Sunday, December 21, 2014

Suatu Waktu Kau Akan Menjelma Buku Tua di Perpustakaan yang Kuambil Sebab Hasrat untuk Mencium Aroma Kertas Tua yang Menguning dan Bebercak di Tiap Halamannya Sungguh Tak Kuasa Kukendalikan dan Kau Tidak Harus Bertanya Macam-macam Tentang Itu.

Cerpen Benny Arnas

                                                                                                                        —buat Ahmad Fajri Nida

KECINTAAN pada buku memang yang mempertemukan kita, tapi ketentuan-Nyalah yang menyeretmu bermukim dalam ingatan yang gagal mengenali malam.

Lewat pelatihan pendampingan Perpustakaan Desa (Perpusdes) selama sepekan di Bali, Oktober 2014, semesta membuat kita bersinggungan dalam adegan filmis di layar monokrom dan suara yang berisik. Kita bersisapa untuk pertama kalinya dalam acara prapembukaan dan dengan lancang kutanyakan apakah kau berdarah Aceh, sebab kau mengingatkanku pada sahabatku yang hilang disapu tsunami ketika ia pulang ke Pidie pada 2003.

Aku meyakini, peristiwa itu adalah peletakan batu pertama pembangunan kedekatan kita yang absurd. Dari ciri-ciri fisik dan bahasa tubuh, tak sedikit pun kau mirip dengan sahabatku yang hilang itu. Namun, naluriku mengatakan—tentu saja seraya berharap dengan bodohnya—bahwa kau adalah dia yang Tuhan hidupkan kembali dalam wujud yang lain; seorang laki-laki dua puluh enam tahun pemilik tongsis (tongkat ponsel berkamera penyokong berfoto selfie dari jarak jauh) yang menggelengkan kepala dan menjawab “tidak” tanpa intonasi ketertarikan untuk menghangatkan percakapan.

Saban menyadari hal itu, aku selalu merutuki kebodohanku sekaligus mengutuk semesta yang tanpa tedeng aling-aling mengaitkanmu dengan dia yang selama ini hanya kuingat ketika berita tentang tsunami sesekali muncul di televisi. Ah, apa yang bisa diperbuat seorang manusia yang tidak akan hadir di dunia tanpa kehendak-Nya sepertiku ini?

Keesokan harinya, para peserta sudah terbagi dalam tiga kelompok. Kami berada di kelas yang sama dan sedikit pun aku tidak menganggapmu istimewa. Kupikir, kau hanya seseorang dari entah yang Tuhan kirimkan untuk membuatku merutuk beberapa kejap bahwa reinkarnasi itu tidak pernah ada! Lagi pula, selama pelatihan di kelas, aku tak pernah merasakan kebosanan sebab para instruktur begitu lihai berbagi ilmu, tidak pelit memberikan apresiasi pada peserta, dan tentu saja sejumlah permainan yang dikeluarkan di waktu-waktu yang mustajab. Bila pun harus kusebutkan celah yang tidak penting adalah; sebagai seorang narsis, aku sedikit kecewa sebab kau tidak membawa tongsis-mu ke dalam kelas.

*

PADA suatu malam (aku lupa malam keberapa), aku menyelesaikan sebuah esai tentang perpustakaan dan membaginya di grup Facebook yang beranggotakan para pendamping Perpusdes seperti kita. Tulisan itu beroleh respons positif, baik dari para instruktur maupun para peserta. Dan kau adalah salah satunya. Sebagai pengarang yang sudah menerbitkan enam buku, aku sudah terbiasa dengan pujian (juga kritikan, sebenarnya). Tapi entah bagaimana, keinginanmu untuk belajar menulis yang kauungkapkan ketika mengunjungi kamar hotelku pada sebuah pagi, membuat tumpukan batu bata kedekatan itu perlahan-lahan tumbuh, meninggi, dan mendindingi kita dengan sejumlah tanda tanya.

Pada malam kelima, usai memenuhi tawaranmu dan dua teman sepelatihan yang lain untuk berenang di lantai paling atas hotel bakda magrib itu, rencana makan malam bersama di sebuah kedai di pinggir jalan merusak mood-ku. Aku tidak bisa makan bersamamu dan teman-teman karena aku tidak bi(a)sa makan ayam kalau bukan ayam kampung. Aku pun meninggalkan kalian begitu saja. Ah, saban mengingat itu aku merasa sangat bersalah. Alasan bahwa perutku mulai berulah sebab mag yang kambuh sangat tidak sepadan dengan ketaksopananku. Aku akhirnya makan ke kedai yang lain dengan “menyeret” salah seorang teman yang sedang ada di lobi hotel untuk menemaniku. Sekembalinya di hotel, aku berniat menyelesaikan sejumlah deadline yang sedang kugarap, tapi perasaan bersalah sungguh menggangguku. Aku mencoba mengalihkannya dengan menonton teelvisi sebelum akhirnya mengetik pesan pendek ke nomor ponselmu. Entah bagaimana, sepertinya aku butuh teman ngobrol untuk mengembalikan mood-ku. Sementara teman sekamarku sedari tadi membiarkan acara favoritnya Arjuna Mencari Cinta menyaksikannya terlelap.

Sayang sekali, ternyata, usai makan malam, kau dan teman-temanmu mampir di pusat perbelanjaan. Kau juga meminta maaf karena telah membuatku tidak bisa bergabung makan malam bersama. Ah, aku yang “bertingkah”, kenapa kau yang meminta maaf? Aku tersenyum miring membaca pesan pendekmu. Aku mengutuk diriku yang terlalu gengsi untuk meminta maaf hingga akhirnya kaudahului. Memang, itu bukan perkara serius atau hal yang bisa merenggangkan hubungan antarteman-sepelatihan, tapi mood yang tidak baik selalu mampu melemparku pada keadaan yang sejatinya tidak kusukai: menjadi melankolik!

Dan keesokan harinya, usai mengikuti acara penutupan di Nusa Dua, kita bersepakat untuk menaklukkan malam di lobi hotel dengan sejumlah cerita yang kelabakan mencari benang merah. Kutumpahkan kegelisahanku yang absurd: bahwa aku tak mengerti bagaimana kau bisa kukait-pautkan dengan sahabatku yang hilang dan sebagainya dan sebagainya. Tanpa rasa bersalah kuungkapkan bahwa aku membenci setiap hal yang gagal dijelaskan dengan alasan dan logika. Padahal, sebagai seorang pengarang, aku harusnya mengimani ungkapan “Realita boleh masuk akal, tapi fiksi harus masuk akal”.

Aku baru sadar bahwa memercayai sebuah parafrasa menjadi begitu menjengkelkan ketika harus dibenturkan pada kenyataan yang menimpa diri sendiri. Ya, aku gagal menemukan alasan mengapa perasaan bahwa kau adalah teman baik yang mumpuni kujadikan saudara merimbuni kepala dan meriap-riap di dalam dada. Aku gagal berdamai dengan sifat kenyataan yang paling hakiki—menisbikan sejumlah alasan karena kadangkala Tuhan dan semesta-Nya tidak ingin membiarkan manusia berbangga dengan nalarnya.

Malam itu, kau lebih banyak mendengarkan (sebuah kecakapan yang tidak terlalu kukuasai). Seolah hendak menyeimbangi keabsurdanku, kau katakan bahwa kau juga merasakan hal yang tak terjelaskan itu dan aku nyaris tersenyum lebar sebelum kau mengimbuhinya dengan alasan bahwa kau ingin belajar menulis. Oh, ternyata aku tetap berada pada pihak yang ‘kalah’ dan aku benar-benar membenci keterpurukanku. Aku seperti memaksa orang lain untuk kujadikan saudara dengan cara merangkulnya kuat-kuat sehingga ia tidak berkelit. Yang membuatku makin kalah adalah kau tak menolak dan tidak juga menampakkan bahwa kau (benar-benar) bersedia … meskipun, ya meskipun, sebagai seseorang yang menjunjung gengsi dan kemenangan, aku menginginkan lebih dari sekadar bersedia. Aku ingin mendengar bahwa kau juga merasakan keabsurdan serupa tanpa diimbuhi alasan ingin belajar mengarang!

