Sunday, June 16, 2013

Anak Ibu (4)

Cerpen Benny Arnas

DI RUMAH mentereng tiga lantai tersebut, mereka berkumpul. Tentu saja bukan untuk mengagumi susunan ubin mengilap yang diimpor dari Turki, bukan juga untuk mengagumi lampu gantung kristal dari Ceko yang meliuk sepanjang dua meter dengan seratus lilin yang menyertai, bukan juga untuk melihat-melihat koleksi BMW limited edition di garasi seluas lapangan voli, dan yang pastinya juga bukan untuk menjaga tali silaturahim mereka: lima saudara yang kesemuanya laki-laki dengan pekerjaan mapan dan bisnis menjanjikan, dengan istri yang cantik dan pandai bergaya, dengan anak yang diatur pergaulannya …. Lima laki-laki itu, kesemuanya, sudah lebih dua puluh lima tahun tidak pulang ke kampung halaman.

Bukan lantaran laki-laki itu paling kaya hingga saudara-saudaranya berkumpul di sana, bukan! Ya, keempat adiknya tak kalah jaya darinya (Ah, tak usah diceritakan sebanyak apa harta mereka—baik yang tampak ataupun tidak). Namun lantaran ia anak sulung. Itu saja. Mereka, mau tidak mau, harus segera berkumpul pagi itu demi membicarakan bagaimana menanggapi kematian Sang Ibu. Mereka pun menetapkan berapa malam pembacaan yaasin akan dilangsungkan, berapa banyak perkumpulan pengajian yang perlu diundang untuk membacanya, berapa isi amplop yang akan dibagikan kepada mereka …. Mereka pun bersepakat untuk meninggalkan pekerjaan dan anak-istri selama sepekan (Bahkan sebelum Sang Ibu ditanam, mereka tidak menyilakan anak-istri melihatnya seolah hal itu akan menodai kejayaan yang mereka). 

“Setelah ini, kita mungkin hanya menjenguk pusaranya bila Hari Raya akan tiba,” ujar Si Sulung, dan diiyakan saudara-saudaranya yang lain.

Mereka terbang ke kampung halaman menggunakan pesawat dari maskapai lokal. Setiba di sana, mereka memutuskan menyewa mobil. Setiap mereka menyewa satu mobil. Bukan untuk satu, tapi tujuh hari. Mereka ingin semua orang kampung tahu kalau anak-anak Sang Ibu telah sukses.

“Jadi, sudah sepakat ya, kita mengundang semua perkumpulan pengajian yang ada di sini?” tanya Si Bungsu ketika mereka menuruni tangga pesawat.

“Paling lima ratus orang. Sampai seribu pun tak masalah. Tinggal sewa tenda,” ujar Si Nomor Dua dengan pongah.

“Isi amplopnya lima puluh ribu. Selama tujuh hari,” celetuk Si Nomor Empat memastikan.

“Khusus hari ketiga dan ketujuh, kita kasih seratus ribu. Menunya pun harus lebih beragam, lebih mahal, dan lebih enak.” Kali ini Si Sulung tak mau kalah.

“Orang kampung pasti akan datang berbondong-bondong karena dapat amplop dan makan enak. Bahkan di hari ketujuh, aku sudah mengontak manager ustaz yang sering tampil di TV untuk ceramah!” ujar Si Nomor Tiga penuh semangat sembari menyebutkan nama ustaz yang dimaksud.

Lalu tawa pun pecah, berhamburan, dan terbang berserakan di langit yang berlapis-lapis.

*

SEPULANG salat subuh di masjid, perempuan tua yang lebih dikenal dengan panggilan Ummi itu (bahkan, anak-anaknya pun tidak memanggilnya “Ummi”) kembali ke kamarnya yang sunyi. Biasanya, ia langsung mencangking Quran di lemari depan lalu membacanya dengan suara yang lirih di kursi rotan tak jauh dari jendela. Ia membacanya hingga matahari bulat sempurna di batas pagi. Namun subuh itu ia bahkan tidak meraih kitab itu, tapi langsung rebahan di kasurnya yang kempes dan usang. Kedua tangannya bersedekap. Seolah sudah melatih otot bibirnya sejak lama, sembari memejamkan mata ia menyunggingkan senyum paling indah. Ia memang akan menyambut Izrail dengan cara yang berbeda; dengan sukacita.

Sungguh, ia tidak pernah diminta dipanggil Ummi. Namun orang-orang kampung dan sekitarnya seperti merasa lebih nyaman dengan memanggilnya seperti itu, seolah sebutan itu begitu mulia, seolah kemuliaan itu sangat tepat tersemat padanya. Bersama seorang khadimah (pembantu) perempuan yang sudah ia anggap keluarga, Ummi selalu shalat di masjid. Saban petang, ia rajin membagikan apa pun yang dimasak kepada para tetangga. Tidak banyak memang. Namun orang-orang bagai bersicepat menyambutnya seolah-olah apa-apa yang datang darinya adalah keberkahan. Ummi juga selalu membawa penganan bila masjid mengadakan mauludan, tadarusan, pengajian bulanan, atau buka puasa Pesantren Ramadhan.

Setiap pagi Ahad, Ummi seolah punya agenda sendiri; bertandang ke rumah-rumah penduduk hingga zuhur tiba. Bayangkan, di usia delapan puluh tahun, ia mampu mengunjungi hingga tiga puluh rumah setiap pekan. Maka, saban orang-orang menanyakan rahasia kebugarannya, ia menyebutkan apa yang ia lakukan itu sebagai jawabannya.

