Sunday, May 8, 2011

Kertas akan Selalu Kosong

Cerpen Ika Nurliana


Satu bulan kemudian,

Selembar kertas kosong itu masih utuh di tempatnya. Bersanding dengan sebuah pena yang posisinya masih menindih meterai. Ketiganya siap digunakan. Secara tak sengaja posisi demikian, namun masing-masing memiliki makna. Meterai itu karena ditindih sebatang pena bertinta warna hitam, diharapkan tidak akan terbang diterpa angin ketika jendela kamar ini dibuka.

Hari ini aku membuka pintu kamar, menguaknya dengan lebar, masih berdiri di ambangnya, memandang ketiga benda itu dengan hati jeri. Betapa tidak, tiga benda itu bermakna besar bagi kehidupan kami sebulan lalu, dan mungkin hari-hari kami berikutnya.

***

Tiga benda itu bukan sebatas benda mati yang dapat digunakan sewaktu waktu saat kami mau menggunakannya, saat kami mantap memakainya atau dengan balutan emosi yang menggerakkan hati, tangan, dan seluruh raga. Hanya akan perlu waktu lima menit untuk menggunakannya dan mengubah segalanya dengan ketiga benda itu. Mengubah langkah kaki kami, mengubah status kami, mengubah hati dan kehidupan berikutnya.

Ketiga benda itu sangat bermakna. Melihatnya akan melemparkanku pada peristiwa satu bualan lalu. Pertengkaran hebat itu telah memutuskan kami untuk berteriak, memanggil Bibi Empi agar menyediakan sehelai kertas, sebatang pena tinta hitam, dan teriakan kami berikutnya adalah memanggil Mul, sopir kami, untuk mencari secuil materai yang selanjutnya akan kami gunakan untuk menuntaskan masalah ini, secepatnya, jam itu juga. Materai itu memang harus kami beli. Karena stok di ruang kerja telah habis untuk perjanjian jual-beli.

Masih teringat bagaimana Bibi Empi tergopoh-gopoh mendatangi kami, terkejut dengan semua yang tengah dilihatnya. Lalu mendengarkan suara tuannya berbicara cepat dengan nada datar, Bibi Empi mengangguk sebentar sebelum berlalu sambil menggendong si bungsu kami, berlari ke ruang kerja dan mungkin yang dilakukannya adalah mencabut sehelai kertas di atas printer Canon di atas meja. Kubayangkan wajah gugupnya tengah celingukan mencari sebatang pena, kembali berlari ke kamar kami, lalu dengan wajah pucat, takut, dan prihatin, ia sempatkan dan beranikan diri untuk memandang sesaat saja ke arah kami.

Pasti ditemukannya wajahku yang sembab, bahkan air itu masih menggantung di kelopak, mencairkan sebagian eyeliner dan maskara, semakin menghitamkan sekitar kelopak mata. Lalu, ditemukannya juga sesosok manusia yang diam, sedang berusaha menyabarkan hati, mengepalkan kedua tangan hingga sekujur tubuhnya bergetar.

Bibi Empi yang bijak, ia lekas berlalu setelah meletakkan dua benda itu. Menutup wajah Si Bungsu dengan kain gendongan agar tak melihat pemandangan itu. Tak melihat kami, dua orang tuanya yang sedang berjuang melawan emosi, meredam kata kasar, menggigit bibir agar tak keluar sepatah pun kalimat sumpah serapah yang akan didengar oleh Si Bungsu.

Tidak, dalam amarah apa pun, kami tidak akan membiarkan para buah hati kami tahu apa yang tengah terjadi dengan kedua orang tuanya. Ia tak boleh merasa bahwa saat ini rumah yang dihuninya nyaris sepanas neraka.

Tidak, mereka juga tak boleh tahu arti perang mulut, percekcokan dan pertengkaran. Bibi Empi tahu apa yang sedang terjadi. Ia cepat membawa lari tiga pangeran dan putri kami. Terbang bersama sayapnya, ke rumah tetangga.

Sepeninggalnya Bibi Empi dan buah hati, kami diam, saling mengunci mulut, hanya isak tangis dan helaan napas berat yang berirama, menghuni ruangan ini.

"Ma, tulislah, apa yang kau mau," suaranya rendah, bergetar. Tengah mengumpulkan sisa sabar.

Aku diam. Tak berminat melihatnya. Lebih tepatnya, ngeri.

Aku yang bodoh ini mengerti maksud kalimatnya tadi. Tidak. Kalaupun harus terjadi, biarlah ia yang menulisnya, menandatangani, dan mengurus semuanya, bukan aku. Dan, aku pun tak tahu kalimat apa yang harus ditulis, himpunan huruf, sederet kata, makna seperti apa yang akan digoreskan di atas kertas putih polos situ.

Ada yang mengetuk pintu kamar besar kami. Suara serak Mul mengucap salam.

Laki-laki di seberangku bangkit, diam-diam kuperhatikan ia sempatkan untuk mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Diraihnya gagang pintu, dibiarkannya terbuka sedikit. Tangannya terjulur. Tanpa kata. Suara pintu kembali menutup.

Kembali hening. Tangannya mengangsurkan kertas kecil itu. Materai. Secuil kertas yang dapat mengubah kehidupan kami berikutnya. Perjanjian di atas kertas, bertanda tangan dengan materai senilai enam ribu rupiah. Entah apa yang akan kami tulis di situ. Di antara kami tak ada yang mau mendahului. Hanya bersedia untuk menandatangani. Sebab kami sama sekali tak tahu apa yang kami maui dari semua ini.

Sampai akhirnya waktu membuat kami sama-sama letih. Aku tertidur dalam duduk. Suamiku memilih meninggalkan kamar besar ini. Ia seorang laki-laki. Siang ini ada janji dengan relasinya. Apalah arti pertengkaran, baginya pekerjaan harus terus berjalan. Itulah laki-laki.

***

Perpisahan sementara karena tuntutan kerja adalah hal biasa bagi kami. Juga bagi buah hati kami. Jarang bertemu adalah bumbu mujarab untuk memupuk rindu. Dan kami seolah lupa dengan pertengkaran itu. Minggu pertama setelah hari itu, kami lalui tanpa komunikasi. Ia yang mendahului, namun rasa sakit hati masih belum kutemukan obatnya. Saat itu ia pamit untuk perjalanan dinas ke luar kota. Anak-anak menjadi tanggung jawabku mutlak. Aku bisa melupakan masalah dengan bercengkerama riang dengan mereka. Aku tak pernah masuk kamar tidur besar kami. Aku tidur bersama dua putriku. Dua pangeranku tidur di kamar sebelah.

Aku kembali terbang dan menghabiskan malam di rumah dinas saat suamiku pulang. Tanpa komunikasi berarti. Hanya tatap tanpa tukar kalimat. Minggu kedua ketiga, hanya bersedia berbalas kata. Seperlunya. Aku masih mahal untuk menggerakkan lidah, memperdengarkan suara untuknya.

Aku ingat ketiga pangeran kecil dan putri kami. Cinta kami untuk mereka sepenuhnya. Kami tak memikirkan diri sendiri. Tapi ada mereka pengikat hati dan penyubur rindu. Muara untuk bertemu, bercengkerama, bersandiwara dengan hebatnya. Kami, tanpa sepakat kata, rela meluluhlantakkan hati demi buah cinta. Mencabik ego dan mematikannya. Menahan diri tak peduli hati nyeri.

Ah, perpisahan selalu memaksaku untuk berpikir tentang aku, dia, dan anak-anak. Apa yang menjadi musabab pertengkaran hebat kami? Dia laki-laki baik, sabar, pengertian, arif. Apa kurangnya? Apakah artinya sifatku adalah sebaliknya? Aku memang emosional, tegas, dan cenderung mandiri, tapi bukan berarti tak butuh suami. Lalu apa yang salah dengan hubungan ini? Toh di antara kami tidak ada orang ketiga. Tak pernah ada masalah ekonomi. Minimal itu.

***

"Kapan kita bisa kumpul? Renang, makan, ya liburan gitu deh...," suara si nomor dua membuatku mengukir senyum. Pagi hari yang cerah. Aku masih di rumah dinas.

"Mama sibuk banget. Papa sudah carikan sekolah untukku lho, Ma. Mama tahu tidak? Syaratnya aku harus hapal sepuluh surat pendek. Untung selama ini Abang yang ngajarin aku, dan aku mau belajar dari abang jelekku ini, hehehe," ini suara si nomor tiga, putriku yang ceriwis. Ah, padahal yang benar adalah, kami mengikutkannya untuk privat mengaji bersama abangnya. Bukan abangnya yang ngajarin.

"Tapi ada wawancara orang tua juga. Ya Mama-Papa harus kompak dateng. Jangan dianter Om Mul terus," protes si sulung.

Aku yakin handphone itu akan terus berpindah tangan.

"Di mana Kiki?" tinggal si bungsu yang belum berceloteh. Kupastikan benda itu tengah berada di depan mulutnya hingga kudengar suaranya yang lucu.

