Sunday, June 30, 2013

Mayat-Mayat Dari Lubang Gunung

Cerpen Ganda Pekasih


KABUT di kaki gunung itu mulai tersibak, keping keping sawah tercetak indah seperti harapan, sungai jernih mengalir di antara lembah bukit dan pagi menampakkan keindahannya, memacu gairah bagi ratusan Gurandil mulai membuka pintu pintu lubang di perut gunung itu seperti semut semut hutan yang memasuki sarangnya.

Mereka orang orang dari sekitar desa desa di kaki gunung itu, dengan hanya membawa linggis, cangkul, mencari urat emas. Sore hari mereka memanggul karung karung berisi kerikil, memecahkannya menjadi pasir yang lalu dipisahkan lagi dengan mercuri untuk mendapatkan satu atau dua gram emas layaknya memisahkan nasib dari kemiskinan, tapi tak jarang karung karung itu akan berisi mayat dari kawan kawan mereka yang mati tertimpa reruntuhan lubang yang mereka gali sendiri.

Mereka menggali tak memperhitungkan maut yang bersembunyi seperti hantu, lubang dibuat seadanya tanpa pengaman, berbeda dengan perusahaan resmi yang juga mencari keuntungan di perut gunung itu, kadang terowongan bisa menembus areal terlarang, dan itu bisa memicu konflik. Lubang lubang para Gurandil pun harus ditutup, tapi mereka akan membuka lubang yang baru lagi.

Lelaki berperawakan tinggi besar itu termenung di pinggir nyala api dari tumpukan kayu yang dibakar, dia sedang tak bersemangat, sudah beberapa bulan ini dia lebih banyak rugi, tak ada penggali yang beruntung untuk diperdaya oleh kelicikannya. Entah kenapa para penggali lama tak menemukan urat emas yang membuat mereka mendadak untung belasan juta rupiah dalam sehari.

Muncul di kesunyian itu seorang lelaki, Sarban, bayangan tubuh kurusnya tercetak di antara lidah api dan bulan yang bersinar, lelaki tinggi besar itu seperti mendengar suara detak jantung Sarban yang berdegup kencang karena berlari jauh, itu mungkin juga dikarenakan sebuah temuan, pikirnya, tapi rasanya tidak, mungkin dia mau meminjam uang lagi, hutang kelompoknya sudah menumpuk, tiap hari cuma membawa satu dua karung berisi kerikil, butuh proses lama untuk mendapatkan satu gram emas, tagihan tak bisa lunas sementara hutang baru mengejar seperti mimpi buruk. Sudah lama tak ada temuan menyilaukan mata yang menghebohkan, nasib baik jarang memihak mereka, sementara pengolahan resmi mempunyai cara yang hebat untuk menemukan kilauan itu.

“Sarban, ke sini!” pinta lelaki itu.

Sarban mendekat dan berdiri di depan perapian, menghadap lelaki tinggi besar itu yang baginya seorang manusia pencekik leher, dia memodali mereka menggali, tapi semua penghasilan para Gurandil dia yang lebih banyak untung,  seenaknya dia memberi harga untuk segram emas yang sudah terpisah dari pasir yang semula hanya berisi sekarung penuh.

Orang ini tak bisa  lagi membantu disaat genting, pikir Sarban, dia rentenir tak bisa dipercaya dan keji, dia akan menyesal dan aku akan membalas kelakuannya selama ini. Sarban sudah menghitung urat emas yang ditemukannya, paling sedikit lima belas juta rupiah akan dia terima, dan cukup dalam empat karung saja yang akan dia keluarkan dari lubang itu, tapi orang ini pasti menekan harga yang jauh dari pantas jika dia tawarkan sebelumnya, dan sekarang dia cuma akan mendapatkan bagian untuk dibalas.

Sarban akan menipu si Licik ini dengan meminta 50 persen dimuka. Gunung yang kaya ini milik leluhurnya, sebelum emas ditemukan mereka turun temurun hidup damai berladang dan bertani yang hasilnya melimpah, sekarang orang orang datang entah darimana saja, modal deras masuk bersama barang barang hiburan dan nimuman keras. Gunung tak sejuk lagi tapi bopeng bopeng disesaki kejam kehidupan.  Rentenir, buruh angkut, tukang pukul, pembuka lubang bergumul saling sikut, saling injak.

“Hei Gurandil, bicaralah, jangan seperti Anjing Kurap menunggu tulang!”

Sarban geram dipanggil Anjing Kurap, tapi begitulah cukong, mereka penguasa yang punya uang untuk modal menggali, tidak menggali tidak  dapat emas, tak dapat emas akan mati kelaparan. Mereka menghisap kekayaan segram demi segram dari gunung leluhur kami, mereka tahu perut gunung banyak menyimpan emas, caranya dengan menggali, dan Gurandil harus bekerja kesetanan.  Mereka sering berkata, kita berpacu dengan waktu, tak mau semua emas habis diraup perusahaan resmi yang dananya dibantu luar negeri,  membuat Gurandil bersemangat. Sementara cukong menjadikan mereka budak yang kakinya dirantai belitan hutang. 

Sarban menjatuhkan linggisnya, si Tinggi Besar berwajah kejam itu  mendekatinya. Mereka berhadapan dalam cahaya api unggun yang melemah walau ditiup angin karena tak ada kayu yang dosorongkan lagi. Sarban memperhatikan mata lelaki itu, yang biasa mengabarkan kenaikan harga mercuri dengan tiba tiba, segram emas menjadi setengah gram emas dengan culas, Sarban tahu orang didepannya tak akan memberikannya  sepuluh atau lima belas juta rupiah malam ini, tapi dia tak boleh melihat urat emas itu, ini hanya sebagai pancingan bahwa karung karung berisi urat emas yang sudah diraup akan dikirim ke pengolahan miliknya karena lokasinya paling dekat dengan lubang itu.

Tiba tiba lelaki itu tertawa lebar. “Berapa karung?” katanya memancing dan dia memang jagoan dalam permainan ini.

Sarban mencoba tersenyum. “Paling banyak empat.”

Dan lelaki itu tambah kuat tertawa.

“Bawa cepat ke tempatku, aku beri sepuluh  persen sekarang, jarang aku berbaik hati seperti malam ini bukan?”

Tanpa menunggu persetujuan Sarban lelaki itu mengeluarkan uang sejuta lima ratus ribu rupiah dari kantungnya dan menyodorkannya.

“Cepat kau antarkan, sisanya nanti setelah semua urat emas itu kuteliti.”

Sarban merasa akhirnya kemenangan besar berpihak padanya malam ini, dan dia akan dikenang dengan keberanian sekaligus kemampuannya membuat sebuah karya yang akan menjadi legenda di gunung ini.  Dengan uang yang diterimanya itu kemudian dia pun berlari.

Sarban meruntuhkan pengaman lubang yang dipasang pengolahan resmi yang sudah membeli urat emas itu lebih dulu, lalu mulai memanggul karung pertama dari mulut gorong gorong, hanya pengolahan milik lelaki culas itu yang paling dekat. Dia tak ingin meruntuhkan dinding dinding lobang yang memang mudah runtuh karena lubang yang dibuat Gurandil seadanya tanpa alat pengaman.

Di dalam gorong-gorong itu sebelumnya mereka bertarung dengan maut seperti yang sudah sering dia jalani,  dan maut acapkali yang sering memenangkan pertarungan.  Sarban tak ingin rekan rekannya terkubur selamanya di sana. Urat urat emas itu sebenarnya sudah terkumpul dalam 4 karung besar sejak sore tadi, Sarban pun sudah lebih dulu mengangkutnya ke luar dan dibayar dua belas juta rupiah. Isi karung karung itu sudah diteliti oleh perusahaan resmi, mereka pun sudah membayarnya, itu sudah terlalu istimewa karena biasanya mereka malah lebih sering merampok temuan Gurandil dengan mengklaim lubang galian masuk wilayah mereka. Urat emas yang ditemukan Sarban berikut alirannya yang tersisa kini sudah jadi milik mereka,  bayaran untuk teman temannya jadi urusan Sarban karena dia ketua kelompok.

Karung pertama yang berisi mayat salah satu rekannya sudah sampai di pengolahan milik si Culas, dia ada di sana, memperhatikannya dari atas bukit, dan itu sudah diduga Sarban, Sarban kini berpacu dengan waktu, beruntung dia karena lelaki itu tidak segera memeriksa isi karung, dia hanya memperhatikan dari kejauhan. Tapi Sarban tahu, pada karung yang ke empat lelaki itu pasti akan memeriksanya, dan jika dia ketahuan bohong, maka nyawa taruhannya.

Sarban kembali harus mengeluarkan karung karung berisi mayat teman temannya, dia ingin mereka dikubur dengan layak sebagai penghormatan terakhir, mereka tidak boleh membusuk di lubang galian itu. Uang telah di dapat dan dendam mereka semua kepada orang orang seperti si Culas akan tuntas.

Karung yang ke empat Sarban tak menggotongnya ke pengolahan si Culas, dia hanya meletakkannya di depan mulut lubang, lalu dia meruntuhkan jalur tengah lubang agar orang orang mengira ada yang terkubur di ujung galian sehingga  dia punya banyak waktu pergi sejauh mungkin,  orang orang perusahaan resmi pasti tahu Sarban yang melakukannya setelah Mayat mayat itu dikenali, tapi Sarban yakin mereka akan membiarkannya dan menjaga rahasia walau untuk beberapa jam ke depan karena mereka tak suka berurusan dengan aparat yang juga sama sama culas di area ini.

Sebelum subuh nanti dia sudah harus sampai sejauh mungkin dari gunung ini, dengan kereta pertama yang berangkat dari stasiun tua itu dia akan melarikan diri ke kota impiannya.

Si Culas tak sabar menanti karung ke empat yang dibawa Sarban, dia sudah membawa senter untuk memeriksa karung karung itu, dia menyesal telah memberikan Sarban uang muka, walau itu terlalu kecil jika dibandingkan temuan urat emas yang selama ini tak pernah kurang dari limabelas juta rupiah bersih. Reaksi dari keterkejutannya bahwa akhirnya ada Gurandil yang menemukan urat emas yang makin sulit ditemukan akhir akhir ini membuatnya cepat cepat merogoh saku dengan mudah.

Dia cepat membuka karung pertama yang menyadarkannya bahwa karung itu bentuknya terlihat aneh, seperti bukan berisi batu kerikil apalagi pasir. Dan ketika ikatan karung itu terlepas, sesosok kepala berlumuran darah jatuh ke bawah kakinya. Lelaki ini, walau sudah biasa melihat mayat mayat Gurandil yang dikeluarkan dari lubang galian yang runtuh tak bisa menahan keterkejutannya.  Dia segera meradang dan berteriak tereak seakan ingin membangunkan siapa saja yang ada di gunung itu, memuntahkan makian dan cacian cacian keji bahwa ada orang yang telah begitu berani menipunya.

Sarban kini sudah punya cukup uang memulai kehidupan baru, mimpi yang sudah lama ingin diraihnya. Tiga belas juta limaratus ribu rupiah termasuk uang dari si licik itu, bahwa dia tak akan kembali ke gunung yang perutnya mengandung urat urat emas yang baginya adalah kutukan, puluhan bahkan ratusan tetangga tetangga kampungnya telah bercerai berai, mati di tengah reruntuhan, atau mati mabuk minuman keras setelah mendapat urat emas.

Kereta api Sarban melaju, berpacu dengan waktu, keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuhnya, tapi dia merasakan sebuah ketenangan luar biasa karena semua rencananya telah berjalan sempurna.
Beberapa rekan Sarban rupanya menyusul dari gerbong belakang,  Sarban terkejut melihat kehadiran mereka, bukankah mereka telah jadi mayat dan ada di dalam karung karung yang terikat itu? Yang telah dia jual ke Cukong Culas yang ternyata begitu mudah tertipu dan akan jadi tertuduh pertama.

Poleng lebih dulu membunuh Jafar tengah malam tadi, dia sendiri bertugas membunuh Woko yang gempal, lalu tanpa setahu Poleng diam diam Sarban menghabisinya. Sarban sengaja mengkhianati Poleng,  merampas rencana pertama mereka yang tadinya akan membagi dua uang itu.

Bersukur mereka masih hidup? Orang yang duduk di sebelah bangku yang diduduki Sarban juga membisu dengan linggis dan pahat di tangannya. Sarban merasa ia menaiki kereta yang salah, ini mungkin kereta yang suka diceritakan orang orang, para penggali pendatang dari daerah lain yang mati di gunung suka kembali ke kampungnya dengan naik  kereta dari stasiun tua.

Tapi mengingat orang orang perusahaan resmi adalah yang paling serakah, bak robot yang dihidupkan untuk menembus perut gunung dengan kekuatan laksana monster, dia tersentak. Mereka juga yang  menyebabkan banyak kematian Gurandil dengan meruntuhkan lubang lubang ilegal, mereka pembunuh culas penghisap isi perut gunung sebanyak mungkin, bahkan sering merampok temuan para Gurandil.  Kengerian menyantakkan Sarban ke dalam kesedihan aneh, impiannya tiba tiba terasa memudar seperti kabut.  Sarban ragu dirinya masih hidup.

Kereta terus melaju seperti menuju lorong kegelapan, wajah wajah mereka semua pucat dan  tergugu dalam gerbong hitam berkarat karat.  Tapi Sarban masih merasa yakin akan tiba di kota impiannya, untuk memulai kehidupan baru, entah kalau kepergiannya kali ini bersama teman temannya adalah sebuah mimpi buruk, bahwa dirinya adalah bagian dari sekumpulan mayat mayat dari lubang lubang gunung yang terkutuk. n
          

Lampung Post, Minggu, 30 Juni 2013

No comments:

Post a Comment