Sunday, October 20, 2013

Singaralang

Cerpen Arman A.Z.


SANJALAH Tuan ke Tanjung Iran, negeri elok yang akan membuat siapa pun kerasan. Jikalau mengusung niat baik, takkan kehadiran Tuan ditentang. Warga kami tahan berkorban apa saja untuk menjamu tamu dengan hidangan paling nikmat. Bila tak sedang diburu waktu, sambutlah tawaran bermalam di sana. Begitulah kami punya adat menjunjung tamu.

Kututurkan itu pada siapa saja yang kujumpa dalam kembara menyambangi negeri-negeri asing dan jauh. Aku tak sedang bermanis mulut saat mewartakan Tanjung Iran pada mereka yang berbaik hati menyediakan air minum dalam kendi di depan rumah atau menawari makan dan menginap kala langit beranjak pekat.

Tanjung Iran berpagar nyiur berbatang-batang. Sawah ladang hijau membentang. Rumah-rumah panggung beratap ijuk dengan anak tangga berjumlah ganjil. Sungai bagai liuk naga. Ngarai bagai bokong sapi betina. Meski hilir mudik kemarau dan hujan, Tanjung Iran permai belaka. 

Bila Tuan bangga nian pada kampung halaman, gerangan apa membuat Tuan jauh ngembara? Bukan sekali dua pertanyaan itu kuterima. Maka, tanpa maksud mengolok adab, kujulurkan kaki kiri ke hadapan mereka. Tahi lalat kecokelatan di telapak kaki ini, penanda sejak zaman puyang bahwa hidupku kelak penuh kembara.

Kalau merekah sekarang seruni, bunga makanan burung bebarau. Kalau bertuah balik ke sini, tidak bertuah hilang di rantau. Bila belum puas hati, sebutlah namaku di Tanjung Iran. Mengakulah sebagai sanak famili atau handai taulanku. Niscaya sangsi Tuan dan Puan terobati.

***

AKULAH Singaralang, bujang juaro dari Tanjung Iran. Telinga siapa tak pernah mendengar namaku malang-melintang seantero negeri? Bertubuh kekar, bermisai bercambang lebat, pandangan nyalang serupa mata lemawang. Berteman seribu jin, berilmu halimunan, tak mempan segala senjata. Hanya orang-orang lolo yang nekat menjajal adu nyawa denganku.

Begitulah takdir pengembara. Mata angin adalah ibu yang setia menemani perjalanan. Telah kenyang aku ditempa panas dan hujan. Melintas dusun, memintas ladang. Menyeberang sungai, menyusur ngarai. Menyibak belukar, meniti pematang. Tidur beratap gemintang berlampit bumi.

Kerap melanglang bukan berarti kubuang risalah kampung halaman. Musykil kulupakan segar air kendi yang jadi obat dahaga, reranting tempatku menjemur baju, perigi tempatku mandi, juga anak tangga rumah panggung tempat bertukar kelakar. Takkan pula kulupa bujang gadis teman sepermainan yang bersama menabuh gendang meniup serunai.

Sejak belia aku setia menyabung beruga. Singgah dari pasar ke pasar, dari kampung ke kampung, mencari lawan sabung. Jika ada yang culas hendak menggagalkan kemenanganku, alamat mengundang bala. Siapa sanggup menyulut amarahku, harus siap pula menghunus keris. Kerap sabung beruga berujung sabung nyawa. Bukankah ajal, pengintai segala yang hidup itu, telah tertera di kitab takdir? 

Takdir pula yang membawaku jadi hulubalang penjaga Tanjung Iran. Semenjak kakanda Wayang Semu jadi mantu Kerie Carang, orang terpandang di Tanjung Iran, kian jarang aku ngembara menyabung beruga. Tak kuasa kutolak amanat yang dilepakkan di pundak untuk menjaga merawat Tanjung Iran.

Mari bertukar sepah pinang, dirajang dengan runcing kuku. Air mata jatuh berlinang, iringlah saat mengubur daku. Tidak boleh ditebang lagi, kalau ditebang menimpa padi. Tidak boleh dikenang lagi, kalau dikenang menyusahkan hati.

Bila ajalku tiba, telah kutitipkan amanat pada sanak kerabat: tanam aku di kaki kubur bunda. Andai nyawaku putus di ujung runcing keris musuh, usah menghunus balas. Jangan biarkan dendam beranak-pinak tujuh temurun. Jangan pula mengingat yang sudah mangkat. Selayaknya adat, tundalah mengunyah sirih dan pinang beberapa hari untuk menghormati kematianku.

Pangkal selasih bunga cengkudu, mendari dayik tinggal tuan. Tinggallah kekasih tinggallah duduk, jangan muka daku dilupakan.

***

KEMENAKANKU Dayang Rindu, bidadari yang lahir dari rahim Tanjung Iran. Jelitanya semerbak ke seluruh negeri. Senyumnya bak hujan di tengah kemarau, membasahi sawah ladang kerontang. Di buri rumah panggung, di bawah rindang tembesu, berkali kunasihati ia. Peliharalah lagak laku. Jangan kecantikan membuatnya jadi perawan kanji besar kepala yang memeram petaka.

Banyak bujang, hingga dari negeri jauh, datang ke Tanjung Iran. Satu semata hajat mereka: meminang Dayang Rindu. Namun semua pulang menekuk wajah menggumam keluh. Niat mereka ditolak Kerie Carang. Tiada dalih lain, cucunya Dayang Rindu telah dijodohkan dengan Ki Bayi Radin, putra Batin Pasak dari Rambang.

Aku hanya bisa bertanya dalam hati, sebab apa semua yang hendak meminang selalu ditampik Kerie Carang. Jika jodoh Dayang Rindu telah datang, mengapa tega menutup pintu? Mantu dan besan macam apa yang dicari? Setiap yang datang, disuguhi permintaan yang nyaris tak masuk akal. Apakah dia sedang bermain-main dengan jodoh cucunya sendiri? Apa yang diharap dari mematahkan hajat baik orang lain? Ah, Kerie Carang, kian uzur, pikirannya serupa anak kecil. Ataukah demikian adab orang terpandang, bercongkak-pongah di depan orang?

Bukan aku tak paham Ki Bayi Radin. Jejaka gagah sahaja itu pun tak mudah mendapatkan Dayang Rindu. Susah payah dipenuhinya permintaan tak masuk akal dari Kerie Carang. Daun sirih selebar nyiru dan pinang sebesar kulak telah ditemukan. Hanya satu permintaan lagi yang nyaris membuatnya putus asa. Manalah mungkin menemukan kerbau bertanduk tiga?!

Kerap Ki Bayi Radin singgah mengharap petuah. Duduk di jabo, iba aku melihatnya bermuram muka mengeluhkan sikap Kerie Carang. Berbilang purnama telah dicarinya kerbau tanduk tiga. Meninggalkan Rambang dan Dayang Rindu, serasa tubuhnya dibuang jauh. Selalu saja kukatakan kepadanya: jangan gugup jangan sangsi, jikalau jodoh takkan ke mana.

***

DATANGLAH perahu bidar, perahu bercadik, kapal-kapal besar berbendera lambai mengular, mengusung banyak nian muatan. Banyak hulubalang dan prajurit di dalamnya. Turut pula penghulu, ketib, dan imam.

Seisi negeri berpayung risau. Dusun mana hendak dilanggar, negeri mana hendak dilebur. Gawi apa gerangan hendak dituju? Kalau hendak menyabung, orang sini tak punya banyak beruga. Kalau hendak berjudi, orang sini bukan penjudi. Kalau hendak berperang, orang sini tidak berani. Kalau hendak berdagang, orang sini tidak beruang.

Serupa beruga lama dikurung tak kunjung disabung, gatal juga aku bertemu lawan. Beringkas kubawa senjata dan kubebat seluruh jimat. Kalung hitam pusaka puyang yang bertahun terpisah dari leher, kukenakan lagi. Aroma kecut keringat di kalung itu bagai membentangkan kembali lingkaran masa silam.

Semua risau itu pupus. Mereka utusan Pangeran Riya, raja dari negeri Palembang. Berlayar berhari-hari mengarungi Sungai Ogan, Selat Bangka dan Teladas, melabuh sauh di Tanjung Iran. Berpakaian indah, mereka datang mengusung amanat Pangeran Riya untuk menyunting Dayang Rindu. Segala sesembahan dibawa. Kulit macan, sirih dan tembakau, gambir dan pinang, emas dan uang bergantang-gantang, perhiasan berjuntai-juntai, beras berdulang-dulang, puluhan peti berisi kain dan sutera yang terlipat rapi, payung-payung berpucuk intan, juga keris dan senjata.

Ketika hajat itu ditolak Kerie Carang, berat hati mereka segera pulang ke kandang. Tumenggung Itam mendelik berkacak pinggang. Seluruh senjata yang jauh-jauh mereka bawa akan ditikamkan di tanah Tanjung Iran jikalau Dayang Rindu gagal dibawa ke Palembang. Demi langit dan bumi, naluri bujang juaroku mengendus gelagat tak sedap. Telah lama kudengar nama Tumenggung Itam, juga hulubalang-hulubalang sakti dari Palembang. Dibalik pakaian sutera, mereka sembunyikan congkak. Sungguh tamu tak tahu diuntung, sukar diajak berbijak hati. Tebersit sangsi, adakah hajat tersembunyi di balik niat meminang Dayang Rindu? Apakah mereka hendak menguasai Tanjung Iran?

