Sunday, December 28, 2014

Angki

Cerpen Yulizar Fadli


DI dalam sel penjara berbau pesing, aku mendengarkan kisah dari mulut seorang lelaki paruh baya. Malam itu, kami berdua duduk bersisian sambil menyandarkan punggung ke tembok. Aku agak menyesal gara-gara menanyakan perkara perempuan bernama Angki kepadanya.

“Tolong pijiti saya,” katanya. Aku diminta memijati punggungnya. Aku bangkit dan segera melaksanakan perintahnya. Sementara itu, si lelaki paruh baya memulai ocehannya.
               
*

Saya ingat pada sebuah sore sekitar enam belas tahun lalu, saat itu jalan raya disesaki lalu lalang kendaraan dan gerimis turun saat saya dan Angki berteduh di bawah atap terpal gerobak gorengan di depan rumah toko, di seberang tugu Sumpah Pemuda. Lampu jalan menyirami kaos biru dan rambut Angki yang bergelombang. Beberapa helai rambut terjuntai menutupi sebelah matanya. Saya menyingkirkan rambut itu dan mulai memandangi matanya. Bagi saya, binar mata Angki jauh lebih terang ketimbang cahaya lampu jalan.

“Apa aja, Mas?” kata penjual gorengan.

Kami berdua kaget, Angki menunduk sambil mengulum senyum dan saya berpaling ke muka lelaki kurus berkumis tipis yang di tangan kanannya menggenggam alat pencapit gorengan berbahan stanlis.

“Campur, tapi bakwannya lebih banyak,” kata saya setelah mengulurkan uang kertas dua puluh ribuan. Saya mengangguk kepada si penjual. Pada saat yang sama, dengan ekor mata kanan saya, tertangkaplah sekilas gambar lontaran senyum Angki. Tertangkap pula gerak gemulai tangan kirinya yang tengah membenarkan beberapa helai rambut yang kembali menutupi pandangannya.

Sekali lagi saya menatap mata Angki, tapi dia justru menatap plastik hitam berisi gorengan yang dijinjing si penjual. Bibir Angki yang tipis dimonyongkan untuk memberi tanda kepada saya. Saya pun menoleh ke si penjual dan berkata terima kasih setelah lelaki berkumis tipis itu menggeleng dan melemparkan senyum.

Lalu saya berikan plastik itu pada Angki sebelum kami berdua berbalik badan dan melangkah menghampiri motor yang terparkir enam langkah dari gerobak kue itu. Gerimis masih turun dan jalan raya tetap ramai ketika saya menghidupkan mesin motor. Dengan helm di kepala, kami berdua mulai berkendara di antara puluhan kendaraan lainnya.

Kepulan asap yang keluar dari moncong knalpot-knalpot itu mungkin telah masuk ke lubang hidung dan paru-paru kami. Selama di jalan, saya dan Angki membisu sambil menembus gerimis menuju rumahnya.

Sampai di depan rumah, setelah mengembalikan helm kepada saya, Angki mengucapkan terima kasih dan melangkah masuk ke dalam. Saya menjawab ucapannya dengan angguk dan senyuman. Dia mengangkat tangan kirinya dan berkata, “Sampai jumpa.”

Dan pada jam lima sore, dua hari setelah membeli gorengan malam itu, di teritis kolam renang hotel berbintang tiga, saya dan Angki berbaku tanya. Belasan orang ada di kolam itu. 

Tubuh Angki terendam separuh di pojok kolam yang tak seberapa dalam. Sambil menyipratkan air ke muka saya, Angki berkata, “Kenapa kamu selalu bilang menyukai mata saya?”

Saya tertawa sambil mengusir bulir air berbau kaporit dari wajah saya. Saya membalas cipratannya dan berkata, ”Bukankah tak semuanya harus ditanya?”

“Jawab saja,” katanya.

”Itu sama saja kamu bertanya kenapa saya suka makan bakwan.” Saya menatap matanya.

“Tidak logis dan gombal...” dia menyipratkan air lagi.

“Tapi kamu suka...”

“Siapa bilang?” dia tertawa. “Jawablah sampai saya menyukai jawabanmu...”

“Karena matamu,” kata saya, ”Seperti segelas es jeruk keprok. Bulir-bulir kuningnya selalu terasa saya kunyah. Segarnya tertinggal di lidah. Pendeknya saya ingin meminummu setiap hari.”

“Kamu belum terlalu mengenal saya.” Angki tertawa lalu menjulurkan lidahnya. Lalu dia berenang ke seberang dan saya mengejarnya.

Terus terang saya memang belum mengenal siapa Angki. Mungkin itu karena saya tak selalu bersamanya setiap hari. Saya hanya bisa menemuinya jika dia menelepon saya.

Dan berikutnya, dua minggu setelah kami berenang bersama, saya dan Angki berteduh di depan sebuah ruko. Saat itu hujan sangat deras. "Saya selalu mengenang saat pertama memandang matamu," kata saya sesudah menyingkirkan beberapa helai rambutnya.

Angki tersenyum setelah mencubit lengan saya. “Matamu juga selalu kukenang,” katanya. Saya menyangkal, “Ini serius. Matamu seperti telik sandi perang, selalu mengikuti ke mana pun saya pergi.”

Sekali lagi Angki mencubit, kali ini di pinggang kiri saya, “Gombal lagi,” katanya sebelum tertawa seperti orang digeltiki. Saya mengernyitkan dahi dan mengucapkan kata sungguh sebanyak dua kali. Mendengar perkataan saya, Angki menyunggingkan bibirnya. 

Sekali lagi saya memberanikan diri untuk merangkulkan tangan ke pundak Angki, tapi dia mengelak.

“Kamu punya perasaan yang sama dengan saya, kan?” kata saya.

Saya merasa tolol di depannya. Saya kehilangan diri saya. Saya justru merasa tak ada saat berdua dengannya.

Angki menatap saya. “Mungkin...” katanya sebelum mengajak saya pulang dan menerabos deras hujan.
Dan sebulan berikutnya di pinggir pantai, tepat di muka di pondok es kelapa, saya memberanikan diri untuk menggenggam kedua tangan Angki. Saya katakan padanya bahwa saya mencintainya.

Dia memandang saya dan berkata, “Sampai kapan pun, saya akan menganggapmu sebagai sahabat...”

Genggaman saya pada tangannya mengendur. “Kenapa?”

“Karena memang begitu...”

Saya melepaskan genggaman. “Kenapa kamu tidak menolak dari awal...”

“Saya tidak tahu. Saya tidak enak hati. Maafkan saya...”

“Tidak perlu minta maaf,” kata saya. Angki memeluk saya, tapi saya tidak membalasnya. Sekali lagi saya kehilangan diri saya. Saya tak ada saat berdua dengannya.

Saya berdiri lalu berjalan mendekati laut dan berdiri di tepiannya sambil memandang terbang kawanan camar. Sementara itu di belakang saya, Angki termangu di kursi bambu di depan pondok es kelapa yang sedang sepi pembeli. Lima belas menit berselang barulah saya mengantarnya pulang.

Dalam perjalanan pulang kami berdua memilih diam. Angki memeluk saya dengan erat. Rasanya saya ingin menabrakkan motor ke bagian belakang mobil yang ada di depan kami, tapi saya mengurungkannya.

Tak terasa motor yang kami kendarai sudah sampai di depan rumah Angki. Dia mengajak saya turun dan mampir ke rumahnya, namun saya menolaknya.

Enam bulan berikutnya, ketika saya pulang kerja, di seberang tugu Sumpah Pemuda, di tempat pertama saat saya memandang matanya, tepat di bangku kayu panjang milik penjual gorengan, saya duduk sendirian sambil mengunyah bakwan. Lalu, saat itu...

“Lalu, setelah mengunyah bakwan itulah bapak memutuskan untuk memutilasi tubuh Angki?” tanyaku sembarangan. Kini aku memijati kakinya.

“Ya, begitulah secara garis besar,” jawab si lelaki paruh baya sebelum mengucapkan terima kasih dan pergi pamit tidur.

“Angki...” saya menggumamkan nama itu sekali lagi. n

Bandar Lampung, 2014


Lampung Post, Minggu, 28 Desember 2014

No comments:

Post a Comment