Cerpen F. Moses
APAKAH sekarang dia masih mencintaiku? Firasatku dia mencintai yang lain. Sepengamatanku dia masih sangat mencintaiku, terlebih sesuatu yang tergenggam ini. Luar biasa dan selalu bikin terpesona, katanya. Wah, semakin teringatnya.
Zaman pacaran, tak hanya dia yang terpesona oleh sesuatu yang satu itu, tapi juga kedua orang tuanya. Pernah, ketika diperkenalkannya bahwa aku pujaan dan pilihan dari hatinya dalam sehidup-semati, kedua orang tuanya langsung menyetujui tanpa ba-bi-bu. Tanpa pikir panjang, mereka langsung menyuruhku diperkenalkan oleh pihak keluarga kapan aku mau. Kami siap, kata mereka. Betapa bahagia kedua orang tuaku saat kusampaikan pesan itu. Lalu saling bertemulah mereka, mengatur segalanya untuk pernikahan kami.
Meski sudah lima tahun tanpa anak yang, kami tetap bahagia. Rahasia kebahagian kami sederhana saja; lantaran ada paling disukainya. Diam-diam juga, memang lebih mencintainya ketimbang diriku.
Kecintaannya dengan sesuatu sudah bukan rahasia lagi. Teman-temannya sampai heran, mengapa dia—seorang wanita cantik rupawan nan menawan—lebih mencintai sesuatu milik suaminya. Tak ada dicintainya selain sesuatu yang satu itu.
***
Sebagai aparat yang kerap bertugas di daerah pedalaman terpencil, komandan dari kesatuan yang membawahi 51 prajurit, aku memang ditugaskan untuk meredam pemberontak yang akhir-akhir ini semakin brutal. Belum terjadi satu prajurit gugur dalam meredam pertikaian, pokoknya selalu sukses dan beres. Makanya, selama konflik masih berlangsung hingga kini, bertahun-tahun pula masih dipercaya sebagai kepala kesatuan. Namun apa daya, aku tetap lelaki biasa, apalagi sudah beristri. Mengangeninya adalah kedahsyatan.
"Iya Sayang, awal bulan kita pasti berjumpa. Hmm, iya, aku kangen kamu juga," kataku. Dia sangat mengangeni aku. Dia selalu menunggu aku supaya cepat pulang dari tempat ini.
Setiap aku pulang, permintaannya satu, agar membawakan sesuatu yang agak panjang itu. Ah, apa susahnya membawa yang satu itu. Sebagai komandan sepertiku, apalagi permintaan istri sendiri.
***
Satu hingga empat bulan adalah hal biasa dia menyukainya. Tapi setiap bulan berikutnya, aku mulai tak habis pikir, mengapa hanya menginginkan itu. Untuk oleh-oleh mertuaku juga tak jauh beda, yakni sesuatu yang satu itu.
"Cukup kamu tunjukan saja sesuatu itu, dan biarkan mereka untuk sekadar melihat dan memegangnya. Mereka sangat menyukainya, Mas."
Aku masih tak habis pikir mengapa mereka hanya menginginkan sesuatu itu. Terlebih dia, istriku. Sering aku memergokinya, mendengar dia berbicara seorang diri dengan sesuatu yang satu itu. Aku tercekat, dia lebih mencintainya. Gila.
Setiap malam dia kerap memainkan sesuatu itu. Bahkan berbicara dengannya. Sambil diremas-remas dan dielusnya. Seringkali aku marah karena itu. Keterlaluan, dia lebih mesra saat memperlakukannya. Diam-diam aku tenggelam cemburu.
Hingga suatu saat aku mesti kembali bertugas, ini kali pertama pula dia memaksa agar kutinggalkan sesuatu itu di rumah. Sebagai ingatan, katanya. Tentu saja tak kuberi, bagaimana mungkin aku dipisahkan dari milikku yang satu itu.
"Kenapa tak kau belikan saja dia mainan yang persis dengan sesuatu itu?" kata temanku lewat SMS. Segera kutelusuri banyak toko mainan. Aku mendapatinya dan mirip. Lumayan mahal. Hampir sejumlah gaji sebulan. Semoga dia cukup terhibur dan mengingatku.
***
"Maaf, Pak, Ibu lagi tak bisa diganggu karena sedang sibuk di kamar."
"Iya.... Tapi, coba paksa bilang aku mau bicara."
"Ehm... hmm, katanya lagi sibuk dengan, maaf, ya, sesuatu itu, Pak," katanya terdengar cengengesan.
Saban malam menghubunginya, selalu begitu kata pembantu di rumah. Aneh. Sungguh aneh. Mengapa dia malah sibuk dengan mainan yang mirip sesuatu itu. Biarlah, semoga dia tetap selalu bahagia karena sesuatu yang satu itu.
***
Tak terasa sudah kembali pada kepulangan bulan berikutnya.
Katanya, nyonya selalu menyibukkan diri di kamar, Pak. Ah, paling juga sibuk dengan mainan sesuatu itu lagi. Pasti akan lebih senang kalau tiba saja aku mengejutkannya dengan sesuatu yang asli ini. Sambil melangkah pelan menuju kamar. Kulihat dia tengah bersila di atas ranjang menghadap foto dinding pernikahan kami. Perlahan aku menghampirinya.
Aku kecup bibirnya. Aku kecup hidungnya. Aku kecup matanya yang terpejam. Aku kecup hidungnya. Lalu aku kecup keningnya. Dan pada kecupan selanjutnya, dia menolak. Lagi-lagi dia justru memilih sesuatu itu. Begitu pandainya dia membelai-belai sesuatu yang satu itu. Dimanjanya. Berkali-kali pula diciumnya. Berakhir dipeluknya erat-erat.
"Kau boleh kembali pergi lagi, Mas. Asal sesuatu yang satu ini tetap dalam genggamanku," katanya memohon. Sontak kularang keinginannya itu. Karena dengan memberikannya sesuatu mainan seharga hampir sejumlah gajiku itu sudah lebih dari cukup.
"Kita sudah hidup tanpa anak, sekarang kau tak memperbolehkan aku dengan sesuatu milikmu, Mas!"
"Kau jangan gila...!"
"Kau yang jangan gila, Mas. Ini permintaan terakhirku. Pokoknya kau boleh pergi untuk selebihnya kembali pada bulan berikutnya asalkan sesuatu itu kau tinggal. Pokoknya aku ingin sesuatu itu, Mas. Titik!" tukas istriku.
Aku tak mengerti. Aku malu dengan pertengkaran macam begini setiap pulang. Bahkan tetangga di luar pun mungkin sampai bosan mendengarkan pertengkaran kami. Dari pertengkaran yang hanya karena masalah sesuatu yang itu-itu juga. Tak bisa kubiarkan seorang istri hanya mencintai sesuatu yang satu itu.
Aku bilang masalah ini kepada mertua. Namun, mereka malah selalu membela alasan istriku.
Solusi terbaik, mungkin, kalau segera kurundingkan dengan atasanku.
"Goblok, masalah begitu kau ceritakan kepadaku!" seru atasanku lewat telepon.
"Maaf, Pak. Ini bukan masalah sesuatu yang lain. Tapi masalah sesuatu yang kebetulan milikku yang selalu aku pergunakan."
"Hah!"
"Iya, Pak. Betul. Benar, Pak. Istriku itu sangat tergila-gila dengan sesuatu itu. Coba mohon dengar sekali lagi Pak, masak aku diperbolehkannya pergi asalkan sesuatu yang satu itu ditinggal. Mohon maklum, Pak, istriku itu cinta betul dengan sesuatu itu. Kalau Bapak berkenan, izinkan aku kembali berdinas tanpa membawa sesuatu yang satu itu. Aku tak ingin dia menjadi perempuan yang iseng sendirian, Pak."
Setelah berunding cukup lama. Akhirnya diperbolehkan.
***
Seperti biasa setiap Minggu, kedua orang tuanya, yang kebetulan juga menyukai sesuatu yang satu, itu berkunjung ke rumah menantunya. Mereka memang tahu betul kalau setiap bulan selalu berkumpul.
Inilah awal bulan yang dipastikan dapat menemui mereka semua. Di samping harapan bercakap-cakap saling tukar cerita nantinya. Tentang rencana ke depan dalam berumah-tangga. Mulai dari kapan memiliki momongan hingga memiliki rumah tetap. Dan paling seru, mereka bisa melihat sesuatu milik menantunya itu. Karena bagi mereka itulah keberhasilan mempunyai menantu seorang anggota berpangkat komandan. Berdinas di luar kota pula. Lengkap dengan seragam yang tampak jumawa. Bagi mereka itulah keberhasilan luar biasa.
***
Meski mendung di langit tampak menggantung hebat, pintu pagar tetap dibuka dengan tenangnya. Keanehan tak mampu menembus perasaan mereka. Melepas sepatu dan sandal di muka pintu. Membiarkannya di luar tanpa takut terpercik hujan.
O, pintu tak terkunci. Mungkin mereka sedang berduaan di kamar, pikirnya.
Kedua orang tua itu memilih bersantai sejenak di ruangan tamu. Membuka penganan yang sedari rumah dibungkus rapi satu per satu. Sambil memandang tenang ke arah jendela. Di luar hujan perlahan menderas.
Mereka belum melangkah ke belakang, tepatnya dapur. Mungkin sebentar lagi, untuk seperti biasanya mengambil es batu dari baki dalam kulkas.
Dan tepat di muka kulkas, sepasang suami-istri tertelungkup, bersimbah—entah karena bunuh diri atau pertengkaran, menggunakan sesuatu yang satu itu: pistol.
Telukbetung, Juni-Oktober 2010
---------
F. Moses, kelahiran Jakarta, 8 Februari. Menulis puisi dan cerpen. Tinggal dan bekerja di Telukbetung, Bandar Lampung.
Lampung Post, Minggu, 9 Januari 2011
parah amat :'(
ReplyDelete