Sunday, December 9, 2012

Geraham yang Bertaut

Cerpen Budi Saputra

BARANGKALI yang ia tahankan itu kembali rasa geram. Di tengah gerimis, saat menjelang tengah malam, orang-orang ternyata masih bisa menyempatkan diri untuk datang. Tua muda tampak mulai mengerumuni rumahnya, membawa wajah sedih bercampur kaget. Dan dari sudut rumah, wajah-wajah itu diperhatikannya baik-baik. Ada sedikit rasa lega yang ia rasakan. Setidaknya, dari banyaknya orang yang datang, maka ia bisa mengambil kesimpulan, bahwa rasa ketidakpedulian itu tak ada sangkut pautnya dengan kematian. Setiap ada yang tertimpa musibah kematian, tentu orang-orang akan peka. Melayat, hingga berbondong-bondong menyalatkan dan menuju pekuburan.

Ia tentu bersedih atas kematian sang nenek. Tubuh ringkih dan kurus itu, masih segar dalam ingatannya, suara-suara batuk, dan perintah sang ibu untuk membuang air seni dan kotoran di dalam ember beberapa jam sebelumnya. Betapa tak disangka-sangka, tubuh yang dibiarkan sendirian berbaring di atas dipan itu, tak kunjung terbangun saat sang ibu membangunkan. Kesedihan pun pecah, kaum perempuan tak kuasa menghindar dari ratap berlebihan. Dan ia pun, harus terburu-buru membangunkan garin masjid untuk mengumumkan berita kematian ke seantero kelurahan.

Memang, ia tampak begitu sibuk di malam itu. Mengeluarkan kursi-kursi yang dibantu rekan seumurannya ke halaman rumah, agar para pelayat leluasa untuk bergerak melihat jenazah Nek Rimah yang terbaring kaku di sudut ruang tamu. Setelah mengangkat kursi, ia juga harus ke salah satu rumah warga untuk menjemput kursi dan tenda yang memang disediakan khusus untuk hari kematian.

?Ayo jemput tenda dan kursi sekarang!?

?Bendera, dan drum jangan lupa.?

Suara-suara itu, atau diucapkan dengan bahasa lain memang kerap terdengar saat ada hari kematian. Orang-orang akan paham dengan sendirinya. Membantu keluarga yang ditinggalkan sesegera mungkin begitu kumandang toa di masjid memperdengarkan berita kematian.

Maka, karena bantuan dari orang-orang sekitar rumahnya itulah, memang, ia tampak begitu puas di malam itu. Tak peduli rasa letih setelah mengangkat kursi dan memasang tenda di halaman depan rumahnya. Sebab, menurutnya, sebagai anak laki-laki memang harus menjadi andalan. Pandai bergaul dan memudahkan urusan keluarga.

Tetapi begitulah, barangkali yang ia tahankan itu kembali rasa geram. Selain sedikitnya pemuda yang datang membantu, tentu perangai abangnya, Bustam yang kerap membuatnya menautkan geraham.

***

TENTANG Bustam, ia memang harus menerima kenyataan. Seorang yang lebih tua empat tahun darinya itu, yang kerap berpakaian rapi sebagai orang kantoran, sungguh, itu tak membuatnya menaruh rasa hormat yang begitu tinggi pada abangnya itu. Setiap kali ia memperhatikan Bustam, terkadang ada rasa gamang yang ia rasakan. Bagai sebuah kapal yang berlayar di lautan, siapa yang menjamin kapal itu akan aman-aman saja melewati gelombang yang maha besar? Entahlah, menurutnya, barangkali itu telah menjadi sebuah takdir. Atau, barangkali itu sebuah penyakit akut yang sulit disembuhkan. Sebab, dari tahun ke tahun, sungguh tak ada perubahan yang ia lihat pada diri Bustam. Pikirnya, sejak masa kanak-kanak hingga masa dewasa, Bustam tak ubahnya seperti seorang perempuan yang betah menghuni rumah.

?Tak ada gunanya kau mendapat gelar sarjana dan bekerja sebagai orang kantoran. Dasar perempuan! Kau tak punya rasa malu terhadap orang-orang sekitar!?

Suatu ketika, ia tak kuasa menahan amarahnya terhadap Bustam. Ia lemparkan sebuah asbak rokok ke arah Bustam yang sedang asyik menonton televisi. Kata-kata caci maki pun ia muntahkan. Tak peduli orang-orang sekitar yang barangkali memasang telinga mendengar perang mulut yang memang kerap terjadi itu.

Ya, ia merasa begitu perlu mengingatkan meski tak dihiraukan sampai mulut berbuih-buih. Keluar untuk berbaur dengan masyarakat sebagai pemuda, baginya, memang sangat penting sekali.

?Ibu apa membiarkan saja ia tetap begitu? Menghadiri pengajian, melayat hingga menguburkan jenazah, menghadiri takziah, menghadiri undangan perhelatan, adalah bagian dari sisi sosial yang meski ada kita di dalamnya.?

Begitulah, ia juga kerap mengingatkan sang ibu tentang Bustam. Dan sang ibu, memang juga tak bisa berbuat banyak. Setiap ada warga sekitar yang tertimpa hari buruk kematian ataupun melaksanakan hari bahagia pernikahan, wajah Bustam memang sulit sekali ditemukan di antara kerumunan orang banyak.

Tak seperti dua adik perempuannya yang pandai bergaul, Bustam lebih memilih berdiam di rumah, atau sibuk dengan rekan kerjanya di luar rumah. Sehingga, dengan perangai Bustam yang seperti itu-itu saja sejak dulu, yang jarang berbaur, membuatnya begitu kesal.

?Apa kau tak malu ha? Nanti jika kau menikah atau mati, jangan harap orang-orang akan berbondong-bondong datang ke rumah menghadiri undanganmu atau melihat mayatmu!?

***

BARANGKALI di malam itu, ia telah mengambil sebuah kesimpulan dari hati yang teriba. Rasa saling menjaga dan bertetangga baru saja ia tunaikan. Ibu dari rekan sejawatnya baru saja berpulang. Kumandang toa berita kematian di masjid memang membuatnya sedih. Ia pun bergegas pergi melayat saat matanya ingin sekali dipicingkan di sudut kamarnya. Kembali diangkatnya kursi-kursi dan tenda seminggu yang lalu saat kematian Nek Rimah bersama para pelayat lainnya. Sementara ibu dan dua orang adiknya, tampak juga menyempatkan diri pergi melayat ke rumah Buk Siar meski memakai sarung untuk tidur. Lagi-lagi, batang hidung Bustam sungguh sangat sulit diharapkan hadir dalam kerumunan itu.

Ya, hatinya sangat teriba. Bukan karena pertanyaan dari seorang rekannya yang menanyakan keberadaan Bustam kepadanya. Pikirnya, wajah Bustam itu memang telah sepatutnya ia simbolkan sebagai sebuah kepalan tinju. Darah muda pergaulannya sama sekali tak menyukai perangai Bustam. Biar Bustam sadar, karena menurutnya, Tuhan pun tak menyukai orang yang tak memedulikan kehidupan bermasyarakat. Saling menjaga dan memberi yang bukan berarti selalu disimbolkan dengan memberi suatu kebendaaan yang berharga.

?Mati sajalah dia itu. Aku sudah bosan mengingatkannya.?

Memang, berbau bercanda ia katakan dengan nada sedikit tinggi. Tentang Bustam, sudah berulang kali ia muntahkan pada rekan sepermainannya sejak masa kecil itu. Seperti ingin menegaskan, bahwa karena pribadi Bustam yang tak membuka diri, pada akhirnya, imbasnya mulai ia tuai secara perlahan. Dugaan diskriminasi. Ya, diskriminasi. Juga sebuah perkiraan yang tak luput dipikirkannya.

Maka, ia banding-bandingkanlah antara sang ayah, Nek Rimah, dan Buk Siar. Sungguh, itu sangat sulit ia menentukan segalanya. Yang ia tahu, semuanya itu mati dalam keadaan baik-baik, bukan dengan cara yang buruk. Atau, apakah karena Buk Siar itu orang berpunya dan agak disegani? Ia pun tak habis pikir. Cuma dari kerumunan itu, setelah ia memasang tenda dan menyusun kursi, serta mengisap sebatang rokok basa-basi dari seorang pelayat, ia pun memuntahkan semuanya pada Dikar, di sebuah batang kelapa tak jauh dari rumah duka.

Betapa Dikar hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap wajahnya dan kerumunan para pelayat di tengah malam itu. Kadang dengan nada tinggi, kadang dengan nada seperti mengiba ia tuturkan perkara kematian sang ayah dan Nek Rimah. Memang, ayahnya bukanlah orang yang tak terlalu banyak bergaul dengan masyarakat setempat. Pergi kerja pagi, dan kembali pulang pada malam harinya. Tapi, sungguh memang keadaanlah yang saat itu mau tak mau harus diterima. Para pemuda yang biasanya berkumpul di lepau-lepau, dan tak jarang akan senang hati membantu apabila ada warga yang tertimpa musibah kematian, memang saat itu hampir semuanya ikut mendaki gunung sebagai para pecinta alam. Waktu ayahnya berpulang, juga tak jauh beda dengan waktu berpulangnya Nek Rimah, menjelang tengah malam. Dan ia, memang sangat terkuras saat itu. Hingga untuk menggali kuburan di permakaman kaum pun, ia ikut berkorban yang dibantu beberapa orang penggali kubur lainnya. Dan tentu ia harus terburu-buru membersihkan diri untuk menyalatkan jenazah ayahnya itu menjelang waktu zuhur.

?Aku tak menghitung-hitung jerih, Dikar. Kau bisa lihat sendiri, saat nenekku berpulang, para pemuda itu lebih banyak asyik duduk-duduk di lepau. Tak berapa orang yang ikut membantu, bahkan menampakkan batang hidungnya ke rumah. Tapi, kau lihatlah sekarang. Semuanya tampak semangat membantu mengangkat kursi dan mengangkat tenda.?

Mendengar semua itu, Dikar hanya diam mencoba memahami perasaannya. Sebuah pertanyaan hidup yang memasuki kepala, lalu dicerna, bagai melihat sebuah dunia yang penuh keniscayaan. Dikar lantas tak menyalahkan siapapun. Yang terpikir olehnya, hanyalah bagaimana cara untuk mati itu sendiri. Tak peduli siapa yang mengurus jenazah, berapa banyak pelayat yang datang, hingga datang kembali untuk menunaikan takziah. Dikar hanya berucap pendek, ?Tak usahlah terlalu dipikirkan. Ambil saja hikmahnya.? Betapa ia pun seperti telah bisa menerima segalanya, walau dalam hati kecilnya, ada sesuatu hal yang mengganjal perasaannya. Wajah Bustam terbayang. Darah muda yang berbau ugal-ugalan, memang kadang menyimpan perasaan ketidakakuran yang meletup tiba-tiba.

***

PADA akhirnya, tibalah saat ia sejenak melupakan segenap perang mulut atau pertengkarannya dengan Bustam. Atau, barangkali semua itu luput baginya untuk memikirkan. Di kamar rumah sakit, sang ibu tampak terbaring lemah. Jantungan ibunya kembali kambuh. Sungguh, itu terasa berat baginya, begitu pula dengan Bustam. Bustam begitu rajin bolak-balik dari kantor ke rumah sakit, atau dari rumah ke rumah sakit. Beberapa teman kerja Bustam tampak hadir untuk membesuk, juga ibu-ibu tetangga di sekitar rumahnya. Sementara beberapa pemuda yang termasuk Dikar, juga datang membezuk.

Tapi apa yang dialami Bustam sungguh lebih memiriskan hatinya. Hari buruk itu, entah dalam bentuk apa dan bagaimana ia terjemahkan. Sebuah pisau hidup yang menusuk tiba-tiba membuatnya terperanjat. O, sungguh terperanjat. Ia berlari di sepanjang ruang rumah sakit. Menuruni tangga demi tangga. Barangkali sebelum ia tiba di sebuah perempatan itu, arwah Bustam telah lebih duluan terpisah dari badan dan terbang ke langit. Bau parfum Bustam yang tersisa di kamar rumah sakit, seolah mengisyaratkan bau kematian.

Ya, ia memang menyaksikan kematian itu. Tubuhnya menggigil melihat darah segar mengucur deras dari hidung Bustam. Rumahnya akan kembali dipasangi tenda, disusun kursi-kursi serta sebuah bendera hitam yang dipasang di halaman depan. Pun kumandang toa dari seorang garin yang memberitakan kematian di masjid ke seantaro kelurahan. Dan dalam seketika itu pula, ada perasaan lain yang membuncah dalam dadanya. Kata-katanya itu, kata-kata yang pernah diucapkannya kepada Bustam, sungguh ia tak ingin itu terjadi. Ia juga teringat kata-kata Dikar di sebuah malam yang bergerimis itu.

Padang, 2012


Lampung Post, Minggu, 9 Desember 2012   
  

No comments:

Post a Comment