Sunday, May 4, 2014

Suara yang Memanggil-manggil

Cerpen Adi Zamzam


SUARA itu seringnya terdengar begitu jauh sekali. Sayup-sayup, seperti berasal dari arah ujung yang paling ujung. Suara itu takkan terdengar saat telinga berada di tengah-tengah suara bising. Karena itulah pemuda ini memiliki tabiat aneh. Kadang, ia sengaja menyepi ke tengah laut hanya demi mendengar suara itu. Bahkan terbersit pula keinginan dalam hatinya untuk mencari muasal suara itu, meski harus mengarungi samudera sekalipun.

Ia tidak pernah bisa mendefinisikan seperti suara apa suara itu. Suara itu terdengar begitu nikmat. Mengalahkan nikmatnya alunan musik dangdut yang paling disukai oleh para nelayan di kampung itu. Begitu halus, mampu menelusup ke yang paling dalam. Hangat. Tak terbendung. Seperti memanggil-manggil dan ingin mendekap. Setiap suara itu datang, semua masalah yang bersesakan dalam dada dan semua yang berisik di dalam kepala akan langsung mengendap. Suara itu seperti pusaran yang mampu membeningkan segala yang keruh, menenangkan segala yang riuh, dan mendinginkan segala yang api.


***


Subuh benar. Sail sudah terlihat sibuk sendiri di dapur. Ia merasa perjalanan kali ini sepertinya akan lama—yang mungkin akan memakan waktu beberapa hari. Karena itulah pagi itu ia menyiapkan bekal sendiri. Dalam segala hal, Sail selalu berusaha tidak ingin membuat emaknya yang sudah janda itu kerepotan. Umurnya sudah kepala enam. Umur yang menurut Sail seharusnya sudah menjadi milik penuh si pemilik umur.

“Sebenarnya apa yang kau cari, El?” tanya emak Sail yang berdiri di ambang pintu penghubung dapur dengan ruang tengah.

Hanya suara kesibukan Sail yang menjawab.

“Apa kau tak dengar perkataan orang-orang mengenai kelakuan anehmu itu?” Masih hanya suara kesibukan Sail yang menjawab. Dalam diamnya itu Sail berpikir, emaknya berkata demikian mungkin karena telinganya menangkap omongan semua orang. Beda dengan dirinya yang akan langsung tuli ketika suara yang memanggil-manggil itu terdengar. Telinganya hanya akan mendengar suara itu. Meski suara lain justru lebih jelas terdengar di telinga orang lain.

“Bagaimana pikiran Emak bisa tenang jika dirimu seperti itu? Jangan sia-siakan umurmu, Nak. Kenapa kau tak ikut kakakmu Sarmin saja?” Sarmin adalah kakak sulung Sail yang telah menjadi sebuah cerita nelayan sukses di kampung itu. Tapi Sail tak pernah merasa menyia-nyiakan hidupnya. Ia justru merasa tersia-sia oleh hidup saat ia mengikuti jejak kakak-kakaknya.

Ketika suara emaknya terdengar semakin berisik saja, Sail pun gegas bangkit. Semua bekal telah siap. “Sail berangkat, Mak,” sambil menenteng semua kebutuhan yang akan dimasukkannya ke perahu.

“Sebenarnya apa yang kau cari, El? Sampai kapan kamu akan seperti itu?”

Sebelum pertanyaan-pertanyaan emaknya memanaskan isi kepala, Sail telah sampai ke perahunya yang tertambat di bawah pohon cemara laut tak jauh dari rumahnya. Perahu warisan bapaknya itu pernah hampir dijual emaknya setelah tiga kali selama tiga hari membawa Sail entah melaut ke mana. Tapi kemudian urung karena perempuan itu masih menaruh harapan bahwa suatu hari nanti Sail akan berhenti dari kebiasaan buruknya itu dan berubah menjadi seorang nelayan yang baik.

Beberapa orang menyapa dengan pertanyaan basa-basi ketika melihat Sail menyeret perahunya. Pertanyaan-pertanyaan remeh yang sebenarnya tak penting, namun kadang membuat Sail terus bertanya kepada dirinya sendiri. Bahkan saat ia sudah mengapung di laut.

“Mau cari ikan ke mana sih, El?”

“Berburu paus ya, El?”

“Kalau sudah dapat putri duyung, segera bawa pulang ya, El.”

Dan ketika Sail telah benar-benar jauh dari daratan, memang tak ada yang dilakukannya selain diam, membiarkan suara itu kembali mengusik heningnya, dan lalu segera mengayuh perahu menuju suara itu, suara yang memanggil-manggil itu.

***

Kisah pertama yang dialami Sail ketika mencari muasal suara itu terjadi sekitar satu setengah tahun silam. Tiga bulan persis setelah kematian bapaknya yang akibat angin duduk—sesuatu yang kerap dituduh sebagai penyebab kematian tiba-tiba di perkampungan nelayan itu. Sepeninggal bapaknya ia memang kerap seperti ini. Mengayuh keras-keras perahunya seperti orang kesetanan. Tak tahu tujuan. Lalu tiba-tiba saja ia sampai pada sebuah pulau yang mereka sebut Pulau Fakir.

Di Pulau Fakir, perbedaan antara si kaya dan si miskin seperti jurang yang menganga dalam. Yang miskin, karena saking miskinnya, waktu mereka habis demi mencari uang dan uang. Yang kaya, karena saking kayanya, banyak yang berlagak bak dewa yang sering pamer kekuasaan. Tempat pelacuran dan tempat perjudian menjamur di mana-mana. Banyak si miskin yang coba mengadu nasib di tempat-tempat semacam itu. Banyak pula hartawan yang mengumbar nafsu di tempat-tempat semacam itu.

Sail pernah coba tinggal di pulau kecil itu selama tiga hari tiga malam. Tentu saja sambil mencari sumber suara yang menjadi tujuannya, yang semula ia sangka berasal dari pulau itu. Ia telah menyusuri dari ujung barat ke ujung timurnya, dari ujung selatan ke ujung utaranya. Namun suara itu justru tak terdengar lagi. Yang ada hanyalah suara kesibukan dan riuh rendah kehidupan para penghuni pulau.

Di tengah-tengah bising kehidupan orang-orang Pulau Fakir itu, Sail sering dicekam kesepian. Ia sering merasa kehilangan dirinya sendiri, sama seperti ketika ia masih berada di rumah. Bukan karena ia tak nyaman dengan pemandangan kaum miskin Pulau Fakir yang begitu menyedihkan. Toh ia terlahir dari sebuah keluarga miskin juga. Kehampaannya juga bukan disebabkan kemuakannya saat melihat kepongahan kaum kaya Pulau Fakir dalam menikmati kekayaannya. Ia hanya merasa tak menemukan sesuatu yang ia cari di pulau itu sehingga ia kemudian menjadi benar-benar bosan.

Sekeluarnya dari pulau itu Sail pun kembali terombang-ambing di lautan lepas. Berkali-kali emaknya menasihati agar kebiasaan buruk itu disudahi. Tapi Sail tak peduli. Pikir Sail, mungkin karena emaknya memandang hanya dari luar saja. Ceritanya pasti akan lain jika perempuan itu mengalami seperti apa yang tengah dialaminya.

***

Pulau kedua yang pernah Sail sangka sebagai muasal dari suara yang memanggil-manggil itu adalah Pulau Sirkus. Sebuah pulau aneh yang  muncul dari balik kabut. Daratan itu tiba-tiba terlihat ketika Sail merasakan kekosongan yang paling kosong. Saat itu ia kehilangan gairah hidup dan sengaja membiarkan perahu yang menampung tubuhnya bergerak mengikuti ke manapun ombak membawanya pergi.

Para penghuninya semakin menguatkan keanehan pulau itu. Seluruh penduduk di pulau itu adalah para pemain sirkus. Bocah-bocah yang beranjak remaja pun sudah dipersiapkan untuk menjadi pemain tertentu. Setiap hari mereka melakukan pawai, memenuhi jalan-jalan di sepanjang pulau itu. Dengan atraksi-atraksi yang beraneka ragam; ada yang menari-nari, ada yang berjoget liar, ada yang bertingkah seperti badut, ada yang tertawa-tawa dan senang berbicara sendiri di sepanjang jalan, ada yang senang berjalan melompat-lompat dengan satu kaki, ada yang membiarkan kedua matanya terpejam di sepanjang perjalanan, ada yang berjalan dengan mundur seperti undur-undur, ada yang koprol di sepanjang perjalanan, ada pula yang telanjang bulat meski ia tahu banyak mata melihatnya.

Sail pernah bertanya kepada beberapa orang di antara mereka. “Mengapa kalian melakukan hal-hal konyol itu?”

Apa yang didapat Sail selalu saja pedas, “Goblok!”

Sail tidak mengerti. Mengapa ia diteriaki goblok? Benar-benar tak mengerti.

Iseng, Sail pernah coba mengikuti pawai itu. Turun ke jalan, ikut berjalan di antara orang-orang konyol itu. Sail kesepian. Di sepanjang jalan Sail berusaha tetap diam dan hanya mengikuti. Namun, baru sebentar Sail sudah mulai bosan dan tak nyaman. Ia menggerutu sendiri, mengomentari semua yang terlihat matanya tanpa peduli ada yang menanggapi atau tak, juga kadang berteriak-teriak sendiri demi memecah sepi yang mendekap hatinya. Lama-lama ia merasa konyol. Ia bahkan sering memukul-mukul kepalanya sendiri di sepanjang jalan. Beberapa orang yang sepertinya terlihat peduli pernah menyarankan Sail untuk mengikuti apa yang mereka lakukan. Tapi Sail merasa bahwa itu bukanlah dirinya. Untunglah kemudian ia kembali sadar dan lalu memutuskan keluar dari pawai itu.

Sungguh sebuah tempat yang tak ingin ia singgahi lagi. Apalagi suara merdu yang memanggil-manggil itu sirna oleh keriuhan para penduduknya.

***

Suara yang memanggil-manggil itu entah dari mana datangnya, dan entah pula mengapa hanya dirinya yang bisa mendengar. Sail pernah menanyakan kepada beberapa orang yang ia jumpai di beberapa pulau yang ia singgahi. Jawaban mereka macam-macam. Ada yang bilang Sail harus berhati-hati dengan bisikan-bisikan menyesatkan semacam itu, sampai ada pula yang menduga bahwa suara itu hanyalah kebohongan Sail sendiri.

Tapi entah mengapa Sail sangat yakin dengan perasaannya sendiri. Ia merasa, jika kelak berhasil menemukan sumber suara itu, dirinya tak akan beranjak ke mana-mana lagi. Dan Sail merasa bahwa ia harus segera menemukan sumber suara itu.

Dan kini, perahu Sail tengah terombang-ambing dalam pencarian itu. Ia tak mau memikirkan harus berapa lama lagi mencari. Tak peduli akan kesasar ke pulau-pulau aneh lagi. Yang ia ingini hanya segera memenuhi suara yang memanggil-manggil itu agar segera sampai ke sana.

“Sebenarnya apa yang kamu cari, El? Sampai kapan kamu akan seperti itu?”

Tak ada yang bisa mendengar suara yang terus memanggil-manggil itu. Tak ada. Selain Sail seorang diri. n

Kalinyamatan – Jepara, 2013.


Lampung Post, 4 Mei 2014

No comments:

Post a Comment