Sunday, March 16, 2014

Ular

Cerpen Yulizar Fadli


AKU telah berhasil membunuh makhluk yang dalam pandanganku berbentuk ular besar. Dialah makhluk paling menjijikkan. Aku senang, meski setelah menghabisi nyawanya, aku kesulitan menghirup udara.

*

Seperti kereta api dengan gerbong penuh cerita, kamu selalu membuatku menunggu. Kamu pandai membuat jeda, mengulur, dan menahan untuk sampai di akhir cerita. Sering kamu menyuruhku menemukan sendiri inti ceritamu. Kamu menjengkelkan. Tapi, meski demikian, aku selalu mencintaimu.

Apa kamu ingat suatu siang saat kamu memboncengku dengan sepeda motor matic sewarna susu sapi? Seperti burung kamu berceloteh tentang Oma dan Asep. Asep itu laki-laki, Oma itu perempuan, katamu. Aku belum tahu apa maksud ceritamu itu.

“Itu pelajaran SD, Jul,” kataku, ketika motor melaju tepat di jalan raya yang di sebrangnya berdiri rumah dinas Bupati Lampung Timur.

“Ya. O-Ma: Oktober sampai Maret untuk musim hujan dan April sampai September untuk musim panas,” katamu setengah berteriak.

“Terus kenapa kamu bilang A-Sep itu laki dan O-Ma perempuan?”
“Ya. Karena A-Sep suka panasan seperti laki-laki dan O-Ma suka menangis seperti perempuan. Seperti kamu, Mar.”

”Maksa. Sekarang April juga suka hujan.”

“Hmmm? Apa?”

“Maksa!”sahutku sebal.

Kamu tertawa mendengar jawabanku. Keras sekali. Seingatku, selama aku mengenalmu, belum pernah aku mendengar tawamu sekeras itu. Aku tak mau kalah, pikirku. Aku tertawa keras melebihimu.  

Kamu mengoceh lagi, berganti topik tentang Aphrodite yang tak kutahu wujudnya. Kamu bilang itu nama dewi kecantikan. Terus apa pentingnya untukku. Tapi kamu tak peduli. Kamu terus berceloteh tentang tokoh-tokoh asing yang namanya susah kuhafal.

Mungkin lantaran aku hanya diam mendengar ceritamu, kamu segera mengganti celotehmu tentang banjir di bundaran HI. Katamu, kota “satu hari satu tujuan” itu mengalami kerugian jutaan rupiah dalam sehari. Lalu ceritamu bergeser lagi ke sebuah gedung—katamu bangunan itu mirip bokong saat dilihat dari atas menggunakan helikopter—tempat berkumpulnya orang pinter yang keblinger. Kamu bicara lagi tentang korupsi yang dilakukan orang-orang pinter itu, seolah kamu itu salah satu anggota KPK.

Dari mana kamu tahu hal-hal macam itu, pikirku. Untuk sementara aku menduga kamu menontonnya dari televisi dan koran atau buku-buku yang kamu baca. Yang jelas, sejak kamu kuliah, makin pandai kamu bercerita. Kamu juga bilang kalau kamu bergabung dengan kelompok seni di kota Monas yang melambangkan Lingga dan Yoni itu. Ah, ingin sekali aku ke sana, berkunjung, melihat kegiatanmu. Tapi rasanya belum mungkin. Usaha kerupuk ikanku telah cukup membuat aku sibuk.

Aku ingat waktu kamu menyebutku kampungan. “Umur sudah 26 kok enggak pernah keluar dari kampung. Padahal empat Alfamart sudah dibangun di kampung kita.” Aku tertawa menahan marah karena ejekanmu.

“Kamu itu harus tahu perkembangan di negara kita ini. Kamu harus rajin nonton berita. Jangan hanya sibuk membuat kerupuk.”

“Kalau enggak buat kerupuk, dari mana aku bisa bayar kredit motor, makan, dan membeli pakaian. Belum lagi aku mau membangun rumah. Aku harus bayar arisan semen untuk mengumpulkan material bangunan.”

“Alah ... kamu harus pinter pokoknya.” Lekat kamu menatap mataku. Aku pun demikian.

Ah ya, kamu juga pernah bilang, setelah menyelesaikan kuliah, kamu akan bergabung dengan partai politik di tanah kelahiran kita, di Lampung bagian timur. Dan nantinya—kalau sudah cukup matang jadi politikus—kamu akan mencalonkan diri jadi bupati, atau setidaknya wakil bupati. “Dalam kampanyeku nanti, aku akan menggunakan kerupuk ikanmu untuk dibagi ke penduduk,” katamu pasti.

