Sunday, September 21, 2014

Menulis di Atas Monas

Cerpen Jauhari Zailani


MONAS. Tunggu, aku datang. Aku dengar kabar, kau sedang bersolek. Mumpung di Jakarta, kuwajibkan diriku kunjungi Monas. Monas, pertama yang akan kucari dan kunjungi. Baru kemudian, tentu saja Tanah Abang dan Ancol. Aku terobsesi oleh cerita abang. “Monas adalah kebanggaan Indonesia. Tugu itu pongah tegak berdiri menjulang. Di tengah Jakarta, di pusat ibu kota, Negara Republik Indonesia.”

Menurut Abang, Monas adalah simbol. “Tugu itu, gambaran dunia laki-laki. Pada pangkalnya, seonggok lemak yang melindungi penyangga sebuah lingga nan menjulang. Ujung puncaknya, obor api nan membara. Gambaran nafsu laki-laki yang membara. 

Membayangkan megah dan gagahnya Monas, lihatlah ketika “tegak” kemaluanmu. Dari sisi mana pun, kau pasti lihat “dia”. Begitu seksi dan menarik perhatian. Monas, menjadi penanda dunia laki-laki. Pongah di antara gemulainya “nona-nona, nyonya, nyonya dan ibu-ibu”-nya ibu kota.

Kata abangku, untuk mencari Monas, cukup kau tengadahkan kepala. Di mana pun kau berada, kau akan lihat Monas yang menjulang. Tugu sebagai pemandu arah, terlihat dari mana pun kau berada. 

Pagi tadi, kuteguhkan semangat, kaki melangkah menuju Monas. Untuk satu tujuan, buktikan cerita atau sekedar bualan abang. Panas membara di atas kepala. Belum ketemu juga. Meski siang terik, tak hendak ku menyerah. Kaki mulai melepuh, terus melangkah. Meski puyeng kepala lelah tengadah, kaki terus melangkah. Mata nanar oleh bangunan-bangunan jangkung yang memancarkan hijau berkilau-kilau. Takkan kuhentikan langkah, takkan kuhentikan tengadah. Mencari Monas, si lingga membara.

Kaki terus melangkah menelusuri jalan, melintasi jembatan. Di atas jembatan, kakiku tertahan, berhenti. Pemandangan aneh atas sungai, berair hitam, pekat berat, dan bau bacin. Pada jembatan lain, ada keanehan lagi, jembatan tanpa sungai.

Penguasa di Jakarta bisa berbuat apa saja. Aku setuju pada pendapat abangku. “Di Jakarta, penguasa memanjakan orang kaya.” Pembeli mobil dan pembuat mobil bersekutu memaksa penguasa untuk terus menambah “jembatan tanpa sungai”. Sedangkan di desaku, banyak sungai tanpa jembatan. Ada juga jembatan gantung “ogal-agil”, yang dilalui orang-orang desa. Setiap hari orang tua harus was-was hati, ketika anak-anak melewati jembatan itu. Untuk bersekolah, anak-anaknya harus melewati jembatan “sirotol mustakim”. Pergi dan pulang.

Tapi kini aku di Jakarta. Di atas jembatan tempat aku berdiri, kulihat di seberang ada pohon merindang. Kakiku melangkah menghampiri, berteduh dari uap bara matahari. Bau anyir dari air hitam itu kian menyengat menyusup hidung dan dada. Di bawah pohon ini, panas tak lagi membakar, tetapi tetap menyergap. Sinar matahari yang memutih terik, silaukan mata. Memaksa muka tertunduk. Kaki mendorong badan untuk merapat pohon. Badan bersandar, kaki lemes. Terduduk badan, bersandar pohon. Lelah dan penat.

Tak hendak kedip mata, menatap kilau-kilau mobil-mobil yang terus berkelebat. Mobil berpacu tak henti, tak terhitung jumlahnya. Semua orang bergegas, semua orang memburu dan terburu-buru. Di Jakarta ini tak ada orang jelek. Orang-orang bergegas itu menebar harum, ganteng dan cantik. Tentu saja mereka tak hirau pada laki-laki lusuh yang teronggok lelap di bawah pohon.

***

Menulis di atas Monas. Aku menulis surat untuk Bintang, seorang sahabat. Oh Bintang yang memerah. Dua ratus tahun kutunggu. Mataku merabun dan tulang merapuh. Darah memutih. Tulang melunak, lapuk. Termakan waktu. Pesanmu tak sampai juga. Daya tangkapku tak cerdas membaca berita. Berita tentang mencari pemimpin, yang kami peroleh seorang pecundang.

