Sunday, September 28, 2014

Lubang Bumi

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko


PADA mangkuk kloset, ia mendekatkan wajah, menunduk, dan muntah. Satu pagi yang normal di musim dingin: gelap, suram, dan gigil menyumsum. Ratusan orang di kotanya terjangkit virus flu atau, seperti yang ia alami, tertular norovirus: demam panas-dingin dan muntah-muntah.

Ia menekan tombol siram, memperhatikan air tercurah ke mangkuk, menjadi pusaran, lalu hilang ke dalam pipa, menyisakan genangan. Penderitaannya belum selesai, masih ada muntah tersisa di tubuhnya. Ia membuka mulut, menunduk, wajahnya memanas, dahi berembun keringat, cairan pahit keluar dari mulutnya, kembali menyembur ke mangkuk kloset.

Ia balik menekan tombol siram. Tapi kali ini ia merasa aneh, kepalanya yang pusing dan berat seakan terpelintir, terpilin memanjang, seperti kain basah yang dua ujungnya dipegang, ditarik dan diputar ke arah berlawanan oleh dua orang.

Ia membungkuk lebih dalam. Kepalanya tersedot pusaran air di mangkuk kloset. Tangannya berusaha menahan, berpegangan pada sisi mangkuk seerat ia mampu. Namun, ia tak berdaya. Pusaran air itu mengisap begitu kuat, menghirup kepala, tangan, menelan seluruh tubuhnya, kaki, menyisakan sepasang sandal tidur biru di lantai kamar mandi.

Perasaan yang ganjil. Ia tak dapat mengendalikan tubuhnya sendiri. Seperti terjaga dan tersadar di dalam lelap tidur yang amat berat, tidak bisa membuka kelopak mata, apalagi menggerakkan tubuhnya untuk bangun. Otaknya berteriak menyuruh ia melawan deras arus air, tapi tubuhnya terus tenggelam, terjatuh, dan terbanting, meluncur cepat ke lubang bumi, tercampak jauh ke dalam kegelapan. Gravitasi bumi selalu menang, ia tidak bisa melawan.

IA, anehnya, tiba-tiba saja berdiri di eskalator menurun yang curam. Ujung tangga tak terlihat, hanya pekat. Ia turun, terus turun dan turun ke perut bumi. Orang-orang berjalan cepat, beberapa berlari melewatinya.
Lorong-lorong sempit, dingin, berbau pesing dan alkohol basi, menunggunya di akhir tangga. Ada sepasang kelemayar bergelung di satu sudut.

Ia mendengar gemuruh, melihat pendar bergerak-gerak, pijak kaki berguncang. Di atap rendah sebuah lorong, papan penunjuk waktu dan tanggal elektrik digantung. Papan itu berayun-ayun dihempas angin dari kereta yang berkelebat cepat. 08.50 AM 07/07/2005. London Underground.
Gemuruh lain terdengar, cahaya menembus terowongan, kereta menghampiri, kemudian berhenti. Pintu kereta membuka di hadapannya. Ia terbawa arus penumpang, bersesakan masuk ke gerbong, berdiri sambil berpegangan pada tiang.

Kereta bergerak maju melalui lorong gelap dan picik, mengeluarkan suara berisik, serupa ular boa yang mendesis-desis. Ia merasa terkurung dalam ruang sempit hampa udara yang perlahan-lahan makin mengecil, membuat ia terdesak sehingga tak dapat bergerak dan sesak napas, klaustrophobia. Mulutnya membuka-tutup, seperti ikan yang terdampar di darat.
Orang-orang di sekelilingnya duduk dan berdiri tanpa ekspresi. Tatapan mata mereka kosong dan nanar. Mereka terlihat lelah. Ia mencium bau karet terbakar, lalu sebuah ledakan.

Orang-orang yang tadinya duduk, lekas berdiri, dan mereka yang sebelumnya berdiri, bercepat-cepat berlari, menuju gerbong lain, menjauh dari suara ledakan. Ia mendengar ledakan yang lebih kuat, asap hitam memenuhi gerbong, dan kali ini ia merasai wajahnya terciprat cairan pekat yang hangat.

