Sunday, June 2, 2013

Rosa

Cerpen Alexander GB

APA yang membuat banyak orang bunuh diri? Rosa menjawab kebebasan. Mengapa kebebasan, bukankah itu yang didambakan setiap orang? Kita tak ingin terikat oleh apapun. Secara kasar barangkali aku akan mengatakan demikian. Tetapi selama berpikir, bernafas berarti tetap terikat. Begitu selamanya. Namun secara konyol kita terus mencoba untuk bebas, dan pada akhirnya akan menemui jalan buntu, hingga terpaksa menantikan kematian sebagai satu-satunya solusi bagi kehendak meneguk kebebasan tanpa syarat. Namun bagiku, seluruh penyangkalan itu adalah usaha untuk menolak peran yang mesti kita tunaikan.

Mengapa kematian?

“Karena kematian akan membuat jiwa kita bebas, lepas,” jawab Rosa selanjutnya.

Ia ingin menjadi Rosa yang lain dari Rosa yang selama ini ia lihat di cermin itu. Sebatang pohon ranggas, satu persatu dahannya berjatuhan ke tanah.

“Kematian membuat kita tak perlu risau dengan detak jam dinding di ruang tamu, lepas dari ancaman kelaparan, segala penyakit, prasangka, dan tak lagi terombang-ambing antara kenangan dan harapan. Sudah terlalu lama kita akan berubah dari mahluk bumi yang menyedihkan menjadi mahluk astral yang bebas berkelana kemana saja, bebas melakukan apa saja,”  lanjutnya. 

“Jadi itu alasanmu hendak bunuh diri?” tanyaku.

Rosa diam saja.

Mungkin sedang memilih kata yang tepat untuk menjawab pertanyaanku.

“Aku bukan Veronika, ia tak suka aku memelihara seekor kucing,” ujar Rosa.

Aku tak begitu mengerti dengan jawaban yang baru keluar dari bibir pucatnya. Jadi hanya karena ia tak setuju memelihara seekor kucing. Ah,  mengapa begitu sepele, seekor kucing?

“Ya, ia tak menyukai seekor kucing. Jika aku kembali memelihara seekor kucing maka aku tak perlu sendiri seperti ini, tapi ia tak membutuhkan kehadiran kucing di rumah ini. Memelihara kucing adalah simbol orang yang kesepian, yang hanya nyaman di kamar dan ruang tamu. Mestinya kamu lebih terbuka kepadaku. Aku ini psikolog, aku tahu setiap laku ada alasannya, aku telah mempelajari ratusan bahkan mungkin ribuan ekspresi bahwa sadar. Begitu katanya. Lalu ia menatapku penuh kecurigaan. Aku benci dengan tatapan semacam itu. Aku benci mata itu. Matanya, ya matanya menjelma pisau yang teracung ke jantungku,” ujar Rosa geram.

Tiba-tiba Rosa seperti hendak meluapkan amarah. 

“Mata siapa?” tanyaku.

“Mata lelaki itu, dan semua orang. Ya semua orang,”  ujar Rosa selanjutnya.

“Jadi alasan utama kamu memilih bunuh diri adalah karena dilarang memelihara kucing atau karena mata-mata yang kamu anggap menghakimi atau mengancam kenyamanan hidupmu?”  tanyaku.

“Sudahlah. Aku lelah,” ujar Rosa sambil mengalihkan pandangan ke jendela.

Seekor kupu-kupu menabrak dinding kamar kemudian jatuh. Rosa tersenyum melihat kekonyolan kupu-kupu itu.  Sepertinya aku gagal mengorek keterangan apa yang telah membuat Rosa nekat menelan pil tidur dalam jumlah yang tidak semestinya. Ia tidak ingat, tahu-tahu sudah terdampar di ruang putih ini. Ia menceracau.

Sulit memahami kata-kata Rosa yang berhamburan seperti  peluru yang ditembakkan membabi buta. Ia menjelma pasien di rumah sakit yang enggan pulih dan lekas pulang. Sementara lelaki itu duduk di ruang tamu, menonton televisi. Sudah dua hari telepon genggam dan telepon rumah ia matikan. Ia menolak setiap klien yang hendak konsultasi. Kepalanya dipenuhi Rosa yang nyaris mati.

Barangkali bertahun-tahun Rosa terjebak pada dunia yang diciptakannya sendiri. Dunia yang dibangun dari dari sekumpulan hati yang patah,  kebosanan menjalani rutinitas, sebagai perempuan yang terpaksa tak berdaya, atau oleh  banyaknya kekecewaan yang harus diterima. Rosa seperti sebuah kota dengan langit yang disesaki awan hitam, yang berkarib dengan hujan dan air selokan yang selalu meluap ke jalanan. 
Ketika tanpa sengaja kutanya siapa yang paling ia benci, Rosa lekas  menjawab lelaki yang kini sedang menonton televisi. 

Dan Rosa tidak nyaman sering diperlakukan berlebihan. Setiap ada yang melenceng dari kebiasaan dianggap tidak wajar, ekspresi bawah sadar yang tak bisa dikendalikan, atau gamblangnya lelaki itu iangin mengatakan ia gila.  Puncaknya ketika Rosa berkeras hendak memelihara kucing di rumah, lelaki itu tampak tersinggung dan tak menegurnya selama satu minggu, bahkan pernah mengancam menceraikan. Pada titik ini Rosa menduga sesungguhnya lelaki itulah yang gila.

Secara detail aku tentu tidak tahu apa yang dialami Rosa, yang aku tahu dua matanya kerap dihuni butir air serupa embun, menjalar ke pipi lalu jatuh ke lantai.

Rosa merasa bahwa hidup hanyalah menuntaskan  satu kisah sedih ke kisah sedih lainnya. Kesepian adalah masalah terbesar manusia yang hingga mati tak dapat terpecahkan misterinya. Rosa tersenyum getir ketika beberapa larik sinar pagi menerobos jendela, ruang putih itu benderang. Ia menatap takzim suasana di balik jendela,  melihat sekumpulan awan yang bergerak menutupi kota. Ia membenci pagi, seperti ia juga membenci segala yang berwarna merah atau biru.

                ***       
           
Bagi Billy, Rosa adalah mimpi buruk, wanita bermata api yang berhasrat membakar apa saja.

Andai saja membunuh dan bunuh diri itu dihalalkan, barangkali ia akan membunuh Rosa. Atau paling tidak ia akan membunuh dirinya sendiri. Tapi ia tak cukup memiliki keberanian untuk melakukan hal ini. Namun pikiran untuk mengakhiri hidup juga kembali berlintasan.

“Daripada bertahun-tahun tersiksa,” ujar Billy pada sahabatnya Daniel ketika bertemu warung kopi pinggir kota.

Billy mengeluhkan banyaknya pertengkaran yang harus terjadi di rumahnya akhir-akhir ini.

“Aku tak terkejut jika sikapmu berubah Billy. Jangan katakan aku penyebabnya. Seperti aku yang tak membawamu dalam masalah yang kini sedang kuhadapi,”  ujar Rosa.

“Faktanya kita telah bersama bertahun-tahun.” ujar Billy.

“Bersama? Apakah kamu tak salah omong?” ujar Rosa, nada bicaranya lebih mirip ejekan daripada pertanyaan.

“Bagaimana kamu bisa bertanya demikian?”

“Apa guna deretan buku di rak dan meja belajarmu, benda-benda yang kerap membuatmu lupa dengan kehadiranku. Sesekali memang tubuh kita berdekatan, bahkan begitu rapat, tangan kita pun pernah saling genggam. Namun yang kurasakan tidak demikian adanya. Pada akhirnya kita tetap sendiri, dengan prasangka dan fiksi atas hidup yang kita jalani. Ini bukan soal banyaknya hal yang kita rahasiakan, namun begitulah adanya. Kita tetap kesepian, tetap merasa sendiri. Dan sebuah pelukan, sebuah ciuman, atau tangan yang saling genggam akan sia-sia pada akhirnya.”

“Jadi benar dugaanku, meski telah bertahun-tahun tetap kamu tak bisa menerima kebersamaan kita?”

“Bukan soal menerima atau tidak menerima. Aku hanya menyampaikan sebuah fakta, bahwa kita tetap sendiri, itu saja.”

“Lalu tentang hubungan kita?”

“Hanya soal regenerasi, harus ada penerus yang tinggal di bumi, dan permainan tetap bisa dilanjutkan.”

“Selalu begitu?”

“Mungkin.”

Percakapan terhenti, ketika ada sebuah ketukan di pintu. Tak lama kemudian Billy meninggalkan rumah.

***

Hujan turun, seekor anak kucing menggigil di dekat pintu rumah yang tak berpenghuni. Rosa mengamati dari jendela dengan dagu berbantal dua tangan. Butir-butir hujan mengaburkan pandangan sehingga ia tidak bisa menangkap hal-hal yang lebih detail, misalnya bagaimana tubuh anak kucing itu menggigil hebat ketika bulu-bulunya basah.

“Sayang sekali aku tak bisa membawamu kemari. Billy tak akan pernah suka. Meski aku sangat menginginkannya,” ujar Rosa lirih.

Keterikatan Rosa dengan seekor kucing bukan hal baru. Tapi, sejak dokter Yadi yang gendut dan berkumis lebat itu mengatakan salah satu penyebab Rosa tak kunjung hamil anak adalah bulu kucing -- dan tentu ditambah semacam mitos lain-- maka Rosa pun mengalah dan terpaksa berpisah dengan candu psikologis masa kecilnya itu.

Rosa sempat memprotes, namun Dokter Yadi tentu tak mau disanggah. Ia mengurai panjang lebar unsur apa saja yang terkandung pada bulu kucing ( agar tampak ilmiah), lalu didukung beberapa fakta banyak pasien lain yang terlambat punya keturunan gara-gara memelihara kucing di rumahnya. Maka lengkaplah penderitaan Rosa. Sepulang kosultasi dengan Dokter Yadi, Billy tertawa penuh kemenangan. Dan Rosa diam, lalu terbaring. Tak lama kemudian terlelap.

***

Setelah kusampaikan beberapa hal kuharap kamu bisa memaklumi, kenapa Rosa merasa sendiri, lalu hendak bunuh diri. Rosa atau kamu juga kerap merasa sendiri bukan. Bahkan saat kita berpelukan, kamu tetap saja merasa kesepian. Kita adalah mahluk yang paling munafik. Begitu yang dikatakan Rosa di sebuah malam.

Ini semacam kegilaan. Dan kita tak berdaya. Kita tak kuasa untuk merubahnya. Barangkali saja sesekali kamu sungguh-sungguh lupa dengan kesedihanmu? Tapi berapa lama kamu sanggup bertahan dalam kenyamanan semacam itu. Semua segera berganti, dan jika kita kalkulasi, lebih banyak kisah sedih yang kita alami bukan? Meski selalu disembunyikan, lalu kita akan mengatakan baik-baik saja, sehat  kepada setiap teman dan kolega.

Mari kita lupakan kerumitan yang melanda hidup Rosa. Dan aku hanya berniat membantu, memenuhi harapan terakhirnya. Sudahlah, mari kita tengok hidup kita. Sejenak saja.  Dan kupastikan, kamu juga sedang mengalami beberapa hal yang mungkin mirip dengan apa yang dialami Rosa.

Oke, baiklah. Biarkan saja. Mungkin itu tidak penting. Sekarang jalani saja hidupmu. Dengan caramu. Lupakan semua ceritaku. Berbuat baiklah. Karena berbuat baik, betapapun pura-puranya akan tetap ada manfaatnya daripada kamu berkeluhkesah. Jangan takut. Kamu boleh juga berbuat sebaliknya. Maaf, sebenarnya Rosa tak mati karena bunuh diri. Namun kupastikan ia telah menemukan Rosa lain, Rosa yang selalu ia rindukan, yang tak pelu takut atau malu-malu.

Bandar Lampung, Februari 2013


Lampung Post, Minggu, 2 Juni 2013

No comments:

Post a Comment