Sunday, December 23, 2012

Di Antara Luka dan Tawa

Cerpen Magenta Helmera


Tawa bocah itu memecah senja yang baru saja bergeser menjadi malam. Celoteh suara Bintang membuatku tak tega memenggal kegembiraan yang terpancar dari sorot mata polos yang selalu berbinar setiap kali sedang bersama Hang, lelaki yang telah sekian kali menancapkan ujung pisaunya yang tajam ke jantungku. Telah berulang dan terus berulang. Sehingga kata maaf seperti hanya aksesoris berharga recehan.
                   
***

MEMANG ini sungguh tak adil, setidaknya bagiku situasi ini membuatku tak bisa memilih dan menentukan sikap. Aku ingin Hang pergi jauh dari kehidupanku. Aku tak ingin melihat wajahnya yang penuh kepura-puraan. Senyum yang ia berikan pada Bintang di mataku hanyalah semacam kemunafikan. Yang aku tak suka ia selalu berusaha memanfaatkan Bintang agar aku selalu bisa memberi maaf padanya. Dan memberi tempat setiap kali ia pulang.

Sejak pertengkaran besar itu, aku tak pernah lagi bertanya apa-apa lagi atas segala sepak terjangnya. Bahkan ketika ia tak pulang pun perasaan ini tak lagi risau memikirkan kemana dia pergi. Rasa cemburu yang dulu gampang terbakar, sejak peristiwa itu, melihat bercak lipstick di kerah kemejanya, rasa cemburu itu hilang entah kemana. Aku justru merasa lebih tenang  jika Hang tidak berada di rumah. Setidaknya aku bisa konsentrasi mengerjakan pesanan-pesanan baju yang hasilnya kupergunkaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sebagai istri yang dinikahi Hang di catatan sipil, perkawinan kami tidak dilengkapi dengan pemberkatan di gereja dimana dulu Hang kerap kesana. Belakangan aku tahu, Hang bukan pemeluk agama yang taat. Ia datang ke gereja saat ingat saja. Meski begitu terhadap Bintang aku selalu menutup-nutupi setiap kali ia bertanya mengapa papanya tak ikut ke gereja.

“Mama…apakah papa akan merayakan natal bersama kita?” Tanya bocah itu sambil mendekatiku. Tangan mungilnya memegang baju yang sedang kujahit.

“Ini baju Bin? “ tanyanya lagi sambil mengangkat kemeja berukuran kecil. Natal kali ini Bintang memilih sendiri corak yang ia inginkan. Bintang juga ikut-ikutan demam Jokowi.

Aku tersenyum mengangguk sambil melepas kancing kemeja baru itu. Bintang selalu gembira mencoba baju yang sudah selesai kujahit. Dan berharap Bintang tak bertanya lagi tentang hal yang sama : apakah papa natal bersama kita?
“Baju Bin kembalan ya dengan baju papah?” Tanya Bintang lagi, bicaranya yang masih cedal. Mata polosnya penuh harap,  membuatku tak tega untuk bilang “tidak”.  Dengan cepat meski ragu , aku menggerakan kepala member isyarat mengangguk, meski dengan penuh keyakinan keingian Bintang seperti pungguk yang merindu rembulan.

“Papa kemungkinan besar akan memakai baju yang kembar dengan Bin meski tak sama persis…” ujarku seperti ingin meralat isyarat anggukan tadi. Rasa sakit menjalar ke sekujur tubuhku. Aku tak ingin anakku menangis karena keinginannya merayakan hari natal bersama papanya tidak terkabul.

Bintang diam. Seperti sedang mencerna kalimatku yang baginya mungkin membingungkan.

“Papa pasti gak suka dengan baju buatan mama!” teriaknya  tiba-tiba sambil mendekap baju yang mau dicobanya.

“Papaa jahat ya…padahal baju buatan mama pasti keren!”

Ya, Tuhan…mengapa Bin tiba-tiba seberang itu? Aku tak pernah mengajarinya membenci Hang. Aku selalu memberi kesan baik untuk sosok laki-laki yang selalu dirindukan anakku. Setiap malam ia selalu bertanya mengapa papanya belum pulang. Dan aku selalu berusaha menenangkannya dengan melakukan kebohongan-kebohongan kecil. Yang terpenting bagiku adalah menjaga agar buah hatiku hatinya tak terluka yang akan membuatnya tercedera sampai dewasa kelak.

Nyaris aku terisak. Anak sekecil ini saja bisa menghargai pekerjaannya. Mataku memanas. Air mata sudah mendesak-desak ingin keluar. Ah, aku tak boleh menangis di depan anakku. Aku harus tegar agar ketegaran ini bisa menguatkan diriku dan esok anakku tak menjadi anak yang cengeng.

“Bin gak boleh bilang begitu. Papa tidak jahat…hanya papa belum punya waktu yang banyak untuk temani kita di rumah.” Kataku cepat sebelum kekecewaan meracuni jiwanya.

