Sunday, December 28, 2014

Angki

Cerpen Yulizar Fadli


DI dalam sel penjara berbau pesing, aku mendengarkan kisah dari mulut seorang lelaki paruh baya. Malam itu, kami berdua duduk bersisian sambil menyandarkan punggung ke tembok. Aku agak menyesal gara-gara menanyakan perkara perempuan bernama Angki kepadanya.

“Tolong pijiti saya,” katanya. Aku diminta memijati punggungnya. Aku bangkit dan segera melaksanakan perintahnya. Sementara itu, si lelaki paruh baya memulai ocehannya.
               
*

Saya ingat pada sebuah sore sekitar enam belas tahun lalu, saat itu jalan raya disesaki lalu lalang kendaraan dan gerimis turun saat saya dan Angki berteduh di bawah atap terpal gerobak gorengan di depan rumah toko, di seberang tugu Sumpah Pemuda. Lampu jalan menyirami kaos biru dan rambut Angki yang bergelombang. Beberapa helai rambut terjuntai menutupi sebelah matanya. Saya menyingkirkan rambut itu dan mulai memandangi matanya. Bagi saya, binar mata Angki jauh lebih terang ketimbang cahaya lampu jalan.

“Apa aja, Mas?” kata penjual gorengan.

Kami berdua kaget, Angki menunduk sambil mengulum senyum dan saya berpaling ke muka lelaki kurus berkumis tipis yang di tangan kanannya menggenggam alat pencapit gorengan berbahan stanlis.

“Campur, tapi bakwannya lebih banyak,” kata saya setelah mengulurkan uang kertas dua puluh ribuan. Saya mengangguk kepada si penjual. Pada saat yang sama, dengan ekor mata kanan saya, tertangkaplah sekilas gambar lontaran senyum Angki. Tertangkap pula gerak gemulai tangan kirinya yang tengah membenarkan beberapa helai rambut yang kembali menutupi pandangannya.

Sekali lagi saya menatap mata Angki, tapi dia justru menatap plastik hitam berisi gorengan yang dijinjing si penjual. Bibir Angki yang tipis dimonyongkan untuk memberi tanda kepada saya. Saya pun menoleh ke si penjual dan berkata terima kasih setelah lelaki berkumis tipis itu menggeleng dan melemparkan senyum.

Lalu saya berikan plastik itu pada Angki sebelum kami berdua berbalik badan dan melangkah menghampiri motor yang terparkir enam langkah dari gerobak kue itu. Gerimis masih turun dan jalan raya tetap ramai ketika saya menghidupkan mesin motor. Dengan helm di kepala, kami berdua mulai berkendara di antara puluhan kendaraan lainnya.

Kepulan asap yang keluar dari moncong knalpot-knalpot itu mungkin telah masuk ke lubang hidung dan paru-paru kami. Selama di jalan, saya dan Angki membisu sambil menembus gerimis menuju rumahnya.

Sampai di depan rumah, setelah mengembalikan helm kepada saya, Angki mengucapkan terima kasih dan melangkah masuk ke dalam. Saya menjawab ucapannya dengan angguk dan senyuman. Dia mengangkat tangan kirinya dan berkata, “Sampai jumpa.”

Dan pada jam lima sore, dua hari setelah membeli gorengan malam itu, di teritis kolam renang hotel berbintang tiga, saya dan Angki berbaku tanya. Belasan orang ada di kolam itu. 

Tubuh Angki terendam separuh di pojok kolam yang tak seberapa dalam. Sambil menyipratkan air ke muka saya, Angki berkata, “Kenapa kamu selalu bilang menyukai mata saya?”

Saya tertawa sambil mengusir bulir air berbau kaporit dari wajah saya. Saya membalas cipratannya dan berkata, ”Bukankah tak semuanya harus ditanya?”

“Jawab saja,” katanya.

”Itu sama saja kamu bertanya kenapa saya suka makan bakwan.” Saya menatap matanya.

“Tidak logis dan gombal...” dia menyipratkan air lagi.

“Tapi kamu suka...”

“Siapa bilang?” dia tertawa. “Jawablah sampai saya menyukai jawabanmu...”

“Karena matamu,” kata saya, ”Seperti segelas es jeruk keprok. Bulir-bulir kuningnya selalu terasa saya kunyah. Segarnya tertinggal di lidah. Pendeknya saya ingin meminummu setiap hari.”

“Kamu belum terlalu mengenal saya.” Angki tertawa lalu menjulurkan lidahnya. Lalu dia berenang ke seberang dan saya mengejarnya.

Terus terang saya memang belum mengenal siapa Angki. Mungkin itu karena saya tak selalu bersamanya setiap hari. Saya hanya bisa menemuinya jika dia menelepon saya.

Dan berikutnya, dua minggu setelah kami berenang bersama, saya dan Angki berteduh di depan sebuah ruko. Saat itu hujan sangat deras. "Saya selalu mengenang saat pertama memandang matamu," kata saya sesudah menyingkirkan beberapa helai rambutnya.

Angki tersenyum setelah mencubit lengan saya. “Matamu juga selalu kukenang,” katanya. Saya menyangkal, “Ini serius. Matamu seperti telik sandi perang, selalu mengikuti ke mana pun saya pergi.”

Sekali lagi Angki mencubit, kali ini di pinggang kiri saya, “Gombal lagi,” katanya sebelum tertawa seperti orang digeltiki. Saya mengernyitkan dahi dan mengucapkan kata sungguh sebanyak dua kali. Mendengar perkataan saya, Angki menyunggingkan bibirnya. 

Sekali lagi saya memberanikan diri untuk merangkulkan tangan ke pundak Angki, tapi dia mengelak.

“Kamu punya perasaan yang sama dengan saya, kan?” kata saya.

Saya merasa tolol di depannya. Saya kehilangan diri saya. Saya justru merasa tak ada saat berdua dengannya.

Angki menatap saya. “Mungkin...” katanya sebelum mengajak saya pulang dan menerabos deras hujan.
Dan sebulan berikutnya di pinggir pantai, tepat di muka di pondok es kelapa, saya memberanikan diri untuk menggenggam kedua tangan Angki. Saya katakan padanya bahwa saya mencintainya.

Dia memandang saya dan berkata, “Sampai kapan pun, saya akan menganggapmu sebagai sahabat...”

Genggaman saya pada tangannya mengendur. “Kenapa?”

“Karena memang begitu...”

Saya melepaskan genggaman. “Kenapa kamu tidak menolak dari awal...”

“Saya tidak tahu. Saya tidak enak hati. Maafkan saya...”

“Tidak perlu minta maaf,” kata saya. Angki memeluk saya, tapi saya tidak membalasnya. Sekali lagi saya kehilangan diri saya. Saya tak ada saat berdua dengannya.

Saya berdiri lalu berjalan mendekati laut dan berdiri di tepiannya sambil memandang terbang kawanan camar. Sementara itu di belakang saya, Angki termangu di kursi bambu di depan pondok es kelapa yang sedang sepi pembeli. Lima belas menit berselang barulah saya mengantarnya pulang.

Dalam perjalanan pulang kami berdua memilih diam. Angki memeluk saya dengan erat. Rasanya saya ingin menabrakkan motor ke bagian belakang mobil yang ada di depan kami, tapi saya mengurungkannya.

Tak terasa motor yang kami kendarai sudah sampai di depan rumah Angki. Dia mengajak saya turun dan mampir ke rumahnya, namun saya menolaknya.

Enam bulan berikutnya, ketika saya pulang kerja, di seberang tugu Sumpah Pemuda, di tempat pertama saat saya memandang matanya, tepat di bangku kayu panjang milik penjual gorengan, saya duduk sendirian sambil mengunyah bakwan. Lalu, saat itu...

“Lalu, setelah mengunyah bakwan itulah bapak memutuskan untuk memutilasi tubuh Angki?” tanyaku sembarangan. Kini aku memijati kakinya.

“Ya, begitulah secara garis besar,” jawab si lelaki paruh baya sebelum mengucapkan terima kasih dan pergi pamit tidur.

“Angki...” saya menggumamkan nama itu sekali lagi. n

Bandar Lampung, 2014


Lampung Post, Minggu, 28 Desember 2014

Sunday, December 21, 2014

Suatu Waktu Kau Akan Menjelma Buku Tua di Perpustakaan yang Kuambil Sebab Hasrat untuk Mencium Aroma Kertas Tua yang Menguning dan Bebercak di Tiap Halamannya Sungguh Tak Kuasa Kukendalikan dan Kau Tidak Harus Bertanya Macam-macam Tentang Itu.

Cerpen Benny Arnas

                                                                                                                        —buat Ahmad Fajri Nida

KECINTAAN pada buku memang yang mempertemukan kita, tapi ketentuan-Nyalah yang menyeretmu bermukim dalam ingatan yang gagal mengenali malam.

Lewat pelatihan pendampingan Perpustakaan Desa (Perpusdes) selama sepekan di Bali, Oktober 2014, semesta membuat kita bersinggungan dalam adegan filmis di layar monokrom dan suara yang berisik. Kita bersisapa untuk pertama kalinya dalam acara prapembukaan dan dengan lancang kutanyakan apakah kau berdarah Aceh, sebab kau mengingatkanku pada sahabatku yang hilang disapu tsunami ketika ia pulang ke Pidie pada 2003.

Aku meyakini, peristiwa itu adalah peletakan batu pertama pembangunan kedekatan kita yang absurd. Dari ciri-ciri fisik dan bahasa tubuh, tak sedikit pun kau mirip dengan sahabatku yang hilang itu. Namun, naluriku mengatakan—tentu saja seraya berharap dengan bodohnya—bahwa kau adalah dia yang Tuhan hidupkan kembali dalam wujud yang lain; seorang laki-laki dua puluh enam tahun pemilik tongsis (tongkat ponsel berkamera penyokong berfoto selfie dari jarak jauh) yang menggelengkan kepala dan menjawab “tidak” tanpa intonasi ketertarikan untuk menghangatkan percakapan.

Saban menyadari hal itu, aku selalu merutuki kebodohanku sekaligus mengutuk semesta yang tanpa tedeng aling-aling mengaitkanmu dengan dia yang selama ini hanya kuingat ketika berita tentang tsunami sesekali muncul di televisi. Ah, apa yang bisa diperbuat seorang manusia yang tidak akan hadir di dunia tanpa kehendak-Nya sepertiku ini?

Keesokan harinya, para peserta sudah terbagi dalam tiga kelompok. Kami berada di kelas yang sama dan sedikit pun aku tidak menganggapmu istimewa. Kupikir, kau hanya seseorang dari entah yang Tuhan kirimkan untuk membuatku merutuk beberapa kejap bahwa reinkarnasi itu tidak pernah ada! Lagi pula, selama pelatihan di kelas, aku tak pernah merasakan kebosanan sebab para instruktur begitu lihai berbagi ilmu, tidak pelit memberikan apresiasi pada peserta, dan tentu saja sejumlah permainan yang dikeluarkan di waktu-waktu yang mustajab. Bila pun harus kusebutkan celah yang tidak penting adalah; sebagai seorang narsis, aku sedikit kecewa sebab kau tidak membawa tongsis-mu ke dalam kelas.

*

PADA suatu malam (aku lupa malam keberapa), aku menyelesaikan sebuah esai tentang perpustakaan dan membaginya di grup Facebook yang beranggotakan para pendamping Perpusdes seperti kita. Tulisan itu beroleh respons positif, baik dari para instruktur maupun para peserta. Dan kau adalah salah satunya. Sebagai pengarang yang sudah menerbitkan enam buku, aku sudah terbiasa dengan pujian (juga kritikan, sebenarnya). Tapi entah bagaimana, keinginanmu untuk belajar menulis yang kauungkapkan ketika mengunjungi kamar hotelku pada sebuah pagi, membuat tumpukan batu bata kedekatan itu perlahan-lahan tumbuh, meninggi, dan mendindingi kita dengan sejumlah tanda tanya.

Pada malam kelima, usai memenuhi tawaranmu dan dua teman sepelatihan yang lain untuk berenang di lantai paling atas hotel bakda magrib itu, rencana makan malam bersama di sebuah kedai di pinggir jalan merusak mood-ku. Aku tidak bisa makan bersamamu dan teman-teman karena aku tidak bi(a)sa makan ayam kalau bukan ayam kampung. Aku pun meninggalkan kalian begitu saja. Ah, saban mengingat itu aku merasa sangat bersalah. Alasan bahwa perutku mulai berulah sebab mag yang kambuh sangat tidak sepadan dengan ketaksopananku. Aku akhirnya makan ke kedai yang lain dengan “menyeret” salah seorang teman yang sedang ada di lobi hotel untuk menemaniku. Sekembalinya di hotel, aku berniat menyelesaikan sejumlah deadline yang sedang kugarap, tapi perasaan bersalah sungguh menggangguku. Aku mencoba mengalihkannya dengan menonton teelvisi sebelum akhirnya mengetik pesan pendek ke nomor ponselmu. Entah bagaimana, sepertinya aku butuh teman ngobrol untuk mengembalikan mood-ku. Sementara teman sekamarku sedari tadi membiarkan acara favoritnya Arjuna Mencari Cinta menyaksikannya terlelap.

Sayang sekali, ternyata, usai makan malam, kau dan teman-temanmu mampir di pusat perbelanjaan. Kau juga meminta maaf karena telah membuatku tidak bisa bergabung makan malam bersama. Ah, aku yang “bertingkah”, kenapa kau yang meminta maaf? Aku tersenyum miring membaca pesan pendekmu. Aku mengutuk diriku yang terlalu gengsi untuk meminta maaf hingga akhirnya kaudahului. Memang, itu bukan perkara serius atau hal yang bisa merenggangkan hubungan antarteman-sepelatihan, tapi mood yang tidak baik selalu mampu melemparku pada keadaan yang sejatinya tidak kusukai: menjadi melankolik!

Dan keesokan harinya, usai mengikuti acara penutupan di Nusa Dua, kita bersepakat untuk menaklukkan malam di lobi hotel dengan sejumlah cerita yang kelabakan mencari benang merah. Kutumpahkan kegelisahanku yang absurd: bahwa aku tak mengerti bagaimana kau bisa kukait-pautkan dengan sahabatku yang hilang dan sebagainya dan sebagainya. Tanpa rasa bersalah kuungkapkan bahwa aku membenci setiap hal yang gagal dijelaskan dengan alasan dan logika. Padahal, sebagai seorang pengarang, aku harusnya mengimani ungkapan “Realita boleh masuk akal, tapi fiksi harus masuk akal”.

Aku baru sadar bahwa memercayai sebuah parafrasa menjadi begitu menjengkelkan ketika harus dibenturkan pada kenyataan yang menimpa diri sendiri. Ya, aku gagal menemukan alasan mengapa perasaan bahwa kau adalah teman baik yang mumpuni kujadikan saudara merimbuni kepala dan meriap-riap di dalam dada. Aku gagal berdamai dengan sifat kenyataan yang paling hakiki—menisbikan sejumlah alasan karena kadangkala Tuhan dan semesta-Nya tidak ingin membiarkan manusia berbangga dengan nalarnya.

Malam itu, kau lebih banyak mendengarkan (sebuah kecakapan yang tidak terlalu kukuasai). Seolah hendak menyeimbangi keabsurdanku, kau katakan bahwa kau juga merasakan hal yang tak terjelaskan itu dan aku nyaris tersenyum lebar sebelum kau mengimbuhinya dengan alasan bahwa kau ingin belajar menulis. Oh, ternyata aku tetap berada pada pihak yang ‘kalah’ dan aku benar-benar membenci keterpurukanku. Aku seperti memaksa orang lain untuk kujadikan saudara dengan cara merangkulnya kuat-kuat sehingga ia tidak berkelit. Yang membuatku makin kalah adalah kau tak menolak dan tidak juga menampakkan bahwa kau (benar-benar) bersedia … meskipun, ya meskipun, sebagai seseorang yang menjunjung gengsi dan kemenangan, aku menginginkan lebih dari sekadar bersedia. Aku ingin mendengar bahwa kau juga merasakan keabsurdan serupa tanpa diimbuhi alasan ingin belajar mengarang!

Meskipun demikian, sebagaimana orang yang kalah, aku akhirnya tetap bercerita panjang-lebar tentang kepengarangan dan kau tampak sangat antusias menyimaknya. Bila tidak meyakini bahwa kau bukan seseorang yang Tuhan kirimkan tiba-tiba, aku tidak akan membagi rumusan mengarangku kepadamu. Dengan berseloroh kukatakan bahwa kau sejatinya sangat beruntung karena mendapatkan semuanya dengan cara privat dan tanpa mengeluarkan sepeser rupiah pun—lalu kita memecah malam dengan tertawa yang sumbang.

Pukul tiga dini hari, kita kembali ke kamar masing-masing. Kita hanya punya waktu kurang dari empat jam untuk merehatkan tubuh karena usai sarapan esok kita mesti berangkat ke Ubud untuk mengikuti rangkaian cara terakhir.

*

DI Ubud, ternyata semua peserta lebih banyak bermain dan bersenang-senang dalam outbound ringan yang sudah disiapkan instruktur. Tidak seperti di kelas dalam hotel, outbound kali ini melempar kau dan aku ke grup yang berbeda. Karena lebih banyak berada di lapangan, kau dengan tongsis-mu pun menjelma gula pasir dan kami menjadi kerumunan semut. Di mana ada tongsis, di sana orang-orang serentak merapatkan diri. Kupikir, kita bisa berfoto dengan tongsis berdua saja agar paling tidak bisa kujadikan bukti yang tidak penting bahwa aku benar-benar menemukan sahabat baru …. Dan kita tidak pernah melakukannya!

Dan … sunatullah pun berlaku. Setiap pertemuan meniscayakan perpisahan. Kupikir Tuhan terlalu cepat menunjukkkan kuasa-Nya. Bukan perkara aku masih belum mampu menemukan alasan atas kedekatan ini, tapi karena, ibarat bunga, keabsurdan ini baru saja menguncup dan tiba-tiba ia dipetik sebelum sempat mekar dan menyebarkan wangi ke sekujur jiwa. Uh!

*

SETIBA di Lubuklinggau, aku sudah dihadang setumpuk pekerjaan dan deadline yang gagal kurampungkan di Bali. Namun, ternyata hal itu tidak mampu mengusir keganjilan yang menghinggapiku sejak dari Bali. Memang kita bisa tetap berkomunikasi meskipun kau suka sekali membaca Blackberry Messenger (BBM)-ku tanpa tergerak membalasnya, meskipun kau belum pernah meneleponku sebagaimana aku melakukannya padamu …. Sepertinya, aku baru saja dihadapkan pada kenyataan yang tidak fiksi sedikit pun, bahwa kau sejatinya jauh lebih sibuk dariku.

Sebagai seseorang yang biasa bergaul dengan imajinasi dan dramatisasi, dengan semena-menanya kusimpulkan bahwa aku hanyalah seseorang yang merasa memiliki seorang sahabat—apalagi seorang saudara! Aku hanya merasa. Sejatinya kau adalah seorang laki-laki baik hati yang ingin belajar menulis dariku. Itu saja.

Dan malam ini, ketika akhirnya kutulis semua kegelisahan yang menyesakkan tanpa jeda, aku pikir, sudah seharusnya aku menjadi lebih bijak. Aku maknai kehadiranmu yang tiba-tiba sebagai hadiah dari Tuhan atas hal-hal baik yang kulakukan di dunia. Dan sebagaimana kebaikan, kupikir, tidak seharusnya perasaan memiliki sahabat atau saudara, mesti juga kau balas. Aku belajar dua hal indah yang tidak mudah kuterima: bahwa menemukan kebaikan adalah juga mendapati cinta yang berkilau di tempat yang jauh; bahwa kehadiran orang baik adalah buku tua di perpustakaan, yang kuambil tanpa memerlukan alasan, alibi, dan penjelasan yang rigid, selain aku hanya ingin menikmati aroma kertas menguning yang bebercak di tiap halamannya. n
       
Denpasar-Lubuklinggau, 2014


Lampung Post, Minggu, 21 Desember 2014

Sunday, December 14, 2014

Lelaki di Bawah Hujan

Cerpen Tita Tjindarbumi


Rintik hujan luruh perlahan. Semakin dipandang semakin cepat gerakannya. Membentuk garis lurus. Dan berubah bak pisau ketika ujungnya menancap ke tanah. Semakin diterjang, semakin tajam menampar kepala, wajah, lengan dan… hati.

“APA yang kau lihat?! Udara di sini tak baik untuk kesehatanmu,” lirih suara itu namun cukup dapat menimbulkan gema di dadanya.

Tak ada siapa-siapa. Tak seorang pun. Hanya langit yang semakin gelap dan pekat. Sementara dedaunan telah basah kuyup. Tangkai dan rantingnya mulai terlihat merunduk. Lunglai. Diterpa angin dan hujan yang datang silih berganti.

Kristy merapatkan krah jaketnya. Sejak sore tadi dingin merasuk hingga ke tulangnya.
Tubuhnya bergetar. Lebih tepat dibilang gemetar, menahan dingin dan rasa aneh yang membuat bulu kuduknya mulai merinding.

Perempuan itu menoleh. Ke kiri beberapa detik. Lalu memalingkan pandangannya ke arah yang berlawanan. Tak ada siapa-siapa. Suara nyangkrik mulai terdengar di antara riuhnya deras hujan. Disusul suara kodok yang bersahutan. Suara itu membuat rasa takut akibat suasana sepi perlahan-lahan menghilang.

Keinginan Kristy untuk duduk berlama-lama di teras sambil menikmati hujan semakin kuat. Andai saja waktu dapat diputar, kembali ke masa lalu yang penuh kegembiraan. Andai saja ….

Masa-masa indah saat bersama teman-teman se kampusnya berputar-putar di benaknya.

“Hai… apakah hujan pun akan kau jadikan sebagai inspirasi untuk cerita fiksimu?”

Anita terkekeh di sampingnya. Menggoda dengan gayanya yang khas. Keceriaan selalu mewarnai wajahnya yang bulat. Rambutnya yang sebahu terurai berai diterpa angin. Hujan semakin riuh membelah bumi.

Villa mungil dengan empat kamar dan fasilitas lengkap milik keluarga Anita adalah tempat favorit untuk berkumpul sekaligus refreshing bagi Anita in the genk.

“Sudah lama banget aku nggak nulis fiksi.”

Kristy serius menanggapi guyon Anita. Sudah lama sekali ia berhenti menulis fiksi. Waktunya habis untuk hunting berita. Waktunya habis di jalanan.

“Kamu terlalu larut dalam pekerjaan. Padahal fiksi-fiksimu kerap membuat fan-fanmu ikut mengkhayal,” goda Anita lagi semakin menjadi-jadi. Senyum Kristy melebar. Membayangkan masa-masa itu...

“Siapa tokoh-tokoh gantengmu? Atau tokoh hmmm… teman masa kecilmu itu?” Anita tertawa terbahak-bahak.

“Nit… please! Mereka hanya tokoh imajinerku.”

Kristy mencoba menghentikan ocehan sahabatnya yang semakin melebar ke mana-mana. Mengobok-obok hatinya. Menyudutkan dirinya pada sebuah kenyataan: betapa pahitnya masa lalu!

Siapa yang menyangka canda Anita selama ini tentang tokoh imajiner dalam fiksi Kristy bukanlah sekedar canda biasa. Kristy telah berkali-kali mengatakan, bahkan meyakinkan sahabatnya, bahwa kisah-kisah yang ditulisnya dan mendapat respons baik para pembacanya, hanyalah fiksi semata. Sangat jauh dari kisah nyata apalagi pengalaman pribadi.

“Aku nggak percaya, sumpah?” Anita menyudutkan pada pilihan yang sulit.

“Jangan terlalu melambung membayangkan tokoh-tokoh itu, Anit. Mereka hanya ada di dalam cerita,” Kristy mencoba memengaruhi sahabatnya. Kalau ia bisa membuat Anita begitu terpengaruh dengan kisah-kisah fiksinya, masak sih tidak bisa meyakin untuk hal yang satu ini?

Kristy mencoba berakting sesempurna mungkin. Nggak kebayang reaksi Anita jika saja ia tahu….

Gubrak!

Tiba-tiba seekor tikus besar menabrak pot berisi tanaman yang daunnya berjuntai ke bawah. Seketika itu juga lamunannya berantakan. Ah… masa-masa yang indah dan apakah mungkin akan terulang lagi. Anita…

Mengingat sahabatnya itu serasa menoreh kembali pisau di dadanya. Kristy tahu, tak baik untuknya jika terus menerus larut dalam kungkungan kenangan masa lalu. Apalagi, ia ragu, mampukah hatinya bersikap seperti sebelum kejadian demi kejadian itu menghantam-hantam perasaannya?

Persahabatannya dengan Anita sepertinya harus berakhir tidak menyenangkan. Kalau saja ia tidak bersikukuh dan lebih memilih berterus terang tentang tokoh-tokoh dalam fiksinya…. Mungkin…. Ah, siapa yang bisa mengubahnya jika kenyataan telah berkata lain. Ia dan Anita berseteru hanya karena seorang yang sama sekali tak jelas rimbanya.

“Chris, tokohmu itu anak sefakultas dengan kita, ya?” Anita menatap Kristy dengan mata penuh bintang.

“Lagi-lagi pertanyaanmu soal itu. Emang kenapa?” Kristy mengalihkan pandangannya. Berharap sohibnya ngga focus ke soal tokoh itu.

Tokoh Galang tanpa sengaja ia temukan pada senja yang basah. Waktu itu ia sudah terlanjur keluar dari gedung fakultas. Dan sialnya di bagasi motornya tak ada jas hujan. Padahal biasanya Kristy selalu siap.

Tiba-tiba saja entah datangnya dari mana sosok tegap tanpa senyum itu sudah berada di dekatnya. Menatapnya dengan sorot mata dingin. Hanya sejenak karena setelah itu laki-laki itu hanya diam. Menatap lurus ke depan seperti sedang menghitung jumlah rintik hujan yang semakin deras.

“Aku tidak sedang bicara dengan tembok kan?” ujarnya lagi. Kali ini tatapan matanya tertuju tepat di dada Kristy.

“Oups maaf....” Kristy terbata. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gigil dan dengan sigap menutup bagian dadanya dengan tas kanvas yang sejak tadi berada di dekapannya. “Lain kali jas hujan jangan sampai ketinggalan,” kata laki-laki itu seperti sedang bicara pada dirinya sendiri.

“Galang... namaku Galang. Aku penghuni gedung yang berhadapan dengan gedung fakultasmu.” Laki-laki menyodorkan tangannya. Dengan ragu Kristy menerima uluran tangan itu. Tangan yang kekar dan cukup memberikan kehangatan di senja yang basah oleh hujan yang tak jelas kapan berhentinya.
                               
***

Peristiwa senja itu bagi Kristy bukan hal yang istimewa. Ia terlalu sering bertemu dengan orang baru. Bahkan nyaris setiap hari ia harus menghadapi berbagai macam karakter orang yang menjadi nara sumbernya.

Sampai suatu hari, entah mengapa selalu di saat hujan, sosok Galang tiba-tiba muncul di depannya.

“Ketemu lagi, ya?“ kata Galang setelah menyampirkan backpack-nya yang sedikit lusuh tetapi tidak menghilangkan kesan mahal. Kristy, seperti dihipnosis, matanya langsung mengikuti gerak tubuh Galang.

“Kenapa dengan backpack-ku?” Galang kelihatan terganggu melihat mata Kristy masih tertuju pada //backpack// yang dengan cepat disembunyikan di belakang punggung Galang yang kokoh.

“Oh...o... nggak apa-apa. Agak basah, ya?” jawab Kristy salah tingkah. Huh, ngapain juga ngomongin soal backpack. Apa nggak ada topik pembicaraan yang lebih menarik?

“Tidak bawa jas hujan lagi?“ tanya Galang seperti ingin mencairkan suasana yang tegang. Kristy masih tegang. Ia tidak siap bertemu dengan Galang. Baginya Galang adalah sosok aneh yang membuat jantungnya berdetak tak seperti biasa.

Selalu hanya seperti itu percakapan mereka. Hujan menenggelamkan mereka ke dalam kebisuan. Banyak yang ingin Kristy tanyakan, tetapi lidahnya kelu. Bahkan bertukar nomor ponsel dan PIN BB pun tidak.

Lalu bagaimana ia bisa tahu tentang laki-laki aneh itu? Kebekuan kata itu pula yang mendorong Kristy menduga-duga. Bertanya dan menjawab sendiri semua pertanyaannya dengan caranya sendiri. Membiarkan imajinasinya meliar.

Rasa penasaran Kristy semakin membuncah. Ia ingin mencari tahu tentang Galang. Bukan ingin lebih dekat dengan sosok aneh itu, tetapi ia ingin menuntaskan menjawab semua kegelisahannya. Sebab, beberapa kali Kristy berkunjung ke gedung yang berhadap-hadapan dengan gedung fakultas, Kristy tak pernah melihat Galang di kampus.

Atau ia mencari di saat yang tidak tepat. Dengan kata lain jam kuliah mereka tidak sama? Bisa saja Galang hanya mengikuti kuliah di jam pagi, sementara Kristy justru ambil mata kuliah di jam sore?

Rasa penasaran Kristy semakin membludak karena ia memang nyaris tak pernah melihat mahasiswa yang wajahnya seperti Galang. Siapakah Galang? Kenapa ia begitu misterius? Bahkan Anita saja setengah memaksa memintanya mengenalkan Galang padanya.

Kristy tak bisa menjawab semua pertanyaan dan permintaan sahabatnya, sebab ia sendiri tak tahu siapa dan dimana bisa menemukan sosok Galang.
                               
***

Hujan belum juga berhenti. Gemericik air yang jatuh di atas Vila semakin besar tekanannya. Entah mengapa Kristy masih ingin berlama-lama duduk di teras vila. Memandang hujan dalam kegelapan yang pekat. Angin yang semula terasa silir-silir kini terasa seperti badai yang setiap saat dapat membuat tubuhnya semakin menggigil.

Betapa hujan begitu memukau malam itu. Apalagi diselingi suara gesekan daun yang memecah sunyi. Kristy suka sekali mendengar desau angin dan gesekan dedaunan yang seakan meneriakan kegelisahannya.

“Selamat malam Nona penyuka hujan,” tiba-tiba suara berat itu mengacaukan keasyikannya menikmati hujan.

“Kamu....” sahut Kristy terkejut. Seketika wajahnya memucat. Darimana datangnya sosok itu. Bukankah sejak tadi ia hanya sendirian? Lalu darimana laki-laki itu tahu keberadaannya? Tiba-tiba saja bulu kuduk Krsity berdiri.

Mengapa ia selalu datang tiba-tiba? Aneh sekali...

Bagaimana Galang tahu tempat ini? Bukankah ia tak pernah bercerita apa-apa tentang apa pun pada laki-laki aneh ini. Mereka hanya bertemu tiba-tiba dan tak prnah bertukar cerita. Bahkan, menatap wajah lelaki itu saja Kristy tak pernah. Seperti ada yang menghalangi keinginannya itu.

“Kaget ya saya tiba-tiba ada di sini?” kata Galang membuat Kristy tersadar dari lamunannya.

Aku tak boleh memperlihatkan keherananku pada Galang, gumam Kristy dalam diam. Lalu setelah mengumpulkan keberaniannya, Kristy mempersilahkan Galang duduk di salah satu kursi yang ada di teras vila. Kendati sebetulnya Kristy tak yakin apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar. Mempersilahkan seorang laki-laki di tengah hujan deras masuk ke vila bukan pilihan yang tepat. Tetapi membiarkan Galang berdiri di bawah hunjaman air hujan yang kian deras, betapa tdak berkeprimanusiaan.

“Duduklah, Lang. Aku bikinkan teh panas, ya? Tubuhmu menggigil. Kamu bisa sakit jika dalam keadaan basah begitu.” kata Kristy dengan ujung mata melirik ke backpack lusuh yang dengan terang-terangan disembunyikan di balik tubuh Galang yang tinggi besar.

Kristy berdiri dan ingin cepat-cepat beranjak masuk, tetapi sorot mata Gslang menahannya.

“Tetaplah duduk, saya sudah terbiasa berbasah-basah begini. Lagipula saya hanya mampir sejenak. Saya sedang tak ingin minum apa-apa. Saya memang senang bermain di bawah hujan,” kata Galang semakin membuat Kristy bergidik.

“Kalo gitu, saya akan mengambil handuk dan pakaian ganti,” jawab Kristy asal saja. Ia sendiri tidak tahu apakah di vila ini ada pakaian laki-laki yang bisa dipakai sebagai pengganti T-shirt Galang yang basah dan sudah lengket di tubuhnya. Dalam keadaan basah kuyup begitu Kristy sempat memperhatikan postur tubuh Galang. Tinggi besar, kokoh, dan kuat. Jangankan hujan badai pun sepertinya bisa dihadangnya.

“Tak perlu, Nona...” lagi-lagi Galang melarangnya. Tetapi Kristy tak menggubris. Ia tetap menyeret langkahnya masuk ke dalam vila.

Dengan langkah setengah berlari Kristy masuk ke kamar. Anita sudah tidur lelap di balik selimut tebalnya. Kristy ingin membangunkan Anita, tetapi ia tak tega. Lagi pula Anita pasti heboh bila melihat kehadiran Galang yang sangat tiba-tiba dan dalam keadaan basah.

Sebaiknya Anita tidur saja. Toh Galang tak lama. Ia pasti akan pergi meneruskan perjalanannya setelah hujan redah. Kristy membuka lemari besar yang ada di dalam kamar. Mencari sesuatu yang dapat membantu Galang, setidaknya sepotong T-shirt atau sarung?

Tak ada satu pun T-shirt berukuran besar di dalam lemari. Kristy ngubek-ngubek traveling bag milik Anita. Biasanya Anita membawa T-shirt berukuran raksasa setiap kali ia bepergian kemana pun.

Saat sibuk mengacak pakaian Anita, tiba-tiba saja Kristy melihat sebuah T-shirt corak kotak-kotak di bagian bawah traveling bag Anita. Dengan cepat Kristy menarik T-shirt itu, tetapi karena begitu bersemangat sikut tangannya menyenggoln patung yang letaknya tak jauh dari traveling bag.

“Oufff... gubrak”. Patung tersungkur dan pecah. Anita terbangun.

“Ngapain malam-malam ngubek koperku?” tanya Anita setengah berteriak dan langsung bangun dari tidurnya. Selimutnya disibakan begitu saja.

“Maaf... aku mencari baju ukuran besar. Biasanya kamu kan selalu membawa kemana pun kau pergi, Nit!” jawab Kristy sambil berdiri dan memperlihatkan T-shirt yang sudah di tangannya.

“Ada seseorang di depan membutuhkannya?” kata Kristy meminta persetujuan Anita.

“What?” Anita lompat. Dengan sigap menarik T-shirt dari tangan Kristy.

“Plis, Nit!”

Tetapi Anita tak menggubris. Ia malah lari keluar kamar dan seperti sedang dikejar setan Anita menuju teras vila diikuti langkah Kristy yang mengekor di belakangnya.

“Mana orangnya?” tanya Anita penasaran.

Kristy melongo. Tak ada siapa-siapa di teras vila.

“Dia siapa, Kris? Plis ceritakan padaku,” ujar Anita menghiba. Matanya berkaca-kaca.

“Tadi ada di sini. Ia selalu datang tiba-tiba,” ujar Kristy dengan suara tertahan.

“Katakan padaku dia seperti apa?” kata Anita dengan menghiba.

Lalu Kristy menceritakan sekilas gambaran tentang Galang. Sejak pertemuan pertama, sampai kejadian malam ini.

“Ga...lang... betul dia Galang!” Tiba-tiba saja tubuh Anita lemas dan terkulai. Tak sadarkan diri.

Tanpa sadar Kristy menjerit histeris. Suaranya memecah kesunyian malam. Tetapi siapa yang  peduli. Vila itu letaknya terpencil, jauh dari tempat tinggal penduduk asli daerah itu. Hujan semakin deras menenggelamkan suara gesekan dedaunan. Bahkan suara kodok pun seperti tercekat. Di benak Kristy menggantung beribu tanya. Tentang lelaki itu yang selalu hadir di saat hujan. n   


Lampung Post, Minggu, 14 Desember 2014

Sunday, November 30, 2014

Seekor Naga yang Menggeliat di Kepala Seorang Wanita

Cerpen Alexander G.B.


SORE itu, aku melihat naga abu-abu yang keluar dari bibirmu. Menggeliat, mengibas-ngibaskan ekor, lalu melesat ke sebuah tempat yang jauh dan tinggi. Seperti dongeng tentang puyang atau sesuatu yang kau percaya sebagai muasalmu. Meski mati-matian aku mencoba membantah. Namun, telanjur kau percaya dan aku tak hendak mengusiknya.

“Jadi, salah satu telur naga itu ditetaskan di puncak Seminung. Lalu ia bertapa, berkelana dan akhirnya menjadi penguasa laut yang sakti dan pemberani,” ujarmu.

Meski demikian, aku mencoba menawarkan Adam sebagai mula kehidupan. Seperti yang disampaikan Kiai Muhtasor, guru ngaji-ku semasa aku masih tinggal di Ulubelu. Lelaki ringkih yang hampir separuh usianya dihabiskan di musala selepas menempuh pendidikan di sebuah ponpes di pulau seberang. Ia yang dengan keyakinan yang seolah tak bisa disangkal itu mengatakan Adam dan Hawa tergoda dan makan buah terlarang dan akhirnya terlempar ke dunia. Dan aku begitu saja percaya. Tak sedikit pun curiga, bahwa bisa jadi Tuhanlah (yang dengan caranya) yang telah merancang demikianlah kisah Adam-Hawa. Tanpa disadari siapa pun, sehingga (termasuk kita) telanjur menganggap itu sebagai kesalahan Adam semata. Padahal, Adam dijebak, ia masuk perangkap. Kudengar naga di kepalamu mendengus, mungkin hendak menelanku.

“Namanya Sabatang,” tegasnya.

“Bagaimana kamu bisa memercayai cerita semacam itu?” balasku.

“Memang bagimu tidak masuk akal, tapi begitulah, tapi bagiku demikianlah kebenaran.”

Lekas, kisah Seribu Satu dan Semalam (Harun dan Lautan Dongeng) Salman Rusdie mengetuk-ngetuk kepalaku. Ah, mengapa kitab itu tak kutemukan meski kepala telah lama berdenyut.

Dari tempat duduk, kau menatap langit yang tak biru. Lalu menghela napas. Aku menduga dongeng-dongeng di kepalamu turut tercemar oleh mendung yang tiba-tiba merebak itu. Kau juga menolak kuajak ke museum atau ke perpustakaan kota dengan alasan terlalu banyak fakta yang telanjur berubah sebagai fiksi di sini dan sebaliknya. Lalu kita tertawa, kembali membahas ihwal perjumpaan dan perpisahan, tentang sambal terasi dan seruit yang dulu kerap menghiasi meja makan kami.

“Ini bukan sekadar dongeng, memang tak disebutkan nama tempatnya. Tapi gunung yang dikelilingi danau itu ada. Kamu tahu Seminung kan?”

Aku mengangguk. Setelah puluhan atau ratusan perjumpaan baru sekarang kutemukan wanita yang ngotot sepertimu. Mungkin kau bosan bertahun-tahun hidup di Belanda yang selalu dituntut rasional dan serbateratur itu.

“Untuk apa lagi kau mencoba mengingat dongeng semacam itu?” tanyaku. 

Kau meneguk kopi tanpa gula, mengeluarkan sebatang rokok putih lalu mengisapnya. Bulatan-bulatan kecil keluar dari bibinya. Bulatan abu-abu, yang kemudian pudar dan menyusun garis tipis. Kau kembali tersenyum. Bulatan kecil abu-abu telah kembali menjelma naga. Ia menatapku usai berputar-putar di atas meta kayu pinggir kolam, matanya memerah seolah juga meminta membantumu menyusun kisah bersama. Lalu angin yang melompati dinding pembatas kolam berpusar, dan naga itu melesat dan mendekam di kepalaku. 

Kau tahu, aku sedang memikirkan hal lain, yang mungkin saja tak berkaitan dengan muasal siapa pun. Sebab, aku tak betah untuk turut menelusuri lorong-lorong masa lalu yang bagiku selalu gelap.

Sembari mengusap batu cempaka madu. Aku kembali menegaskan ada banyak hal terjadi di luar sana. Banyak orang berduyun-duyun membangun masa lalunya sendiri, memajang foto mereka di billboard-billboard. Sementara aku, dalam kerumunan itu, hanyalah sekumpulan daging yang sesekali menertawakan kisah yang mencoba mereka yakini sebagai kenyataan.

“Jadi menurutmu, kota ini juga bermula dari dongeng?”

“Barangkali, atau bisa jadi sesungguhnya kita hidup di negeri dongeng.”

“Saat ini?”

“Ya, saat ini.”

“Jadi kau pikir hidup sebatas fiksi?”

“Bisa jadi.”

“Baiklah, besok kuajak kamu menelusuri Tanjungkarang,” ujarku.

“Aku setuju,” ujarmu.

“Memang tak seindah kota-kota imajinernya Italo Calvino,”

“Aku tahu. Sekalian antar aku ke sebuah tempat ya?”

Aku mengangguk. Membayangkan kira akan menyapa sudut-sudut Tanjungkarang yang belakangan binary matanya terlihat gamang. Lalu aku berpamitan. Seorang teman lama mengirim kabar lewat pesan singkatnya, bahwa malam itu, kamu menjumpai sebuah komunitas lain di satu sudut kota ini. Sementara aku terlelap dalam kisah yang lain, hingga naga itu tiba-tiba hadir dan seolah hendak membelitku. Aku nyaris tak mampu bernapas, setelah mengapai, mengucap mantera, ayat-ayat yang diajarkan Kiai Muhtasor, mengatur napas, hingga terasa terbebas dari belitan naga yang keluar dari bibirmu. Meski risikonya, kupaksa mataku melotot hingga pagi. Terlelap sebentar, lalu dering telepon darimu membuatku kembali terjaga.

Kita kembali bertemu. Siang sangat terik. Kita jalan-jalan, kulit putihmu melegam. Tapi tak ada jalan lain untuk membangkitkan ingatan, kecuali kembali menelusuri jalan-jalan yang pernah kita lewati bukan? tanyamu dalam perjalanan. Aku sangat menghargai keseriusan dan ketulusan niatnya itu. 

“Apa yang kamu lakukan selama ini?”

“Menemani Bung Joy.”

“Siapa dia?”

“Kolektor batu akik.”

Kau tertawa. Mencubit lenganku, membasahi tenggorokan dengan air mineral, lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.
                               
***

Di sebuah tempat, kamu tahu, banyak orang menyambut kita dengan tatapan sinis. Aku memakluminya. Butir-butir garam keluar dari kening dan pelipismu. Kamu terlalu bersemangat ketika itu, hingga sesungguhnya, hatiku berduka sebab sesuatu yang berbeda yang berlintasan di kepala mereka.

Namun, aku tak hendak mencampuri semua itu. Aku memilih menikmati segelas kopi dan beberapa batang rokok di satu sudut gedung, yang kuduga sebagai salah satu mata air dongeng yang salah satunya kau ceritakan itu. Di sana kisah-kisah lain dilahirkan, diproduksi, dikemas, dan disebarkan ke seluruh pelosok negeri.

Kutatap wajah minggu yang muram di sebuah kota, yang menurutmu, orang-orang lebih suka melihat kota itu sebagai puing-puing, gedung-gedung yang tak kuasa menahan hantaman sang waktu, yang dalam istilah Salman Rusdi serupa sekumpulan hati yang patah. Mestinya kita bisa menyusun dongeng kita sendiri, ujarmu. Tapi aku masih enggan dan lebih suka bertahan di kursi plastik hijau di beranda. Angin membawakan aroma mawar dari sebuah tempat yang jauh dan lekas berlalu. Samar kudengar debur ombak dan lengking camar dari dada temanku yang saat itu  termangu. Lalu jalanan kembali lengang, hari beranjak sore, dan minggu mulai berkemas.

“Sebentar lagi aku harus meninggalkan Tanjungkarang,”

“Mengapa buru-buru?”

“Dongeng-dongeng itu memanggilku,”

“Mengapa ia tak memanggilku?”

“Sebab, kamu terlalu terpukau pada Ulubelu.”

Kau tersenyum. Lalu meninggalkan satu sudut Grande yang tanpa sengaja telah mempertemukan kita, pada banyak obrolan yang gagal kita sepakati sebagai sejarah atau sekadar bumbu gelak-tawa.

Ada banyak dingin dan gigil yang hendak kau kirimkan lantaran rindu yang telanjur tertanam di satu ruang dalam diriku? Ada banyak kesedihan dan duka cita yang mesti kutanggung untuk kembali sampai kepadaku. Ada banyak dongeng yang mesti kausingkap usai pertemuan itu. Kau pukau aku lalu pergi begitu saja. Kini naga itu menyemburkan apinya kepadaku. Dan mungkin akan membakar seluruh kisah yang pernah kutuliskan.

Esoknya, selepas subuh, kau itu meninggalkan kota ini. Kau lupa membawa naga, yang kini telanjur mendekam di kepalaku yang kini sedang duduk di satu sudut kota, yang selalu gugup dan malu-malu ketika menyebutkan namanya. n

Tanjungkarang, September 2014


Lampung Post, Minggu, 30 November 2014

Sunday, November 16, 2014

Menjadi Ikan

Cerpen Muhammad Amin


SUDAH lama sekali, sejak aku mendengar cerita ini. Cerita yang awalnya kudengar dari Nenek. Perempuan tua yang hampir pikun tapi masih mengingat cerita-cerita. Aku tak menganggap ceritanya sebagai dongeng meskipun kisahnya seperti dongeng untuk anak-anak kecil sebelum terlelap tidur. Nenek bercerita tentang bidadari yang turun dari kayangan mandi di telaga suci. Juga tentang manusia setengah ikan. Tapi, menurutku, cerita Nenekku bukanlah dongeng.

Sebulan setelahnya Nenek meninggal—dan memang seharusnya ia yang setua itu meninggal. Mungkin saya kasihan juga jika penyakit tuanya semakin menggerogoti. Ia akan kembali seperti anak kecil, bahkan lebih parah lagi. Meski sudah pikun, Nenek masih ingat sembahyang. Dia bersembahyang lebih dari lima puluh kali sehari. Karena setiap kali telah menyelesaikan sembahyang, tampaknya Nenek lupa bahwa ia sudah melaksanakannya, sehingga ia mengambil wudu, sembahyang lagi. Begitu seterusnya. Padahal, saya sudah sering mengingatkan. Tapi, itulah Nenek.

Pada bulan Rajab waktu itu, bulan yang dipercaya sebagai bulan berkah. Bulan haram, kata orang Islam. Bulan di mana syariat salat diturunkan. Nenek meninggal di bulan ini. Terjatuh di tangga.

Tubuh Nenek terbujur kaku. Aku hanya memandangi dari kejauhan ketika banyak orang berdatangan. Aku seperti mencium aroma asing di udara. Aroma yang belum pernah aku mencium sebelumnya. Setelah diurus; dimandikan dan dikafani, jenazah Nenek dibawa ke tanah pekuburan. Aku tak ikut serta mengantarkan. Aku menyendiri saja di pojok rumah di tengah keramaian itu.

Satu orang telah pergi dari rumah kami. Tapi ada yang masih ditinggalkannya untukku, sebuah cerita yang masih mengiang di kepala. Meski kemudian minggu dan bulan terus berganti. Waktu memang tak pernah berhenti meski hanya sejenak melepas lelah.

Beberapa tahun kemudian, ada kasak-kusuk berita yang santer beredar dari rumah ke rumah. Dulu, bukit-bukit nun jauh sana adalah bekas-bekas kejayaan masa lalu penduduk kampung kami. Kebun-kebun cengkih yang ranggi, subur tanahnya, serta melimpah bunga bijinya. Ditambah lagi harga yang amat tinggi saat itu.

Seluruh orang kampung menjadi kaya karena bunga cengkih yang harum itu. Di kala musim panen tiba, orang-orang dari Batu Patah turun untuk upahan. Siang hari kampung sepi melompong, karena orang-orang seluruhnya pergi ke kebun untuk memanen bunga cengkih. Sore hari sampai malam bunga-bunga cengkih itu ditaburkan di atas lantai rumah panggung mereka untuk disortir, dipilih, dan dipisahkan dari tangkainya.

Kampung kami harum cengkih. Halaman-halaman rumah yang lapang dipenuhi oleh bunga cengkih yang dijemur di bawah terik matahari. Anak-anak kerap bermain berlari-larian di atas hamparan bunga cengkih yang dikeringkan, tapi tak ada satu pun orang tua yang memarahi. Ketika cengkih-cengkih itu sudah mengering dan dikarungkan, lalu disimpan di gudang-gudang penyimpanan di bawah rumah.

Kampung kami sangat aman. Tak ada pencurian dan sebagainya. Bahkan, di siang hari rumah-rumah ditinggalkan dengan pintu tak terkunci, padahal di dalam rumah banyak barang-barang berharga yang ditinggalkan. Begitulah.

Orang-orang kampung kami banyak yang sudah berangkat ke Tanah Suci, bahkan ada yang sudah berkali-kali. Banyak gelar haji lahir dari bunga cengkih. Ada yang menyekolahkan anaknya di kota hingga perguruan tinggi. Ada pula sebagian yang membeli rumah di kota. Namun, lebih banyak orang yang sangat betah di tanah kelahirannya, tak ingin ke mana-mana.

Harga emas masih murah. Bukan hanya perhiasan yang dibeli. Bahkan cangkir buat minum dan piring buat makan itu terbuat dari emas. Ya, dari emas. Mungkin ada yang tak percaya. Tapi begitulah kemakmuran di kampung kami. Bahkan kalau inginkan sebuah sepeda motor atau mobil sedan, bisa tukarkan dengan satu atau dua karung cengkih kering.

Namun, siklus kehidupan selalu berputar. Di mana ada letak puncak kejayaan, di situ akan patah menuju keruntuhan. Dalam hitungan hari, pohon-pohon cengkih yang ranggi dan subur itu serempak mati karena wabah penyakit. Saya tak tahu nama penyakitnya. Tapi itulah awal dimulainya masa muram di kampung kami.

Dalam hitungan beberapa tahun saja, penduduknya kembali miskin. Mungkin karena sudah telanjur hidup enak, sehingga harta yang tersisa begitu cepat habisnya. Hanya tinggal gelar-gelar haji pada orang-orang tua. Itulah salah satu yang selalu diceritakan Nenek, yang selalu dikenangnya. Juga oleh orang-orang kampung yang sempat hidup di masa itu.

Dan berita yang menyebar akhir ini adalah suatu kabar gembira bagi sebagian besar orang. Kabar bahwa tanah bekas kebun-kebun cengkih di bukit itu akan dibeli oleh pengusaha dari kota untuk dijadikan proyek pertambangan. Kalau tak salah, untuk pertambangan besi dan batu galena.

Sebagian besar penduduk gembira dengan kabar itu. Sebagian lagi biasa-biasa saja bahkan ada pula yang menolak. Terutama mereka yang menolak adalah yang tak suka kepada kepala kampung yang katanya sudah sering memakan uang anggaran untuk pembangunan kampung.

Tapi, bagi kami, sebenarnya itu tak terlalu penting. Yang terpenting bagi orang kampung adalah mereka mendapatkan uang banyak hasil penjualan tanah-tanah yang tak terurus meskipun kelak kampung mereka pun akan ikut dibeli dan dijadikan lahan pertambangan.

Tetapi, akhirnya kabar itu menyurut. Menghilang begitu saja. Sesekali muncul, tetapi cepat menghilang lagi. Hingga tak pernah terdengar lagi kabarnya.

*

Rumah kita masih seperti dulu, kata Emak. Sebuah rumah panggung dengan tangga kayu. Sangat sederhana. Lantainya dari papan yang tersusun-susun. Apabila berjalan di atasnya akan jelas terdengar suara langkah kaki. Letaknya dekat pantai menghadap laut.

Emakku seorang wanita yang tinggi semampai, berkulit kuning langsat dan rambut bergelombang kemerahan. Kata orang, Emak paling cantik di kampung kami. Orang-orang pun heran kenapa Emak mau diperisitri oleh Bapak, seorang lelaki berkulit hitam, berkumis tebal dan berwajah menyeramkan. Tapi, begitulah. Katanya, Bapak menemukan Emak di desa kecil Teluk Kiluan. Sebuah desa yang konon kata orang tempat dahulu bidadari turun untuk mandi.

Emak seorang pendiam, hanya tangannya yang sering bicara. Ketika Nenek sakit, Emak sangat rajin mengurusnya, tapi keduanya tampak jarang sekali bicara. Dan mata keduanya seolah menyimpan rahasia. Ataukah itu hanya perasaanku saja?

Sebagian besar penduduk di kampung kami adalah nelayan. Memanfaatkan angin darat, mereka berangkat malam hari membawa mesin tempel dan lampu petromaks. Kemudian kembali ke darat di pagi atau siang hari. Di sepanjang pantai berjejer perahu-perahu cadik sampai ke tepi muara. Dan, di sepanjang pantai itu rumah-rumah berjejeran menghadap laut.

Bapakku tak punya perahu cadik. Tapi ia pandai ngejodang, menyelam mencari udang di sesela batu karang. Setiap malam Bapak berangkat bersama rombongannya membawa peralatan menyusuri tepi-tepi pantai yang curam akan bebatuan. Sebuah pekerjaan yang mengandung risiko besar, meski hasil yang dibawa pulang juga besar. Dan sebenarnya sudah banyak yang menjadi korban keganasan laut. Tak jarang orang yang berangkat ngejodang hanya namanya saja yang pulang.

Laut dan malam memang sama-sama menyimpan misteri. Namun, di keduanya para nelayan mencari rezeki, termasuk Bapakku yang tak punya perahu. Berangkat di gelap malam menyusuri tebing-tebing batu mempertaruhkan nyawa. Hanya untuk menyambung hidup.

Seorang anak nelayan sepertiku harus bersiap menerima kenyataan jika sewaktu-waktu Bapakku mati dipulun ombak. Dan akulah yang harus menggantikannya menjadi pencari udang. Kami menjalani hidup sampai tangan takdir berbicara. Beberapa hari sebelum Bapak dinyatakan menghilang, sesosok mayat mengambang di permukaan laut, ditemukan oleh nelayan dengan tubuh sudah menguarkan bau busuk.

“Mayat siapa?”

“Mat Jupri,” jawab seseorang.

“Innalillahi…”

Mat Jupri adalah bagian dalam rombongan Bapak. Mendengar kabar itu segera kami merasa khawatir. Apa yang terjadi? Mungkinkah hanya Mat Jupri yang mati dan lainnya selamat? Ataukah?

Mayat Bapak tak diketemukan. Berhari-hari, berminggu-minggu. Memang hanya dua orang dari teman rombongan Bapak yang bisa pulang dengan selamat. Mereka menceritakan kejadiannya. Bapak dan Mat Jupri yang sedang menyelam memasang perangkap udang di celah bebatuan karang tak kembali ke darat. Hingga pagi. Memang saat itu cuaca sedang tak baik. Keduanya curiga bahwa keduanya menghilang ditelan laut.

Barulah dua minggu setelah dinyatakan menghilang, akhirnya mayat Bapak diketemukan. Mayat yang terlilit oleh jaring dan tersangkut di bawah bebatuan karang itu keadaannya sudah sangat mengerikan. Saya tak sanggup melihatnya. Mayat Bapak diangkat oleh penyelam. Kemudian dibawa pulang.

Emak hanya diam, mungkin menahan kesedihan. Tak banyak berkata-kata, begitulah ia. Setahuku, Bapak dan Emak selama ini tak pernah bertengkar. Keduanya memang sama-sama pendiam. Karena itu, aku lebih akrab dengan Nenekku atau tetangga daripada mereka berdua.

Satu lagi, saya kehilangan. Paling tidak, setelah ini saya yang akan segera menjadi pengganti Bapak untuk menyambung hidup keluarga.
                               
*

Setiap malam saya selalu keluar rumah. Setelah nongkrong di warung Wa Isah sambil ngopi dan bergitaran, karena mengantuk aku segera pulang. Sementara teman-temanku masih nongkrong di warung. Aku berjalan pulang melewati pohon-pohon nipah di tepi-tepi jalan yang berrawa. Aroma nipah menyeruak, suara desis angin, daun yang bergesekan, dan binatang malam.

Gelap. Sangat gelap. Tak ada sedikit pun cahaya penerangan. Tapi aku hafal setiap lekuk jalan. Terdengar suara kecipak air dari jalanan yang kulalui terendam air semata kaki, karena air muara meluap di malam hari. Aku hampir sampai di rumah setelah melewati jembatan dekat muara. Tapi seolah ada sesuatu yang mengganjal di hati, bahkan sejak awal melangkah pulang tadi. Apakah ini yang disebut firasat?

Kedua kaki yang bersandal jepit mulai menginjak pasir dekat pantai. Terlihat di laut lampu-lampu dari kapal tanker, perahu bagan, dan perahu cadik nelayan yang baru berangkat melaut. Satu per satu perahu cadik di bawah pepohonan kelapa yang berbaris di sepanjang pantai itu mulai dibawa pemiliknya melaut.

Aku kemudian melangkah ke rumah. Tiba-tiba dari kejauhan pintu seperti dibuka dari dalam, tampak cahaya samar. Seorang perempuan keluar membawa lampu badai. Mungkinkah itu Emak? Mau ke mana ia tengah malam begini? Langkah kakinya begitu cekatan, menuju tepi muara. Aku menyusulnya. Kemudian ia melangkah di atas batuan karang yang tajam, menyembul di atas permukaan laut.

Pertanyaan terus berkelebat secepat langkahku menyusul langkah Emak. Kulihat ia memanjat batuan karang yang bertebing. Aku memang tak sempat berpikir banyak saat itu. Tiba-tiba aku teringat salah satu cerita Nenek.

Perempuan yang biasa saya panggil Emak itu melepas pakaiannya. Kemudian masuk ke dalam laut, menghilang ditelan gelap dan ombak. Aku ingin berteriak memanggil, tapi tenggorokanku tercekat. Kedua kakiku terpaku. Malam membeku.
                               
Jakarta-Tangerang, Juni 2013



Lampung Post, Minggu, 16 Nevember 2014

Sunday, October 12, 2014

Skenario

Cerpen Guntur Alam


INT. KAMAR LEAN – TENGAH MALAM

LEAN memijat keningnya, kertas-kertas berhamburan di bawah meja. Seminggu ini, dia kehilangan ide untuk menulis cerita pendek. Padahal sebentar lagi akhir bulan, itu artinya dia harus segera menyiapkan uang sewa kamar. Setelah ratusan surat lamaran kerja yang melampirkan ijazah sarjananya dikirim dan tak satu pun yang menuai hasil, Lean hanya bisa menggantungkan hidup dari honor menulis cerita pendek di koran. Dan dia memuji Tuhan untuk talenta ini, karena pekerjaan mengkhayal ini sudah berkali-kali menyelamatkannya dari kematian akibat lapar. Kali ini, dia begitu cemas. Ide mendadak buntu. Sialnya lagi dia hanya punya satu ide cerita yang tak kunjung sanggup dia rampungkan.

Beginilah kerangka skenario cerita yang Lean buat dan tak kunjung selesai: Mario dan Lusi bertemu di bar. Mario pelanggan tetap bar. Lusi seorang pelayan yang seksi dan cantik. Mario dan Lusi saling mencintai dan akhirnya menikah. Lean ingin cerita berakhir bahagia, tapi dia kesulitan menemukan ending seperti itu.

Nah, sebagai pembaca cerita pendek di koran, maukah kamu menolong Lean dalam menulis cerita picisan untuk Mario dan Lusi? Kalian bebas bercerita, asal akhirnya bahagia dan tentu saja penuh drama—tersebab orang Indonesia menyukai hal-hal yang penuh drama. Namun, bacalah dulu beberapa skenario yang Lean tulis untuk kisah cinta Mario dan Lusi ini—dari beberapa skenario yang terserak di bawah mejanya.


Skenario 1

Mario, pemuda berusia dua puluh dua tahun tahun, anak seorang tuan tanah di Kota A, jatuh cinta pada Lusi si pelayan bar. Mereka bertemu saat Mario terjebak hujan deras dan mobilnya mogok tepat di depan bar yang sepi malam itu. Tak ada sesiapa selain Lusi. Cuaca memang buruk sejak sore, Mario nekat pergi karena ayahnya meminta untuk meninjau lahan di kota tetangga yang kelak akan dijadikan real estate.

Sebenarnya, Lusi hampir saja membalik tulisan open di pintu menjadi close karena majikannya sudah mengatakan tak akan ada tamu lagi di cuaca seburuk ini. Terlebih kedua majikannya sudah naik ke lantai atas untuk tidur—lantai atas bar itu memang tempat tinggal mereka dan Lusi mendapat salah satu kamar tinggal di sana. Namun, Lusi salah menduga, Mario mendorong pintu bar dengan baju sedikit basah. Dia memesan segelas brendi tanpa belahan dada, tapi Lusi memberinya bonus itu.

Karena ini cerita romance, Lean membuat kedua tokohnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Lusi jatuh cinta pada badan tegap, rahang keras, sorot mata tajam, dan tentu saja wajah tampan Mario (Oh, Lean menjadikannya terlalu sempurna!). Sementara Mario, bisa ditebak. Sebagai pemuda yang baru berusia dua puluh dua tahun tahun, tentu dia menelan ludah melihat belahan dada Lusi, lenggokan pinggul, dan bibir penuhnya. Ini karena Lean menjadikan tokoh Mario-nya sebagai heteroseksual—harusnya untuk lebih drama, Lean menjadikan Mario seorang gay atau biseksual, nanti kita usulkan pada Lean di skenario berikutnya.

Malam itu mereka bercinta di atas salah satu meja bar, bahkan keduanya tak malu-malu untuk melenguh dan mengumpat. Hujan deras tak akan membangunkan sepasang suami-istri pemilik bar, pikir Lusi. Malah Mario beranggapan bisa jadi pemilik bar sudah bergelung di bawah selimut untuk menghangatkan malam mereka.

Begitulah, mereka menjadi sepasang kekasih. Setiap akhir pekan, Mario akan membawa Lusi untuk berkencan dan mereka akan menghabiskan malam dalam pergumulan demi pergumulan. Karena merasa tak akan jatuh cinta pada perempuan lain, Mario melamar Lusi. Mereka menikah dan hidup bahagia selamanya.

Lean membuang draf pertamanya ini dengan mencabik-cabiknya, membakarnya, dan membuang abunya ke dalam kloset kamar mandi. Cerita pendek ini terlalu memuakan. Dia membayangkan A.S. Laksana akan bunuh diri bila membaca cerita jenis ini ada di halaman koran Minggu yang dia baca.


Skenario 2

Mario jatuh cinta pada Lusi, seorang pelayan bar bertubuh seksi di Kota A. Sayangnya, Lusi tidak jatuh cinta kepadanya. Namun, Lusi menyukai uangnya. Mereka bertemu dan berkenalan karena suatu malam mobil Mario mogok di depan bar yang hampir tutup. Melihat siapa tamunya (tentu saja Lusi mengenal Mario yang adalah satu-satunya putra tuan tanah terkaya di Kota A), Lusi berusaha memikat Mario. Bahkan, dia sengaja membuka dua kancing atas bajunya agar dadanya yang mengkal terlihat lebih nyata di mata Mario. Dia pun tak malu-malu menggoda pemuda berusia dua puluh dua tahun itu.

Mario tergoda. Malam itu mereka berdua menghabiskan malam bersama di atas meja bar. Pergumulan demi pergumulan mereka tuntaskan dengan dada membara. Seumur hidupnya, baru malam itu Mario merasakan bercinta yang membuat dadanya akan meledak. Lusi benar-benar sudah memikatnya.

Lusi yang merasa Mario benar-benar mencintainya mulai memasang perangkapnya. Dia meminta pemuda itu untuk membelikannya apartemen. Tentu saja dengan alasan agar mereka lebih leluasa bercinta, sebab bila Lusi masih terus tinggal bersama majikannya di bar ini, kesempatan mereka untuk bercinta sangatlah langka. Mario yang dibungkus hawa nafsu setuju. Dia membelikan Lusi apartemen mewah di pinggiran kota. Saban malam, sepulang Lusi bekerja, mereka akan bercinta sampai pagi. Sesungguhnya, Lusi muak melayani Mario yang hanya besar nafsu tetapi payah dalam bermain. Namun dia bertahan dengan harapan akan dinikahi Mario.

Sayangnya, impian Lusi terancam kandas lantaran ibunya Mario tidak setuju. Oh, tentu saja sebagaimana cerita fiksi romance, ibu-ibu kaya mendambakan menantu yang cantik dan sederajat. Mana mau dia melihat anak laki-lakinya menikah dengan pelayan sebuah bar kecil.

Ayah Mario pun mendukungnya—di dalam cerita jenis ini kebanyakan suami takut pada istrinya. Namun Lusi berlaku cerdik. Dengan tubuhnya, dia menaklukan ayah Mario. Laki-laki tua itu selalu kelojotan setiap Lusi merangkak di atas tubuhnya. Dia rela mati dan menukar apa pun demi detik-detik yang melambungkan jiwanya itu.

Setelah merasa menggenggam ayah-anak itu, Lusi melancarkan rencana berikutnya. Dia membayar seseorang (dan uang itu dia dapatkan dari Mario dan ayahnya) untuk menghabisi ibu Mario. Perempuan paruh baya yang angkuh itu ditemukan mati tanpa busana di dalam got busuk penuh kotoran. Berita yang tersiar, dia dirampok lantaran perhiasan mewah di tubuhnya lenyap tanpa sisa.

Di ending-nya, Lean menuliskan, pada akhirnya Lusi menikah dengan Mario. Lalu, dia meracuni ayah mertuanya. Semua harta jatuh pada Mario dan secara perlahan pindah ke Lusi. Pelan-pelan pula, Lusi menjadikan Mario budaknya, dia pun memuaskan hawa nafsunya dengan meniduri banyak pemuda-pemuda perkasa. Cerita berakhir di sini.

Lagi-lagi, Lean membuang draf ceritanya ini. Dia merinding membayangkan bila Triyanto Triwikromo membaca cerita pendeknya ini. Apa reaksinya? Cerpen ini terlalu sinetron. Sangat lebay dan menjijikan. Mungkin saja Triyanto akan menegak empat butir Paramex sekaligus karena kepalanya sakit.


Skenario 3

Mario laki-laki tua yang malang. Dia berkali-kali menikah, tetapi istri-istrinya selalu meninggal sebelum usia pernikahan mereka satu tahun. Oleh karena kemalangan ini banyak perempuan yang menjadi takut bila didekati Mario. Ada desas-desus yang beredar, bila laki-laki tua itu menyimpan kutukan. Setiap perempuan yang dinikahinya akan mati. Orang-orang mengatakan perempuan-perempuan itu menjadi tumbal kekayaan yang dimiliki Mario.

Adalah Lusi, pelayan bar yang kerap didatangi Mario untuk membuang kesedihan. Dia begitu iba dan diam-diam jatuh cinta pada Mario. Di usia Mario yang tidak lagi muda, laki-laki itu tetap memancarkan pesona. Kedekatan antara Mario dan Lusi terjalin karena perempuan itu kerap menemaninya minum dan mendengarkan ceritanya sampai bar tutup.

Dulu, Lusi pernah punya pacar. Seorang laki-laki seusia dengannya. Namanya Pieter. Sayangnya, Pieter belum mau berkomitmen. Dia hanya ingin bersenang-senang. Mereka sempat tinggal bersama, tetapi akhirnya Lusi melepaskan diri dari Pieter. Laki-laki itu malas bekerja, setiap ada uang dia habiskan untuk membeli minuman dan ganja. Dia pun setiap hari meminta Lusi bercinta dengannya. Mulanya Lusi berharap percintaan demi percintaan mereka akan membuat Pieter mengubah perilakunya, terlebih bila Lusi hamil nanti. Namun itu tak terjadi. Pieter tetap saja laki-laki berengsek yang tak bisa diharapkan. Karena tak ingin menderita lebih sakit lagi, Lusi meninggalkan Pieter.

Kejadian itu membuat Lusi sedikit susah jatuh cinta, terlebih pada pria sebayanya. Lusi jadi lebih tertarik pada pria berumur. Dalam benaknya, pria berumur lebih matang dalam segala hal, termasuk komitmen. Itulah sebab yang membuat Lusi menerima cinta Mario. Dia pun kagum pada laki-lai paruh baya itu karena selama hubungan mereka, laki-laki itu tak pernah memaksanya untuk bercinta. Mereka hanya sebatas ciuman dan bermesraan. Tak banyak laki-laki sekarang yang begitu, pikir Lusi.

Pada akhirnya mereka menikah. Lusi berpikir dia akan hidup bahagia dengan Mario. Sejatinya begitu sebelum Lusi tahu jika Mario laki-laki impoten. Dia tak pernah bisa bercinta dengan Lusi. Hal ini sangat menyiksa Lusi. Di saat dia terbakar dalam ciuman demi ciuman Mario, percintaan mereka berakhir sampai di situ. Tak ada adegan yang Lusi harapkan. Lusi berusaha bertahan, tapi semuanya runtuh ketika Pieter muncul lagi. Laki-laki itu menawarkan kehangatan yang Lusi cari.

Suatu hari, saat Mario pergi keluar kota dalam urusan bisnisnya, Pieter mendatangi Lusi dan menggodanya. Lusi tak bisa lagi menahan dirinya. Dia dan Pieter bercinta sepuas-puasnya, membasahi kehausan yang didera Lusi selama ini. Hingga mereka tidak sadar jika Mario kembali karena ada barang yang tertinggal. Laki-laki itu begitu marah melihat Lusi tengah bergumul dengan laki-laki lain di atas ranjang mereka. Tanpa pikir panjang, dia mencabut pistolnya dan menebak kedua orang itu. Lusi dan Pieter tewas seketika.

Mario tertegun, dia baru tersadar saat melihat Lusi dan Pieter bersimbah darah. Seumur hidupnya, baru kali ini dia begitu jatuh cinta pada seorang perempuan. Lusi berbeda dari istri-istrinya terdahulu. Untuk menghapus kesedihannya, Mario menebak kepalanya sendiri.

Hampir saja Lean menyimpan draf cerpennya yang ini dan kemudian mengetik dan mengirimnya ke koran. Namun, saat dia membacanya ulang, Lean merasa jijik sendiri. Betapa cerita pendeknya ini sangat penuh dengan adegan ranjang. Seketika dia membayangkan Sungging Raga membaca cerpen ini di halaman koran Minggu pagi, pasti Sungging akan memasukkan bersendok-sendok garam ke dalam gelas kopi paginya saking mual.


INT. KAMAR LEAN – TENGAH MALAM

LEAN masih menatap kertasnya di depannya. Dia memang lebih nyaman menulis cerita dengan pulpen dan kertas sebelum mengetiknya di komputer. Kopinya tinggal ampas dan itu bungkus terakhir. Dia benar-benar sadar sekarang, menulis cerita pendek bertema cinta dan harus berakhir bahagia itu sangat sukar di tengah perut yang melilit perih. Akhirnya, dia hanya bisa menulis kalimat ini: Mario dan Lusi jatuh cinta dan menikah. Namun terjadi krisis moneter, semua serbamahal dan uang susah dicari. Untuk bertahan hidup, Lusi membunuh Mario dan memasaknya.n

Pali, Agustus 2014.


Lampung Post, Minggu, 12 Oktober 2014

Sunday, September 28, 2014

Lubang Bumi

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko


PADA mangkuk kloset, ia mendekatkan wajah, menunduk, dan muntah. Satu pagi yang normal di musim dingin: gelap, suram, dan gigil menyumsum. Ratusan orang di kotanya terjangkit virus flu atau, seperti yang ia alami, tertular norovirus: demam panas-dingin dan muntah-muntah.

Ia menekan tombol siram, memperhatikan air tercurah ke mangkuk, menjadi pusaran, lalu hilang ke dalam pipa, menyisakan genangan. Penderitaannya belum selesai, masih ada muntah tersisa di tubuhnya. Ia membuka mulut, menunduk, wajahnya memanas, dahi berembun keringat, cairan pahit keluar dari mulutnya, kembali menyembur ke mangkuk kloset.

Ia balik menekan tombol siram. Tapi kali ini ia merasa aneh, kepalanya yang pusing dan berat seakan terpelintir, terpilin memanjang, seperti kain basah yang dua ujungnya dipegang, ditarik dan diputar ke arah berlawanan oleh dua orang.

Ia membungkuk lebih dalam. Kepalanya tersedot pusaran air di mangkuk kloset. Tangannya berusaha menahan, berpegangan pada sisi mangkuk seerat ia mampu. Namun, ia tak berdaya. Pusaran air itu mengisap begitu kuat, menghirup kepala, tangan, menelan seluruh tubuhnya, kaki, menyisakan sepasang sandal tidur biru di lantai kamar mandi.

Perasaan yang ganjil. Ia tak dapat mengendalikan tubuhnya sendiri. Seperti terjaga dan tersadar di dalam lelap tidur yang amat berat, tidak bisa membuka kelopak mata, apalagi menggerakkan tubuhnya untuk bangun. Otaknya berteriak menyuruh ia melawan deras arus air, tapi tubuhnya terus tenggelam, terjatuh, dan terbanting, meluncur cepat ke lubang bumi, tercampak jauh ke dalam kegelapan. Gravitasi bumi selalu menang, ia tidak bisa melawan.

IA, anehnya, tiba-tiba saja berdiri di eskalator menurun yang curam. Ujung tangga tak terlihat, hanya pekat. Ia turun, terus turun dan turun ke perut bumi. Orang-orang berjalan cepat, beberapa berlari melewatinya.
Lorong-lorong sempit, dingin, berbau pesing dan alkohol basi, menunggunya di akhir tangga. Ada sepasang kelemayar bergelung di satu sudut.

Ia mendengar gemuruh, melihat pendar bergerak-gerak, pijak kaki berguncang. Di atap rendah sebuah lorong, papan penunjuk waktu dan tanggal elektrik digantung. Papan itu berayun-ayun dihempas angin dari kereta yang berkelebat cepat. 08.50 AM 07/07/2005. London Underground.
Gemuruh lain terdengar, cahaya menembus terowongan, kereta menghampiri, kemudian berhenti. Pintu kereta membuka di hadapannya. Ia terbawa arus penumpang, bersesakan masuk ke gerbong, berdiri sambil berpegangan pada tiang.

Kereta bergerak maju melalui lorong gelap dan picik, mengeluarkan suara berisik, serupa ular boa yang mendesis-desis. Ia merasa terkurung dalam ruang sempit hampa udara yang perlahan-lahan makin mengecil, membuat ia terdesak sehingga tak dapat bergerak dan sesak napas, klaustrophobia. Mulutnya membuka-tutup, seperti ikan yang terdampar di darat.
Orang-orang di sekelilingnya duduk dan berdiri tanpa ekspresi. Tatapan mata mereka kosong dan nanar. Mereka terlihat lelah. Ia mencium bau karet terbakar, lalu sebuah ledakan.

Orang-orang yang tadinya duduk, lekas berdiri, dan mereka yang sebelumnya berdiri, bercepat-cepat berlari, menuju gerbong lain, menjauh dari suara ledakan. Ia mendengar ledakan yang lebih kuat, asap hitam memenuhi gerbong, dan kali ini ia merasai wajahnya terciprat cairan pekat yang hangat.

Ia mengelap wajah dan melihat darah di telapak tangannya. Entah darah siapa. Orang-orang berteriak, memekik minta tolong, menangis.

PERLAHAN ruang yang mengimpitnya melebar, sesak dan gelap berganti udara segar dan cahaya pudar. Ia berada di permukaan bumi. Ia melihat pohon-pohon berdaun hijau di sekelilingnya dan tidak merasai gigil musim dingin. Ia tidak lagi berada di kotanya. 

“Papa! Papa!”

Seorang gadis kecil, sekitar tiga belas tahun, berambut hitam sebahu, berkulit langsat, berlari keluar dari rumahnya, hanya bergaun tidur putih. Ia berdiri di tengah jalan tanah, tak jauh dari mobil-mobil tentara. Ia melihat beberapa tentara menyeret tubuh seseorang, meninggalkan jejak merah di tanah dan lantai beranda rumah. Ia melihat gadis itu meraung, melolong sedih. Tapi gadis itu tidak melihatnya. Pada gaun tidur berenda, ia melihat bercak darah.

Tentara-tentara itu melempar tubuh yang mereka seret ke belakang mobil bak terbuka. Mobil melaju, meninggalkan debu dan raungan gadis kecil yang lamat-lamat memudar. Ia berdiam di belakang bak mobil, berjongkok di dekat mayat lelaki paruh baya, memerhatikan lubang-lubang peluru pada tubuh dan darah segar di wajah yang mengernyit kesakitan. Tak jauh dari mayat, ada lembaran koran yang mungkin tertinggal. Koran itu tertanggal 30/9/1965.

Mobil melewati lapangan penerbangan, memasuki jalan berbatu, ia terguncang-guncang dan ingin muntah.

Akhirnya mobil berhenti di pinggir hutan. Di dekat pokok nangka, ada sebuah sinkhole, sebuah lubang kelam yang menganga di permukaan bumi, sekelam dan segelap rongga mata yang hampa bola mata.

Banyak tentara lain telah dulu sampai. Mereka juga membawa mayat-mayat. Ia berdiri di dekat sinkhole, menyaksikan tentara-tentara itu melempar satu per satu mayat ke dalam lubang. Tambahan pula, setelah mayat habis dijungkal, mereka mengarahkan pistol-pistol dan menembak berkali-kali ke dalam sinkhole.

Ketika matahari terbit di ufuk timur, tentara-tentara itu beralih-muka, melipat-gandakan tubuh, dan saling membunuh.

Selepas itu, tentara-tentara pemenang kembali membelah diri serupa ameba, menjelma menjadi ratusan manusia berwajah hitam. Mereka berkeliaran, mengendara gelombang radio, keluar dari kotak-kotak televisi, menguasai seluruh daratan. Ia menyaksikan mereka berbaris dan dengan tatapan mata kosong, mereka berjalan dari rumah ke rumah, mengetuk-ngetuk pintu, mendobrak, dan merusak jendela-jendela kayu.

Parang, pisau, pistol, golok, arit digenggam erat di tangan mereka. Mereka berhasil mengumpulkan manusia-manusia yang kemudian mereka giring ke lubang-lubang bumi di sudut-sudut kampung. Ia melihat manusia-manusia yang diculik dipaksa berjongkok, lalu satu per satu kepala mereka menggelinding, memasuki lubang, diikuti tubuh yang dijungkal.

“Kau!”

Seorang lelaki bertubuh kurus, berambut hitam tebal, matanya abu-abu, memegang parang, berteriak padanya.

Tidak mungkin, pikirnya. Sedari tadi tak ada orang yang bisa melihat dirinya.

Tetapi lelaki itu menarik tangannya, mendorong ia hingga terjerembab di dekat lubang, di bawah rumpun bambu. Ia melihat parang diangkat tinggi, memantulkan sinar mentari. Ia berteriak, menggulingkan tubuhya ke dalam lubang.

Ia meluncur jatuh. Lubang itu lebar dan dalam. Ia mendarat di atas mayat-mayat bergenang darah. Sementara itu, dari mulut lubang, mayat-mayat terus berjatuhan, menimpanya, hingga ia tak mampu bergerak, tak juga bisa berteriak.

Lubang itu gelap, suram dan gigil menyumsum, mengingatkan ia pada satu pagi yang normal di musim dingin.

Ia sangat ingin keluar dan kembali berada di permukaan bumi.

SEKONYONG-konyong ia melihat lubang bumi yang lain: sebuah kawah raksasa, dan ia berdiri di pinggirnya. Kawah itu sangat dalam, beralur undak-undak, begitu luas dan lebar, seluas dan selebar kota di mana ia tinggal.
Tak jauh dari tempat ia berdiri, seorang pria bertubuh besar dan berkulit gelap berbicara pada telepon genggamnya.

“Ingat-ingat, Nak. Tanah kita tanah kaya. Tambang mineral yang tak pernah habis dikeruk. Tapi tanah dan kemerdekaan kita dirampas.”

Ia mendengar suara rentetan tembakan, pekik-lengking orang-orang. Di sisi lain kawah, ada kerusuhan, tentara, yang memegang senapan panjang, melawan penambang.

Pria di dekatnya terus berbicara, “Ingat-ingat, Nak, kita harus melawan. Dan ingat, papamu bukan seorang pengecut. Teruslah ingat papamu ini, jangan pernah lupakan. Jaga mamamu dan belajarlah yang rajin. Demi tanah kita.”

Pria itu berlari ke tempat kerusuhan sambil menangis. Tetes-tetes air matanya terbawa angin, jatuh ke mangkuk kawah.

Tak lama, ia mendengar tangis menyayat pilu yang sangat dekat. Ia memerhatikan sekitar, mencari asal tangisan. Tak ada seorang pun terlihat, bahkan angin berhenti mengusik dedaunan.

Ia menunduk, lalu berjongkok dan kemudian tengkurap di sisi kawah, mencoba mendengar lebih keras. Ternyata tangisan itu berasal dari bawah, dari dasar kawah.

Ia bangkit dan menjenguk curam lubang, melihat air dari tanah melesat ke udara, berkumpul tetes demi tetes, menjadi genangan di mangkuk kawah terus pusaran besar. Air meluber keluar kawah, serupa jejari, merayap ke sisi seberang. Air itu menarik para tentara ke dasar kawah. Ia melihat orang-orang berteriak dan berlarian. Lalu senyap, hanya desir angin.

Angin berbisik di telinganya: air menuju akuifer, mengalir ke sungai, bermuara ke samudra, bertemu tetes-tetes air di sepanjang arus, bertambah besar, mengepung negara asal petaka, menyusup pada pipa-pipa air minum, dan keran-keran rumah. Angin menyiarkan tulah: barang siapa meminum air kesedihan maka orang itu akan menjadi gila, teramat gila sampai bisa membunuh-tembak orang-orang, membabi-buta.

KEMUDIAN, entah bagaimana, ia sudah berada ke tempat gelap-gulita. Tempat itu terasa sempit tetapi lentur. Ia mendengar suara mengerang, napas tak beraturan, dan teriakan kesakitan ternyaring yang pernah ia dengar.

Ia terdorong keluar dari dalam kegelapan melalui lubang bumi, melihat sinar terang yang berkilauan. Kemudian ia merasai dekapan hangat.
Suara teramat lembut berbisik padanya, “Aku rela mati untuk melahirkanmu ke dunia. Anakku.”

IA berdiri di dekat kloset. Ia bermimpi, pikirnya. Ia menyeka keringat di dahi kemudian wajah. Ia merasai cambang. Bagaimana mungkin?
Seingatnya, ia baru bercukur kemarin pagi. Ia menatap cermin, cambang-bauknya benar menyemak, rambut hitamnya tambah panjang.

Ada cicit burung di luar. Ia mendekati jendela, menarik tali penutup kaca. Deret daffodil dan krokus bermekaran di taman belakang, tersiram gilang-cemerlang sinar mentari. Kuncup dedaun mapel merekah hijau muda dan kuntum-kuntum magnolia bergoyang menyambut hangat.

Ia terbelalak, mulutnya menganga, hatinya bersuka, ternyata musim dingin telah usai, semi datang, dan bumi terlahir kembali. n

Lancaster, Maret 2013


Lampung Post, Minggu, 28 September 2014

Sunday, September 21, 2014

Menulis di Atas Monas

Cerpen Jauhari Zailani


MONAS. Tunggu, aku datang. Aku dengar kabar, kau sedang bersolek. Mumpung di Jakarta, kuwajibkan diriku kunjungi Monas. Monas, pertama yang akan kucari dan kunjungi. Baru kemudian, tentu saja Tanah Abang dan Ancol. Aku terobsesi oleh cerita abang. “Monas adalah kebanggaan Indonesia. Tugu itu pongah tegak berdiri menjulang. Di tengah Jakarta, di pusat ibu kota, Negara Republik Indonesia.”

Menurut Abang, Monas adalah simbol. “Tugu itu, gambaran dunia laki-laki. Pada pangkalnya, seonggok lemak yang melindungi penyangga sebuah lingga nan menjulang. Ujung puncaknya, obor api nan membara. Gambaran nafsu laki-laki yang membara. 

Membayangkan megah dan gagahnya Monas, lihatlah ketika “tegak” kemaluanmu. Dari sisi mana pun, kau pasti lihat “dia”. Begitu seksi dan menarik perhatian. Monas, menjadi penanda dunia laki-laki. Pongah di antara gemulainya “nona-nona, nyonya, nyonya dan ibu-ibu”-nya ibu kota.

Kata abangku, untuk mencari Monas, cukup kau tengadahkan kepala. Di mana pun kau berada, kau akan lihat Monas yang menjulang. Tugu sebagai pemandu arah, terlihat dari mana pun kau berada. 

Pagi tadi, kuteguhkan semangat, kaki melangkah menuju Monas. Untuk satu tujuan, buktikan cerita atau sekedar bualan abang. Panas membara di atas kepala. Belum ketemu juga. Meski siang terik, tak hendak ku menyerah. Kaki mulai melepuh, terus melangkah. Meski puyeng kepala lelah tengadah, kaki terus melangkah. Mata nanar oleh bangunan-bangunan jangkung yang memancarkan hijau berkilau-kilau. Takkan kuhentikan langkah, takkan kuhentikan tengadah. Mencari Monas, si lingga membara.

Kaki terus melangkah menelusuri jalan, melintasi jembatan. Di atas jembatan, kakiku tertahan, berhenti. Pemandangan aneh atas sungai, berair hitam, pekat berat, dan bau bacin. Pada jembatan lain, ada keanehan lagi, jembatan tanpa sungai.

Penguasa di Jakarta bisa berbuat apa saja. Aku setuju pada pendapat abangku. “Di Jakarta, penguasa memanjakan orang kaya.” Pembeli mobil dan pembuat mobil bersekutu memaksa penguasa untuk terus menambah “jembatan tanpa sungai”. Sedangkan di desaku, banyak sungai tanpa jembatan. Ada juga jembatan gantung “ogal-agil”, yang dilalui orang-orang desa. Setiap hari orang tua harus was-was hati, ketika anak-anak melewati jembatan itu. Untuk bersekolah, anak-anaknya harus melewati jembatan “sirotol mustakim”. Pergi dan pulang.

Tapi kini aku di Jakarta. Di atas jembatan tempat aku berdiri, kulihat di seberang ada pohon merindang. Kakiku melangkah menghampiri, berteduh dari uap bara matahari. Bau anyir dari air hitam itu kian menyengat menyusup hidung dan dada. Di bawah pohon ini, panas tak lagi membakar, tetapi tetap menyergap. Sinar matahari yang memutih terik, silaukan mata. Memaksa muka tertunduk. Kaki mendorong badan untuk merapat pohon. Badan bersandar, kaki lemes. Terduduk badan, bersandar pohon. Lelah dan penat.

Tak hendak kedip mata, menatap kilau-kilau mobil-mobil yang terus berkelebat. Mobil berpacu tak henti, tak terhitung jumlahnya. Semua orang bergegas, semua orang memburu dan terburu-buru. Di Jakarta ini tak ada orang jelek. Orang-orang bergegas itu menebar harum, ganteng dan cantik. Tentu saja mereka tak hirau pada laki-laki lusuh yang teronggok lelap di bawah pohon.

***

Menulis di atas Monas. Aku menulis surat untuk Bintang, seorang sahabat. Oh Bintang yang memerah. Dua ratus tahun kutunggu. Mataku merabun dan tulang merapuh. Darah memutih. Tulang melunak, lapuk. Termakan waktu. Pesanmu tak sampai juga. Daya tangkapku tak cerdas membaca berita. Berita tentang mencari pemimpin, yang kami peroleh seorang pecundang.

Wahai Bintang, kini, aku duduk di atas Monas. Lelah menunggu di rumah, kaki membawaku ke Monas. Kutatap dirimu di sana. Tapi wahai bintang, kenapa mukamu memerah?

Mukamu memerah, atau mataku yang memerah. Tak kuraih, tak kupetik pesanmu. Gagu lidah, keras hati dan dungu laku. Meski kupicing mata, kubuka telinga dan hati. Kekuasaan kuniatkan untuk menggali emas dan perak bagi kepentingan sekalian penghuninya. Tanpa setitikpun niat mengelabui dan khianat janji. Tapi, tunaikan janji kekuasaan terasa lebih berat, ketimbang ingkar.

Acap kali, diri ini fasih bertasbih dalam pidato dan wawancara. Tapi dawai nurani lurus kaku tanpa getar, melihat duka nestapa kaum papa. Meski sudah kutundukkan wajah, tetapi hati sudah memerah dan kemudian menghitam. Hati tak lagi lembut, mengeras. Hati bagai ladang tak terurus dan membelukar. Dedemit dan hantu bergelayutan di antara pohon-pohon keangkuhan. Antara ucap dan laku, seperti siang dan malam.

Di balik kemegahan kekuasaan, tubuh memancar kedholiman. Diri ini lebih sering kalah oleh godaan dan bujuk rayu nafsu angkara murka. Indahnya dunia lebih menggoda dan merangsang nafsu berkuasa. Hingga diri ini lupa pada fitrah dan janji melayani nasib petani dan nelayan negeri ini.

Masih teringat ketika kau berkata, “Telah kuamanatkan kepadamu kekuasaan. Kekuasaan untuk memandikan si tengik di negerimu. Telah kuperintahkan menjaga jelaga nirwana bagi ulat dan cacing. Dan telah kuperingatkan bagi yang khianat kehidupan yang pedih. Telah kukabarkan pula kenikmatan abadi bagi yang setia dan tunaikan janji.”

Kini, diri ini berada di atas Monas, pasrah menanti rahmat dan berkah pemimpin yang hikmah. Ia, pemimpin itu, yang menerangi kegelapan. Ia yang menyirami kekeringan. Ia yang menyebar harum dan mengusir yang busuk.

Kudengarkan pesanmu, dan kini fasih kuulang dan kuulang. Kekuasaan ini, untuk melayani penghuninya, rakyatnya. Bukan untuk Tuan Pemilik Partai atau Tuan Belanda. Karena kau memperoleh mandat dari tuan dan pemilik negeri ini, dan pemilik dirimu Yang bersemayam di surga.
Wahai Bintang, dawai di pojok nurani menangkap getar. Sampaikan terima kasih dan salamku pada tuanmu. Sampaikan pada tuanmu wahai sang Bintang, tadi malam kami, aku dan anak-anaku melakukan ritual suci.

Memang masih kudengar kau terpekik, “Astaghfirllah”. Kudengar gumammu: Manusia tak lagi mampu membedakan anaknya dan anjingnya. Mana yang lebih mulia dari keduanya. Anjing makan daging, manusia makan anjing. Anak manusia lahir dari rahim sang perawan kencur. Sang anak memanggil bapaknya yang juga kakeknya. Dan di belahan bumi lain anak manusia memerkosa neneknya.

Wahai Bintang, oleh ulah anak-anakku sebabkan tuanmu kirim angin beliung menghancurkan suatu kaum. Begitu telah kau wartakan dari tuanmu. Engkaulah sang Bintang yang mengilhami dan menerangi. Namun ritual-ritual maksiat itu tetap berlangsung. Seperti upacara pada pagi ini.

Pagi ini, upacara dimulai dengan canda-canda ria. Anakku bercanda ria bersama dengan anjing piaraannya. Anjing dan anakku berkejaran, bergumul, dan berguling-guling. Suara tawa anakku dan gonggongan anjing bersahutan.

Hingga aku tak dapat lagi membedakan antara erangan kesakitan dan kenikmatan. Ketika kudengar erangan “nafsu anjing” dari mulut anakku. Sang anjing menggonggong panjang, meronta dan kesakitan. Anakku yang mengisap darah anjing, pun mengerang “anjing”. Dari mulutnya, menetes darah anjing membasahi bajunya. Mulut dan lidahnya berdecap-decap menikmati hisapan darah segar anjing. Mulutnya dan giginya dipenuhi gumpalan daging anjing. Wajahnya berkerut-kerut binar melahap daging anjing. Suara bersahutan antara suara anakku yang menyeringai dan terkekeh-kekeh dengan suara lolongan anjing.

Wahai Bintang, tahukah engkau, bahwa kali aku menikmati adegan anakku yang menjagal anjing dengan giginya. Musik blues lamat-lamat terdengar, meningkahi lolongan anjing dan erangan anakku. Bau wewangian itu dari anyir darah. Darah segar yang mengalirkan nafsu birahi. Anjing antara mati dan hidup.

Adegan ini berlangsung di depan mataku. Tanpa peran pengganti, tanpa basa-basi anakku membantai dan melahap daging anjing itu hidup-hidup. Aku terdiam, terpana. Kudecakkan bibir, mata tak berkedip. Menikmati adegan ketika anakku melakoni adegan ini. Anakku sedang menikmati daging anjing. Anjingnya itu masih hidup, meski kaki sebelah telah koyak oleh gigi anakku. Lelah meronta, mata anjing itu merem melek. Dagingnya digerogoti anaku.
                                                               
***

Di halaman rumah, angin malam menggoyang daun daun apokat. Semilir angin dingin mendesau kulit dan mengelus pipi. Dada berdegup kencang ketika kutundukkan muka. Rumput menghitam di antara kaki. Cahaya sang dewi, pun tak kuasa menghijaukan.

Tapi apa peduliku, sejenak dan sengaja kulupakan sang Bintang. Kemudian kurasakan, kakiku nikmat menginjak rumput yang mengering. Kursi yang menopangku telah dan terus mengayun kenikmatan. Kangkangi rumput yang hitam dan mengering. Kututup mata ketika “tuanmu” tergolek di antara rumput kering. Di antara pohon di taman yang meranggas, bau busuk kentut dan napasku.

Kian nikmat terasa menguasai bulu cumbu dan uban yang memerah. Kupandang diriku yang memerah dan rumput serta dedaunan yang menghitam. Kupegang tangan dan kakiku yang mengeras ketika kudengar suaraku.

Wahai Bintang, tolonglah aku dan sampaikan pada tuanmu. Kembalikan aku pada kesempurnaan kemarin. Darah anjing telah mengalir deras dalam diriku. Akan datang anakku, hendak mencabik-cabik tubuhku dalam santapan pagi.

Memang, aku telah mewariskan sifat anjing pada anak-anakku. Mata hati tak kuasa menahan angkara yang menggelegak. Bergelimang dosa dan terus dahaga pada harta dan tahta. Harta untuk membeli lonte yang ayu dan kenes. Demi keagungan kekuasaan, mabuk harta dan madat.
Demi kekuasaan. Kini darah anjing mengalir dalam tubuhku. Sifat setia pada anjing kuingkari, demi kekuasaan.

Kupalingkan diriku dalam sepi, aku seorang diri. Wahai Bintang kunikmati rona merahmu dari sini. Di taman Monas ini aku persembahkan kepadamu. Kepala anjing yang tersisa dari pesta anak-anak tadi pagi. Kini, aku amat berharap sampaikan pada anakku: “daging bapakmu bukan daging anjing. Dan janganlah menjadi santapan pesta”. 

Anaku, kau boleh makan gunung dan hutan hingga rata dan gundul. Sedotlah perut bumi dan laut hingga kempis dan kerontang. Asal bukan darah bapakmu. Meski darah bapakmu ya darah anjing. Meski daging bapakmu ya daging anjing. Meski hati dan perilakunya seperti anjing. Tetap saja dia bapakmu.

Wahai Bintang yang memerah, kabarkan kepada tuanmu: aku di sini baik-baik saja. Entahlah rakyatku. Masihkah mereka di sana dan mendukungku?

***

Aku mendengar pekikan klakson. Terkaget dan gelagapan. Dengan punggung telapak tangan, aku usap bibir dan mata. Badan terasa segar, perut lapar. Entah berapa lama aku sudah tertidur di bawah pohon ini. n

Bandar Lampung, awal Juli 2014.


Lampung Post, Minggu, 21 September 2014

Sunday, September 14, 2014

Lukisan Palsu

Cerpen Satmoko Budi Santoso


SIANG yang mendung, langit redup. Seorang tamu datang ke rumah saya. Ia datang dari Ibu Kota: J. Ia menanyakan apakah tahu orang yang memproduksi lukisan palsu. Ia pun minta diantar ke rumah orang tersebut, jika memang ada. Tentu saja, saya menyanggupi mengantar karena memang saya tahu tempatnya. Kebetulan, saya adalah mantan ketua RT dan rumah-rumah yang satu RT dengan saya, banyak yang dikontrak seniman yang pekerjaannya membuat lukisan. Satu di antaranya saya tahu khusus membuat lukisan-lukisan palsu. Jadi, saya tahu ke mana saya harus mengantar tamu saya itu. Tamu itu tahu rumah saya juga karena kebetulan saja. Katanya, kampung tempat tinggal saya pernah masuk televisi sebagai kampung seniman sehingga ia mengingat baik-baik informasi dari televisi itu.   

Tamu itu sungguh senang bertemu dengan seniman atau orang yang ia maksud.

“Jauh-jauh dari Ibu Kota akhirnya ketemu juga. Terus terang, saya ini orang kaya baru alias OKB. Barusan saja hidup saya sukses. Kini, saya perlu memermak rumah saya dengan lukisan-lukisan. Saya datang ke sini khusus mau membeli lukisan palsu. Saya dengar dari mantan Pak RT ini, Anda membuatnya?”

“Benar, Pak.”

“Syukurlah. Tamu-tamu saya tidak perlu tahu yang asli. Asal ada lukisan dengan nama dan tanda tangan seolah-olah buah tangan maestro lukisan, tamu-tamu saya sudah terkagum-kagum. Saya pun terdongkrak martabatnya. Anda tahu, kan? Ha ha ha…”

“Ha ha ha…”

“Berapa harga per biji? Saya perlu lima sekaligus.”

“Tergantung, Pak. Ada yang tiga juta, lima juta, sepuluh juta, sampai dua puluh juta.”

“Wah, lukisan palsu saja mahal, ya? Saya kira maksimal 2 juta.”

“Lho, kan tergantung seolah-olah karya maestro siapa, ukuran lukisan, dan tingkat kesulitan dalam membuat. Rata-rata setiap lukisan saya perlu modal awal 300 sampai 500-an ribu. Itu untuk membeli bahan pembuatan, pengawetan bahan, pokoknya biaya praproduksilah.”

“Oke. Saya mengerti.”

Kesepakatan harga dan lukisan palsu yang dibeli pun terjadi. Termasuk biaya pengirimannya. Sebagai mantan ketua RT saya melihat dengan mata kepala sendiri semua transaksi itu. Dalam perjalanan pulang ke rumah saya, di dalam mobil, tamu saya bermaksud memberikan uang fee sebagai ucapan terima kasih karena saya telah membantunya. Saya menolak secara baik-baik. Tamu saya itu sempat heran tapi kemudian memahami pilihan saya.

“Ajak saya makan siang saja, Anda telah menjadi teman saya. Kalau saya menerima uang Anda, tentu bisa tidak ada hubungan pertemanan lagi di antara kita.”

Tamu itu pun mengajak saya makan siang di sebuah restoran sederhana. Kami bicara sekadarnya, bertukar nomer ponsel juga. Ia kemudian mengantar saya pulang setelah semuanya dirasa cukup.
                      
***

TAMU semacam itu adalah tamu yang pertama dalam hidup saya. Pengalaman itu pun saya ceritakan kepada warga kampung, suatu malam di sebuah acara ronda. Ada warga kampung yang menanggapinya santai dan tertawa saja, ada yang lumayan serius.

“Wah, gawat, mantan ketua RT kok jadi makelar lukisan palsu,” ujar salah seorang warga.

“Lho, apa salahnya? Menurutku, itu justru lebih fair, tidak ada bohongnya. Permintaan yang ada disesuaikan dengan produk yang ada. Kalau mengantar orang mau beli lukisan asli ternyata dialamatkan ke pemalsu lukisan, itu baru bohong besar. Tidak fair.

Suaraku sebagai mantan ketua RT ternyata masih cukup berpengaruh. Seorang warga yang tampak mau mendebatku menjadi mengalah. Entah di dalam hati, ia setuju atau tidak dengan pikiranku. Aku pun berterus terang kepada warga bahwa aku memilih tidak menerima fee dan sekadar makan siang saja. Seluruh warga di gardu ronda yang mendengar cerita bahwa aku hanya dapat makan siang saja, tertawa ngakak.

“Benar-benar mantan ketua RT teladan. Kenapa tidak mendaftar jadi anggota KPK?” Seloroh seseorang.
                       
***

SELANG seminggu saya kedatangan tamu dari Ibu Kota itu, datang lagi tamu yang ternyata teman dari tamu terdahulu. Ia juga datang dari Ibu Kota, sama dengan tamu yang pertama. Ia mengontakku setelah punya nomor ponselku. Tentu yang memberi adalah tamu yang pertama. Tamu kedua tersebut kebutuhannya adalah sama, ingin membeli lukisan palsu.

Rutinitas sebagaimana yang kualami dengan tamu yang pertama kembali kujalani. Ia kuantar ke pembuat lukisan palsu. Transaksi terjadi. Sebanyak 3 lukisan palsu deal. Harga dan pengiriman tersepakati. Uniknya, setelah transaksi beres, di mobilnya tamu kedua itu langsung menawariku makan siang. Ia juga menyatakan bahwa aku pasti tidak mau menerima fee. Tentu, saya merespons dan juga saya katakan kepadanya bahwa yang seperti itu sangat baik buat saya. Saya juga katakan kepadanya, pasti ia tahu perihal itu dari tamu yang pertama. Ia mengiyakan.

Restoran sederhana tempatku makan dengan tamu kedua juga sama dengan restoran makanku dengan tamu pertama. Di dalam restoran kami bicara ke sana kemari hingga pertemuan usai dengan sendirinya.
                       
***

MINGGU berikutnya, saya menerima tamu lagi dengan kepentingan yang sama dengan tamu pertama dan kedua saya yang datang dari Ibu Kota. Rupanya, dalam pergaulan antara mereka nama saya sudah menjadi referensi utama sebagai penunjuk jalan dalam membeli lukisan palsu. Hingga tamu-tamu berikutnya yang datang, terhitung sudah satu tahunan dan setiap minggu satu orang. Karena pembicaraan antara mereka pula, tamu-tamu selama satu tahunan itu dengan sendirinya sudah sangat tahu kebiasaan dan kesukaan saya, hanya mengantar, tidak menerima fee, dan cukup makan siang saja.

Atas kenyataan ini, tentu saya dibodoh-bodohin oleh warga kampung di saat ronda tiba. Saya memang selalu menceritakan kepada warga kampung mengenai tamu-tamu saya.

“Wah, sayang sekali, kenapa tidak mau menerima fee? Kalau mau kan selama satu tahunan ini sudah kaya. Dulu waktu jadi ketua RT tidak digaji, giliran sudah mantan kok masih prihatin. Bodoh itu namanya,” kata salah seorang warga yang umurnya jauh lebih tua dari saya sehingga saya maklumi saja ketika ia menganggap saya bodoh. Kalau umurnya lebih muda dari saya, mungkin saya bisa tersinggung jika dianggap bodoh.  

Saya tentu saja hanya tertawa mendengar respons dari warga kampung. Saya tegaskan kepada mereka, meskipun itu bukan merupakan urusan mereka dan jelas terserah keputusan saya, saya akan tetap bertahan dengan cara cuma sebagai pengantar tamu saja. Biarpun si “seniman” pembuat lukisan palsu sudah kaya, banyak karyawan, dan kelak akan terus bertambah kaya, saya tetap akan bertahan cuma sebagai pengantar tamu.

“Tapi, hati-hati, awas nanti kalau tertangkap polisi, ya? Jangan bawa-bawa kampung kita. Pemalsu lukisan kok ya masih disebut-sebut sebagai ‘seniman’!” umpat salah seorang warga.

Entahlah. Minggu-minggu seterusnya saya masih disibukkan dengan kegiatan mengantar tamu pemburu lukisan palsu. Itulah yang bisa saya lakukan di sela pekerjaan serabutan saya lainnya, entah sebagai MC acara-acara tertentu di tingkat antarkampung, entah sebagai petani dan peladang biasa. Sampai kemudian suatu siang saya mendengar kabar, bahwa si “seniman” lukisan palsu itu sudah berpindah kontrakan, tidak lagi sekampung dengan saya. Saya tidak tahu ke mana ia pindah, karena ia juga sama sekali tidak pamit dengan saya. Sejujurnya, saya menganggap tidak apa-apa tidak dipamiti, karena saya benar-benar tidak merasa sebagai apa-apa selama berteman dengannya. Ya, hanya sebagai tetangga satu kampung dan pengantar tamu-tamunya saja. Titik. Saya pahami di dalam diri saya sendiri, ia tidak pamit dengan saya karena saya duga ia tahu bagaimana cara memperlakukan saya, biasa-biasa saja. 

Di gardu ronda ketika giliran ronda saya tiba, saya mendengar informasi dari salah seorang warga bahwa si “seniman” lukisan palsu itu sudah membeli rumah di sebuah perumahan yang berbeda kecamatan dengan kecamatan yang saya tempati. Tapi, tepatnya di perumahan apa, alamatnya di mana, warga itu tidak tahu. Warga yang bilang kepada saya itu adalah warga yang rumahnya dikontrak selama membuat lukisan-lukisan palsu.

Saya menyungging senyum mendengar kabar tersebut. Setelah saya mendengar kabar itu, tangan saya kemudian sibuk membalas sebuah SMS dari seseorang, tamu yang kesekian, yang besok minta diantar untuk membeli lukisan palsu. Ringan saya membalas SMS dari seseorang tersebut, ‘Maaf, saya sangat kecewa tidak bisa membantu Anda, karena orang yang Anda maksud sudah pindah dari kampung saya. Saya tidak tahu ke mana ia pergi. Ia tidak mempunyai masalah apa-apa dengan saya. Mungkin Anda sangat bersedih mendengar kabar saya ini. Saya juga merasa bersedih karena saya tidak lagi dapat membantu dia dan juga Anda. Terima kasih atas perhatian Anda.’ n


Lampung Post, Minggu, 14 September 2014

Sunday, September 7, 2014

Pakuraksa

Cerpen Kartika Catur Pelita


KOTA tua. Pantai tua. Penginapan yang usianya sudah tua. Bangunan model tua. Ranjang tua. Bangku tua. Korden tua. Lukisan tua. Penjaganya pun lelaki tua.

Malam juga semakin tua tapi aku belum bisa juga memejamkan mata. Aku keluar kamar, Pak Tua menawarkan rokok. 

"Merokok?”

"Maaf saya tak suka membakar uang.”

"Tak bisa tidur?"

"Saya belum ingin memeluk guling.”

"Jalan-jalan saja ke pantai!"

Ide cemerlang juga. Aku mengiyakan. Ke kamar mengambil tas dan jaket. Udara malam pasti dingin, tak di pergunungan, juga pantai. Angin malam riang melayang...

"Hati-hati kalau jalan-jalan di pantai sini. Beberapa tempat wingit. "

Aku menghentikan langkah, duduk sebentar di dekat Pak Tua, mendengar kisah.

"Pernah seorang sakit memohon kesembuhan di sini. Datang ke makam keramat. Juru kunci menyuruhnya mandi malam Jumat. Si sakit mandi dan sembuh. Kau tahu siapa yang menyembuhkannya. Ada orang yang melihat dia dimandikan seekor naga raksasa!"

Benarkah? Aku masih mendengarkan kisah yang lain.

"Ada kisah seorang pemuda-pemudi berandal yang berbuat maksiat di pantai ini. Mereka ditemukan mampus, gancet!"

Aku melangkah ketika mengucap salam pada Pak Tua. Udara malam pantai dingin, tapi aku tetap melangkah, ingin. Berdiri di gazebo membelakangi patung kura-kura raksasa. Memandangi lepas laut luas, kerlip mercusuar di Pulau Panjang menerangi kapal dan perahu lewat. Pesisir pantai. Malam ini senyap. Sepi. Hanya ada satu bintang dua kerlip di langit. Mungkin karena baru saja turun hujan, orang lebih suka berkalung sarung atau selimut di peraduan.

Angin laut berkesiur menerpa rambut, kuduk, aku merasa lapang. Perasaan lega seluas samudra. Aku melupakan pikiran kusutku. Hei... mengapa kusut, bukankah esok hari aku sudah memutuskan untuk ke Jakarta agar bisa menemui sang Presiden! Untuk memohon kentut miliknya, demi istriku yang ngidam! Aku harus segera ke Jakarta! Tanpa menundanya lagi!

"Hei anak muda apa yang kau pikirkan?"

Satu suara menyapa... atau desau angin? Aku menajamkan telinga. Hanya suara angin, keluhku. Tapi...

Sebongkah batu raksasa muncul di hadapanku? Batu bisa bergerak?! Aku mengucek mata. Apakah ini mimpi...?!

"Hai anak muda. Jangan kaget. Aku yang mengajakmu bicara."

Demi Tuhan... aku melihat kura-kura raksasa berdiri di dekatku, dan dia bisa bicara! Sesuatu yang aneh bukan? Aku menengok ke belakang. Aku meyakinkan diri bahwa ini bukan halusinasi? Ah tidak. Kura-kura raksasa masih berdiri di belakangku!

Dia hanya seonggok patung. Tapi benda di depanku ini bergerak dan matanya hidup! Bukan mata patung kura-kura yang konon katanya menangis karena dia mata bayi yang jadi tumbal  bangunan itu. Ah... di zaman seperti ini masih saja ada orang  yang percaya bahwa untuk membangun bangunan kokoh kita harus menanam tumbal untuk sesajen siluman yang menghuni bangunan itu. Aku teringat penuturan seorang paranormal yang mengaku bisa melihat alam gaib. Entah.

Tapi yang kualami kali ini… apakah juga alam gaib? Kura-kura raksasa bisa bicara? Aneh tapi nyata!

"Kamukah kura-kura raksasa yang baru saja bicara?"

"Ya… akulah kura-kura raksasa yang mengajakmu ngomong."

"Kau kura-kura aneh. Begitu besar. Bicara pula."

"Tak usah heran. Banyak keajaiban yang sejatinya ada di dunia ini."

"Sejatinya benarkah kau bisa bicara... atau ini hanya halusinasiku semata?"

"Yakinlah ini kenyataan."

"Aku bisa membuktikannya?"

"Cubit tanganmu? Sakit kan?"

Aku menuruti perintahnya, sakit. Jadi ini bukan mimpi!

"Kura-kura kau darimana dan untuk apa datang ke sini?"

"Aku hidup di dasar laut terdalam. Aku ke sini karena tertipu."

"Apa maksudmu?"

"Satu bulan purnama ketika muncul di laut aku melihat kekasih hatiku yang hilang berdiri di bibir pantai. Kukira dia kekasih hati yang menungguku. Ternyata... dia hanya seonggok patung kura-kura. Bukan kekasih hatiku yang ternyata telah pergi dan tak pernah kembali lagi. Huhuhu....!"

Kura-kura raksasa menangis. Aku terhenyak, terpana, tapi aku harus bisa menghiburnya.

"Sudahlah Kura-kura jangan menangis. Bukankah dalam hidup kita harus belajar menerima kenyataan. Kedatangan dan kepergian dalam kehidupan sesuatu yang alami. Kita harus mencoba bisa menerimanya kan?"

"Tapi benar-benar sakit kenyataan ini."

"Seiring waktu kau akan bisa menyembuhkan luka itu. Percayalah."

"Benarkah?”

"Kita baru bertemu, berkenalan, masa sih aku tega membohongimu?"'

"Ah... aku terpuji. Kau manusia baik. Bukan mereka yang suka memburu bangsa kami. Mengambil tempayas, daging, telor, untuk kesenangan. Mereka tak berpikir bagaimana kalau kami musnah. Bukankah anak cucunya nanti tak bisa mengenal kami, hanya melihatnya dalam gambar?"

"Tak semua manusia begitu. Ada yang berusaha menangkarkanmu, memelihara bangsamu, supaya tetap ada dan berkembang biak sehingga selamanya ada di muka bumi ini."

"Aku bahagia mendengarnya."

"Aku tak ingin melihat kau sedih lagi."

"Ya aku tak sedih lagi kehilangan kekasih. Karena bangsaku takkan musnah dari bumi ini!"

"Aku sekarang bahagia mendengar kata-katamu."

"Aku akan pulang, kembali ke negeri dasar laut. Sebelum aku kembali aku akan membalas budi kebaikanmu. Apa yang bisa kulakukan untukmu?'

"Aku tak butuh apa-apa."

"Benarkah? Tapi kulihat tadi kau sedih."

"Kau menduga begitu?”

"Kau pasti punya masalah. Jangan katakan kau pun kehilangan  orang yang kau cintai."

"Tidak. Aku hanya berharap apa diinginkan orang yang kucintai terwujud."

"Apa maksudmu?"

"Aku harus segera ke Jakarta untuk mewujudkan ngidam istriku. Ah, hari sudah malam. Aku segera kembali ke penginapan bersiap-siap!"

"Kau mau ke Jakarta? Bagaimana kalau kuantar?"

"Jangan ngawur! Ke Jakarta naik kura-kura?"

"Aku tak bercanda. Naiklah ke punggungku kuantar kau ke Jakarta. Secepatnya. Sebelum subuh kita sudah sampai!"

"Bagaimana kalau aku terjatuh ke lautan? Tempo hari aku nyaris mati di lautan. Terkatung-katung di lautan. Untung aku selamat. Aku masih trauma!"

"Jangan takut. Jangan trauma. Aku lebih aman daripada kapal. Naiklah ke tubuhku. Berpegang eratlah pada punggungku!"

"Kau yakin…?"       

"Kau yang harus yakin. Naiklah, duduklah, berpegang erat. Kita berangkat!"

Aku bagai terhipnosis. Seperti ada kekuatan yang mendorongku untuk naik ke punggung kura-kura. Aku duduk nyaman di cangkangnya, lalu perlahan kura-kura melaju berenang cepat mengarungi lautan!

Tapi belum lama kura-kura melaju... aku sudah terperosot dan jatuh.

Bukan di teengah lautan, tapi di sebuah ubin dingin!

Sungguh aku telah bertemu kura-kura raksasa dan menaikinya? Apa artinya. Sejenak aku terlongong ketika pintu tiba-tiba diketuk…

“Siapa?”

“Aku penjaga penginapan.”

Aku menguak pintu. Pak Tua menggerutu.

“Tadi kau berteriak keras. Mimpi buruk apa?!”
Aku menggeleng.

“Seingatku tadi aku jalan-jalan di pantai, tapi mengapa aku kini sudah ada di kamar ini….”

Penjaga menatapku, lekat.

“Kau tak pernah ke luar kamar sejak masuk di Penginapan Pakuraksa ini!”

Dia lalu  meninggalkanku.

Aku menghela napas. Aku mencubit lenganku. Aku menatap cermin, mual melihat wajah lelaki renta. n
                                                         
Kota Ukir, 29 Juni 2014


Lampung Post, Minggu, 7 September 2014