Bunga berkembang di dalam hati, dinanti layu tidak kan layu. Apa lagi dinanti-nanti, mengamuk payu berperang payu.

Inilah harinya beruga menyerang elang. Bagai hidup dari mati bila bertemu lawan sepadan, mengamuk aku bak badai di lautan. Kapal dan perahu kukaramkan. Kutebang orang bagai menebang batang pisang dan tebu. Roh-roh beterbangan dari tubuh-tubuh yang terbunuh. Tanjung Iran menjelma jadi tanah dendam. Pedang dan keris meneguk darah bergantang-gantang. Akan kubuat tulang belulang mereka pulang dibawa gagak. Akan kubuat darah mereka menghilir dibawa arus.

Akulah penjaga Tanjung Iran. Selama hayat di kandung badan, siap kusabung nyawa demi marwah keluarga dan tanah kandung. Buat aku terjengkang, hasut amarahku hingga puncak ubun, maka ruh lemawang menyatu dalam ragaku.

Apa yang tersisa dari amuk? Kakandaku Wayang Semu mati di tangan Ki Bayi Metig. Ki Bayi Radin dibunuh Kerie Niru. Panas menjalar sekujur tubuh. Aku meraung laksana lemawang luka.

Mudik ke hilir mudik ke tanjung, bawa jangkar seribu tali. Putus benang boleh disambung, putus nyawa di mana cari. Kiranya Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig masih sawan pada ajal. Tak mudah mereka menyembah minta hidup. Kutebas telinga kiri Tumenggung Itam. Kucacatkan hidung Ki Bayi Metig. Itulah pengganti harga diri lelaki pemberani, penebus malu mereka yang kalah bertarung.

Siapa nyana siasat busuk mereka berhasil mengelabuiku. Dayang Rindu raib dari Tanjung Iran. Dia berhasil diboyong ke Palembang. Entah siapa yang diam-diam menculiknya. Demi puyang-puyang yang bertakhta sepanjang bukit dan sungai, takkan aku tinggal diam. 

Kalau tumbuh selasih, jangan dilimbang dulang. Kalau sungguh hamba dikasih, jangan diberi di ambil orang.

Terbetik kabar, setiba di Palembang, Dayang Rindu tak sudi diperistri Pangeran Riya. Tinimbang bersanding dengan lelaki bukan pilihan hati, ia terbang ke khayangan, berkumpul kembali dengan kedua orang tua dan tunangannya Ki Bayi Radin.

Malu dan dendam bersekutu membuat Pangeran Riya muntab. Kepalang tanggung, dikerahkannya rombongan perahu dan kapal dalam jumlah lebih besar untuk menebus dendam, melantakkan Tanjung Iran. Tersebab kasih tak sampai, lelaki berharta bertakhta jadi gelap mata.

Aku pun tak jera tarung sekali. Ketika rombongan dari Palembang dalam perjalanan kembali ke Tanjung Iran, aku pergi memburu lawan. Dusun dan rimba kulalui. Menyusur jalan setapak berliku-liku. Dari pinggang hingga puncak bukit. Menyeberang ngarai curam dan sungai berhantu banyu. Akan kuburu Pangeran Riya hingga ke lubang semut.

***

TERANG bulan di Tanjung Iran. Perang Palembang dan Tanjung Iran telah selesai. Kerie Niru mati kubunuh, namun mujurlah Pangeran Riya. Ajal masih jauh dari napasnya. Seperti kijang sawan menghindari terkam lemawang, dia berhasil kabur ke jantung belantara sebelum sempat bersua denganku.

Tapi tak kunyana, sepulang berperang di Niru dan Palembang, Tanjung Iran luluh lantak tak berwajah. Darah menggenang sepanjang jalan. Anyirnya menyesak ke paru-paru. Rumah-rumah panggung jadi arang. Kendi pecah, lampit koyak-moyak. Tubuh-tubuh tanpa nyawa centang perenang. Sanak kerabat dan handai taulan tak tersisa. Sungguh, pulang ini serasa mati. Hidup serasa hilang nyawa. Demi apakah perang ini? Untuk siapakah mengadu nyawa?

Akulah Singaralang, bujang juaro Tanjung Iran. Terkapar di kampung halaman yang berkubang darah, tahi lalat di kaki kiriku berdenyut pelan, seperti mengimbau agar aku kembali berjalan. Menghilir hingga sisa umur. Bukankah ajal, pengintai segala yang hidup itu, telah tertera di kitab takdir. n

Bandar Lampung, 2012-2013


Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment