Cerpen Teguh Affandi
BARULAH sekarang aku menyadari, karma dan pembalasan perbuatan salah tak perlu menunggu lama. Pembalasan bisa terjadi sesaat pasca-perbuatan merugikan. Sepertinya, Tuhan tanpa ragu menurunkan kegelisahan yang merajam perasaan. Ini pencurian pertamaku. Perut melilit bukan hanya membuat muka mengernyit lantaran lapar, tapi juga menyempitkan pikiran. Dalam kelaparan, rumah papan berlubang tiba-tiba dingin. Hayati lebih suka diam.
Hayati mengusulkan agar menjual rumah untuk menutup semua utang. Kulihat noktah ragu di wajah Hayati. Sebagai suami, aku terenyuh dan merasa gagal membahagiakannya. Tapi, bila rumah papan ini dijual, lantas akan tinggal di mana? Lebih susah mencari tempat tinggal daripada mencari uang. Hayati memakai daster, lehernya kurus, tulang belikat membentuk cekungan mirip tempat sabun.
Hayati mendesahkan putus asa. Utang terus menumpuk, berurusan dengan lintah darat berarti bermusuhan dengan waktu. Aku menyunggingkan senyum mencoba menenangkannya. Aku janji akan mencari pekerjaan di pasar meski aku sendiri tidak yakin. Rematik di pangkal pinggang menyiksa pedih dan hampir memensiunkanku sebagai kuli panggul.
Hayati bangkit dari tempat duduk menuju dapur, Hayati merebus daun singkong yang dipetik di pagar hidup kebun tetangga. Rebusan daun singkong itu akan kami makan dengan sambal dan nasi tak seberapa. Sambal? Apa pantas disebut sambal bila Hayati hanya menghaluskan cabai, garam, dan dua bawang merah?
“Aku pergi dulu.” Hayati di dapur tidak menyahut. Usai masak, Hayati akan ke rumah Bu Lurah, menawarkan bantuan apa saja. Bu Lurah sering menyuruh Hayati memasak, mencuci pakaian, bahkan menanam bunga di pekarangan. Apa saja asal halal, kata Hayati. Karena halal atau tidak halal sangat berefek besar.
Kondisi ekonomi semakin terjatuh ketika aku terjerat utang dengan Tarman si lintah darat. Entah bagaimana mulanya aku tertarik meminjam uang dengannya. Seingatku bermula saat masa masuk sekolah anakku. Aku membutuhkan uang untuk seragam dan segala kebutuhan sekolah. Tarman menawari uang enam ratus ribu dengan bunga nol persen.
Kuterima. Kubelanjakan. Tiga bulan berselang, aku berhasil menutup lubang utang itu. Tapi keberhasilan melewati lubang jarum lintah justru menjadi jurus pamungkas Tarman untuk terus menawariku utang. Tanpa disadari, setahun kemudian, aku tiba-tiba memiliki utang dalam jumlah yang begitu besar. Rasa-rasanya andai aku membungkuk di pasar, menjadi kuli panggul, berbulan-bulan sekali pun takkan berhasil menutup utang.
“Salimun, kamu kukasih tenggat sebulan lagi. Semua utang plus bunga harus lunas. Kalau tidak, rumahmu bisa kusita,” Tarman mengancamku kemarin.
Perkataan Tarman terus saja membayang di pikiran dan menggedor sanubari. Rasanya ingin terbang dan protes kepada Tuhan, memeras keringat hingga kering, membanting tulang hingga remuk kalau perlu. Banyak hal menjerat hingga aku seperti lelaki tanpa daya.
***
Pasar masih jauh di sana. Kakiku lemas. Tremor karena belum sarapan. Rematik merepotkan jalan. Keringatku sebesar biji jagung di sekujur badan. Ketiakku lengket dan bau. Apakah Tuhan mengerem roda kehidupanku hingga mandek di bagian bawah?
Aku duduk istirahat di bangku pinggir jalan. Bangku kayu di bawah pohon angsana. Riuh pasar terlihat, namun tampak begitu jauh dan susah dijangkau. Angin sepoi berdesir, terasa dingin saat membelai keringat. Kurasakan tenggorokan kering. Aku menoleh mencari sesuatu yang bisa membasahi dahaga tanpa harus membeli. Masjid! Rupa-rupanya aku duduk di depan masjid.
Biasanya ada galon air gratis yang disediakan takmir di serambi masjid. Atau kalau tidak aku bisa minum air keran. Jalanku tertatih.
Tak ada galon air gratis di serambi. Aku celingak-celinguk mencari. Mungkin takmir menempatkan galon minum gratis di tempat lain. Setelah kucari-cari tidak ada. Memang di masjid tidak menyediakan galon minum gratis. Apakah takmir masjid tak tahu ada orang dahaga yang butuh air minum?
Suasana masjid sepi di pagi hari. Hanya embusan dingin yang jauh lebih segar daripada suhu panas di luar bangunan masjid. Terpaksa aku menuju keran wudhu. Aku bisa minum sepuas dan sebanyak perut mampu menampung. Keran kuputar lancar. Air bersih deras mengalir. Tangan kubasuh, dinginnya air merasuk hingga ke dalam kulit. Begitu tenang. Wajah kusapu dengan air. Sejuk terasa. Kuisap air keran dalam-dalam. Tak kupedulikan air mentah, asal mampu mengusir dahaga dan memulihkan tenaga yang menguap sepanjang perjalanan dari rumah menuju pasar.
Setelah kenyang minum air keran, aku leyeh-leyeh di serambi masjid. Kulihat wanita beriasan tebal memboncengkan anak berseragam sekolah dengan motor matic. Aku ingat Hayati yang seharusnya hidup enak dan dimuliakan sebagai orang. Tapi lagi-lagi miskin lebih kejam menghajar dan membuatku menjadi orang penggerutu dan pengeluh nomor satu.
Kelebatan pikiran merasuk diam-diam. Mataku tertuju pada kotak amal dekat pintu. Kotak beroda tampak begitu memikat. Terasa ada panggilan dari dalam kotak tersebut. Tutupnya hanya diamankan dengan gembok tak dikunci. Gemboknya terbuka. Cat kayunya lusuh dan tampak tulisan ‘Mohon Diedarkan’ warna putih. Aku menangkap isyarat bahwa Tuhan menggiringku ke masjid ini untuk mengambil uang sedekah jamaah.
Aku mendekati kotak amal. Tanganku gemetar, tapi kuyakinkan bahwa semua takdir telah diatur Tuhan. Tuhan menjadikanku haus dan berhenti di bangku bawah angsana depan masjid, minum air keran, dan menerima sedekah orang di dalam kotak amal ini. Kotak amal ini diakadkan sebagai sedekah.
Kubuka gembok dan tutup kotak segera terbuka. Beberapa lembar uang rapi terlipat, sisanya seperti gundukan kertas tak beraturan. Mataku menangkap lembar warna merah dan biru, pecahan terbesar. Kubayangkan uang ini akan menyumpal mulut Tarman agar tidak lagi meneror keluargaku.
Tanganku tak lagi kikuk. Ada kepercayaan yang tumbuh dalam dada bahwa uang sedekah ini memang untuk orang-orang membutuhkan sepertiku. Tidak perlu terus-terusan uang sedekah masjid untuk mempercantik masjid yang memang sudah indah. Orang miskin punya hak atas setumpuk uang sedekah jamaah. Senyumku mengembang. Tanganku meraih semua isi uang dalam kotak amal. Kutata dan kuurutkan berdasarkan besar pecahan. Ada lima ratus ribu lebih sedikit. Ternyata jamaah masjid sekitar sini cukup loyal. Kumasukkan saku celana. Suasana masjid masih sepi, seperti memang dihadirkan untukku seorang.
Barulah ketika berdiri, segerombol ragu ramai-ramai berdemo di dadaku. Banyak suara mencemooh. Di antara banyak suara yang riuh mendengung di telinga, tiba-tiba seekor cicak jatuh tepat di kepalaku. “Plak!”
“Ya Robbi!” aku berteriak kaget. Seekor cicak melompat dari kepalaku ke lantai keramik dan seketika kabur di balik pintu.
Aku gegas pergi. Suara cemoohan makin kencang terdengar. Aku sudah terlanjur yakin bahwa ini jalan Tuhan menolongku. Saku celana penuh uang kotak amal. Di tepian pagar, aku sempat menoleh masjid dan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan.
“Sebaiknya aku ke pasar membeli makanan untuk Hayati dan anakku. Selanjutnya kukasih sisanya untuk Tarman, setidaknya bisa membuatnya adem.” Aku bergumam perlahan. Mataku membayangkan aneka penganan yang diam-diam kurindukan. Tiba-tiba seorang remaja naik motor yang knalpotnya dimodifikasi hingga menghasilan suara berisik hampir menabrakku.
“Hati-hati, Pak! Mau mati?”
Mati? Tidak mau aku mati sebelum aku memberi makan Hayati dengan makanan enak.
“Salimun, apa kamu mau mati sesaat setelah mencuri?” sebuah suara bertanya dekat telinga. Suaranya jelas terdengar, serupa narator sandiwara radio. Tak tampak orangnya namun begitu hidup di ruang dengar penyimak.
“Aku tidak mencuri. Ini pertolongan Tuhan,” jawabku.
“Salimun, Salimun! Tetaplah mencuri namanya bila mengambil tanpa izin,” suara gaib itu bernada semakin tinggi.
“Ini milik Tuhan. Dan ada di rumah Tuhan,” jawabku penuh pembenaran. “Aku hamba Tuhan yang membutuhkan pertolongan.” Sejujurnya aku mulai gelisah.
“Apa kamu sudah bicara kepada Tuhan, Salimun?”
Aku diam. Aku belum izin kepada Tuhan. Belum sempat kujelaskan, kulihat keributan dekat penjual buah di depan pasar. Beberapa orang mengeroyok pemuda bertato naga di lengan kiri.
“Ada apa, Bu?” tanyaku kepada seorang wanita yang membawa tas belanjaan penuh sayur dan dua butir kelapa utuh.
“Ada copet tertangkap. Biasa, Pak! Kalau penjahat tertangkap ada dua nasib menunggunya,” wanita itu memasukkan sekantung ayam potong ke dalam tas yang hampir muntah kepenuhan.
“Maksudnya?”
“Kalau tidak di penjara, ya mati dibakar massa. Untung ada polisi patroli. Kalau tidak, sudah mati dibakar itu copet!”
Sekonyong-konyong keringatku menderas. Tanganku gemetar.
“Kenapa wajahmu pucat sekali?” tanya wanita itu.
“Tidak apa-apa. Hanya masuk angin,” aku gegas pergi.
Pembalasan Tuhan sudah digelar. Aku diserang ketakutan paling menakutkan. Cicak jatuh di kepala, hampir ditabrak motor, kemudian ada suara protes di kepala. Tanda Tuhan terhampar. Tidak masalah aku tidak punya uang asal aku tidak mati terpanggang massa.
Aku kembali ke masjid mengembalikan uang kotak amal. Sepanjang perjalananku yang sedikit tergesa, aku menderas ampun.
Aku berada di halaman masjid. Debar perasaanku berdentum lebih keras daripada saat aku mencuri. Sekarang kurasakan semua mata tertuju kepadaku, melemparkan curiga, dan siap menerkam.
Aku berdiri di dekat pintu, kotak amal masih berada pada posisi sebelumnya. Kubuka dan kuletakkan semua uang ke dalam kotak seperti semula.
“Mohon ampun, ya Tuhan!”
Saat kututup kotak amal, tiba-tiba lelaki berbadan tinggi menyapaku mengagetkan.
“Kamu mau apa? Mencuri? Kamu pasti yang menguras kotak amal!”
Suaranya bagai halilintar menghentakkan telinga. Badannya begitu besar dan tampak begitu seram. Dia berjalan begitu pongah seperti harimau lapar mendekatiku yang kuyup oleh rasa takut. n
Lampung Post, Minggu, 12 April 2015
BARULAH sekarang aku menyadari, karma dan pembalasan perbuatan salah tak perlu menunggu lama. Pembalasan bisa terjadi sesaat pasca-perbuatan merugikan. Sepertinya, Tuhan tanpa ragu menurunkan kegelisahan yang merajam perasaan. Ini pencurian pertamaku. Perut melilit bukan hanya membuat muka mengernyit lantaran lapar, tapi juga menyempitkan pikiran. Dalam kelaparan, rumah papan berlubang tiba-tiba dingin. Hayati lebih suka diam.
Hayati mengusulkan agar menjual rumah untuk menutup semua utang. Kulihat noktah ragu di wajah Hayati. Sebagai suami, aku terenyuh dan merasa gagal membahagiakannya. Tapi, bila rumah papan ini dijual, lantas akan tinggal di mana? Lebih susah mencari tempat tinggal daripada mencari uang. Hayati memakai daster, lehernya kurus, tulang belikat membentuk cekungan mirip tempat sabun.
Hayati mendesahkan putus asa. Utang terus menumpuk, berurusan dengan lintah darat berarti bermusuhan dengan waktu. Aku menyunggingkan senyum mencoba menenangkannya. Aku janji akan mencari pekerjaan di pasar meski aku sendiri tidak yakin. Rematik di pangkal pinggang menyiksa pedih dan hampir memensiunkanku sebagai kuli panggul.
Hayati bangkit dari tempat duduk menuju dapur, Hayati merebus daun singkong yang dipetik di pagar hidup kebun tetangga. Rebusan daun singkong itu akan kami makan dengan sambal dan nasi tak seberapa. Sambal? Apa pantas disebut sambal bila Hayati hanya menghaluskan cabai, garam, dan dua bawang merah?
“Aku pergi dulu.” Hayati di dapur tidak menyahut. Usai masak, Hayati akan ke rumah Bu Lurah, menawarkan bantuan apa saja. Bu Lurah sering menyuruh Hayati memasak, mencuci pakaian, bahkan menanam bunga di pekarangan. Apa saja asal halal, kata Hayati. Karena halal atau tidak halal sangat berefek besar.
Kondisi ekonomi semakin terjatuh ketika aku terjerat utang dengan Tarman si lintah darat. Entah bagaimana mulanya aku tertarik meminjam uang dengannya. Seingatku bermula saat masa masuk sekolah anakku. Aku membutuhkan uang untuk seragam dan segala kebutuhan sekolah. Tarman menawari uang enam ratus ribu dengan bunga nol persen.
Kuterima. Kubelanjakan. Tiga bulan berselang, aku berhasil menutup lubang utang itu. Tapi keberhasilan melewati lubang jarum lintah justru menjadi jurus pamungkas Tarman untuk terus menawariku utang. Tanpa disadari, setahun kemudian, aku tiba-tiba memiliki utang dalam jumlah yang begitu besar. Rasa-rasanya andai aku membungkuk di pasar, menjadi kuli panggul, berbulan-bulan sekali pun takkan berhasil menutup utang.
“Salimun, kamu kukasih tenggat sebulan lagi. Semua utang plus bunga harus lunas. Kalau tidak, rumahmu bisa kusita,” Tarman mengancamku kemarin.
Perkataan Tarman terus saja membayang di pikiran dan menggedor sanubari. Rasanya ingin terbang dan protes kepada Tuhan, memeras keringat hingga kering, membanting tulang hingga remuk kalau perlu. Banyak hal menjerat hingga aku seperti lelaki tanpa daya.
***
Pasar masih jauh di sana. Kakiku lemas. Tremor karena belum sarapan. Rematik merepotkan jalan. Keringatku sebesar biji jagung di sekujur badan. Ketiakku lengket dan bau. Apakah Tuhan mengerem roda kehidupanku hingga mandek di bagian bawah?
Aku duduk istirahat di bangku pinggir jalan. Bangku kayu di bawah pohon angsana. Riuh pasar terlihat, namun tampak begitu jauh dan susah dijangkau. Angin sepoi berdesir, terasa dingin saat membelai keringat. Kurasakan tenggorokan kering. Aku menoleh mencari sesuatu yang bisa membasahi dahaga tanpa harus membeli. Masjid! Rupa-rupanya aku duduk di depan masjid.
Biasanya ada galon air gratis yang disediakan takmir di serambi masjid. Atau kalau tidak aku bisa minum air keran. Jalanku tertatih.
Tak ada galon air gratis di serambi. Aku celingak-celinguk mencari. Mungkin takmir menempatkan galon minum gratis di tempat lain. Setelah kucari-cari tidak ada. Memang di masjid tidak menyediakan galon minum gratis. Apakah takmir masjid tak tahu ada orang dahaga yang butuh air minum?
Suasana masjid sepi di pagi hari. Hanya embusan dingin yang jauh lebih segar daripada suhu panas di luar bangunan masjid. Terpaksa aku menuju keran wudhu. Aku bisa minum sepuas dan sebanyak perut mampu menampung. Keran kuputar lancar. Air bersih deras mengalir. Tangan kubasuh, dinginnya air merasuk hingga ke dalam kulit. Begitu tenang. Wajah kusapu dengan air. Sejuk terasa. Kuisap air keran dalam-dalam. Tak kupedulikan air mentah, asal mampu mengusir dahaga dan memulihkan tenaga yang menguap sepanjang perjalanan dari rumah menuju pasar.
Setelah kenyang minum air keran, aku leyeh-leyeh di serambi masjid. Kulihat wanita beriasan tebal memboncengkan anak berseragam sekolah dengan motor matic. Aku ingat Hayati yang seharusnya hidup enak dan dimuliakan sebagai orang. Tapi lagi-lagi miskin lebih kejam menghajar dan membuatku menjadi orang penggerutu dan pengeluh nomor satu.
Kelebatan pikiran merasuk diam-diam. Mataku tertuju pada kotak amal dekat pintu. Kotak beroda tampak begitu memikat. Terasa ada panggilan dari dalam kotak tersebut. Tutupnya hanya diamankan dengan gembok tak dikunci. Gemboknya terbuka. Cat kayunya lusuh dan tampak tulisan ‘Mohon Diedarkan’ warna putih. Aku menangkap isyarat bahwa Tuhan menggiringku ke masjid ini untuk mengambil uang sedekah jamaah.
Aku mendekati kotak amal. Tanganku gemetar, tapi kuyakinkan bahwa semua takdir telah diatur Tuhan. Tuhan menjadikanku haus dan berhenti di bangku bawah angsana depan masjid, minum air keran, dan menerima sedekah orang di dalam kotak amal ini. Kotak amal ini diakadkan sebagai sedekah.
Kubuka gembok dan tutup kotak segera terbuka. Beberapa lembar uang rapi terlipat, sisanya seperti gundukan kertas tak beraturan. Mataku menangkap lembar warna merah dan biru, pecahan terbesar. Kubayangkan uang ini akan menyumpal mulut Tarman agar tidak lagi meneror keluargaku.
Tanganku tak lagi kikuk. Ada kepercayaan yang tumbuh dalam dada bahwa uang sedekah ini memang untuk orang-orang membutuhkan sepertiku. Tidak perlu terus-terusan uang sedekah masjid untuk mempercantik masjid yang memang sudah indah. Orang miskin punya hak atas setumpuk uang sedekah jamaah. Senyumku mengembang. Tanganku meraih semua isi uang dalam kotak amal. Kutata dan kuurutkan berdasarkan besar pecahan. Ada lima ratus ribu lebih sedikit. Ternyata jamaah masjid sekitar sini cukup loyal. Kumasukkan saku celana. Suasana masjid masih sepi, seperti memang dihadirkan untukku seorang.
Barulah ketika berdiri, segerombol ragu ramai-ramai berdemo di dadaku. Banyak suara mencemooh. Di antara banyak suara yang riuh mendengung di telinga, tiba-tiba seekor cicak jatuh tepat di kepalaku. “Plak!”
“Ya Robbi!” aku berteriak kaget. Seekor cicak melompat dari kepalaku ke lantai keramik dan seketika kabur di balik pintu.
Aku gegas pergi. Suara cemoohan makin kencang terdengar. Aku sudah terlanjur yakin bahwa ini jalan Tuhan menolongku. Saku celana penuh uang kotak amal. Di tepian pagar, aku sempat menoleh masjid dan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan.
“Sebaiknya aku ke pasar membeli makanan untuk Hayati dan anakku. Selanjutnya kukasih sisanya untuk Tarman, setidaknya bisa membuatnya adem.” Aku bergumam perlahan. Mataku membayangkan aneka penganan yang diam-diam kurindukan. Tiba-tiba seorang remaja naik motor yang knalpotnya dimodifikasi hingga menghasilan suara berisik hampir menabrakku.
“Hati-hati, Pak! Mau mati?”
Mati? Tidak mau aku mati sebelum aku memberi makan Hayati dengan makanan enak.
“Salimun, apa kamu mau mati sesaat setelah mencuri?” sebuah suara bertanya dekat telinga. Suaranya jelas terdengar, serupa narator sandiwara radio. Tak tampak orangnya namun begitu hidup di ruang dengar penyimak.
“Aku tidak mencuri. Ini pertolongan Tuhan,” jawabku.
“Salimun, Salimun! Tetaplah mencuri namanya bila mengambil tanpa izin,” suara gaib itu bernada semakin tinggi.
“Ini milik Tuhan. Dan ada di rumah Tuhan,” jawabku penuh pembenaran. “Aku hamba Tuhan yang membutuhkan pertolongan.” Sejujurnya aku mulai gelisah.
“Apa kamu sudah bicara kepada Tuhan, Salimun?”
Aku diam. Aku belum izin kepada Tuhan. Belum sempat kujelaskan, kulihat keributan dekat penjual buah di depan pasar. Beberapa orang mengeroyok pemuda bertato naga di lengan kiri.
“Ada apa, Bu?” tanyaku kepada seorang wanita yang membawa tas belanjaan penuh sayur dan dua butir kelapa utuh.
“Ada copet tertangkap. Biasa, Pak! Kalau penjahat tertangkap ada dua nasib menunggunya,” wanita itu memasukkan sekantung ayam potong ke dalam tas yang hampir muntah kepenuhan.
“Maksudnya?”
“Kalau tidak di penjara, ya mati dibakar massa. Untung ada polisi patroli. Kalau tidak, sudah mati dibakar itu copet!”
Sekonyong-konyong keringatku menderas. Tanganku gemetar.
“Kenapa wajahmu pucat sekali?” tanya wanita itu.
“Tidak apa-apa. Hanya masuk angin,” aku gegas pergi.
Pembalasan Tuhan sudah digelar. Aku diserang ketakutan paling menakutkan. Cicak jatuh di kepala, hampir ditabrak motor, kemudian ada suara protes di kepala. Tanda Tuhan terhampar. Tidak masalah aku tidak punya uang asal aku tidak mati terpanggang massa.
Aku kembali ke masjid mengembalikan uang kotak amal. Sepanjang perjalananku yang sedikit tergesa, aku menderas ampun.
Aku berada di halaman masjid. Debar perasaanku berdentum lebih keras daripada saat aku mencuri. Sekarang kurasakan semua mata tertuju kepadaku, melemparkan curiga, dan siap menerkam.
Aku berdiri di dekat pintu, kotak amal masih berada pada posisi sebelumnya. Kubuka dan kuletakkan semua uang ke dalam kotak seperti semula.
“Mohon ampun, ya Tuhan!”
Saat kututup kotak amal, tiba-tiba lelaki berbadan tinggi menyapaku mengagetkan.
“Kamu mau apa? Mencuri? Kamu pasti yang menguras kotak amal!”
Suaranya bagai halilintar menghentakkan telinga. Badannya begitu besar dan tampak begitu seram. Dia berjalan begitu pongah seperti harimau lapar mendekatiku yang kuyup oleh rasa takut. n
Lampung Post, Minggu, 12 April 2015