Cerpen Benny Arnas
KECUALI Lubis Sulaiman, Kayla tak tahu banyak tentang keempat calon wali kota Lubuklinggau yang lain. Justru karena keterbatasan pengetahuannya pula, ia akan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kalinya. Dan yang akan dicoblosnya bukan kertas suara bergambar laki-laki berkumis rimbun itu. Ya, ia sangat berharap suaranya dapat membantu calon lain untuk menjungkalkan Lubis Sulaiman!
*
Dua minggu ini, perbincangan di rumah, kedai, pasar, hingga masjid, hanya berputar pada topik pemilihan kepala daerah Lubuklinggau. Seperti biasa, masyarakat akan menjelma penilai yang paling lihai. Mereka sibuk membanggakan si ini dan si itu atas dasar kesamaan tempat kelahiran, hubungan darah, atau bantuan yang secara pribadi pernah mereka dapatkan.
Tak jarang obrolan mereka melipir menjadi perdebatan hingga pertikaian. Tak terkecuali para pelanggan pempek dan gorengan di kedai milik Kayla di simpang jalan utama Ulaksurung. Kayla kerap tersenyum sinis—bahkan perutnya bisa tiba-tiba mual—menyaksikan fanatisme buta itu.
“Laki-laki yang bisa memimpin itu salah satu cirinya berkumis. Makin tebal kumisnya, makin kelihatan wibawanya.”
“Betul sekali, Man! Walaupun selama ini tinggal di Lampung, tidak berarti si Lubis tu melupakan tanah kelahirannya. Lihatlah, jalan-jalan kecil yang sering kita lalui untuk menyadap karet, dua minggu lagi akan diaspalnya.”
“Aku juga sependapat, Pakcik! Untuk Agustusan tahun ini, si Lubis akan mendanai semua kegiatan. Bayangkan lomba gaple saja hadiah utamanya sepeda motor, lomba makan kerupuk hadiahnya Rp500 ribu! Nah, bisa kita bayangkan acara pesta rakyatnya nanti!”
Percakapan itu menahan Kayla di balik gorden yang memisahkan tempat pembeli dan bilik belakang. Ia bahkan menyuruh Sika, anak gadisnya yang tengah menggoreng pempek, untuk membawa gelas-gelas kopi ke hadapan mereka. Kebiasaannya membaur dengan para pelanggan menguap sudah.
“Biar Mak yang meniriskan gorenganmu,” ujarnya, seraya mengambil sendok penggorengan dari tangan Sika.
“Sepertinya orang sekampung ini mendukung Pak Lubis ya, Mak?” cerocos Sika, sekembalinya dari depan. Kontan, kalimat anak semata wayangnya itu menyalakan luka yang perlahan padam di dada Kayla.
“Tak baik menguping Sika. Kau belajarlah saja supaya lulus SMA!” seru Kayla, seraya memasukkan adonan pempek ke dalam belanga. Bunyi ribut minyak panas membuat kata-katanya tak terlalu jelas di telinga Sika.
“Sika kan cuma mengikuti perkembangan, Mak. Masa Sika tak tahu apa-apa kalau ditanya tentang pemilukada di sini, Mak,” jawab Sika polos. Ia membereskan beberapa gelas kotor ke dalam bokor plastik.
“Sudah, sudah!” Kayla mulai kesal. “Kau lekaslah ke depan. Siapa tahu Pakcik Rahman dan kawan-kawannya sudah mau pergi. Nanti saja kau cuci gelas-gelas itu! Hari Ahad ini kedai kita buka setengah hari saja.”
*
Awal Agustus itu, Sika kembali membuat ibunya muntah. Kayla membaca tulisannya tentang Lubis Sulaiman pada selembar kertas di atas meja belajarnya.
“Kenapa pula Mak ni, setiap bicara pemilukada selalu naik pitam?” tanya anaknya tak mengerti. ”Bukannya Mak sendiri bilang, kalau tahun ini Mak tidak akan golput?”
“Ya, tapi suara Mak bukan untuk si Lubis itu!” sahut Kayla, ketus.
“Terus apa masalahnya sama Sika, Mak?” protes Sika.
“Ini!” Kayla mengangkat selembar kertas seperti menunjukkan barang haram yang disembunyikan anaknya. “Buat apa kau sanjung-sanjung si Lubis?”
“Itu kan naskah Lomba Menulis Surat untuk Pemimpin Lubuklinggau dalam rangka peringatan 17 Agustus ini, Mak,” jawab Kayla polos.
“Kenapa pula harus si Lubis yang kau puji?”
“Mak seperti tak tahu saja,” ujar Kayla, dengan senyum kecil seolah menyindir ibunya, “Yang mengadakan lomba itu kan tim suksesnya Pak Lubis, Mak. Jadi, kalau Sika mau menang, ya harus kupuji-pujilah dia, Mak. Lagi pula …”
”Lagi pula apa?” potong Kayla cepat.
“Menurut Sika, dari lima calon yang ada, Pak Lubis paling keren, Mak!”
“Jaga mulutmu, Sika!” suara Kayla seperti gemuruh lahar yang hendak muncrat. “Tahu apa kau tentang dia?!” Dadanya megap-megap.
Sika terperanjat. Dia benar-benar tak menyangka kalau ibunya dapat berubah beringas hanya karena hal sepele.
“Jawab?!” Kayla melotot. Jarak wajahnya dan wajah Sika tak lebih lima jari.
Sika berjalan agak mundur. Ia benar-benar gentar dengan kemarahan ibunya.
“Jawab, atau ….” Kayla menghentikan gerakan tangan kanannya yang hendak menampar Sika.
Sika terduduk di lantai setelah menyandarkan tubuhnya cukup lama di dinding. Ia terus berpikir mengapa ibunya begitu membenci Pak Lubis.
*
Kayla tahu ia tak seharusnya bersikap kasar pada Sika.
Putrinya itu tak tahu apa-apa tentang perasaannya, musabab kemarahannya, dan hal-hal yang menyakitkan lainnya. Tapi, ia sungguh-sungguh tak bisa menerima apa-apa yang terbaca dari tulisan Sika beberapa waktu yang lalu.
Anak gadisnya itu tidak hanya memuji visi-misi laki-laki yang belum genap berusia lima puluh tahun itu sebagai calon wali kota, tapi juga kontribusinya pada Kelurahan Ulaksurung, kepeduliannya pada acara tujuh belasan, dan ketampanannya. Ia yakin tulisan putrinya itu tak sepenuhnya mengada-ada demi hadiah, tapi lebih banyak didasarkan pada pendapat pribadinya.
“Mak.”
Panggilan Sika membuyarkan lamunannya malam itu.
“Ceritakanlah yang sebenarnya, Mak.”
“Tentang apa, Nak?” Suara Kayla agak bergetar. Perasaannya tak enak.
“Semua yang Mak tahu tentang Pak Lubis.”
Deg! “Mengapa tiba-tiba kau menanyakan itu?” refleks Kayla meneguk liur.
“Mengapa pula Mak selalu benci pada orang-orang di kedai yang membincangkan Pak Lubis? Mengapa Mak tak memperbolehkan Sika mengikuti lomba menulis yang diadakan tim suksesnya? Mengapa Mak bersikap aneh sejak Pak Lubis jadi calon wali kota?” berondong Sika penuh penasaran.
“Sika, kau, kau, kau... Apa maksudmu?” Kayla tak mampu menyembunyikan kegugupannya. “Jangan terlalu jauh berprasangka,” ujarnya, dengan suara ditahan. Tubuhnya mendadak menjadi dingin dengan keringat yang berebutan tumbuh di pori-pori.