Meskipun demikian, sebagaimana orang yang kalah, aku akhirnya tetap bercerita panjang-lebar tentang kepengarangan dan kau tampak sangat antusias menyimaknya. Bila tidak meyakini bahwa kau bukan seseorang yang Tuhan kirimkan tiba-tiba, aku tidak akan membagi rumusan mengarangku kepadamu. Dengan berseloroh kukatakan bahwa kau sejatinya sangat beruntung karena mendapatkan semuanya dengan cara privat dan tanpa mengeluarkan sepeser rupiah pun—lalu kita memecah malam dengan tertawa yang sumbang.

Pukul tiga dini hari, kita kembali ke kamar masing-masing. Kita hanya punya waktu kurang dari empat jam untuk merehatkan tubuh karena usai sarapan esok kita mesti berangkat ke Ubud untuk mengikuti rangkaian cara terakhir.

*

DI Ubud, ternyata semua peserta lebih banyak bermain dan bersenang-senang dalam outbound ringan yang sudah disiapkan instruktur. Tidak seperti di kelas dalam hotel, outbound kali ini melempar kau dan aku ke grup yang berbeda. Karena lebih banyak berada di lapangan, kau dengan tongsis-mu pun menjelma gula pasir dan kami menjadi kerumunan semut. Di mana ada tongsis, di sana orang-orang serentak merapatkan diri. Kupikir, kita bisa berfoto dengan tongsis berdua saja agar paling tidak bisa kujadikan bukti yang tidak penting bahwa aku benar-benar menemukan sahabat baru …. Dan kita tidak pernah melakukannya!

Dan … sunatullah pun berlaku. Setiap pertemuan meniscayakan perpisahan. Kupikir Tuhan terlalu cepat menunjukkkan kuasa-Nya. Bukan perkara aku masih belum mampu menemukan alasan atas kedekatan ini, tapi karena, ibarat bunga, keabsurdan ini baru saja menguncup dan tiba-tiba ia dipetik sebelum sempat mekar dan menyebarkan wangi ke sekujur jiwa. Uh!

*

SETIBA di Lubuklinggau, aku sudah dihadang setumpuk pekerjaan dan deadline yang gagal kurampungkan di Bali. Namun, ternyata hal itu tidak mampu mengusir keganjilan yang menghinggapiku sejak dari Bali. Memang kita bisa tetap berkomunikasi meskipun kau suka sekali membaca Blackberry Messenger (BBM)-ku tanpa tergerak membalasnya, meskipun kau belum pernah meneleponku sebagaimana aku melakukannya padamu …. Sepertinya, aku baru saja dihadapkan pada kenyataan yang tidak fiksi sedikit pun, bahwa kau sejatinya jauh lebih sibuk dariku.

Sebagai seseorang yang biasa bergaul dengan imajinasi dan dramatisasi, dengan semena-menanya kusimpulkan bahwa aku hanyalah seseorang yang merasa memiliki seorang sahabat—apalagi seorang saudara! Aku hanya merasa. Sejatinya kau adalah seorang laki-laki baik hati yang ingin belajar menulis dariku. Itu saja.

Dan malam ini, ketika akhirnya kutulis semua kegelisahan yang menyesakkan tanpa jeda, aku pikir, sudah seharusnya aku menjadi lebih bijak. Aku maknai kehadiranmu yang tiba-tiba sebagai hadiah dari Tuhan atas hal-hal baik yang kulakukan di dunia. Dan sebagaimana kebaikan, kupikir, tidak seharusnya perasaan memiliki sahabat atau saudara, mesti juga kau balas. Aku belajar dua hal indah yang tidak mudah kuterima: bahwa menemukan kebaikan adalah juga mendapati cinta yang berkilau di tempat yang jauh; bahwa kehadiran orang baik adalah buku tua di perpustakaan, yang kuambil tanpa memerlukan alasan, alibi, dan penjelasan yang rigid, selain aku hanya ingin menikmati aroma kertas menguning yang bebercak di tiap halamannya. n
       
Denpasar-Lubuklinggau, 2014


Lampung Post, Minggu, 21 Desember 2014

1 comment:

  1. Bet365 Baccarat - How to Play and Win Big
    Baccarat is a variation of the popular febcasino card game played 제왕 카지노 by a group of friends. Players 인카지노 bet on which card they would think will be a "winner". When the first

    ReplyDelete