Ia mengelap wajah dan melihat darah di telapak tangannya. Entah darah siapa. Orang-orang berteriak, memekik minta tolong, menangis.

PERLAHAN ruang yang mengimpitnya melebar, sesak dan gelap berganti udara segar dan cahaya pudar. Ia berada di permukaan bumi. Ia melihat pohon-pohon berdaun hijau di sekelilingnya dan tidak merasai gigil musim dingin. Ia tidak lagi berada di kotanya. 

“Papa! Papa!”

Seorang gadis kecil, sekitar tiga belas tahun, berambut hitam sebahu, berkulit langsat, berlari keluar dari rumahnya, hanya bergaun tidur putih. Ia berdiri di tengah jalan tanah, tak jauh dari mobil-mobil tentara. Ia melihat beberapa tentara menyeret tubuh seseorang, meninggalkan jejak merah di tanah dan lantai beranda rumah. Ia melihat gadis itu meraung, melolong sedih. Tapi gadis itu tidak melihatnya. Pada gaun tidur berenda, ia melihat bercak darah.

Tentara-tentara itu melempar tubuh yang mereka seret ke belakang mobil bak terbuka. Mobil melaju, meninggalkan debu dan raungan gadis kecil yang lamat-lamat memudar. Ia berdiam di belakang bak mobil, berjongkok di dekat mayat lelaki paruh baya, memerhatikan lubang-lubang peluru pada tubuh dan darah segar di wajah yang mengernyit kesakitan. Tak jauh dari mayat, ada lembaran koran yang mungkin tertinggal. Koran itu tertanggal 30/9/1965.

Mobil melewati lapangan penerbangan, memasuki jalan berbatu, ia terguncang-guncang dan ingin muntah.

Akhirnya mobil berhenti di pinggir hutan. Di dekat pokok nangka, ada sebuah sinkhole, sebuah lubang kelam yang menganga di permukaan bumi, sekelam dan segelap rongga mata yang hampa bola mata.

Banyak tentara lain telah dulu sampai. Mereka juga membawa mayat-mayat. Ia berdiri di dekat sinkhole, menyaksikan tentara-tentara itu melempar satu per satu mayat ke dalam lubang. Tambahan pula, setelah mayat habis dijungkal, mereka mengarahkan pistol-pistol dan menembak berkali-kali ke dalam sinkhole.

Ketika matahari terbit di ufuk timur, tentara-tentara itu beralih-muka, melipat-gandakan tubuh, dan saling membunuh.

Selepas itu, tentara-tentara pemenang kembali membelah diri serupa ameba, menjelma menjadi ratusan manusia berwajah hitam. Mereka berkeliaran, mengendara gelombang radio, keluar dari kotak-kotak televisi, menguasai seluruh daratan. Ia menyaksikan mereka berbaris dan dengan tatapan mata kosong, mereka berjalan dari rumah ke rumah, mengetuk-ngetuk pintu, mendobrak, dan merusak jendela-jendela kayu.

Parang, pisau, pistol, golok, arit digenggam erat di tangan mereka. Mereka berhasil mengumpulkan manusia-manusia yang kemudian mereka giring ke lubang-lubang bumi di sudut-sudut kampung. Ia melihat manusia-manusia yang diculik dipaksa berjongkok, lalu satu per satu kepala mereka menggelinding, memasuki lubang, diikuti tubuh yang dijungkal.

“Kau!”

Seorang lelaki bertubuh kurus, berambut hitam tebal, matanya abu-abu, memegang parang, berteriak padanya.

Tidak mungkin, pikirnya. Sedari tadi tak ada orang yang bisa melihat dirinya.

Tetapi lelaki itu menarik tangannya, mendorong ia hingga terjerembab di dekat lubang, di bawah rumpun bambu. Ia melihat parang diangkat tinggi, memantulkan sinar mentari. Ia berteriak, menggulingkan tubuhya ke dalam lubang.

Ia meluncur jatuh. Lubang itu lebar dan dalam. Ia mendarat di atas mayat-mayat bergenang darah. Sementara itu, dari mulut lubang, mayat-mayat terus berjatuhan, menimpanya, hingga ia tak mampu bergerak, tak juga bisa berteriak.

Lubang itu gelap, suram dan gigil menyumsum, mengingatkan ia pada satu pagi yang normal di musim dingin.

Ia sangat ingin keluar dan kembali berada di permukaan bumi.

SEKONYONG-konyong ia melihat lubang bumi yang lain: sebuah kawah raksasa, dan ia berdiri di pinggirnya. Kawah itu sangat dalam, beralur undak-undak, begitu luas dan lebar, seluas dan selebar kota di mana ia tinggal.
Tak jauh dari tempat ia berdiri, seorang pria bertubuh besar dan berkulit gelap berbicara pada telepon genggamnya.

“Ingat-ingat, Nak. Tanah kita tanah kaya. Tambang mineral yang tak pernah habis dikeruk. Tapi tanah dan kemerdekaan kita dirampas.”

Ia mendengar suara rentetan tembakan, pekik-lengking orang-orang. Di sisi lain kawah, ada kerusuhan, tentara, yang memegang senapan panjang, melawan penambang.

Pria di dekatnya terus berbicara, “Ingat-ingat, Nak, kita harus melawan. Dan ingat, papamu bukan seorang pengecut. Teruslah ingat papamu ini, jangan pernah lupakan. Jaga mamamu dan belajarlah yang rajin. Demi tanah kita.”

Pria itu berlari ke tempat kerusuhan sambil menangis. Tetes-tetes air matanya terbawa angin, jatuh ke mangkuk kawah.

Tak lama, ia mendengar tangis menyayat pilu yang sangat dekat. Ia memerhatikan sekitar, mencari asal tangisan. Tak ada seorang pun terlihat, bahkan angin berhenti mengusik dedaunan.

Ia menunduk, lalu berjongkok dan kemudian tengkurap di sisi kawah, mencoba mendengar lebih keras. Ternyata tangisan itu berasal dari bawah, dari dasar kawah.

Ia bangkit dan menjenguk curam lubang, melihat air dari tanah melesat ke udara, berkumpul tetes demi tetes, menjadi genangan di mangkuk kawah terus pusaran besar. Air meluber keluar kawah, serupa jejari, merayap ke sisi seberang. Air itu menarik para tentara ke dasar kawah. Ia melihat orang-orang berteriak dan berlarian. Lalu senyap, hanya desir angin.

Angin berbisik di telinganya: air menuju akuifer, mengalir ke sungai, bermuara ke samudra, bertemu tetes-tetes air di sepanjang arus, bertambah besar, mengepung negara asal petaka, menyusup pada pipa-pipa air minum, dan keran-keran rumah. Angin menyiarkan tulah: barang siapa meminum air kesedihan maka orang itu akan menjadi gila, teramat gila sampai bisa membunuh-tembak orang-orang, membabi-buta.

KEMUDIAN, entah bagaimana, ia sudah berada ke tempat gelap-gulita. Tempat itu terasa sempit tetapi lentur. Ia mendengar suara mengerang, napas tak beraturan, dan teriakan kesakitan ternyaring yang pernah ia dengar.

Ia terdorong keluar dari dalam kegelapan melalui lubang bumi, melihat sinar terang yang berkilauan. Kemudian ia merasai dekapan hangat.
Suara teramat lembut berbisik padanya, “Aku rela mati untuk melahirkanmu ke dunia. Anakku.”

IA berdiri di dekat kloset. Ia bermimpi, pikirnya. Ia menyeka keringat di dahi kemudian wajah. Ia merasai cambang. Bagaimana mungkin?
Seingatnya, ia baru bercukur kemarin pagi. Ia menatap cermin, cambang-bauknya benar menyemak, rambut hitamnya tambah panjang.

Ada cicit burung di luar. Ia mendekati jendela, menarik tali penutup kaca. Deret daffodil dan krokus bermekaran di taman belakang, tersiram gilang-cemerlang sinar mentari. Kuncup dedaun mapel merekah hijau muda dan kuntum-kuntum magnolia bergoyang menyambut hangat.

Ia terbelalak, mulutnya menganga, hatinya bersuka, ternyata musim dingin telah usai, semi datang, dan bumi terlahir kembali. n

Lancaster, Maret 2013


Lampung Post, Minggu, 28 September 2014

No comments:

Post a Comment