakunya menjadi sepucat mayat, suaranya seperti dengung lebah, lantas si pelaku ini akan berjalan di sekitar kampung sepanjang malam.

Tak seorang pun yang mencium aroma zombi itu, melainkan akan langsung tertidur, dan tidak satu benda berharga pun dalam radius 13 meter, melainkan akan menempel pada tubuh zombi tersebut, jadi ia seperti magnet, cukup dengan berjalan mengelilingi kampung, maka di tubuh sang zombi akan menempel berbagai jenis perhiasan, kalung, gelang, cincin, batu akik, dompet berisi uang, buku tabungan, dan yang lainnya.

Ketika ia tersadar pagi harinya, ia akan melihat benda-benda itu telah menumpuk di sekelilingnya. Pelaku pesugihan ini juga bisa mengatur nama-nama benda berharga yang tidak perlu diambil sehingga ia tidak akan membawa benda-benda berat, seperti televisi, kulkas, atau benda-benda pribadi seperti jemuran milik gadis tetangga.

Desas-desus pesugihan ini sebenarnya bukan sekadar isu, melainkan memang ada dan sengaja dipublikasikan. Entah siapa yang menempel selebaran di tiang-tiang listrik, di pos ronda, di tembok sekolahan, serta jembatan-jembatan di sekujur desa itu, selebaran yang isinya menawarkan ritual pesugihan zombi Gunung Barokwok. Dalam selebaran tersebut, segala hal yang saya jelaskan di paragraf sebelumnya telah tertulis jelas.

Dan lelaki itu, lelaki pengangguran yang telah berjanji akan menikahi kekasihnya tahun ini, tergiur dengan selebaran tersebut. Sepasang kekasih itu telah berpacaran selama enam tahun, tapi kisah romantis mereka selalu terkendala masalah ekonomi. Sering pasangan kekasih itu bertengkar karena uang, tidak bisa kencan malam minggu karena uang, tidak bisa candle light dinner karena uang, tidak bisa menelepon karena tak ada uang untuk pulsa, dan semisalnya.

Oleh sebab itu, si lelaki tertarik untuk mencoba pesugihan agar bisa mendapat uang dalam sekejap demi membahagiakan kekasihnya. Rupanya ia adalah orang pertama yang berminat, sementara warga lainnya tak tertarik karena belum tahu efek sampingnya. Begitulah si lelaki kemudian berangkat menuju gunung Barokwok ditemani sang kekasih. Mereka pergi pagi sekali tanpa diketahui warga.

Secara geografis, letak Gunung Barokwok cukup jauh dari desa itu. Lelaki itu dan kekasihnya menempuh perjalanan kereta api setengah hari untuk tiba di stasiun terdekat dengan lereng gunung, lalu dilanjutkan berjalan kaki selama tiga jam, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah goa dekat puncak gunung, dan di dalamnya telah duduk seorang kakek berpakaian serbaputih, jenggot putih, rambut panjang putih, di mana tak ada gambaran lain yang lebih umum dari ini.

Singkat cerita, si lelaki dan wanitanya mendengarkan syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan juga pantangan-pantangannya.

“Syarat yang terpenting adalah, kau harus merelakan sebagian jiwa dari orang yang paling kau cintai untuk dirasuki jiwa anak buahku dari dunia gaib,” kata sang kakek. Lelaki itu pun langsung menoleh pada kekasihnya. Wanita itu mengerti.

“Apa saya harus mati sebagai tumbal?” tanya si wanita.

“Oh, tentu tidak. Itu sudah klise. Anak buahku hanya akan mendiami setengah jiwa Nona.”

“Apa saya akan mengalami perubahan fisik?” tanya si wanita lagi.

“Tidak. Selama kekasih Nona tidak melanggar pantangan, Nona akan tetap baik-baik saja. Anak buahku hanya sebagai penjaga, jika suatu saat pantangan zombi dilanggar, saat itulah anak buahku akan memberontak dalam tubuh Nona.”

“Memberontak? Apa yang akan dilakukannya pada saya?”

“Hm, sedikit perubahan perilaku yang tidak normal. Kalau itu terjadi, Nona harus segera kembali kemari untuk disembuhkan.”

“Kalau tidak kembali, bagaimana?”

“Ya, Nona akan tetap seperti itu.”

“Apakah perubahan perilaku itu lama-kelamaan bisa membuat nyawa saya melayang?”