Silaturahim bukan hanya memanjangkan usia, tapi memberi berkah pada usia yang panjang itu, begitu ujarnya seraya memamerkan gigi-giginya yang jarang.

Tanpa selebaran, pengumuman, dan iklan di suratkabar, keelokan tabiat Ummi menyebar ke mana-mana. Awalnya hanya seantero kampung. Lalu dari mulut ke mulut, dari kerumunan ke kerumunan, dari persinggahan demi persinggahan, Ummi dikenal hingga ke kampung-kampung tetangga, kota-kota terdekat. Ummi bagai menjelma permata dengan rambahan kilau tak terbatas. Orang-orang pun kerap bertandang ke rumahnya. Bukan untuk meminta nasihat karena ia pasti takkan melayani, tapi hanya ingin menjumpainya. Awalnya, orang-orang—baik penduduk sekitar maupun datangan—kerap bertanya keberadaan anak-anaknya. Namun karena Ummi selalu menjawab dengan airmata menggenang, maka mereka tak pernah mengungkit-ungkitnya. Ya, membuat sedih seorang berhati malaikat adalah sebuah kesalahan, dan kesalahan selalu menjadi cikal-bakal dosa.

Ah, tak ada yang tahu betapa hati Ummi retak setiap mengingat kelima anaknya. Ummi membesarkan mereka dengan hasil ladang yang waktu demi waktu tergadaikan bahkan melayang ke tangan orang lain. Untunglah beberapa dari mereka tak tega mengambil alih ladang-ladang itu, hingga akhirnya Ummi bisa hidup darinya, dari kejujuran orang-orang upahan yang menggarapnya. Ah, siapa pula yang sudi mengakali seorang yang wajahnya selalu ruah oleh cahaya?

*

TIGA ratus meter menjelang rumah duka, mobil kelima laki-laki itu tidak bisa melaju. Mereka menyaksikan lautan manusia membanjiri jalan. Ratusan kendaraan parkir di setiap tempat yang lowong. Tak lama setelah mobil menepi, mereka berkumpul di bawah pohon yang paling besar di sana.

“Ternyata demonstrasi pun sudah terjadi di kampung-kampung,” ujar Si Sulung sambil nyengir.

“Benarkah?” tanya Si Bungsu. “Jangan-jangan ada kecelakaan hebat? Truk lawan truk mungkin? Atau jembatan rubuh?”

“Ah, tak ada jembatan di sini! Masak sudah lupa!” sanggah Si Nomor Tiga. “Jangan-jangan ada orang kaya dekat sini yang sedang bagi-bagi sembako!” Lalu ia terkekeh-kekeh.

“Sudah, sudah!” sergah Si Nomor Dua sambil mengibaskan tangan. “Coba kautanyakan ke salah seorang dari mereka,” perintahnya pada Si Bungsu sambil menunjuk kerumunan yang paling dekat dari mereka.

O o, cukup lama terpekur Si Bungsu usai mendengar jawaban salah seorang dari kerumunan. Untung saja panggilan dari saudara-saudaranya menyadarkannya.

“Sebelum meninggal Ibu berpesan, kalau ia meninggal di subuh hari dan sampai zuhur anak-anaknya belum tiba, ia minta segera dikuburkan saja!” lapornya dengan wajah yang tiba-tiba memias.

“Lalu apa hubungannya dengan kerumunan itu?” tanya Si Sulung.

“Mereka semua adalah pelayat, Bang!” jawabnya.

“Pelayat?!” Seru keempat kakaknya seolah tak percaya.

“Ya. Sekarang mayat Ibu sedang berada di masjid terbesar kampung. Usai zuhur barusan, mayat Ibu langsung dishalatkan. Jamaahnya melebihi shalat idul fitri. Dan lautan manusia itu sekarang ingin mengantar jenazah Ibu ke permakaman.”

Lalu mereka terdiam. Tentu, bukan memikirkan berapa banyak rupiah yang harus dibayarkan kepada pelayat karena mereka semua memang takkan mau dibayar, bukan memikirkan menu perayaan kematian karena sumbangan dari orang-orang yang ratusan mobilnya terparkir di sepanjang tepian jalan sudah lebih dari cukup, dan bukan juga memikirkan sampai hari keberapa pembacaan yaasin akan dihelat karena sepertinya hingga hari yang keempatpuluh pun rumah duka belum akan sepi pelayat. Mereka terdiam karena aliran darah bagai ditotok tiba-tiba, jantung yang kehilangan ritme degupnya, keringat mengucur dari sekujur tubuh, dan bibir yang menggigil tak kuasa mengeluarkan sepatah kata pun.

Mereka naik ke mobil. Memutar balik setir. Tak ada yang bersuara, termasuk tawa yang sudah dipersiapkan sedari tadi untuk menyala. Dalam hati, masing-masing berharap masih tersisa tiket penerbangan terakhir hari itu. Mereka benar-benar tak habir pikir, bagaimana mungkin Sang Ibu menjelma sehebat itu, bagaimana mungkin Sang Ibu, dalam sekejap, menyihir mereka dan kejayaan yang yang susah payah diraih menjadi debu, tak ada harganya. n

Berendo, 28 Juli 2012


Lampung Post, Minggu, 16 Juni 2013

No comments:

Post a Comment