"Kakih ibu kepada betang kak kekika kepandang maka, hanya mengbeki tak hakap kembaki."

"Ki, es gitu... es, es, es," si sulung menganggu konsentrasi bungsuku dalam menyanyi. Ah, si kecil ini masih belum bisa mengucapkan es. Tapi untuk ukuran usia dua tahun, ia sudah hapal lebih dari dua puluh lagu. Siapa yang mengajarkan? Tentu bukan seluruhnya aku. Kuusap mataku.

Ah, para pangeran dan putri-putri kecilku. Harus bagaimana aku berterima kasih pada kalian?

"Mama akan pulang. Mama akan ambil cuti kantor. Oke?" putusku cepat.

"Papa juga Ma. Jadi kita liburan ya," alangkah girangnya si nomor dua itu.

"Oke," aku mengangguk. Air mataku meleleh. Entah oleh apa.

"Ke Bali ya, Ma?" rengek si putri.

"Tidak. Mama tidak mau, tempat lain saja," ucapku tegas.

"Kenapa Ma?" aku belum mau mengatakan alasan yang sesungguhnya pada mereka. Sebab alasan itu justru akan membuat mereka penasaran. Bali, apa bagusnya pulau indah itu untuk anak-anak seusia mereka? Turis tergeletak di sembarang tempat. Pemandangan tanpa pakaian. Ah.

"Kita ke Semarang aja." Semarang, tempat sepupu suamiku yang hingga sepuluh tahun pernikahan belum dikaruniai anak. Mereka selalu minta kami main ke sana. Kini kudengar suara keempat buah hatiku itu menceracau, memenuhi gendang telingaku.

***

"Sayang," suara itu seolah membuat tubuhku membatu. Mataku masih menatap ke arah tiga benda itu. Sehelai kertas, sepotong pena tinta hitam, dan materai di bawah pena itu. Kini pandanganku mulai kabur.

Aku mengerti makna semua ini. Membiarkannya tetap ada di sana. Bukan berarti sewaktu-waktu kami dengan mudah bisa menggunakannya. Bukan berarti ruangan ini tak pernah dibersihkan. Tapi Bibi Empi dan Yum tentu tak berani memindahkan barang apa pun di kamar ini.

"Besok kita ke Semarang. Anak-anak telah menyiapkan diri, Putri diterima di sekolah itu. Nilai tes akademiknya oke. Nilai wawancara kita," suara di belakangku berhenti.

Aku menunggu kelanjutan kalimat itu.

"Memuaskan," oh, kami semakin mahir bermain peran. Bagi orang di luar sana, kami adalah pasangan yang harmonis, romantis, sukses.

***

Hari ini, tepat sepuluh tahun pernikahan kami. Tak ada acara berarti. Aku tahu kami tak akan pernah lupa dengan tanggal dan bulan ini. Kertas itu masih kosong di tempatnya, di atas sebuah meja. Kertas, pena, dan materai yang sama. Hanya saja sekarang ruangan itu bukan lagi kamar utama. Kami biarkan berisikan buku pelajaran dan buku bacaan. Kami isi penuh dengan rak dan mainan anak. Tapi anehnya, tak satu pun dari anak kami menyentuh atau memindahkan tiga barang itu. Mereka tetap utuh di sana. Posisi yang sama.

Tak akan ada perpisaahan oleh kata. Tak akan ada perpisahan karena gerak kasar tangan. Tak akan ada perpisahan disebabkan rasa bosan. Tak akan ada kesepakatan untuk mengakhiri ikatan. Kami akan biarkan rasa itu datang dan pergi dengan sendirinya. Biarkan mengalir apa adanya. Tak ada salah satu dia ntara kami akan menuliskan sesuatu di kertas putih itu. Sampai puluhan tahun kemudian warnanya memudar. Berubah cokelat karena waktu.

Kami masih akan terus saling mencintai di antara kerak masalah. Hati kami masih akan selalu bertemu meski di tengah kemelut cemburu. Pikiran kami masih akan selalu jernih. Ada sepakat. Tak akan ada pengganti bagi yang lain. Tertutup pintu bagi orang ketiga. Masalah utama kami adalah emosi yang selalu meletup. Kami sadar. Saat itu terjadi, fungsi yang lain adalah menyiramkan salju. Kami pernah bertengkar hebat. Tapi hati kami terpatri pada rasa cinta yang kuat. Semoga, selamanya. Kertas itu akan selalu kosong.

Biarkan kertas itu tetap di sana. Tanpa bertuliskan kata. Biarkan ia berubah warna dengan sendirinya. n


Lampung Post
, Minggu, 8 Mei 2011

No comments:

Post a Comment