Wahai Bintang, kini, aku duduk di atas Monas. Lelah menunggu di rumah, kaki membawaku ke Monas. Kutatap dirimu di sana. Tapi wahai bintang, kenapa mukamu memerah?

Mukamu memerah, atau mataku yang memerah. Tak kuraih, tak kupetik pesanmu. Gagu lidah, keras hati dan dungu laku. Meski kupicing mata, kubuka telinga dan hati. Kekuasaan kuniatkan untuk menggali emas dan perak bagi kepentingan sekalian penghuninya. Tanpa setitikpun niat mengelabui dan khianat janji. Tapi, tunaikan janji kekuasaan terasa lebih berat, ketimbang ingkar.

Acap kali, diri ini fasih bertasbih dalam pidato dan wawancara. Tapi dawai nurani lurus kaku tanpa getar, melihat duka nestapa kaum papa. Meski sudah kutundukkan wajah, tetapi hati sudah memerah dan kemudian menghitam. Hati tak lagi lembut, mengeras. Hati bagai ladang tak terurus dan membelukar. Dedemit dan hantu bergelayutan di antara pohon-pohon keangkuhan. Antara ucap dan laku, seperti siang dan malam.

Di balik kemegahan kekuasaan, tubuh memancar kedholiman. Diri ini lebih sering kalah oleh godaan dan bujuk rayu nafsu angkara murka. Indahnya dunia lebih menggoda dan merangsang nafsu berkuasa. Hingga diri ini lupa pada fitrah dan janji melayani nasib petani dan nelayan negeri ini.

Masih teringat ketika kau berkata, “Telah kuamanatkan kepadamu kekuasaan. Kekuasaan untuk memandikan si tengik di negerimu. Telah kuperintahkan menjaga jelaga nirwana bagi ulat dan cacing. Dan telah kuperingatkan bagi yang khianat kehidupan yang pedih. Telah kukabarkan pula kenikmatan abadi bagi yang setia dan tunaikan janji.”

Kini, diri ini berada di atas Monas, pasrah menanti rahmat dan berkah pemimpin yang hikmah. Ia, pemimpin itu, yang menerangi kegelapan. Ia yang menyirami kekeringan. Ia yang menyebar harum dan mengusir yang busuk.

Kudengarkan pesanmu, dan kini fasih kuulang dan kuulang. Kekuasaan ini, untuk melayani penghuninya, rakyatnya. Bukan untuk Tuan Pemilik Partai atau Tuan Belanda. Karena kau memperoleh mandat dari tuan dan pemilik negeri ini, dan pemilik dirimu Yang bersemayam di surga.
Wahai Bintang, dawai di pojok nurani menangkap getar. Sampaikan terima kasih dan salamku pada tuanmu. Sampaikan pada tuanmu wahai sang Bintang, tadi malam kami, aku dan anak-anaku melakukan ritual suci.

Memang masih kudengar kau terpekik, “Astaghfirllah”. Kudengar gumammu: Manusia tak lagi mampu membedakan anaknya dan anjingnya. Mana yang lebih mulia dari keduanya. Anjing makan daging, manusia makan anjing. Anak manusia lahir dari rahim sang perawan kencur. Sang anak memanggil bapaknya yang juga kakeknya. Dan di belahan bumi lain anak manusia memerkosa neneknya.

Wahai Bintang, oleh ulah anak-anakku sebabkan tuanmu kirim angin beliung menghancurkan suatu kaum. Begitu telah kau wartakan dari tuanmu. Engkaulah sang Bintang yang mengilhami dan menerangi. Namun ritual-ritual maksiat itu tetap berlangsung. Seperti upacara pada pagi ini.

Pagi ini, upacara dimulai dengan canda-canda ria. Anakku bercanda ria bersama dengan anjing piaraannya. Anjing dan anakku berkejaran, bergumul, dan berguling-guling. Suara tawa anakku dan gonggongan anjing bersahutan.