“Jangan-jangan Pak Lubislah laki-laki yang menyebabkan Sika menjadi yatim seperti ini, Mak?” suara Sika terdengar lantang dan menghujam hulu hati Kayla. “Mengapa Mak diam saja?” desak Sika. Kali ini ia menyentuh bahu Kayla. “Apakah Mak akan membiarkan Sika pura-pura tak tahu semuanya sebagaimana Sika yang tak pernah mengenal wajah Bapak.”
Kayla terdiam. Ia benar-benar tak menyangka kalau bumerang yang ia lempar dulu, baru menyerangnya hari ini. Sungguh, ia tak ingin semuanya terbongkar.
“Kenapa tak kita laporkan saja Pak Lubis, Mak?”
Sigap Kayla memeluk Sika yang sudah larut dalam tangis. Ia mengusap-usap rambut putrinya yang perlahan merenggangkan pelukan.
“Jadi, benar Pak Lubis yang membunuh bapak, kan, Mak?” mata merah Sika menatapnya, dalam dan tajam.
Kayla bergeming. Hanya air mata yang bergerak menyentuh ujung bibirnya. Ingatannya melayang pada cerita yang ia karang saban Sika menanyakan ayahnya dulu.
“Bapakmu dibunuh orang tak dikenal pada pertengahan Agustus 1997. Mungkin dia punya masalah dengan bapakmu. Karena tak tahan menanggung rindu pada bapakmu, Mak membakar semua foto-foto pernikahan kami. Itu pula yang menyebabkan Mak memboyongmu pindah dari Lampung ke kota yang jauh ini. Jangan tanyakan lagi tentang bapakmu, Nak. Kita mulai hidup baru di Lubuklinggau ini.”
Sika, pada akhirnya percaya pada cerita karangan itu. Dan Kayla tak pernah menyangka kalau beberapa hari yang lalu Sika akan bertindak jauh melampaui perkiraannya. Ia lupa, usia Sika sudah hampir tujuh belas. Ia bukan lagi anak-anak. Sika mengikutsertakan tulisannya dalam lomba menulis surat itu. Ia membeberkan kebejatan Lubis Sulaiman. Benar saja, satu minggu kemudian, ketika kedai sepi pembeli, Kayla didatangi orang-orang yang mengaku anggota tim sukses Lubis Sulaiman.
“Bapak sangat terkejut membaca tulisan putri Ibu,” ujar salah seorang dari mereka. “Bapak sangat ingin bertemu dengan Sika dan ibunya. Bapak ingin bertanya beberapa hal. Yakinlah, Bapak orangnya baik, Bu,” tutur pesuruh Lubis Sulaiman itu sangat sopan dan meyakinkan.
“Sika belum pulang sekolah, Pak,” jawab Kayla dengan degup jantung yang susah ia kendalikan. Ia menyesal telah melibatkan Sika sejauh ini.
Dialah muara fitnah ini. “Tapi apa-apa yang Sika tulis dalam suratnya sepenuhnya atas sepengetahuan saya. Jadi, lebih baik bapak-bapak membawa saya saja.”
Anggota tim sukses itu berpandangan sebelum salah satu dari mereka mengangguk. Kayla menutup kedai dengan gerakan terbata-bata. Andaikan saja fitnah itu tak pernah ditanamkan ke kepala Sika, ia takkan secemas ini menghadapi Lubis Sulaiman, laki-laki yang pernah berjanji menikahinya setelah hubungan terlarang mereka di perkebunan damar di Kalianda pada Agustus enam belas tahun yang lalu.
Ah, tak guna aku gentar, batin Kayla, kini giliran kami yang menang, wahai Sulaiman. Ya, bagaimana kau akan menunaikan janjimu pada rakyat, bila pada kekasih dan darah dagingmu sendiri saja kau tak pernah peduli?