Membagikan kerupuk pada penduduk? Yang benar saja. Lalu, kamu tertawa dan menyangkal bahwa apa yang kamu ucapkan hanya gurauan. Tapi, beberapa menit kemudian, wajahmu jadi serius, kening berkerut dan bibir tipismu mengatup. Kamu berkata akan memodali usaha kerupukku supaya lebih maju. Aku mengangguk, meski hatiku tidak.

Aku sangat ingat, takkan mungkin lupa—kecuali aku mati—ketika kamu bertanya perihal laki-laki macam apa yang akan kupilih menjadi suami. Aih, tak tahukah kalau laki-laki macam kamulah yang kupilih? Berkulit kuning, tak terlalu tinggi, rambut lurus, wajah bulat telur, mata besar, dan bibir selalu basah.

“Aku belum tahu. Tapi nanti pasti ketemu, Jul.”

“Nanti itu kapan, Mar? Enggak jelas.”

“Ya nanti. Yang jelas laki-laki itu harus bertanggung jawab dan bisa membantuku membuat kerupuk. Pasti. Nanti pasti ketemu.” Kamu terdiam agak lama. Kita terdiam agak lama.

“Darmaji, anak Pak Prawira Rembun,” katamu setengah berteriak. ”Ya! Kelihatannya Darmaji cocok denganmu. Sesuai tuh dengan kriteriamu.” Kamu mengangkat kedua alis dan memamerkan gigimu yang rapi dan seputih kapas. Aku tertawa, tapi entah untuk apa. Yang terang, dadaku nyeri saat tertawa.   

Lalu, menjelang empat bulan setelah terakhir kita berbincang di warung bakso Susamto, pelan-pelan aku berusaha melupakanmu, meskipun hasilnya nihil; memotong rambutku, membakar fotomu. Ya, di sanalah percakapan kita berhenti. Mungkin hanya dua atau tiga kali aku menyapamu lewat SMS, tak pernah langsung menelepon.

Hingga satu tahun kemudian, akhirnya aku mendapat kabar darimu. Kamu mengirimiku pesan singkat, memberitahu kalau bulan depan kamu akan diwisuda. Kamu mengundangku dalam acara itu. Aku bahagia mendengarnya. Lalu kubalas SMS-mu dengan mengetik kalimat ‘selamat dan sukses selalu untukmu’. Amin. Mudah-mudahan bisa hadir.”

Seminggu setelah acara syukuran wisudamu selesai, kamu datang ke rumah dengan mobil biru mengilat bersama ibu dan perempuan cantik yang kamu perkenalkan sebagai tunangan. Aku menyalaminya, menyalamimu, menyalami ibumu. Mempersilakan kalian duduk dan menawarkan minum sepatutnya tuan rumah yang baik.

Kamu bertanya—setelah aku menaruh empat gelas teh panas di atas meja—kenapa aku tak datang ke acara sukuran wisudamu. Kubilang aku sibuk, pesanan kerupuk menumpuk. Lalu kamu menanyakan kabar Darmaji. Aku menggeleng. Kukatakan padamu bahwa enam bulan lalu ia resmi menikah dengan Maimunah. Kamu tersenyum. Aku tersenyum. Kita semua tersenyum. Untuk menutupi perasaanku, sambil memandangmu, aku berbasa-basi menanyakan kapan pernikahan kalian dilangsungkan. Kualihkan pandanganku pada tunanganmu. Dalam penglihatanku, gerak tunanganmu menjadi lambat. Ia mendesis, mencibir, dan menjulurkan lidah panjang bercabangnya ke arahku. Ingin sekali aku mengambil gelas dan melemparkan ke mukanya. Tapi kutahan. Tanganku gemetar. Aku berkeringat. Kualihkan pandanganku kepadamu, kamu tak ada. Kualihkan pandanganku ke ibumu, juga tak ada. Yang ada hanya tunanganmu yang kini—dalam pandanganku—telah berubah menjadi ular besar.

Tak bisa lagi aku menahan tanganku untuk segera mengambil gelas dan melemparkan ke kepalanya. Beling slinder itu mendarat mulus di pelipis kanannya. Kuterkam dan kucekik lehernya hingga ia kesulitan menghirup udara dan akhirnya mati. Ia tak sanggup melawan. Aku senang, meski setelah membunuhnya, aku juga kesulitan menghirup udara. Keringatku bercucuran. Dadaku memadat seolah dijejali balok kayu. Pandanganku buyar. Amat sangat buyar.

Bandar Lampung, 2013-2014


Lampung Post, Minggu, 16 Maret 2014

No comments:

Post a Comment