Hingga aku tak dapat lagi membedakan antara erangan kesakitan dan kenikmatan. Ketika kudengar erangan “nafsu anjing” dari mulut anakku. Sang anjing menggonggong panjang, meronta dan kesakitan. Anakku yang mengisap darah anjing, pun mengerang “anjing”. Dari mulutnya, menetes darah anjing membasahi bajunya. Mulut dan lidahnya berdecap-decap menikmati hisapan darah segar anjing. Mulutnya dan giginya dipenuhi gumpalan daging anjing. Wajahnya berkerut-kerut binar melahap daging anjing. Suara bersahutan antara suara anakku yang menyeringai dan terkekeh-kekeh dengan suara lolongan anjing.

Wahai Bintang, tahukah engkau, bahwa kali aku menikmati adegan anakku yang menjagal anjing dengan giginya. Musik blues lamat-lamat terdengar, meningkahi lolongan anjing dan erangan anakku. Bau wewangian itu dari anyir darah. Darah segar yang mengalirkan nafsu birahi. Anjing antara mati dan hidup.

Adegan ini berlangsung di depan mataku. Tanpa peran pengganti, tanpa basa-basi anakku membantai dan melahap daging anjing itu hidup-hidup. Aku terdiam, terpana. Kudecakkan bibir, mata tak berkedip. Menikmati adegan ketika anakku melakoni adegan ini. Anakku sedang menikmati daging anjing. Anjingnya itu masih hidup, meski kaki sebelah telah koyak oleh gigi anakku. Lelah meronta, mata anjing itu merem melek. Dagingnya digerogoti anaku.
                                                               
***

Di halaman rumah, angin malam menggoyang daun daun apokat. Semilir angin dingin mendesau kulit dan mengelus pipi. Dada berdegup kencang ketika kutundukkan muka. Rumput menghitam di antara kaki. Cahaya sang dewi, pun tak kuasa menghijaukan.

Tapi apa peduliku, sejenak dan sengaja kulupakan sang Bintang. Kemudian kurasakan, kakiku nikmat menginjak rumput yang mengering. Kursi yang menopangku telah dan terus mengayun kenikmatan. Kangkangi rumput yang hitam dan mengering. Kututup mata ketika “tuanmu” tergolek di antara rumput kering. Di antara pohon di taman yang meranggas, bau busuk kentut dan napasku.

Kian nikmat terasa menguasai bulu cumbu dan uban yang memerah. Kupandang diriku yang memerah dan rumput serta dedaunan yang menghitam. Kupegang tangan dan kakiku yang mengeras ketika kudengar suaraku.

Wahai Bintang, tolonglah aku dan sampaikan pada tuanmu. Kembalikan aku pada kesempurnaan kemarin. Darah anjing telah mengalir deras dalam diriku. Akan datang anakku, hendak mencabik-cabik tubuhku dalam santapan pagi.

Memang, aku telah mewariskan sifat anjing pada anak-anakku. Mata hati tak kuasa menahan angkara yang menggelegak. Bergelimang dosa dan terus dahaga pada harta dan tahta. Harta untuk membeli lonte yang ayu dan kenes. Demi keagungan kekuasaan, mabuk harta dan madat.
Demi kekuasaan. Kini darah anjing mengalir dalam tubuhku. Sifat setia pada anjing kuingkari, demi kekuasaan.

Kupalingkan diriku dalam sepi, aku seorang diri. Wahai Bintang kunikmati rona merahmu dari sini. Di taman Monas ini aku persembahkan kepadamu. Kepala anjing yang tersisa dari pesta anak-anak tadi pagi. Kini, aku amat berharap sampaikan pada anakku: “daging bapakmu bukan daging anjing. Dan janganlah menjadi santapan pesta”. 

Anaku, kau boleh makan gunung dan hutan hingga rata dan gundul. Sedotlah perut bumi dan laut hingga kempis dan kerontang. Asal bukan darah bapakmu. Meski darah bapakmu ya darah anjing. Meski daging bapakmu ya daging anjing. Meski hati dan perilakunya seperti anjing. Tetap saja dia bapakmu.

Wahai Bintang yang memerah, kabarkan kepada tuanmu: aku di sini baik-baik saja. Entahlah rakyatku. Masihkah mereka di sana dan mendukungku?

***

Aku mendengar pekikan klakson. Terkaget dan gelagapan. Dengan punggung telapak tangan, aku usap bibir dan mata. Badan terasa segar, perut lapar. Entah berapa lama aku sudah tertidur di bawah pohon ini. n

Bandar Lampung, awal Juli 2014.


Lampung Post, Minggu, 21 September 2014

No comments:

Post a Comment