Kayla menghela napas kuat-kuat. Ia masuk ke mobil mewah tim sukses Lubis Sulaiman dengan hati yang dikuat-kuatkan. n
Rabu, 10 Juli 2013
Lampung Post, Minggu, 18 Agustus 2013
KECUALI Lubis Sulaiman, Kayla tak tahu banyak tentang keempat calon wali kota Lubuklinggau yang lain. Justru karena keterbatasan pengetahuannya pula, ia akan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kalinya. Dan yang akan dicoblosnya bukan kertas suara bergambar laki-laki berkumis rimbun itu. Ya, ia sangat berharap suaranya dapat membantu calon lain untuk menjungkalkan Lubis Sulaiman!
*
Dua minggu ini, perbincangan di rumah, kedai, pasar, hingga masjid, hanya berputar pada topik pemilihan kepala daerah Lubuklinggau. Seperti biasa, masyarakat akan menjelma penilai yang paling lihai. Mereka sibuk membanggakan si ini dan si itu atas dasar kesamaan tempat kelahiran, hubungan darah, atau bantuan yang secara pribadi pernah mereka dapatkan.
Tak jarang obrolan mereka melipir menjadi perdebatan hingga pertikaian. Tak terkecuali para pelanggan pempek dan gorengan di kedai milik Kayla di simpang jalan utama Ulaksurung. Kayla kerap tersenyum sinis—bahkan perutnya bisa tiba-tiba mual—menyaksikan fanatisme buta itu.
“Laki-laki yang bisa memimpin itu salah satu cirinya berkumis. Makin tebal kumisnya, makin kelihatan wibawanya.”
“Betul sekali, Man! Walaupun selama ini tinggal di Lampung, tidak berarti si Lubis tu melupakan tanah kelahirannya. Lihatlah, jalan-jalan kecil yang sering kita lalui untuk menyadap karet, dua minggu lagi akan diaspalnya.”
“Aku juga sependapat, Pakcik! Untuk Agustusan tahun ini, si Lubis akan mendanai semua kegiatan. Bayangkan lomba gaple saja hadiah utamanya sepeda motor, lomba makan kerupuk hadiahnya Rp500 ribu! Nah, bisa kita bayangkan acara pesta rakyatnya nanti!”
Percakapan itu menahan Kayla di balik gorden yang memisahkan tempat pembeli dan bilik belakang. Ia bahkan menyuruh Sika, anak gadisnya yang tengah menggoreng pempek, untuk membawa gelas-gelas kopi ke hadapan mereka. Kebiasaannya membaur dengan para pelanggan menguap sudah.
“Biar Mak yang meniriskan gorenganmu,” ujarnya, seraya mengambil sendok penggorengan dari tangan Sika.
“Sepertinya orang sekampung ini mendukung Pak Lubis ya, Mak?” cerocos Sika, sekembalinya dari depan. Kontan, kalimat anak semata wayangnya itu menyalakan luka yang perlahan padam di dada Kayla.
“Tak baik menguping Sika. Kau belajarlah saja supaya lulus SMA!” seru Kayla, seraya memasukkan adonan pempek ke dalam belanga. Bunyi ribut minyak panas membuat kata-katanya tak terlalu jelas di telinga Sika.
“Sika kan cuma mengikuti perkembangan, Mak. Masa Sika tak tahu apa-apa kalau ditanya tentang pemilukada di sini, Mak,” jawab Sika polos. Ia membereskan beberapa gelas kotor ke dalam bokor plastik.
“Sudah, sudah!” Kayla mulai kesal. “Kau lekaslah ke depan. Siapa tahu Pakcik Rahman dan kawan-kawannya sudah mau pergi. Nanti saja kau cuci gelas-gelas itu! Hari Ahad ini kedai kita buka setengah hari saja.”
*
Awal Agustus itu, Sika kembali membuat ibunya muntah. Kayla membaca tulisannya tentang Lubis Sulaiman pada selembar kertas di atas meja belajarnya.
“Kenapa pula Mak ni, setiap bicara pemilukada selalu naik pitam?” tanya anaknya tak mengerti. ”Bukannya Mak sendiri bilang, kalau tahun ini Mak tidak akan golput?”
“Ya, tapi suara Mak bukan untuk si Lubis itu!” sahut Kayla, ketus.
“Terus apa masalahnya sama Sika, Mak?” protes Sika.
“Ini!” Kayla mengangkat selembar kertas seperti menunjukkan barang haram yang disembunyikan anaknya. “Buat apa kau sanjung-sanjung si Lubis?”
“Itu kan naskah Lomba Menulis Surat untuk Pemimpin Lubuklinggau dalam rangka peringatan 17 Agustus ini, Mak,” jawab Kayla polos.
“Kenapa pula harus si Lubis yang kau puji?”
“Mak seperti tak tahu saja,” ujar Kayla, dengan senyum kecil seolah menyindir ibunya, “Yang mengadakan lomba itu kan tim suksesnya Pak Lubis, Mak. Jadi, kalau Sika mau menang, ya harus kupuji-pujilah dia, Mak. Lagi pula …”
”Lagi pula apa?” potong Kayla cepat.
“Menurut Sika, dari lima calon yang ada, Pak Lubis paling keren, Mak!”
“Jaga mulutmu, Sika!” suara Kayla seperti gemuruh lahar yang hendak muncrat. “Tahu apa kau tentang dia?!” Dadanya megap-megap.
Sika terperanjat. Dia benar-benar tak menyangka kalau ibunya dapat berubah beringas hanya karena hal sepele.
“Jawab?!” Kayla melotot. Jarak wajahnya dan wajah Sika tak lebih lima jari.
Sika berjalan agak mundur. Ia benar-benar gentar dengan kemarahan ibunya.
“Jawab, atau ….” Kayla menghentikan gerakan tangan kanannya yang hendak menampar Sika.
Sika terduduk di lantai setelah menyandarkan tubuhnya cukup lama di dinding. Ia terus berpikir mengapa ibunya begitu membenci Pak Lubis.
*
Kayla tahu ia tak seharusnya bersikap kasar pada Sika.
Putrinya itu tak tahu apa-apa tentang perasaannya, musabab kemarahannya, dan hal-hal yang menyakitkan lainnya. Tapi, ia sungguh-sungguh tak bisa menerima apa-apa yang terbaca dari tulisan Sika beberapa waktu yang lalu.
Anak gadisnya itu tidak hanya memuji visi-misi laki-laki yang belum genap berusia lima puluh tahun itu sebagai calon wali kota, tapi juga kontribusinya pada Kelurahan Ulaksurung, kepeduliannya pada acara tujuh belasan, dan ketampanannya. Ia yakin tulisan putrinya itu tak sepenuhnya mengada-ada demi hadiah, tapi lebih banyak didasarkan pada pendapat pribadinya.
“Mak.”
Panggilan Sika membuyarkan lamunannya malam itu.
“Ceritakanlah yang sebenarnya, Mak.”
“Tentang apa, Nak?” Suara Kayla agak bergetar. Perasaannya tak enak.
“Semua yang Mak tahu tentang Pak Lubis.”
Deg! “Mengapa tiba-tiba kau menanyakan itu?” refleks Kayla meneguk liur.
“Mengapa pula Mak selalu benci pada orang-orang di kedai yang membincangkan Pak Lubis? Mengapa Mak tak memperbolehkan Sika mengikuti lomba menulis yang diadakan tim suksesnya? Mengapa Mak bersikap aneh sejak Pak Lubis jadi calon wali kota?” berondong Sika penuh penasaran.
“Sika, kau, kau, kau... Apa maksudmu?” Kayla tak mampu menyembunyikan kegugupannya. “Jangan terlalu jauh berprasangka,” ujarnya, dengan suara ditahan. Tubuhnya mendadak menjadi dingin dengan keringat yang berebutan tumbuh di pori-pori.