“Papa ..tak seperti papanya teman Bin…” ujar bocah itu lagi dengan suara pelan, lalu dengan cepat disembunyikan wajahnya ke pangkuanku. Hmm aku tahu ia tak ingin memperlihatkan kesedihannya. Aku selalu mengajari Bintang agar menghadapi hidup dengan senyum. Setiap kali ia bertanya tentang papanya selalu saja aku berusaha untuk memberikan jawaban yang menyenangkan hatinya.

“Papa adalah yang terbaik untuk kita, Bin. Meski papa sering tidak bersama kita, percayalah, Papa sedang bekerja untuk kita.”

Maafkan, Bin…mama terpaksa berbohong. Dirimu masih terlalu kecil untuk memahami persoalan orang dewasa. Mama juga tak ingin kamu membenci papamu.

“Kenapa papa tidak tinggal di rumah kita?”
Duh…haruskah kujawab papamu sedang tergila-gila pada perempuan kaya? Papamu tak kuat hidup sederhana? Papamu di luar sana menjadi “gula-gula” perempuan kaya yang kesepian?

Tentu tidak! Aku tak boleh melukai perasaan Bintang. Aku tak boleh bisa jujur padanya. Mungkin untuk kali ini bohong adalah yang terbaik.

“Ma…kalo papa gak pernah pulang, Bin pingin papa baru saja!”

Aku tersenyum mendengar celotehnya yang sungguh di luar dugaan. Dari mana ia temukan kalimat ajib itu? Sungguh ini permintaan yang tak seharusnya kutanggapi serius.
“Bin pingin seperti teman-teman yang papanya selalu ada. Bin ingin main sama papa. Tapi papa tak pernah pulang.” Katanya memelas.

Kupandangi wajah Bin yang sedih. Selama ini kupikir ia enjoy saja hanya berdua denganku.  Jika sedang berduaan, ia seperti menjelma menjadi sahabat dan teman ngobrol yang asyik. Padahal usianya baru 4 tahun.  Ia hampir tak pernah rewel meski waktuku tak banyak untuk bermain atau megajaknya jalan-jalan.

Aku tahu Bin tidak serius. Kadang acara televisi membuat anak-anak seusia Bintang mendadak menjadi dewasa.
               
***

MELIHAT keceriaan Bintang membuat rasa sakit di hatiku bisa kuabaikan. Aku tak ingin merusak kegembiraan Bintang dengan membatasi kebersamaan mereka. Mungkin Hang memang bukan suami yang baik untukku, tetapi kehadirannya dapat membuat anakku gembira. Meski kadang Bintang memperlihatkan kemarahannya pada Hang, tetapi binar di matanya tidak bisa bohong, dia sangat gembira bila sedang berada di pelukan Hang. Aku tahu Hang berusaha menjadi bapak yang baik dan berusaha keras agar anaknya menyayanginya.

“Mama bikinkan pisang goreng dan teh,” ujarku mendekati mereka dengan membawa nampan berisi sepiring pisang goreng dan teko mungil berisi teh panas dan dua cangkir kecil.
“Kok cangkirnya hanya dua?” ujar Hang sambil menebar senyum yang dulu selalu  membuatku terpesona.

Kubiarkan pertanyaannya menguap di senja yang mendung. Dengan cekatan kutuang teh yang masih mengepul ke cangkir mereka. Aroma pisang goreng membuatku terlempar ke senja-senja yang manis ketika hubungan kami masih mesra.
“Duduklah disini bersama kami…,” Hang menyentuh tanganku. Menarik dengan halus tanganku agar lebih dekat dengannya. Aku menurut saja ketika Hang memeluk bahuku. Aku hanya ingin Bintang tertawa dan menikmati senja dengan gembira.
“Mamah deket Bin aja ya? Bin mau dipeyuk mamah…”

Jari-jari mungil itu menggenggam jemariku dengan kuat. Rasa hangat menjalar ke sekujur tubuhku. Genggaman Bintang seperti memberi enerji positif.

“Oke…oke mama matikan kompor dulu ya?”

Tanpa menunggu jawaban mereka aku bergegas menuju dapur. Entah mengapa aku belum bisa menerima perlakukan Hang yang terlalu sering melukai perasaanku. Betapa mudahnya ia mengganggap apa yang dilakukannya hanya sebagai kekhilafan. Dia bisa pulang ke rumah kapan saja tanpa merasa bersalah. Bercanda dengan Bintang dan bersikap seolah ia suami yang baik dan bapak teladan.

“Aku ingin kita tetap mesra di depan Bintang, ma” ujar Hang pelan.

Tiba-tiba ia sudah berada di dapur. Bisa jadi sudah cukup lama ia memperhatikanku yang sengaja menyibukan diri di dapur. Bahan masakan yang akan kuolah untuk makan malam memang sudah kukeluarkan dari lemari es. Aku akan memasak makanan kesukaan Hang dan Bintang. Sop kepiting dan perkedel kentang.

Kulirik Hang melirik daging kepiting yang masih membeku.
Ya, Tuhan, mengapa rasa sayang dan cinta ini masih saja bergulung-gulung di dadaku? Aku bisa saja berhenti memikir Hang jika ia tidak di dekatku. Tetapi mengapa setiap berada di dekatnya hati ini tak mau diajak kompromi.
Getar-getar itu masih sama ….

“Aku juga berpikir begitu meski kita tak seperti dulu lagi,” jawabku singkat dan terdengar dingin.

“Aku ingin papa merayakan natal bersama kami,” ujarku dengan suara lirih. Berat rasanya mengucapkan kalimat itu. Rasanya seperti sedang mengemis belas kasihan Hang. Tetapi aku rela melakukan apa saja demi kebahagian Bintang. 
Hang menatapku. Aku tak bisa membaca sorot matanya. Hatiku gamang.

“Aku tak memaksamu. Jika memang tak bisa aku tidak akan membiarkan Bintang kecewa. Aku bisa membawanya liburan.” Kataku cepat dan mungkin terdengar seperti mengancam.
“Akan kuusahakan,” jawabnya pelan. Lalu berbalik dan meninggalkanku sendirian.

***

BINTANG sibuk menggantung hiasan natal di pohon natal mini yang kubikin sendiri. Untuk membeli sebuah pohon natal mini saja aku tak mampu. Tetapi keinginanku menggembirakannya  tak bisa dikalahkan oleh keadaan. Entah sudah berapa lama Hang tak memberi nafkah  pada kami. Bagiku selama masih mampu aku tak terlalu risaukan soal itu. Yang terpenting bagiku adalah membahagiakan anakku.
Sambil bersenandung entah lagu apa, Bintang menikmati kesibukan yang ia ciptakan sendiri. Memandangi setiap bentuk benda yang ingin digantungnya lalu bibir mungilnya sibuk bertanya ini dan itu. Aku meladeninya dengan sabar.

“Pohon kita bagus ma,” kata Bin sambil memandangi kelip lampu kecil yang dipasang Leka adikku. Aku tak mau Bin ribut soal lampu dan merasa kehilangan papanya karena tak ada yang memasang lampu kecil warna-warni itu.

“Terima kasih sayang, itu mama buat sendiri lho…” kataku sambil membelai pipinya.

“Mama hebat…,” pujinya dengan mata yang memancarkan ketulusan lalu dengan cepat mendaratkan ciuman di pipiku. Mataku berkaca-kaca mendapat pujian dan ciumannya. Ia adalah hartaku satu-satunya. Untuk dialah sampai saat ini aku bertahan atas sikap Hang yang seenaknya.

“Bin…cayang mama,” ucapnya lirih sambil menepuk-nepuk tanganku.

“Mama juga sayang, Bin, ayo kita pasang lagi hiasannya,” ujarku dengan nada riang. Jangan sampai Bin larut dalam keharuan. Nanti ia bertanya lagi tentang papanya yang belum juga muncul.

“Abis pasang hiasannya, boyeh Bin bantu mama masak?” ujarnya tiba-tiba.

Aku tertawa dengan menahan haru. Aku harus terus gembira di depannya. Tak boleh ada air mata. Aku mengangguk sambil meletakan beberapa hadiah yang telah kubungkus dan kuberi pita warna-warni. Semuanya menggambarkan keceriaan. Bintang harus tertawa dan melonjak kegirangan ketika membuka hadiah-hadiah itu.

“Boleh dong, siapa takut?”

Memasak bersama Bintang tentu kegembiraan yang tak ternilai. Dengan berkutat di dapur sambil mendengar celoteh dan semua pertanyaannya tentang bahan masakan tentu akan membunuh kegelisahan menunggu Hang. Entah mengapa aku sangat berharap Hang datang membawa hadiah natal untuk kami dan memberi kecupan bertubi-tubi.

Ah, kenapa juga mengkhayal sesuatu yang tak pasti?
Natal selalu saja menyisakan luka dan kesedihan. 
Tiba-tiba terdengar suara bel. Seperti dihipnotis Bintang menghentikan celotehnya. Ia lalu memandangku. Aku pun melakukan hal yang sama. Tetapi tak satu pun dari kami bergerak ke depan untuk membuka pintu.

Aku tahu Bintang tak berani membuka pintu. Ia seperti punya firasat yang datang bukan papanya.
Kami tetap di dapur. Suara bel berbunyi lagi. Kami kembali sibuk di dapur seperti ini mengabaikan suara bel yang kian mengganggu. Aku tahu bukan Hang yang datang.  Ia bisa masuk rumah kapan saja ia mau tanpa harus mengetuk pintu atau memencet bel.

Aku menggendong Bintang dan memeluknya.

“Ayo mandi…kita jemput papa.”

Aku tak tahu apakah keputusanku ini benar. Menjemput Hang mungkin akan merendahkan diriku, tetapi aku ingin anakku bahagia di malam natal bersama papanya. (Natal indah untukmu EMP)


Lampung Post, 23 Desember 2012

No comments:

Post a Comment