Sunday, October 6, 2013

Insiden Sebuah Kaleng

Cerpen Tjak S. Parlan


AKU seperti melupakan sesuatu hari ini. Aku menjelaskan gejalanya sejak seperempat jam lalu dengan gerak gerik ringan seorang yang sedang gelisah. Seingatku, aku pernah menaruhnya di tempat itu. Pasti masih di sana, terlindung dari tangan siapa pun yang akan menjamahnya. Hanya ada aku di tempat ini: dijamin semua rahasia akan terjaga.

Tapi ada Joan. Ah, betapa aku nyaris melupakannya. Hanya saja jika kemungkinan itu ada, pastilah sangat tipis. Apa mungkin Joan yang melakukannya? Menurutku Joan bukanlah tipe seperti itu. Bahkan pemalas itu kadang begitu lamban memenuhi aktivitas di rumah ini.

Memang, sekali waktu saat aku mulai kurang memberi perhatian padanya, Joan akan berjingkat-jingkat menyusulku ke dalam kamar. Sebentar saja biasanya. Hanya sebatas mengelus-elus kepalanya yang hangat, seolah-olah aku ingin mengatakan padanya bahwa aku begitu sibuk beberapa hari itu sehingga aku tak sempat menyapanya. Sesudahnya, Joan akan pergi dengan tatapan mata bahagia, meringkuk di kehangatan sofa ruang tamu, melanjutkan mimpinya bersantap senampan dengan Macarena.

Jangan-jangan Macarena. Siapa tahu, ketika aku sedang tidak di sini, Macarena bersijingkat menuju kamarku dan langsung membuka brankas yang tak pernah terkunci itu. Ini tidak dilakukannya sendiri. Mungkin Macarena bersekongkol dengan Joan. Bukankah mereka sudah begitu dekat? Jika itu benar adanya, Macarena pasti telah menebarkan rencana busuk itu melalui pesona ekor belangnya yang menawan. Bukankah itu membuat Joan cukup tergoda menuruti kemauannya? Apalagi, bersamaku Joan belum bisa sepenuhnya memenuhi hasratnya.

Menurutku, satu-satunya yang membuatnya betah tinggal di tempat ini hanya karena aku membebaskannya melakukan apa saja. Aku juga kerap menduga, mungkin saja karena ia bisa sering-sering bertemu Macarena. Ah, Macarena memang menggoda. Ia bersih dan sintal. Liuk ekornya ketika berjalan, menerbitkan keinginan setiap orang untuk memilikinya. Aku sendiri bahkan pernah mengurungnya selama berhari-hari di loteng dengan harapan ia cepat melupakan rumahnya.

Kalau itu yang terjadi, kesimpulanku sangat sederhana: Joan sudah tak setia lagi padaku. Ini bisa terlihat dari sifat main belakangnya. Diam-diam Joan telah berani menelikungku di tengah-tengah kondisi terpuruk yang belakangan menyerangku. Kalau tahu begitu, aku tak akan pernah merelakan sekaleng makanan ringan pada sebuah malam dengan hujan membabi buta yang membuat cacing-cacing liar dalam perutku menggeliat-geliat. Waktu itu, saat tepergok tatap matanya yang suram berlendir itu, aku merasa harus berbagi setengah kaleng dengannya.

Sejak kejadian itulah, matanya terus-terusan mengusikku. Di kemudian hari, aku mulai sering berbagi apa saja dengannya. Berbagi tempat tidur, berbagi makan sekaleng berdua, berbagi tongkol, berbagi ikan asin. Kehadiaran Joan juga sering membuatku terbangun oleh suara-suara ribut di ruang tamu: suara sepasang itu, Joan dan Macarena, tengah merayakan musim kawin yang dingin. Selanjutnya aku sering melihat mereka jalan-jalan berdua.

Mengingat kejadian-kejadian kecil yang menghubungkan Joan dengan aktivitasnya, membuatku semakin curiga saja. Kondisiku secara mental dan fisik, dengan rumah terbengkalai ini, membuatku cenderung menyalahkan secara serampangan. Hanya ada dua pihak yang bertanggung jawab di rumah tua ini. Pihak pertama tentunya aku.

Pihak kedua, siapa lagi kalau bukan Joan? Artinya, jika terjadi apa-apa dengan salah satu di antara kami, harus ada yang bertanggung jawab. Selama kejadian-kejadian itu terjadi di areal ini, aku akan melibatkan yang paling dekat. Sekali lagi, dalam kondisiku yang serba menurun belakangan ini, Joan adalah pihak paling dekat yang memiliki peluang besar untuk disalahkan!

Aku akan minta maaf, jika nyatanya Joan tak memiliki andil dalam kasusku ini. Tapi melihat keakrabannya dengan Macarena, itu membuatku terinspirasi untuk menjadikan dua nama ini sebagai penyebabnya. (Ingat saudara-saudara, ini sebuah persekongkolan, dan aku memiliki peluang melibatkan kedua-duanya!)

Kunci utama ada pada Joan. Tapi sekarang Joan ada di mana? Mengapa justru ketika aku mengalami kondisi seburuk ini, ia tidak bersamaku? Pasti ia sedang berpesta kepala-kepala tongkol itu bersama Macarena di rumah Tante Laura. Aku tahu, Joan sebenarnya paling suka makanan yang diawetkan. Mungkin karena ia mampu mengendus sugesti yang dihembuskan oleh aroma kaleng itu sepertiku. Atau bisa saja: Joan bersamaku menang kenangan.

Ingat, dari sekaleng ikan itulah, kami pernah dipertemukan. Itu menjadi kenangan terus menerus. Artinya, aku sebenarnya tidak perlu kawatir betapa pun Tante Laura—majikan Macarena itu—telah memanjakannya dengan berlusin-lusin jenis makanan lain. Joan akan tetap memiliki insting kegemarannya. Ia akan kembali bergairah saat kusisakan aroma yang menggoda itu di hadapannya.

Joan belum juga datang. Beberapa asumsi positif yang kubangun tentang dirinya, perlahan-lahan mulai berguguran. Berangsur-angsur lenyap bersama daya tahan fisik dan psikologisku yang terus melemah. Tapi aku belum menyerah. Aku yakin pernah menaruhnya-bahkan menyimpannya di tempat yang aman. Di dalam sana, di sebuah lemari kayu yang tak pernah terkunci.
           
***
               
Empat buah tas usang itu selalu berada di sana. Di dalamnya adalah helai-helai kertas berisi catatan harian, nota tagihan, kartu perpustakaan, kartu kesehatan, kuitansi, sobekan halaman majalah adventure, kaus kaki kotor, sarung tangan, foto kawan lama dengan  pose menggelikan, foto masa gemilang dengan potongan rambut yang memaksa siapa pun yang melihatnya hari ini akan menggelandangku ke tukang cukur, bungkus makanan ringan yang ketinggalan dan lain-lain. Beberapa yang bisa dibawa ke mana-mana adalah penghuni utama, tak lain sekadar buku, sepotong dua baju pengganti, sikat gigi, odol, sabun dan pencukur kumis. Maklum, nyatanya aku pernah lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah. Sekali waktu, jika aku kembali ke rumah ini, aku merasa tak perlu memindahkan semua isi di dalam tas ke dalam bagian lain di sebuah lemari tua itu. Aku sengaja membiarkannya, betapa pun dan bagaimanapun isinya.

Jari-jariku terus menyisir sampah-sampah peninggalan masa lalu itu. Mengembara, dari tas satu ke tas lainnya. Di saat aku mulai menjamah punggungnya, aroma gunung tercium. Segar kulit kayu pinus membuatku merasakan penetrasi hutan perawan. Daun-daun cemara, pucuk-pucuknya menjulang mengingatkanku pada kenangan. Selalu dengan cokelat susu, mi rebus, kretek yang meledakkan jantung dan gumpalan protein dalam kemasan kaleng kesukaanku. Aku terus menyusuri dari satu ceruk ke ceruk lainnya. Jari-jariku menangkap apa saja dari sisa-sisa yang tertinggal yang terus menggiringku ke arah nostalgia tertentu—yang hari ini terasa seperti perihnya luka bertabur garam.

Tapi aku belum menyerah juga, bahkan ketika jari-jariku tuntas merogoh seluruh isi perut tas itu. Justru tiba-tiba aku semakin yakin bahwa hari ini aku hanya melupakan sesuatu. ”Sebentar lagi, setelah aku berhasil menguasai keadaan aku akan cepat-cepat mampu mengingatnya. Mungkin aku perlu sedikit ketenangan. Aku kira, tempat dan ruang yang berbeda akan bisa membantuku,” batinku.

Di sofa  tempat biasa Joan bermalasan, aku berusaha tenang memikirkan sesuatu. Mengingat kembali setiap kejadian yang akan menuntunku menemukan apa yang kucari.

”Duh,” gumamku. Aku tidak bangun pagi hari ini. Tidak seperti kemarin-kemarin ketika aku masih punya semangat untuk mengetuk setiap pintu, menawarkan sedikit keahlianku. Tapi sayang, pintu-pintu yang senantiasa terbuka itu ternyata tidak membutuhkan orang sepertiku. Aku hanya menerima kata permakluman dengan lebih banyak bumbu-bumbu halus permintaan maaf. Kalimat-kalimat yang berbeda-beda tapi intinya tetap bermuara pada satu kesimpulan: mereka tak pernah menginginkanku.”

Aku mengingat semua itu hingga hari ini tiba. Hari di mana aku telah benar-benar kehabisan amunisi di seluruh tubuh dan pikiranku. Ah, sudahlah. Rumah ini bahkan terlalu besar untuk orang yang didera persoalan perut sepertiku. Lapar, sebelumnya hanya masalah waktu bagiku. Tapi saat ini sudah menjadi persoalan rumit. Membayangkan sepiring nasi, sebatang rokok, secangkir kopi,  telah membuatku  tak bisa mengingat di mana pernah kutaruh kaleng terakhir yang akan membuatku sedikit memiliki tenaga untuk menemui seseorang yang bisa membantuku di luar sana.

Aku sudah mencarinya di seluruh isi rumah ini dan tak kutemukan apa-apa. Padahal, aku pernah terbiasa membukanya tiap pagi, menghangatkannya dan menghibur perutku dengan beberapa potong yang mengandung protein itu bersama Joan. Bagaimanapun Joan telah menjadikan rumah ini memiliki tanda-tanda kehidupan, jadi aku tak punya alasan untuk tidak berbagi dengannya.

Dari sofa itu, sudah sampai di mana jarak yang ditempuh pikiranku? Jam berlalu, aku makin terasa lebih ringan dan mengapung. Cacing-cacing liar bermain akrobat dalam perutku. Bahkan, kini perih gigitannya menebar ke seluruh anggota tubuh, menjadi getar di lututku, menjadi ribuan kunang-kunang di mataku. Menjadi peluh dingin di kening, menjadi warna pucat tisu pada wajahku. Menjadi langkah-langkah  kecil yang terseret ke arah pintu. Menjadi kesadaran samar-samar ketika aku mulai menangkap suara-suara mendekat. Aku tahu, pengaruh rasa lapar ini masih tak bisa membuatku lupa terhadap suara-suara yang kukenal. Suara nyaring yang mengiris-iris perutku itu adalah suara kaleng yang terseret sembarangan.

Dan benar, Joan si pembawa suara itu kini tepat di depanku. Wajahnya tersentak sewaktu mata itu tepergok mataku. Seolah ingin melindungi hasil buruannya, Joan tak bisa menutupi sifat rakusnya. Ia menyantap apa saja yang muntah dari dalam kaleng itu sambil sekali-kali menatapku. Sayatan-sayatan giginya telah mengubah gumpalan-gumpalan daging itu menjadi karut-marut kecil yang menyedihkan. Sayatan-sayatan giginya dalam sekejap telah menyayati nasibku juga. Ketika semua itu terjadi aku benar-benar mencium aroma yang amat kukenal: aroma segar gairah yang dihembuskan dari meja makan siang. Aku tahu, meja makan itu kini sedang terhampar luas di depanku. Ada lantai ubin berdebu, seekor kucing yang pergi dari tuannya dan kembali memamerkan hasil buruannya.

”Bangsat kau, Jo... makin lapar saja aku,” geramku sambil berlalu. n


Lampung Post, Minggu, 6 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment