Sunday, June 9, 2013

Ujian Prabasiwi

Cerpen Tarpin A. Nasri


NJANUR gunung! Edan! Seperti disambar geledek di siang hari bolong! Itulah kata yang paling tepat ketika istriku—Prabasiwi Dyah Wahyuning  Kinasih—menyuruhku menikah lagi. Jangankan dipoligami, mendengar—apalagi sampai  tahu—suami punya pacar, punya selingkuhan atau punya wanita idaman lain saja, biasanya istri sudah mecucu alias cemberut, makanan dibuat tidak enak dan disajikan tidak menarik, bicara ketus,  di tempat tidur tubuh sebeku es,  badan disentuh tangan ditepis,  tidur dipunggungi, ketika hasrat batin membuncah istri meradang: stop pelayanan!  Bahkan tidak sedikit istri yang pundung  sampai dengan yang paling sangar dan tragis: bratayudha. 

"Lha ini aku koq disuruh menikah lagi? Ada apa gerangan denganmu, Siwi?"

Oleh karena itu, ketika ada waktu yang pas untuk bicara, aku mendekati istriku yang sudah memberiku si Ganteng—Galih Galindra Prabu Wisesa,  dan si Cantik—Gendhis Cantika Puspitaningtyas.

“Jadi tidak saat liburan sekolah anak-anak nanti, kita bulan madu ke Kaliurang, Cinta?” tanyaku kepada Siwi, yang lagi asyik membaca majalah wanita ternama terbitan Ibu Kota.

Honeymoon itu ya cocoknya dengan istri baru atau istri muda,”  jawab istriku mulai nyleneh lagi. “Bulan madu koq karo bojo sing wis tuwo, ya tidak serulah, Mas. Tidak romantis gitu lho," lanjutnya.

“Maksudmu gimana sih, Sayang?” tanyaku iseng. Aku tak mau terpancing.

“Kalau Mas mau menikah lagi, silahkan, dan kuikhlaskan lho, Mas,” jawabnya dengan tegas. “Punya istri lebih dari satu dibolehkan koq oleh agama kita, bahkan bisa sampai empat orang istri….”  lanjutnya dengan antusias,  yang langsung kusambar,

“Asalkan sang Suami bisa bersifat adil kan? Dan Mas terkasihnya Siwi ini, terus terang wae, belum tentu bisa bersifat adil. Dari pada tidak sanggup bersifat adil, lebih baik cukup beristri satu! Ingat itu! Jadi tidak asal poligami!”

“Nabi Ibrahim AS, Nabi Dawud AS, dan Nabi Sulaeman AS beristri lebih dari satu, demikian pula dengan Junjungan Kita Nabi Besar Muhammad SAW beristri empat, kenapa kita umat yang mengimani ajaran-Nya tidak mau mengikuti sunnah-Nya?”  ujar istriku, yang membuat aku jadi tambah penasaran.

“Iya waktu itu kan poligami terjadi untuk kepentingan penyebaran agama, karenanya semua mendapat ridhoi Allah SWT, karena Para Beliau itu terbukti bisa bersikap adil. Lha untuk  tujuan apa aku sampai harus berpoligami?”

“Kan untuk menghindari selingkuh, menjaga punya wanita idaman lain, atau menghindari zina,” sambar istriku.

“Apa selama ini aku selingkuh? Apa selama ini aku punya wanita idaman lain? Apa aku telah berbuat zina, sehingga Siwi—istri dunia-akhiratku, sampai menyuruhku harus menikah lagi?”

“Siapa tahu Mas mau melaksanakan syariat agama, menjalankan sunnah rosul, atau punya keinginan untuk lebih menyebarkan syiar agama?” tantang istriku.

“Apa melaksanakan syariat agama dengan baik dan benar itu harus dengan poligami? Apa bukti menjalankan sunnah rosul itu harus dengan beristri lebih dari satu? Apa untuk menyiarkan agama harus dengan beristri dua, tiga atau sampai empat?!”  jawabku setengah meradang.

Istriku santai saja dengan jawabanku.

“Dikasih enak, dikasih nikmat dan dikasih izin sama istri koq  tak mau sih, Mas?” tanyanya sambil senyum. “Padahal laki-laki di luar rumah ini, diam-diam banyak yang punya pacar,  diam-diam banyak yang punya selingkuhan, diam-diam banyak yang punya wanita idaman lain, bahkan banyak yang diam-diam menikah lagi!”

“Aku tidak termasuk yang engkau sebutkan tadi kan, Kasih?” tanyaku.
Istriku tersenyum manis sekali.

“Makanya aku tawari, makanya aku persilahkan, makanya aku izinkan, Mas. Tidakkah kau tertarik dan terpikat untuk melakukannya, Arjunaku?”

“Jawaban suamimu jelas dan tegas: tidak! Ti-dak! T-i-d-a-k!” jawabku.

“Karena, sekali lagi, aku belum tentu bisa bersikap adil. Lebih baik dan lebih aman cukup satu istri,” lanjutku.

“Beristrikan Siwi saja belum tentu aku bisa membahagiakannya lahir-batin, belum tentu aku bisa mencukupi  sandangnya, pangannya, dan papannya,  belum lagi kemungkinan terjadinya perceraian yang menyebabkan anak-anak jadi korban.”

“Aku bahagia koq dengan menjadi istrimu, Romeoku,” jawab Siwi.

“Sandang, pangan, papan dan masa depanku sudah Mas siapkan  semuanya,  anak-anak sudah disiapkan beasiswa pendidikannya, bahkan mereka sudah punya deposito sendiri-sendiri,” lanjutnya.

“Makanya aku ingin menghormati dan berterimakasih untuk semua kebaikkan dan jaminan hidup yang Mas berikan dengan mempersilahkan, membolehkan dan mengizinkan Mas untuk menikah lagi. Di luar sana banyak wanita dan janda yang siap dinikahi lho, Mas. Kasihan jika sampai mereka jadi perawan tua dan telantar!”

“Lho lho lho….” jawabku.

“Koq  bicaranya semakin lama semakin ngaco sih?” lanjutku mulai cemas. 

“Kamu masih sadar kan, My Soulmate?”

“Insya Allah aku sadar, Ramaku,” jawabnya.

“Aku hanya takut tak mampu dan tak sanggup menjadi  istri yang baik dan sempurna dalam melayani dan membaktikan diri kepada suami yang telah membuat aku tak cuma bahagia, akan tetapi telah membuat  hidupku tenang, nyaman, damai, tentram dan sejahtera, Imamku.”

“Tidak ada yang kurang dari pelayanan dan baktimu kepada suamimu, Julietku,” ujarku. “Makanya tak terlintas sedikitpun di hati dan di pikiranku, untuk memiliki lebih dari satu, apalagi sampai punya empat istri!” lanjutku. “Bagiku satu istri cukup untuk selamanya, Dinda.”

Ketika istriku mangap mau bicara aku langsung mengatupkan mulutnya dengan kalimat yang membuatnya mingkem terkunci.

“Soal datangnya  mentruasi, atau sakit, atau sibuk ngurusi anak-anak, terus Siti Khadijahku  merasa terganggu melayani kebutuhan rohaniku, aku bisa menerimanya dengan tulus dan ikhlas, diantaranya bisa kuisi dengan menyibukkan diri dengan pekerjaanku,  atau dengan melukis yang menjadi hobiku, atau dengan meningkatkan ibadah melalui pengajian-pengajian. Jadi tidak ada masalah kan?!” ujarku membaca jalan pikiran dan isi hati garwo-ku.

“Ah yang benar….”  godanya.

“Jangan-jangan di laur sana….” lanjutnya tak tuntas, karena  langsung kupotong.

“Dijamin 100% di mataku, di pikiranku, di darahku, di napasku, di jantungku  dan di hatiku, hanya ada Prabasiwi Dyah Wahyuning Kinasih! Dan untuk semua itu aku berani bersumpah: demi  Tuhan! Demi Allah!” teriakku.

Istriku tersenyum, dan sikapnya santai saja.

“Tenang, Mas.  Tenang!  Te-nang! T-e-n-a-n-g! Tak usah teriak-teriak begitu. Santai saja. Dikasih kenikmatan koq malah marah-marah. Di luar sana banyak istri dan anak-anak yang jadi korban kekerasan, jadi korban penganiayaan, jadi korban penelantaran dan jadi korban perceraian oleh suaminya yang diam-diam punya pacar, punya selingkuhan, punya wanita idaman lain,  punya istri simpanan, atau karena poligami!”

“Makanya Mas-mu ini tidak mau begitu,” jawabku.

“Takut dirimu dan anak-anak yang jadi korban,” lanjutku. 

“Mas nanti yang malu sama tetangga, malu sama orang tua, malu sama masyarakat, malu sama agama, dan malu sama Tuhan! Lha wong belum bisa bersikap adil koq malah pecicilan dan bersemangat 45 untuk punya istri lebih dari satu! Apa pula nanti kata dunia?!”

“Kenapa harus malu, Mas?” tantangnya .“Kan aku setuju, mempersilahkan dan mengizinkan untuk itu?” lanjutnya. “Jadi harusnya tak ada masalah toh?”

“Tidak!” jawabku.

“Itu masalah buatku. Jangan-jangan aku malah terjebak, yakni niatnya mau melaksanakan syariat agama, demi menjalankan sunnah rosul atau untuk menghindari perzinahan, akan tetapi prakteknya malah menganiaya istri dan menyakiti anak-anak.  Jatuhnya nanti malah jadi fitnah!”

Dan tawaran untuk beristri lebih dari satu terus didengung-dengungkan oleh Siwi dalam setiap kesempatan, akan tetapi anehnya setelah  tawaran itu disampaikan, Siwi selalu mengakhirinya dengan sikap lemah lembut yang indah, penerapan kasih sayang yang mengguncangkan dan kemesraan di tempat tidur tanpa tanding, apalagi bila aku sudah sampai abang rai, gosong  kuping, gigi sudah gemeletuk dan tangan sudah terkepal.  Dengan sikap Siwi  yang seperti itu, ujung-ujungnya aku dibuat  terkapar dalam kepuasan tak terkisahkan, karena Siwi menerbangkan aku ke sorga dengan tuntas dan sangat sempurna.

“Jika sudah begini indah, nikmat, dan puasnya…” ujarku pada persetubuhan di akhir pertengkaran yang kesekian kalinya dengan tema poligami.

“Buat apa lagi aku harus punya istri lebih dari satu, Shintaku?” lanjutku sambil mencium kening dan kedua pipinya yang mandi keringat.

“Kan bisa lebih nikmat lagi dengan istri muda, Sayangku?”  jawabnya.

“Apalagi dia lebih cantik, bisa lebih hot dan digaransi lebih menggairahkan.”

“Itu berarti poligaminya untuk syahwat!” elakku. “Dan aku tidak mau munafik dengan berlindung di balik pembenaran itu!”

“Jadi gimana dengan tawaran Mama untuk  Papa berpoligami?”  tanyanya  dengan supermesra.

“Persetan dengan tawaran Mama itu!” jawabku. “Buat laki-laki lain silahkan saja melakukan poligami dengan beristri dua, tiga atau empat, biarlah pahala dan dosanya  ditanggung sendiri! Buatku— Jaka Sulaksana Tedjaningrat— cukup satu istri, yakni Siwi. Sekali lagi: Si-wi. S-i-w-i"

“Hanya Si-wi  ya, Pap?” tantang istriku sambil senyum.

“Ya! Ha-nya S-i-w-i, Mam!” tegasku mantap.

Selidik punya selidik, kenapa Siwi ngotot  menyuruhku untuk punya istri lebih dari satu, dikarenakan ketakutan.  Adik kandungnya punya istri lebih dari satu dan keluarganya berantakan, bahkan kini anak-anaknya ikut mBah-nya di Yogyakarta.  Dengan demikian aku telah lolos ujian kesetiaan Prabasiwi, yang memanfaatkan isu poligami yang kebetulan kini tengah menjadi trend.

Fakta yang kemudian kulihat di masyarakat, kebanyakkan praktek poligami tidak semata-mata demi melaksanakan syariat agama,  demi menjalankan sunnah rosul, atau demi menghindari perzinahan sebagaimana yang terjadi di zamannya Nabi Agung Muhammad SAW ataupun nabi-nabi sebelumnya, akan tetapi masih berkutat untuk memanjakan seekor belut agar bisa bladhas-bludhus  pada sepetak sawah sempit, sehingga menodai nawaitu atau semangat  mereka-mereka yang berpoligami murni untuk  melaksanakan syariat agama, untuk menjalankan sunnah rosul atau untuk menghindari perzinahan.

Braja Mulia-Braja Selebah-Lamtim, September 2012-April 2013.


Lampung Post, Minggu, 9 Juni 2013


No comments:

Post a Comment