Sunday, March 30, 2014

Front dan Kesunyian

Cerpen Masdhar Zainal

   
DINGIN. Hujan terus merincis. Suaranya seperti tikaman-tikaman kecil yang mencacah kesunyian. Sesekali kilat menyabat dan guntur menggelegar, seakan-akan langit menjadi retak. Semuanya terus beriringan. Bersahut-sahutan. Ritmis. Tak habis-habis. Sementara malam… malam terus tenggelam. Kian dalam. Kian pekat. Kian gigil.

“Kenapa dingin begini! Sial! Dinginnya benar-benar laknat!”

Bibir-bibir gemetaran. Gigi-gigi gemeletakan. Tubuh-tubuh pucat itu saling merapat.

“Kita harus pergi dari tempat terkutuk ini kecuali ingin mati membeku di sini.”

“Apa kau gila? Jepang masih berkeliaran di hutan ini, mereka membangun tenda di setiap sudut, menanam ranjau, dan mebuat perangkap-perangkap yang tak pernah kita duga. Apa kau mau mati konyol?”

“Apa bedanya, jadi kita harus bertahan di sini, mengendap-endap seperti cacing tanah. Sampai kapan? Sial! Dinginnya…”

“Setidaknya kita tunggu beberapa hari lagi, sampai Jepang keparat itu benar-benar pergi.”

“Bagaimana kau tahu kapan Jepang sialan itu akan pergi?”

Hening. Mungkin hampir subuh. Hujan masih meritmis, bagai denting kecapi yang tak henti-henti. Lima orang serdadu terakhir—yang mungkin masih tersisa—itu merebahkan tubuh bersisian. Menatap dahan pepohonan hutan yang menggigil dalam remang malam, menjulur, membentuk kanopi, mengatapi tubuh mereka.
Seorang dari mereka, Sang Mayor, mengerang lirih menahan luka tembak yang masih menganga di paha sebelah kiri. Wajahnya pucat serupa mayat. Bibirnya bergemeletak menahan dingin. Luka itu nyaris busuk. Sementara yang lain hanya sanggup diam, menyembunyikan air mata di antara titik gerimis yang berhasil mengecup wajah lelah mereka.

“Mengapa musti ada peperangan?” salah seorang berbisik sendiri. Seperti menyesali keadaan. Yang lain hanya diam, tidak menggubris.

Sementara Sang Mayor, yang kakinya terluka parah, masih terus mengerang dengan mata terpejam dan bibir gemetar, mungkin menahan perih, mungkin menahan dingin, mungkin sekarat. Yang lain tak sanggup berbuat apa-apa.

“Tenang, Mayor. Kau akan baik-baik saja, setelah hujan reda, kami akan membawamu ke barak terdekat. Mungkin di sana masih ada obat-obatan yang tersisa,” yang lain menenangkan.

“Tak usah menghibur. Kita semua tahu. Kita adalah pasukan terakhir yang mungkin masih tersisa. Hanya ada Jepang di luar sana,” yang lain menimpali.

“Kau… tidak bisakah kau diam?”

“Sudah, sudah, sekarang bukan waktunya bersitegang,” seorang yang lain melerai.

“Terserah, pokoknya aku mau pergi dari tempat ini. Jika kalian masih mau bertahan, silakan,” seorang berdiri, membenarkan helm dan letak senapan yang menggantung di pundak, “Siapa mau ikut?”

Sepi. Tiga orang yang lain saling pandang. Sang Mayor masih terus mengerang meski erangan itu semakin lirih.

“Aku ikut,” seorang yang lain turut berdiri.

“Kalian berdua benar-benar gila,” yang lain melotot.

“Peperangan ini memang bisa membuat siapa pun menjadi gila.”

“Jadi kalian tega meninggalkan kami? Meninggalkan Mayor kalian yang sedang terluka parah?”

“Tapi tempat ini sudah tidak aman lagi, tidakkah kau dengar desing senapan yang kian hari kian mendekat. Tak lama lagi, pasti mereka akan mengobrak-abrik tempat ini.”

“Kita adalah pasukan terakhir yang masih tersisa, kita harus menjaga satu sama lain, jangan gegabah. Setelah keadaan membaik, kita akan memikirkan rencana berikutnya.”

“Ini perang, takkan ada yang membaik, sebelum darah tertumpah, dan salah satu dari pihak yang bertikai kalah atau menyerah.”

“Lalu apa rencanamu?”

“Apa saja, asalkan tidak membusuk di tempat ini.”

Dua serdadu yang bersikeras itu mulai beranjak, meninggalkan tiga serdadu lain yang membeku dan tak berkata apa-apa lagi. Sang Mayor, yang terus mengerang, juga turut diam, menghentikan erangannya. Sementara dua orang yang lain masih terbengong menatap punggung dua kawan mereka yang kian menjauh dan hilang di balik remang pepohonan.

“Sekarang tinggal kita bertiga,” kata salah seorang.

Seorang yang lain hanya diam, tidak menjawab.

“Istriku pagi ini memasak semur bali dan membuat puding cokelat. Si kecil ke mana, ya? Oh, mungkin sedang memberi makan koi di kolam depan. Ia marah, takut janji papanya tidak ditepati lagi. Iya, iya, Lebaran depan pasti kita akan mudik ke rumah eyang. Papa kan sudah janji. Nanti, di belakang rumah eyang, kita akan petik durian sama-sama. Nanti kita minta eyang bikinin santan durian yang lezat. Kau tahu, santan durian buatan eyang adalah santan durian terlezat yang pernah ada. Papa juga kangen sama eyang,” sang Mayor yang kakinya terluka dan wajahnya sepucat mayat itu tiba-tiba menggumam dalam pejamnya. Gumaman yang liris dan terlunta-lunta.

Perlahan, dua orang yang lain merangkak, mendekat. Mereka hanya terdiam, memerhatikan mata terpejam yang berair itu. Memerhatikan bibir pucat yang terus bergerak itu.

“Papa tidak berperang, Nak. Papa hanya menjalankan tugas negara. Dan papa pasti akan pulang dalam keadaan utuh. Kalau tak percaya, tanya ibumu. Bukankah papa sudah janji mengajakmu mudik ke rumah eyang. Papa pasti pulang. Oh ya, hari ini ibumu bikin semur bali lagi, ya? Oh, bukan. Sup buntut? Sate kelinci? Lah, kelincinya siapa itu yang disate? Eyang?” bibir pucat itu masih terus meracau dengan mata rapat.

Terdengar pilu. Seperti kata-kata terakhir, kata-kata yang paling tulus yang tak pernah tersampaikan.
Dua serdadu yang hanya diam memerhatikan itu pun tak sadar, ada yang retak dan berkilat di pelupuk mata mereka. Hingga salah seorang di antaranya beranjak sebelum menyeka lelehan hangat di pipinya dengan seragam loreng yang kian kumal. “Sebelum pagi benar-benar datang, aku harus keluar untuk mencari makanan,” katanya.

“Kau akan pergi juga?” sahut yang satu.

“Aku tahu, kita semua lapar. Biar aku keluar sebentar, mencari apa-apa yang bisa kita makan. Kau di sini saja, menjaga Mayor.”

“Tapi, buah-buahan hutan di sekitar sini sudah ludas kita jarah saban hari, kau mau ke mana lagi? Rusa dan tupai pun sudah tak tampak lagi.”

“Ini hutan. Pasti masih banyak sesuatu yang lain yang bisa kita manfaatkan.”

“Tapi, Jepang berkeliaran di luar sana.”

“Aku tahu. Percayalah padaku.”

“Tapi…”

“Sudahlah, kau jaga saja Mayor, aku akan segera kembali sebelum matahari terbit.”

Sesungguhnya ia sangat cemas. Bergantian ia menatap tubuh yang berkelebat pergi itu dengan tubuh Mayor yang rebah tak berdaya di sebelahnya, yang terus meracau.

Waktu beranjak. Suara ayam hutan berkoak dari kejauahan. Ia begitu gelisah menunggu seorang teman yang beberapa waktu lalu berpamitan untuk mencari makan. Sementara, di sebelahnya, Sang Mayor kembali mengerang. Erangan yang lebih runtun dari sebelumnya. Erangan yang lebih keras dari sebelumnya. Ia semakin khawatir. Ia semakin panik.

Beberapa jeda, dari kejauhan, ia mendengar suara letusan dan desing senapan beberapa kali. Ia bergidik. Memikirkan nasib ketiga temannya yang kini sudah tak ada lagi di sisinya. Sementara, di sebelahnya, Sang Mayor terlampau lelap setelah mengaumkan erangan paling panjang. Sosok sepucat mayat itu, kini, matanya terbuka nanar, mulutnya menganga lebar. Tak ada lagi dengus napas mengalir dari hidungnya. Tiba-tiba sesak di dadanya kian menggempa. Ia tak tahu harus berbuat apa.

Tanpa pikir panjang, perlahan, ia meraih senapan pendek yang terselip di pinggang dan mengarahkan moncongnya tepat ke keningnya sendiri. Dengus napasnya berkejaran tak beraturan. Ditariknya pelatuk itu dengan tangan gemetar, perlahan…. 

***

Dari kejauhan letusan itu menggema. Mengejutkan burung-burung yang bertengger di dahan-dahan. Sejenak kemudian, hutan pun kembali senyap. Menyisakan percik hujan yang tampak merah. n

Malang, Juli 2012


Lampung Post, Minggu, 30 Maret 2014

No comments:

Post a Comment