Kakek ini rupanya geram juga dengan pertanyaan yang tidak ada habisnya. “Ini cerita pendek, Nona. Lebih baik tanyakan langsung pada penulisnya apakah di akhir cerita nanti Nona mati atau tidak.”

Wanita itu terdiam. Akhirnya transaksi pun terjadi. Dan pantangan yang paling utama adalah, si wanita tak boleh berada di dekat kekasihnya dalam radius tertentu ketika sang kekasih sedang menjadi zombi di tengah malam, jadi ia harus bermalam di tempat yang steril.

***

Alkisah, beberapa hari setelah itu, warga mulai sering kehilangan harta benda, jutaan rupiah mendadak lenyap, ternak peliharaan, koleksi cincin dan batu keramat, semuanya menumpuk di rumah si lelaki. Namun, tak satu pun warga yang mengaku telah kehilangan sesuatu. Di sinilah keunggulan pesugihan zombi, para pemilik barang yang hilang itu akan lupa kalau pernah memiliki barang tersebut, kecuali kalau mereka melihatnya lagi.

Jadilah kehidupan sepasang kekasih itu mendadak sejahtera dan sangat romantis, nyaris tanpa persoalan. “Adakah pasangan kekasih yang lebih bahagia dari kita berdua?” tanya wanita itu. Mereka lantas membeli lahan di sebuah bukit yang menghadap laut. Mereka juga mulai membicarakan tanggal pernikahan.

Kehidupan keduanya berbanding terbalik dengan kehidupan warga lainnya, semakin hari warga desa semakin miskin, sebagian mulai terlilit utang pada rentenir desa sebelah, dan di saat-saat seperti itulah sering muncul obrolan, “Jangan-jangan, ada yang sudah melakukan pesugihan zombi di desa kita.”

“Mungkin. Tapi siapa? Kita juga tidak merasa kehilangan sesuatu.”

Pertanyaan mereka akhirnya terjawab beberapa bulan kemudian, yaitu pada suatu pagi, tersiar berita bahwa Gunung Barokwok tiba-tiba meletus. Rupanya sang kakek sepuh itu salah memilih gunung, ia memilih gunung yang masih aktif. Seharusnya ia belajar vulkanologi. Riwayatnya langsung berakhir bersama gempa vulkanik yang kemudian memicu semburan lahar panas. Berakhirlah usaha pesugihan zombi yang baru dirintisnya itu.


Kejadian tersebut langsung berdampak secara gaib pada si lelaki. Pagi itu, tiba-tiba tubuhnya menjadi keriput, kulitnya memucat, dan dia menggumam tak karuan. Dia telah menjadi zombi secara permanen. Ketika si wanita datang untuk membawakan sarapan, terkejutlah ia melihat pemandangan tersebut. Sebuah pantangan telah dilanggar. Tiba-tiba terasa tubuhnya sendiri bergejolak, hawa panas menyelimuti pori-pori kulitnya. Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali lari menjauh ke tepi laut.

Dan wanita itu pun menangis seperti alien.

Sementara itu, setelah berjam-jam di puskesmas, warga semakin yakin bahwa lelaki itu memang melakukan pesugihan, apalagi ketika rumahnya digeledah, ditemukan banyak tumpukan uang dan benda-benda berharga yang tak sempat dijual ke penadah.

“Lo, ini dompet saya.”

“Ini cincin saya.”

“Nah, ini kalung saya waktu kawin dengan juragan beras.”

Dokter dan perawat puskesmas tak bisa melakukan apa-apa untuk menyembuhkan lelaki itu, tubuhnya cepat membusuk dan menyisakan aroma tak sedap, tapi matanya masih terbuka, melihat ke sekeliling, mulutnya juga terus menggumam tak jelas. Lelaki itu lantas dipindahkan ke ruangan khusus tanpa diberi penanganan lebih lanjut. Lama kelamaan, ia justru menjadi bahan tontonan warga sampai ke luar desa.

***

Begitulah yang terjadi sampai bertahun-tahun kemudian, kondisi lelaki itu ternyata tidak berubah, tidak hidup dan tidak pula mati. Sementara itu, si wanita tetap berdiri di tepi pantai. Sepasang kakinya kini membatu, air matanya terus mengalir ke laut dan menjelma lumpur panas.

Jadi, adakah pasangan kekasih di dunia ini yang lebih menderita daripada mereka berdua?

Baik di dunia ini atau di dunia setelah mati kelak, keduanya tak pernah bisa dipertemukan kembali. n


Lampung Post, Minggu, 20 April 2014

No comments:

Post a Comment