Sunday, October 13, 2013

Kami Tusuk Mata Kami

Cerpen Benny Arnas


ANAK pertama kami lahir. Jenis kelaminnya perempuan. Saya dan istri senang sekali. Kami menamainya Dinda Sahasika. Sebenarnya kami ingin menamainya Sahasika saja. Memang kami tidak terlalu paham artinya. Kami lebih menyukai bunyi ketika nama itu disebut. Terdengar unik. Namun, karena ibu saya yang begitu bahagia dikaruniai cucu perempuan meminta pendapatnya didengarkan, kami pun menambahkan “Dinda” sebagai nama depannya.

Perihal nama, bagi kami masih dapat dikompromikan selama itu masih enak didengar. Lagi pula, bagi kami, arti sebuah nama tak banyak berpengaruh terhadap sifat dan masa depan seseorang. Lihatlah, begitu banyak orang yang memiliki nama dengan arti yang luar biasa bagusnya, tetapi berperangai kurang ajar dan hidup tak berjuntrungan. Ah, sudahlah, kami tak mau membincangkan ini lebih jauh. Kami takut malah menyinggung perasaan orang lain.

O ya, setelah kami pikir-pikir, nama anak kami yang sekarang juga terdengar indah.

Ah, hal ini tidak lepas dari rona kebahagiaan yang kami tangkap dari wajah perempuan yang melahirkan saya itu (ya, istri saya adalah seorang yatim piatu). Walau Dinda Sahasika bukan cucu pertamanya, sejauh ini Dinda adalah cucu perempuan satu-satunya. Cucu pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki lahir dari rahim adik ipar saya (adik saya lebih dahulu menikah daripada saya). Fakta lain yang mendukung adalah saya dan tiga saudara kandung saya semuanya laki-laki.

Dengan kenyataan itu, kami memaklumi kebahagiaan Ibu yang meletup-letup. Tentu kami tidak mau mencederai perasaannya hanya karena usulan namanya kami tolak. Ibu bahkan sempat melompat kegirangan beberapa detik setelah memastikan bahwa istri saya melahirkan bayi perempuan. Dua perawat yang membantu proses melahirkan pun tampak sedikit terkejut dengan kegirangan Ibu. Mereka sempat berpandangan sesaat sebelum sigap membereskan jahitan di selangkangan istri saya.

*

ORANG-ORANG menyebut kami sangat beruntung. Bukan hanya karena kami memiliki buah hati, tapi juga karena istri saya melahirkan pada tanggal 14 Februari. Melahirkan di Hari Valentine sungguh diimpikan banyak pasangan, begitulah kurang lebih inti ungkapan mereka yang dilontarkan dengan nada penuh ketakjuban.

Kami hanya tersenyum. Jujur saja, kami tidak peduli tanggal berapa dan bertepatan dengan hari atau perayaan apa bayi kami dilahirkan. Bagi kami setiap hari adalah hari kasih sayang. Bayi kami lahir dalam keadaan sehat, anggota badannya lengkap, dan tinggi serta berat badannya normal, bagi kami sudah lebih dari cukup. 

Ternyata, memiliki bayi mungil itu memang meruahkan kegembiraan. Sepanjang hari kami bermain-main dengan Dinda (begitu akhirnya anak kami dipanggil) dengan penuh keceriaan seolah-olah ia adalah muara semua kebahagiaan kami. Saking asyiknya bermain, kami sering lupa waktu. Kami sering tak menyadari kalau matahari sudah lari, kalau malam sudah tinggi, kalau subuh sudah kembali. Kami berdoa siang dan malam, memohon agar Dinda selalu diberi kesehatan dan kebaikan.

Kalau dipikir-pikir, memiliki anak telah membuat kami seperti orang gila. Ya, seperti, bukan sebenar gila. Kami berbicara kepada Dinda seolah ia sudah mengerti arti semua kata-kata. Kami menganggap semua gerakan badan Dinda sebagai reaksi atas yang kami ucapkan, padahal kami sadar benar kalau bayi belum tahu apa-apa. Dan bagian ini yang kami pikir sangat lucu: ketika Dinda tertidur, kami selalu menggodanya agar kami dapat segera mencumbuinya. Namun, kalau ia terjaga sepanjang hari, kami tak henti meninabobokkannya agar kami dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang lain.

Ah, ternyata kehadiran buah hati bukan hanya menggelombangkan membahagiakan, namun juga melimbungkan pendirian. Kami kerap tertawa menyadari kekonyolan ini. Benar! Dinda benar-benar mampu membuat kami melupakan kedewasaan yang seharusnya sudah melekat pada usia kami. Kami seolah sama dengannya. Ia seolah sama dengan kami. Kami larut dalam dunia yang baru. Dunia baru yang menyenangkan. Dunia baru yang tidak menguar aroma keasingan. Dunia baru yang cepat dikaribi. Dunia baru yang penuh candu. Dunia baru yang benar-benar di luar dugaan. Ya, kami memang sering mendengar bahwa memiliki anak seolah menggenapkan kebahagiaan dalam kehidupan. Kami percaya itu. Namun kami tak pernah menyangka kalau kebahagiaan itu akan menjadi sebegininya. Terlalu sukar digambarkan. Terlalu manis dibayangkan, tetapi sangat sayang bila raib dari ingatan.

*

KALAU Dinda menangis, istri saya akan langsung meraihnya. Hebatnya, istri saya seolah tidak pernah merasa kelelahan walaupun lebih setengah hari Dinda berada dalam buaian tangannya. Saya baru akan membuainya kalau perasaan bersalah membiarkan istri saya seharian bersama Dinda, mengerubungi saya. Ah, saya benar-benar suami yang tidak sensitif, rupanya.

Sekali-kali, kami juga membaringkan Dinda di dalam buaian yang kami buat di dekat dapur. Kami mengayun buaian itu dengan ketukan dan kecepatan tertentu. Kadang agak cepat, kadang sangat pelan. Kami tak pernah mengayunnya dengan cepat atau sangat cepat karena kami tahu Dinda pasti merasa tak nyaman. Kami selalu bahagia kalau mendapatinya tidur dengan lelap. Wajah bayi memang berlumur ketenangan. Kami benar-benar percaya, kalau bayi terlahir tanpa dosa. Termasuk bayi kami, tentunya.

Makin hari, kami makin menyayangi Dinda. Namun kami juga harus menerima keadaan bahwa sejatinya kami tidak bisa menemani Dinda sepanjang hari. Istri saya adalah seorang guru. Sementara saya adalah seolah pengarang. Ketika masa cuti melahirkan istri saya sudah habis, mau tidak mau ia harus kembali pada rutinitas di sebuah SMP di pedalaman kabupaten. Saya pun tak kalah sibuknya. Ya, saya benar-benar tidak mengerti bagaimana saya bisa serta-merta menerima tawaran seorang editor sebuah penerbitan untuk menulis sebuah novel dalam waktu kurang dari satu bulan. Apakah ini yang disebut berkah lahirnya seorang anak? Mungkin saja. Dan saya pikir, patutlah saya mensyukurinya. Namun begitu, tak dapat dinafikan, sebagaimana istri saya, waktu saya untuk mencumbui sang anak pun makin berkurang.

Awalnya ibu saya sering datang ke rumah sehingga kami merasa Dinda tidak akan terlalu merasa kesepian kalau kami tinggalkan. Namun, Ibu pun tidak bisa selama-lamanya begitu. Selain karena ia masih memiliki suami dan dua adik saya yang harus diurus, rumahnya pun tak bisa dibilang dekat dari rumah kami. Apalagi Ibu tidak memiliki pembantu untuk mengurusi rumahnya. Kami pun maklum kalau Ibu tidak bisa selalu menggantikan peran kami.

Maka, kami membayar seorang pengasuh bayi. Karena banyaknya pekerjaan rumah yang terbengkalai, kami meminta pengasuh bayi kami mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Tentu saja, bayarannya kami tambah. Memang, hal itu membuat ia tidak mampu sepenuhnya mengurus Dinda sehingga anak kami lebih banyak berada dalam buaian. Saya sering mendapati Dinda terlelap di sana. Kasihan juga sebenarnya, tapi apa hendak dikata, kesibukan yang kami jabani, bukan hanya untuk kami. Semua untuk Dinda. Untuk memenuhi semua kebutuhannya kelak.

Kami memang tengah mempersiapkan dana yang cukup besar agar Dinda dapat bermain di taman kanak-kanak yang berkelas dan belajar di sekolah yang berkualitas. Ah, senangnya apabila semua itu terwujud nantinya.

Anakku, anak kami, tidurlah nyenyak di buaian, ya. Kami akan selalu mendoakan dan membesarkanmu dengan cinta. Setumpuk pekerjaan dan kesibukan takkan mampu mengurangi perhatian dan kasih sayang kami. Percayalah, Dinda, walaupun orang tuamu jarang lagi mengajakmu bermain, hati dan cinta kami takkan pernah beralih darimu. Termasuk ketika pengasuh bayi mengabarkan kalau kau terjatuh dari buaian pagi tadi. Saat itu, ayahmu ini sedang berada di perpustakaan, mencari data demi sebuah novel yang tenggatnya tinggal menghitung hari. 

Cepat bawa Dinda ke dokter, nanti saya telepon Ibu untuk nyusul ke sana! Seru saya kepada pengasuh bayi itu di ujung telepon. Istri saya yang sedang rapat kurikulum di sekolah juga sepakat begitu. Tak lama kami sudah beroleh kabar kalau Ibu sudah berada di tempat praktik dokter langganan kami. Alhamdulillah. Saya dan istri lega sekali. Saya dapat merampungkan dua bab terakhir novel saya dan istri saya dapat mengikuti rapat dengan tenang.

Ah, Tuhan memang menyayangi kami, kedua orang tua yang tak kenal waktu untuk menghidupi anaknya. Ya, kami tak ingin Dinda tidak bisa minum susu hanya karena kami tak mampu membelinya (walaupun harga BBM batal naik, tapi sepertinya itu hanya untuk sementara—Ah, itu alasan yang tidak penting). Yang paling nyata adalah Tuhan selalu menyayangi orang tua yang begitu peduli pada masa depan anaknya, orang tua yang begitu menyayangi anaknya Ya, tentu Tuhan memaklumi kesibukan kami yang bejibun. Kami melakukan semua ini demi anak kami. Tentu bila tumbuh sehat dan cerdas, Dinda akan menjadi bagian dari generasi penerus yang tidak hanya membanggakan kami, tapi juga bangsa dan negara. Syukur-syukur ia bisa jadi negarawan perempuan yang disegani dan dihormati.
Ya, kami sungguh tidak mengerti, sebagai orang tua yang seharusnya bijak, Ibu justru lebih banyak menyalahkan kami perihal jatuhnya Dinda dari buaian. Kami bekerja, Bu, dalih saya. Kami mohon maaf kalau Ibu merasa direpotkan, timpal istri saya sembari menimang Dinda yang diantar Ibu lepas magrib tadi. Ibu justru mencak-mencak. Ia mengatakan kalau kami tidak bisa memilah mana yang lebih penting.

Jujur, saya tersinggung. Sebenarnya saya berharap Ibu dapat membantu kami sebagaimana ia dahulu dengan telaten mengasuh anak adik ipar saya. Saya merasa Ibu belum cukup tua untuk memberikan perhatian yang serupa. Saya merasa sudah pilih kasih. Saya pun meluapkan unek-unek saya. Saya membandingkan perlakuan yang Ibu berikan kepada anak kami dan anak adik ipar saya. Ibu menganggap saya terlalu perasa dan berlebihan. Tapi saya pikir justru Ibu yang keliru. Saya benar-benar kecewa kepada Ibu. Saya marah besar.

Saya sadar kalau saya sudah termakan amarah. Beberapa kali istri saya mencoba menenangkan dan meminta saya mengontrol diri, tapi saya tidak memedulikannya. Saya pikir saya harus menunjukkan wibawa saya sebagai seorang anak tua, apalagi saya sudah memiliki keluarga sendiri. Istri saya pun tak dapat berbuat banyak. Saya bahkan membentaknya ketika ia hendak merangkul Ibu yang meneteskan air mata. Kini, ia berdiri tidak jauh dari saya sambil menahan tangis.

Malam itu, Ibu pergi tanpa sepatah kata. Saya menyesal, sebenarnya. Tapi saya pikir, apa yang saya lakukan sudah benar. Istri saya lebih banyak diam malam itu. Ia membuatkan kopi jagung kesukaan saya selepas kami salat isya berjamaah. Sungguh, saya tidak suka keadaan seperti ini. Saya merasa istri saya sebenarnya tidak menyukai apa yang baru saja saya lakukan kepada Ibu, tapi dia tidak berani mengutarakannya.

Tiba-tiba, pengasuh bayi kami berlari tergopoh-gopoh dari arah dapur. Badan Dinda panas sekali. Saya tak ingat lagi kata-kata selanjutnya. Kami bergegas menuju dapur. Tak lama, istri saya meraung. Saya gegas menuju garasi sembari melarang pengasuh bayi menelepon Ibu. Kami harus mandiri, pikir saya. Kami segera ke rumah sakit. Saya menyetir dengan tangan yang menggigil. Syukurlah kami sampai di tujuan dengan selamat.

Kami yakin Tuhan sebenarnya sangat sayang kepada kami hingga Ia menurunkan cabaran ini. Kami sangat sayang anak kami. Ia pasti tahu itu! Kami sudah berusaha mempersiapkan semuanya untuk Dinda, terutama persiapan materi yang sangat dibutuhkan di zaman sekarang kami. Ya, kami yakin Tuhan akan menyembuhkan anak kami, sebagaimana Ia sangat menyayangi para orang tua yang begitu menyanyangi buah hatinya.
Seperti kami, termasuk kami, tentu saja. n

Lubuklinggau, 2012—2013


Lampung Post, Minggu, 13 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment