Sunday, March 9, 2014

Seharusnya Kami Sudah Tidur Malam itu

Cerpen Yetti A.KA.

SEHARUSNYA kami sudah tidur pada malam itu—seperti Nome, adik kecil kami yang sudah pulas. Tapi Nat berbisik, “Saat bayi, kau ditemukan Ibu dekat pagar rumah kita. Kau bukan kakak kami.”

Mula-mula aku merasa geli. Nat pasti sedang mengarang. Dia memang banyak berkhayal sebelum tidur. Kadang-kadang dia bilang kalau Ibu ada di kamar kami. Kata Nat, Ibu tidak berubah sedikit pun, tetap seperti hari-hari terakhir bersama kami. Selalu cantik. Kami semua menikmati karangannya itu. Membayangkan kalau Ibu benar-benar menemani tidur kami, setiap malamnya. Melindungi kami dari mimpi-mimpi buruk. Nat memandang tepat ke bola mataku, “Kau merasa tidak apa-apa mendengar ini?”

“Nat?” Aku memandang lama pada Nat, seakan-akan aku minta ia segera mengakhiri permainan yang mulai membuatku cemas.

“Tanya pada Bibi Salda. Dia tahu semuanya.”

Sungguh, seharusnya aku tumbuh menjadi gadis bahagia kalau saja malam itu tidak pernah ada. Umurku lima belas tahun. Nat satu tahun di bawahku. Nome baru berumur tujuh tahun (Ibu kami meninggal ketika melahirkannya). Sebelumnya kami anak-anak perempuan yang saling mencintai. Bahkan ketika Nat mengatakan rahasia besar itu, aku juga percaya perasaannya masih tetap sama padaku.

Tapi aku berubah. Aku mulai membenci segalanya. Dan aku tidak pernah mengatakan apa-apa.

***

Aku menggambar—sebenarnya aku hanya mencoret-coret saja kertas gambarku—di meja taman belakang. Aku mendengar suara Ayah, Nat, dan Nome. Mereka baru pulang dari kebun kakao kami. Setiap hari Minggu Ayah biasa mengajak kami ke sana, terlebih setelah Ibu tidak ada. Di sana Ayah bertemu dengan para pekerja. Sementara kami bermain-main di bawah batang kakao. Itu dulu. Sekarang aku tidak pernah mau ikut lagi. Kukatakan pada Ayah kalau aku ingin menggambar saja di rumah. Aku tentu saja tidak sepenuhnya menggambar. Aku lebih banyak memikirkan betapa bahagianya mereka di kebun kakao dan aku tidak ada di sana. Apa mereka sempat memikirkanku? Apa mereka merasakan ada tempat kosong yang tidak terisi di sana—tempatku? Lalu mereka pun menyadari betapa aku amat berharga dan karena itu mereka segera berbalik pulang?

“Maganda,” panggil Ayah yang sudah berdiri di pintu belakang rumah kami. Nome bergantung di lehernya seperti anak monyet. Pipi Nome sangat merah. Nat berdiri di samping kanan Ayah juga dengan pipi yang merah.

“Sudah pulang?” tanyaku singkat, lalu berpura-pura sibuk menggambar lagi. Sebenarnya, dalam hati, aku bersorak riang.

Aku tidak tahu apa Ayah menjawab pertanyaanku dengan mendeham atau mengangguk. Aku tidak memperhatikannya. Bahkan aku tidak tahu kapan mereka meninggalkan pintu belakang. Yang kudengar suara mereka begitu ramai di ruang tengah. Mereka sepertinya berebut sirop dan kue kering yang disiapkan pembantu kami.

Seketika aku kembali murung. Tidak bisakah Ayah berdiri lebih lama di pintu itu? Tidak bisakah Ayah mengalahkan rasa tinggi hatiku dan membuatku luluh. Ayah hanya perlu sedikit waktu untuk membujuk hatiku yang terluka.

Tapi Ayah tidak melakukannya. Malah aku mendengar tawa mereka yang makin keras. Duniaku selalu gelap setiap melihat atau mendengar kebersamaan semacam itu. Aku menangis. Aku lari ke kamar mandi. Di sana aku terus bersedih dengan perasaan sembab.

Untuk pertama kali, pada malam harinya, aku mencoba bunuh diri dengan mengiris pergelangan tanganku. Nat memekik keras saat menemukanku hampir pingsan dengan darah berceceran di sekitar tempat tidur. 

***

Ayah bilang padaku, “Kau cemburu, Mag. Kenapa kaulakukan itu?”

Menurut ayah, semua anak perempuan seusiaku sibuk bermain bersama hingga kepala mereka dipenuhi jenis-jenis boneka cantik, tokoh komik, nama-nama teman yang ditulis dalam buku harian lengkap dengan keterangan hobi, moto, dan cita-cita, atau juga rahasia-rahasia yang mereka simpan bersama-sama.  

“Kau berbeda sekali dengan anak-anak lain, kau tidak berteman dengan siapa pun,” kata Ayah. 

Ayah benar. Aku berbeda sekali. Di usia lima belas tahun aku tidak punya satu teman akrab pun sebab dulu kupikir aku punya keluarga yang sempurna. Tepat di usia lima belas tahun pula kepalaku justru dimasuki benda jahat, dan karena itu aku juga berpikir ingin menyingkirkan Nat dan Nome. Aku meyakini keberadaan mereka membuatku tersisih. Membuat Ayah bukan lagi milikku seperti sebelum aku mendengar rahasia dari Nat.

Bola mata Ayah keluar, seperti bola yang seakan siap jatuh dan menggelinding, saat kukatakan semua itu, lalu ia memberiku peringatan atas sesuatu yang kelewat kelam dalam jiwaku.

Sampai suatu hari, Ayah menyerah. Ia memilih mengeluarkan aku dari rumah. Hanya untuk beberapa waktu (tapi aku tahu itu untuk selamanya), bujuk Ayah.

Aku tinggal bersama Salda, istri salah seorang penjaga kebun kakao yang paling dekat dengan keluarga kami, hingga aku dewasa. Aku tidak terlalu suka pada Salda sejak ia membuka rahasia tentangku pada Nat, tapi aku tidak punya pilihan selain tinggal bersamanya. Aku juga tidak mengungkit atau mempertanyakan tentang apa-apa yang dikatakan Nat. Aku tidak mau membicarakan apa-apa.

Ayah memang sering mengunjungiku. Sesekali saja bersama Nat dan Nome. Ia membawa berbagai hadiah, tapi perasaanku sudah berbeda. Aku tidak suka semua yang ia lakukan itu. Ayah sering berkata, “Kau salah sangka. Kau keliru. Aku tidak membuangmu.”

Siapa pun tahu, kenyataannya aku dibuang oleh Ayah. Aku tidak pernah kembali lagi ke rumah kami yang berwarna cokelat; dari lantai, atap, hingga dinding-dindingnya—warna-warna yang mewakili selera etnik Ibu (rumah tempat aku pernah merasa sangat bahagia ketika Ibu masih ada).

Lama-lama aku berusaha tidak lagi mengingat kalau aku punya Ayah—seperti halnya aku berusaha melupakan Ibu yang telah mati—meskipun  ia tidak berhenti datang padaku. 

***

Kesedihan itu—kesedihan yang benar-benar pekat dari biasanya—datang pertama kali pada pagi tanggal 25 Januari saat ulang tahunku yang ke-24. Ayah menitipkan kado satu hari setelahnya pada Salda dan belum kubuka hingga hari ini sebagaimana kado ulang tahun sebelum-sebelumnya. Salda sendiri berencana akan membuatkan masakan spesial untukku, tapi aku menolaknya dengan alasan tidak ada teman-teman yang akan datang.

“Bagaimana mereka mau datang kalau kau tidak mengundangnya,” ujar Salda.


“Sejujurnya aku tidak menyukai satu orang pun dari
teman-temanku itu,” timpalku.

“Kau tidak membuka hatimu.” Salda merapikan kertas-kertas gambarku di meja. Aku belajar sketsa tiga kali seminggu pada seorang pelukis di kotaku. “Seharusnya gadis seusiamu juga sudah pacaran beberapa kali. Bukan hanya sibuk sendiri dengan kertas-kertas gambar ini,” tambah Salda.   

Aku menatap gusar pada Salda. Ia cepat-cepat menghindar. Lari ke dapur. Di dapur ia meributkan soal sampah yang menumpuk. Aku tahu itu cara ia mengalihkan kekesalanku.

“Ayahmu pasti mau datang kalau kau menginginkannya.” Salda sudah berdiri lagi di dekatku dengan satu kantong sampah di tangan kanan, sementara rantang kosong di tangan kirinya.

Aku langsung menjawab bahwa aku tidak menginginkan Ayah di hari ulang tahunku. Aku tidak mau ada siapa-siapa. Juga Nat. Juga Nome.

Pada hari itu Salda cepat pergi tanpa berkata lagi.
Tapi kesedihan yang pekat itu tidak beranjak ke mana pun. 

***

Pukul lima sore Salda datang membawa rantang makanan. Setelah aku dewasa aku memutuskan tinggal sendirian, tapi Salda tetap tidak bisa percaya kalau aku bisa membuat makanan. Aku menyembunyikan tentang kesedihan itu pada Salda. Tapi Salda bukan orang yang mau membiarkan sesuatu yang tidak biasa lewat dari pengetahuannya, ia bertanya, matamu merah dan bengkak, apa ayahmu nekat datang dan kalian bertengkar?

Kukatakan: Tidak.

Kata ayahmu kau memang keterlaluan sekali bulan lalu itu saat kau menolak membukakan pintu untuknya. Aku sarankan padanya untuk menunggu saat kau benar-benar menginginkan bertemu dengannya lagi jika mau memperbaiki keadaan. Mungkin saja ia menuruti nasihatku, ujar Salda. Tapi tetap saja seharusnya ia memaksakan diri untuk datang di hari ulang tahunmu. Ia harus berusaha.

Aku tidak menginginkannya lagi. Apa kau mengerti?

Tidak perlu kaujawab sekarang, ujar Salda, lalu kenapa matamu? Kaupasti banyak sekali menangis.
Aku bertemu kesedihan yang pekat.

Salda tampak tidak mengerti, tetapi ia tidak bertanya lagi. Salda paham sekali, hidupku, termasuk pikiran-pikiranku, terlalu rumit. Bedanya dengan Ayah, Salda bisa menerima pikiran paling tidak masuk akal atau paling menakutkan yang keluar dari kepalaku. Ia tidak membuangku. Mungkin karena Salda tidak punya kekuasaan untuk itu. Bisa pula karena ia menyayangiku.

Lekas dimakan, kata Salda, mumpung masih panas.

Setelah itu Salda meninggalkanku. Rumah Salda berjarak setengah kilo dari kediamanku. Sebenarnya itu bukan rumah Salda sebagaimana pula rumah yang kudiami bukan rumahku. Itu rumah yang diberikan Ayah. Hanya, Salda menghiburku, semua yang ayahmu miliki sekarang adalah yang dulu kepunyaan ibumu. Kau boleh benci ayahmu, tetapi aku tahu kau sangat sayang pada ibumu. Jangan buat ibumu bertambah sedih dengan menjadi gelandangan di jalan. 

Aku tidak tahu apa orang yang sudah mati masih bisa sedih.

***

Kesedihan itu datang lagi di Minggu pagi bulan Februari. Dan aku belum tahu juga alasan kenapa ia memilih hari itu, selain aku hanya menebak-nebak, di hari lain ia mendatangi rumah-rumah yang lain pula. Mula-mula aku melihatnya berdiri di luar pagar. Lalu ia membuka pintu pagar yang sengaja tidak kugembok. Salda sering mengingatkan tentang kemungkinan orang-orang yang tidak diinginkan menerobos masuk ke halaman. Aku bilang pada Salda, satu-satunya hal yang kucemaskan di dunia ini setelah Ibu mati adalah kehilangan Ayah. Namun, ternyata aku juga sudah kehilangan. Lantas apa lagi yang perlu kutakutkan?

Ia sudah berdiri di depan pintu. Aku mencium aroma tertentu yang sulit kugambarkan, meski sudah begitu kukenali. Kata Salda, kesedihan yang pekat itu pasti berbau busuk. Tentu saja bukan. Baunya menyerupai aroma akar. Walau tidak juga sepenuhnya benar.

Aku membuka pintu seperti seseorang yang sudah lama menunggu. Seperti biasa, saat aku menatapnya, aku kembali merasakan masa lalu di kamar gelap saat aku begitu sedih memikirkan Ayah. Memikirkan betapa aku ingin cinta yang bulat, tapi Ayah menganggapku jahat. Saat-saat di mana aku ingin mati dengan cara yang membuat Ayah tidak bisa melupakannya seumur hidup. Aku cepat saja menangis sebab dadaku memang sangat sesak.

Kemudian kesedihan itu berbisik, “Semuanya sudah berakhir.”

Kucium bau akar yang bertambah pekat. Lama-lama bau akar itu berubah menjadi bau Ayah, Nat, Nome yang juga pekat. Mengambang di udara. Bagai aroma  kematian. Amis darah yang teramat pekat.

Seketika aku mundur ke arah dinding. Tubuhku menggigir, lalu melorot ke lantai, lalu gelap.  Ayah, Nat, Nome, aku takut sekali. Sungguh. Seharusnya malam itu tak pernah ada. Bangunkan aku. Katakan ini mimpi. n

JEM, 13-14


Lampung Post, Minggu, 9 Maret 2014

No comments:

Post a Comment