Sunday, November 16, 2014

Menjadi Ikan

Cerpen Muhammad Amin


SUDAH lama sekali, sejak aku mendengar cerita ini. Cerita yang awalnya kudengar dari Nenek. Perempuan tua yang hampir pikun tapi masih mengingat cerita-cerita. Aku tak menganggap ceritanya sebagai dongeng meskipun kisahnya seperti dongeng untuk anak-anak kecil sebelum terlelap tidur. Nenek bercerita tentang bidadari yang turun dari kayangan mandi di telaga suci. Juga tentang manusia setengah ikan. Tapi, menurutku, cerita Nenekku bukanlah dongeng.

Sebulan setelahnya Nenek meninggal—dan memang seharusnya ia yang setua itu meninggal. Mungkin saya kasihan juga jika penyakit tuanya semakin menggerogoti. Ia akan kembali seperti anak kecil, bahkan lebih parah lagi. Meski sudah pikun, Nenek masih ingat sembahyang. Dia bersembahyang lebih dari lima puluh kali sehari. Karena setiap kali telah menyelesaikan sembahyang, tampaknya Nenek lupa bahwa ia sudah melaksanakannya, sehingga ia mengambil wudu, sembahyang lagi. Begitu seterusnya. Padahal, saya sudah sering mengingatkan. Tapi, itulah Nenek.

Pada bulan Rajab waktu itu, bulan yang dipercaya sebagai bulan berkah. Bulan haram, kata orang Islam. Bulan di mana syariat salat diturunkan. Nenek meninggal di bulan ini. Terjatuh di tangga.

Tubuh Nenek terbujur kaku. Aku hanya memandangi dari kejauhan ketika banyak orang berdatangan. Aku seperti mencium aroma asing di udara. Aroma yang belum pernah aku mencium sebelumnya. Setelah diurus; dimandikan dan dikafani, jenazah Nenek dibawa ke tanah pekuburan. Aku tak ikut serta mengantarkan. Aku menyendiri saja di pojok rumah di tengah keramaian itu.

Satu orang telah pergi dari rumah kami. Tapi ada yang masih ditinggalkannya untukku, sebuah cerita yang masih mengiang di kepala. Meski kemudian minggu dan bulan terus berganti. Waktu memang tak pernah berhenti meski hanya sejenak melepas lelah.

Beberapa tahun kemudian, ada kasak-kusuk berita yang santer beredar dari rumah ke rumah. Dulu, bukit-bukit nun jauh sana adalah bekas-bekas kejayaan masa lalu penduduk kampung kami. Kebun-kebun cengkih yang ranggi, subur tanahnya, serta melimpah bunga bijinya. Ditambah lagi harga yang amat tinggi saat itu.

Seluruh orang kampung menjadi kaya karena bunga cengkih yang harum itu. Di kala musim panen tiba, orang-orang dari Batu Patah turun untuk upahan. Siang hari kampung sepi melompong, karena orang-orang seluruhnya pergi ke kebun untuk memanen bunga cengkih. Sore hari sampai malam bunga-bunga cengkih itu ditaburkan di atas lantai rumah panggung mereka untuk disortir, dipilih, dan dipisahkan dari tangkainya.

Kampung kami harum cengkih. Halaman-halaman rumah yang lapang dipenuhi oleh bunga cengkih yang dijemur di bawah terik matahari. Anak-anak kerap bermain berlari-larian di atas hamparan bunga cengkih yang dikeringkan, tapi tak ada satu pun orang tua yang memarahi. Ketika cengkih-cengkih itu sudah mengering dan dikarungkan, lalu disimpan di gudang-gudang penyimpanan di bawah rumah.

Kampung kami sangat aman. Tak ada pencurian dan sebagainya. Bahkan, di siang hari rumah-rumah ditinggalkan dengan pintu tak terkunci, padahal di dalam rumah banyak barang-barang berharga yang ditinggalkan. Begitulah.

Orang-orang kampung kami banyak yang sudah berangkat ke Tanah Suci, bahkan ada yang sudah berkali-kali. Banyak gelar haji lahir dari bunga cengkih. Ada yang menyekolahkan anaknya di kota hingga perguruan tinggi. Ada pula sebagian yang membeli rumah di kota. Namun, lebih banyak orang yang sangat betah di tanah kelahirannya, tak ingin ke mana-mana.

Harga emas masih murah. Bukan hanya perhiasan yang dibeli. Bahkan cangkir buat minum dan piring buat makan itu terbuat dari emas. Ya, dari emas. Mungkin ada yang tak percaya. Tapi begitulah kemakmuran di kampung kami. Bahkan kalau inginkan sebuah sepeda motor atau mobil sedan, bisa tukarkan dengan satu atau dua karung cengkih kering.

Namun, siklus kehidupan selalu berputar. Di mana ada letak puncak kejayaan, di situ akan patah menuju keruntuhan. Dalam hitungan hari, pohon-pohon cengkih yang ranggi dan subur itu serempak mati karena wabah penyakit. Saya tak tahu nama penyakitnya. Tapi itulah awal dimulainya masa muram di kampung kami.

Dalam hitungan beberapa tahun saja, penduduknya kembali miskin. Mungkin karena sudah telanjur hidup enak, sehingga harta yang tersisa begitu cepat habisnya. Hanya tinggal gelar-gelar haji pada orang-orang tua. Itulah salah satu yang selalu diceritakan Nenek, yang selalu dikenangnya. Juga oleh orang-orang kampung yang sempat hidup di masa itu.

Dan berita yang menyebar akhir ini adalah suatu kabar gembira bagi sebagian besar orang. Kabar bahwa tanah bekas kebun-kebun cengkih di bukit itu akan dibeli oleh pengusaha dari kota untuk dijadikan proyek pertambangan. Kalau tak salah, untuk pertambangan besi dan batu galena.

Sebagian besar penduduk gembira dengan kabar itu. Sebagian lagi biasa-biasa saja bahkan ada pula yang menolak. Terutama mereka yang menolak adalah yang tak suka kepada kepala kampung yang katanya sudah sering memakan uang anggaran untuk pembangunan kampung.

Tapi, bagi kami, sebenarnya itu tak terlalu penting. Yang terpenting bagi orang kampung adalah mereka mendapatkan uang banyak hasil penjualan tanah-tanah yang tak terurus meskipun kelak kampung mereka pun akan ikut dibeli dan dijadikan lahan pertambangan.

Tetapi, akhirnya kabar itu menyurut. Menghilang begitu saja. Sesekali muncul, tetapi cepat menghilang lagi. Hingga tak pernah terdengar lagi kabarnya.

*

Rumah kita masih seperti dulu, kata Emak. Sebuah rumah panggung dengan tangga kayu. Sangat sederhana. Lantainya dari papan yang tersusun-susun. Apabila berjalan di atasnya akan jelas terdengar suara langkah kaki. Letaknya dekat pantai menghadap laut.

Emakku seorang wanita yang tinggi semampai, berkulit kuning langsat dan rambut bergelombang kemerahan. Kata orang, Emak paling cantik di kampung kami. Orang-orang pun heran kenapa Emak mau diperisitri oleh Bapak, seorang lelaki berkulit hitam, berkumis tebal dan berwajah menyeramkan. Tapi, begitulah. Katanya, Bapak menemukan Emak di desa kecil Teluk Kiluan. Sebuah desa yang konon kata orang tempat dahulu bidadari turun untuk mandi.

Emak seorang pendiam, hanya tangannya yang sering bicara. Ketika Nenek sakit, Emak sangat rajin mengurusnya, tapi keduanya tampak jarang sekali bicara. Dan mata keduanya seolah menyimpan rahasia. Ataukah itu hanya perasaanku saja?

Sebagian besar penduduk di kampung kami adalah nelayan. Memanfaatkan angin darat, mereka berangkat malam hari membawa mesin tempel dan lampu petromaks. Kemudian kembali ke darat di pagi atau siang hari. Di sepanjang pantai berjejer perahu-perahu cadik sampai ke tepi muara. Dan, di sepanjang pantai itu rumah-rumah berjejeran menghadap laut.

Bapakku tak punya perahu cadik. Tapi ia pandai ngejodang, menyelam mencari udang di sesela batu karang. Setiap malam Bapak berangkat bersama rombongannya membawa peralatan menyusuri tepi-tepi pantai yang curam akan bebatuan. Sebuah pekerjaan yang mengandung risiko besar, meski hasil yang dibawa pulang juga besar. Dan sebenarnya sudah banyak yang menjadi korban keganasan laut. Tak jarang orang yang berangkat ngejodang hanya namanya saja yang pulang.

Laut dan malam memang sama-sama menyimpan misteri. Namun, di keduanya para nelayan mencari rezeki, termasuk Bapakku yang tak punya perahu. Berangkat di gelap malam menyusuri tebing-tebing batu mempertaruhkan nyawa. Hanya untuk menyambung hidup.

Seorang anak nelayan sepertiku harus bersiap menerima kenyataan jika sewaktu-waktu Bapakku mati dipulun ombak. Dan akulah yang harus menggantikannya menjadi pencari udang. Kami menjalani hidup sampai tangan takdir berbicara. Beberapa hari sebelum Bapak dinyatakan menghilang, sesosok mayat mengambang di permukaan laut, ditemukan oleh nelayan dengan tubuh sudah menguarkan bau busuk.

“Mayat siapa?”

“Mat Jupri,” jawab seseorang.

“Innalillahi…”

Mat Jupri adalah bagian dalam rombongan Bapak. Mendengar kabar itu segera kami merasa khawatir. Apa yang terjadi? Mungkinkah hanya Mat Jupri yang mati dan lainnya selamat? Ataukah?

Mayat Bapak tak diketemukan. Berhari-hari, berminggu-minggu. Memang hanya dua orang dari teman rombongan Bapak yang bisa pulang dengan selamat. Mereka menceritakan kejadiannya. Bapak dan Mat Jupri yang sedang menyelam memasang perangkap udang di celah bebatuan karang tak kembali ke darat. Hingga pagi. Memang saat itu cuaca sedang tak baik. Keduanya curiga bahwa keduanya menghilang ditelan laut.

Barulah dua minggu setelah dinyatakan menghilang, akhirnya mayat Bapak diketemukan. Mayat yang terlilit oleh jaring dan tersangkut di bawah bebatuan karang itu keadaannya sudah sangat mengerikan. Saya tak sanggup melihatnya. Mayat Bapak diangkat oleh penyelam. Kemudian dibawa pulang.

Emak hanya diam, mungkin menahan kesedihan. Tak banyak berkata-kata, begitulah ia. Setahuku, Bapak dan Emak selama ini tak pernah bertengkar. Keduanya memang sama-sama pendiam. Karena itu, aku lebih akrab dengan Nenekku atau tetangga daripada mereka berdua.

Satu lagi, saya kehilangan. Paling tidak, setelah ini saya yang akan segera menjadi pengganti Bapak untuk menyambung hidup keluarga.
                               
*

Setiap malam saya selalu keluar rumah. Setelah nongkrong di warung Wa Isah sambil ngopi dan bergitaran, karena mengantuk aku segera pulang. Sementara teman-temanku masih nongkrong di warung. Aku berjalan pulang melewati pohon-pohon nipah di tepi-tepi jalan yang berrawa. Aroma nipah menyeruak, suara desis angin, daun yang bergesekan, dan binatang malam.

Gelap. Sangat gelap. Tak ada sedikit pun cahaya penerangan. Tapi aku hafal setiap lekuk jalan. Terdengar suara kecipak air dari jalanan yang kulalui terendam air semata kaki, karena air muara meluap di malam hari. Aku hampir sampai di rumah setelah melewati jembatan dekat muara. Tapi seolah ada sesuatu yang mengganjal di hati, bahkan sejak awal melangkah pulang tadi. Apakah ini yang disebut firasat?

Kedua kaki yang bersandal jepit mulai menginjak pasir dekat pantai. Terlihat di laut lampu-lampu dari kapal tanker, perahu bagan, dan perahu cadik nelayan yang baru berangkat melaut. Satu per satu perahu cadik di bawah pepohonan kelapa yang berbaris di sepanjang pantai itu mulai dibawa pemiliknya melaut.

Aku kemudian melangkah ke rumah. Tiba-tiba dari kejauhan pintu seperti dibuka dari dalam, tampak cahaya samar. Seorang perempuan keluar membawa lampu badai. Mungkinkah itu Emak? Mau ke mana ia tengah malam begini? Langkah kakinya begitu cekatan, menuju tepi muara. Aku menyusulnya. Kemudian ia melangkah di atas batuan karang yang tajam, menyembul di atas permukaan laut.

Pertanyaan terus berkelebat secepat langkahku menyusul langkah Emak. Kulihat ia memanjat batuan karang yang bertebing. Aku memang tak sempat berpikir banyak saat itu. Tiba-tiba aku teringat salah satu cerita Nenek.

Perempuan yang biasa saya panggil Emak itu melepas pakaiannya. Kemudian masuk ke dalam laut, menghilang ditelan gelap dan ombak. Aku ingin berteriak memanggil, tapi tenggorokanku tercekat. Kedua kakiku terpaku. Malam membeku.
                               
Jakarta-Tangerang, Juni 2013



Lampung Post, Minggu, 16 Nevember 2014

No comments:

Post a Comment