Sunday, September 7, 2014

Pakuraksa

Cerpen Kartika Catur Pelita


KOTA tua. Pantai tua. Penginapan yang usianya sudah tua. Bangunan model tua. Ranjang tua. Bangku tua. Korden tua. Lukisan tua. Penjaganya pun lelaki tua.

Malam juga semakin tua tapi aku belum bisa juga memejamkan mata. Aku keluar kamar, Pak Tua menawarkan rokok. 

"Merokok?”

"Maaf saya tak suka membakar uang.”

"Tak bisa tidur?"

"Saya belum ingin memeluk guling.”

"Jalan-jalan saja ke pantai!"

Ide cemerlang juga. Aku mengiyakan. Ke kamar mengambil tas dan jaket. Udara malam pasti dingin, tak di pergunungan, juga pantai. Angin malam riang melayang...

"Hati-hati kalau jalan-jalan di pantai sini. Beberapa tempat wingit. "

Aku menghentikan langkah, duduk sebentar di dekat Pak Tua, mendengar kisah.

"Pernah seorang sakit memohon kesembuhan di sini. Datang ke makam keramat. Juru kunci menyuruhnya mandi malam Jumat. Si sakit mandi dan sembuh. Kau tahu siapa yang menyembuhkannya. Ada orang yang melihat dia dimandikan seekor naga raksasa!"

Benarkah? Aku masih mendengarkan kisah yang lain.

"Ada kisah seorang pemuda-pemudi berandal yang berbuat maksiat di pantai ini. Mereka ditemukan mampus, gancet!"

Aku melangkah ketika mengucap salam pada Pak Tua. Udara malam pantai dingin, tapi aku tetap melangkah, ingin. Berdiri di gazebo membelakangi patung kura-kura raksasa. Memandangi lepas laut luas, kerlip mercusuar di Pulau Panjang menerangi kapal dan perahu lewat. Pesisir pantai. Malam ini senyap. Sepi. Hanya ada satu bintang dua kerlip di langit. Mungkin karena baru saja turun hujan, orang lebih suka berkalung sarung atau selimut di peraduan.

Angin laut berkesiur menerpa rambut, kuduk, aku merasa lapang. Perasaan lega seluas samudra. Aku melupakan pikiran kusutku. Hei... mengapa kusut, bukankah esok hari aku sudah memutuskan untuk ke Jakarta agar bisa menemui sang Presiden! Untuk memohon kentut miliknya, demi istriku yang ngidam! Aku harus segera ke Jakarta! Tanpa menundanya lagi!

"Hei anak muda apa yang kau pikirkan?"

Satu suara menyapa... atau desau angin? Aku menajamkan telinga. Hanya suara angin, keluhku. Tapi...

Sebongkah batu raksasa muncul di hadapanku? Batu bisa bergerak?! Aku mengucek mata. Apakah ini mimpi...?!

"Hai anak muda. Jangan kaget. Aku yang mengajakmu bicara."

Demi Tuhan... aku melihat kura-kura raksasa berdiri di dekatku, dan dia bisa bicara! Sesuatu yang aneh bukan? Aku menengok ke belakang. Aku meyakinkan diri bahwa ini bukan halusinasi? Ah tidak. Kura-kura raksasa masih berdiri di belakangku!

Dia hanya seonggok patung. Tapi benda di depanku ini bergerak dan matanya hidup! Bukan mata patung kura-kura yang konon katanya menangis karena dia mata bayi yang jadi tumbal  bangunan itu. Ah... di zaman seperti ini masih saja ada orang  yang percaya bahwa untuk membangun bangunan kokoh kita harus menanam tumbal untuk sesajen siluman yang menghuni bangunan itu. Aku teringat penuturan seorang paranormal yang mengaku bisa melihat alam gaib. Entah.

Tapi yang kualami kali ini… apakah juga alam gaib? Kura-kura raksasa bisa bicara? Aneh tapi nyata!

"Kamukah kura-kura raksasa yang baru saja bicara?"

"Ya… akulah kura-kura raksasa yang mengajakmu ngomong."

"Kau kura-kura aneh. Begitu besar. Bicara pula."

"Tak usah heran. Banyak keajaiban yang sejatinya ada di dunia ini."

"Sejatinya benarkah kau bisa bicara... atau ini hanya halusinasiku semata?"

"Yakinlah ini kenyataan."

"Aku bisa membuktikannya?"

"Cubit tanganmu? Sakit kan?"

Aku menuruti perintahnya, sakit. Jadi ini bukan mimpi!

"Kura-kura kau darimana dan untuk apa datang ke sini?"

"Aku hidup di dasar laut terdalam. Aku ke sini karena tertipu."

"Apa maksudmu?"

"Satu bulan purnama ketika muncul di laut aku melihat kekasih hatiku yang hilang berdiri di bibir pantai. Kukira dia kekasih hati yang menungguku. Ternyata... dia hanya seonggok patung kura-kura. Bukan kekasih hatiku yang ternyata telah pergi dan tak pernah kembali lagi. Huhuhu....!"

Kura-kura raksasa menangis. Aku terhenyak, terpana, tapi aku harus bisa menghiburnya.

"Sudahlah Kura-kura jangan menangis. Bukankah dalam hidup kita harus belajar menerima kenyataan. Kedatangan dan kepergian dalam kehidupan sesuatu yang alami. Kita harus mencoba bisa menerimanya kan?"

"Tapi benar-benar sakit kenyataan ini."

"Seiring waktu kau akan bisa menyembuhkan luka itu. Percayalah."

"Benarkah?”

"Kita baru bertemu, berkenalan, masa sih aku tega membohongimu?"'

"Ah... aku terpuji. Kau manusia baik. Bukan mereka yang suka memburu bangsa kami. Mengambil tempayas, daging, telor, untuk kesenangan. Mereka tak berpikir bagaimana kalau kami musnah. Bukankah anak cucunya nanti tak bisa mengenal kami, hanya melihatnya dalam gambar?"

"Tak semua manusia begitu. Ada yang berusaha menangkarkanmu, memelihara bangsamu, supaya tetap ada dan berkembang biak sehingga selamanya ada di muka bumi ini."

"Aku bahagia mendengarnya."

"Aku tak ingin melihat kau sedih lagi."

"Ya aku tak sedih lagi kehilangan kekasih. Karena bangsaku takkan musnah dari bumi ini!"

"Aku sekarang bahagia mendengar kata-katamu."

"Aku akan pulang, kembali ke negeri dasar laut. Sebelum aku kembali aku akan membalas budi kebaikanmu. Apa yang bisa kulakukan untukmu?'

"Aku tak butuh apa-apa."

"Benarkah? Tapi kulihat tadi kau sedih."

"Kau menduga begitu?”

"Kau pasti punya masalah. Jangan katakan kau pun kehilangan  orang yang kau cintai."

"Tidak. Aku hanya berharap apa diinginkan orang yang kucintai terwujud."

"Apa maksudmu?"

"Aku harus segera ke Jakarta untuk mewujudkan ngidam istriku. Ah, hari sudah malam. Aku segera kembali ke penginapan bersiap-siap!"

"Kau mau ke Jakarta? Bagaimana kalau kuantar?"

"Jangan ngawur! Ke Jakarta naik kura-kura?"

"Aku tak bercanda. Naiklah ke punggungku kuantar kau ke Jakarta. Secepatnya. Sebelum subuh kita sudah sampai!"

"Bagaimana kalau aku terjatuh ke lautan? Tempo hari aku nyaris mati di lautan. Terkatung-katung di lautan. Untung aku selamat. Aku masih trauma!"

"Jangan takut. Jangan trauma. Aku lebih aman daripada kapal. Naiklah ke tubuhku. Berpegang eratlah pada punggungku!"

"Kau yakin…?"       

"Kau yang harus yakin. Naiklah, duduklah, berpegang erat. Kita berangkat!"

Aku bagai terhipnosis. Seperti ada kekuatan yang mendorongku untuk naik ke punggung kura-kura. Aku duduk nyaman di cangkangnya, lalu perlahan kura-kura melaju berenang cepat mengarungi lautan!

Tapi belum lama kura-kura melaju... aku sudah terperosot dan jatuh.

Bukan di teengah lautan, tapi di sebuah ubin dingin!

Sungguh aku telah bertemu kura-kura raksasa dan menaikinya? Apa artinya. Sejenak aku terlongong ketika pintu tiba-tiba diketuk…

“Siapa?”

“Aku penjaga penginapan.”

Aku menguak pintu. Pak Tua menggerutu.

“Tadi kau berteriak keras. Mimpi buruk apa?!”
Aku menggeleng.

“Seingatku tadi aku jalan-jalan di pantai, tapi mengapa aku kini sudah ada di kamar ini….”

Penjaga menatapku, lekat.

“Kau tak pernah ke luar kamar sejak masuk di Penginapan Pakuraksa ini!”

Dia lalu  meninggalkanku.

Aku menghela napas. Aku mencubit lenganku. Aku menatap cermin, mual melihat wajah lelaki renta. n
                                                         
Kota Ukir, 29 Juni 2014


Lampung Post, Minggu, 7 September 2014
                                                                     

No comments:

Post a Comment