“Jangan-jangan Pak Lubislah laki-laki yang menyebabkan Sika menjadi yatim seperti ini, Mak?” suara Sika terdengar lantang dan menghujam hulu hati Kayla. “Mengapa Mak diam saja?” desak Sika. Kali ini ia menyentuh bahu Kayla. “Apakah Mak akan membiarkan Sika pura-pura tak tahu semuanya sebagaimana Sika yang tak pernah mengenal wajah Bapak.”
Kayla terdiam. Ia benar-benar tak menyangka kalau bumerang yang ia lempar dulu, baru menyerangnya hari ini. Sungguh, ia tak ingin semuanya terbongkar.
“Kenapa tak kita laporkan saja Pak Lubis, Mak?”
Sigap Kayla memeluk Sika yang sudah larut dalam tangis. Ia mengusap-usap rambut putrinya yang perlahan merenggangkan pelukan.
“Jadi, benar Pak Lubis yang membunuh bapak, kan, Mak?” mata merah Sika menatapnya, dalam dan tajam.
Kayla bergeming. Hanya air mata yang bergerak menyentuh ujung bibirnya. Ingatannya melayang pada cerita yang ia karang saban Sika menanyakan ayahnya dulu.
“Bapakmu dibunuh orang tak dikenal pada pertengahan Agustus 1997. Mungkin dia punya masalah dengan bapakmu. Karena tak tahan menanggung rindu pada bapakmu, Mak membakar semua foto-foto pernikahan kami. Itu pula yang menyebabkan Mak memboyongmu pindah dari Lampung ke kota yang jauh ini. Jangan tanyakan lagi tentang bapakmu, Nak. Kita mulai hidup baru di Lubuklinggau ini.”
Sika, pada akhirnya percaya pada cerita karangan itu. Dan Kayla tak pernah menyangka kalau beberapa hari yang lalu Sika akan bertindak jauh melampaui perkiraannya. Ia lupa, usia Sika sudah hampir tujuh belas. Ia bukan lagi anak-anak. Sika mengikutsertakan tulisannya dalam lomba menulis surat itu. Ia membeberkan kebejatan Lubis Sulaiman. Benar saja, satu minggu kemudian, ketika kedai sepi pembeli, Kayla didatangi orang-orang yang mengaku anggota tim sukses Lubis Sulaiman.
“Bapak sangat terkejut membaca tulisan putri Ibu,” ujar salah seorang dari mereka. “Bapak sangat ingin bertemu dengan Sika dan ibunya. Bapak ingin bertanya beberapa hal. Yakinlah, Bapak orangnya baik, Bu,” tutur pesuruh Lubis Sulaiman itu sangat sopan dan meyakinkan.
“Sika belum pulang sekolah, Pak,” jawab Kayla dengan degup jantung yang susah ia kendalikan. Ia menyesal telah melibatkan Sika sejauh ini.
Dialah muara fitnah ini. “Tapi apa-apa yang Sika tulis dalam suratnya sepenuhnya atas sepengetahuan saya. Jadi, lebih baik bapak-bapak membawa saya saja.”
Anggota tim sukses itu berpandangan sebelum salah satu dari mereka mengangguk. Kayla menutup kedai dengan gerakan terbata-bata. Andaikan saja fitnah itu tak pernah ditanamkan ke kepala Sika, ia takkan secemas ini menghadapi Lubis Sulaiman, laki-laki yang pernah berjanji menikahinya setelah hubungan terlarang mereka di perkebunan damar di Kalianda pada Agustus enam belas tahun yang lalu.
Ah, tak guna aku gentar, batin Kayla, kini giliran kami yang menang, wahai Sulaiman. Ya, bagaimana kau akan menunaikan janjimu pada rakyat, bila pada kekasih dan darah dagingmu sendiri saja kau tak pernah peduli?
Kayla menghela napas kuat-kuat. Ia masuk ke mobil mewah tim sukses Lubis Sulaiman dengan hati yang dikuat-kuatkan. n
Rabu, 10 Juli 2013
Lampung Post, Minggu, 18 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment