Cerpen Wiriawan Rio
DI Pekon Tanjung ini tak ada yang tak kenal Tuyuk Darsan. Lelaki itu tinggi besar dengan sorot mata tajam dan kumis hitam lebat di atas bibirnya yang tebal. Ia jarang mengumbar senyum kecuali pada istrinya, Hj. Siti Aminah.
Darsan orang pertama yang mengubah belantara Way Palakia menjadi perkampungan. Ia berhasil menundukkan Serimol dan Siluman Lemawong yang sejak zaman Tumi menguasai sebagian besar kawasan gaib di daerah itu. Ia tak kecut menghadapi lawan-lawan yang mencoba menggeser patok tanahnya. Tak sedikit orang yang jauh-jauh datang ke rumahnya untuk meminta jampi dan arahan-arahan agar mendapat ilmu kanuragan atau sekadar mengambil hati sang tuan tanah yang memang dermawan.
Tuyuk Darsan tinggal di sebuah rumah panggung besar yang beranak tanggakan kayu kemit berjumlah lima tingkat. Jumlah tingkatan anak tangga ini katanya terilhami dari jumlah salat wajib yang harus dikerjakan setiap hari. Setelah kita menaiki tangga terakhir, kita segera mendapati lepau yang luas dengan kursi kayu panjang yang tidak dilapisi cat atau pernis. Kemudian di dekat meja tamu ada sebuah rak tempat menaruh kopi bubuk, gula aren, termos air panas, sendok dan juga beberapa gelas bersih.
Pada suatu ketika, Zainudin, perantau dari Blitar, datang ke rumah Tuyuk Darsan. Pria itu meminta supaya ia dapat dijadikan anak buah untuk mengurusi kebun lada. Pria itu menunjukkan selembar kulit macan beserta taring babi dan juga cangkul blitar sebagai tanda bahwa ia mampu mengurusi kebun lada yang luasnya berhektare-hektare. Tuyuk Darsan yang tidak suka dengan perlakuan Zainudin karena merasa ditantang ilmu kanuragannya, langsung naik pitam.
“Kik siwok yaddo siwok
Mak ngeba jadi biyas
Teduhmu nyak ji rinok
Kusani niku tiwas.”
Itulah kalimat yang diucapkan Tuyuk Darsan setelah kemarahannya memuncak. Lantas turunlah Tuyuk Darsan dari rumah panggungnya, segera ia cabut pedang yang ia selipkan di pinggang, lalu melompat ke atas pohon kantil sembari menari-narikan pedang yang sudah tak bersarung itu.
“Inji kehagamu? Teduhmu nyak ji merinok? Ha?”
Beberapa warga yang ikut menyaksikan langsung panik. Mereka ketakutan melihat Tuyuk Darsan yang hanya mengenakan sarung bugis hitam kotak-kotak tengah mengayun-ayunkan pedangnya di atas pohon kantil. Wajahnya seram, matanya merah nanar, dan kumis tebalnya semakin naik. Ia menggeram. Tapi untungnya itu tak berlangsung lama lantaran istrinya berlari keluar dengan tangan kiri memegangi sarung yang hampir melorot, dan tangan kanannya menggenggam rotan pemukul kasur berwarna gading sambil diacung-acungkan ke arah Tuyuk Darsan.
“Radu lagi Bang, radu!” teriak Hj. Siti Aminah sambil menangis.
Mendadak kemarahan Darsan mereda, seperti kemarau yang tiba-tiba diguyur hujan deras. Mungkin Darsan khawatir darah tinggi istrinya bakalan kambuh. Tapi yang terang, ia adalah suami yang sayang istri.
Zainudin? Tak usah ditanya lagi karena tubuhnya seperti teringgiling yang digencet besi. Dia meringkuk ketakutan sampai terkencing-kencing di lepau rumah panggung itu. Hingga akhirnya dia diamankan oleh Datuk Hamrawi, anak sulung Tuyuk Darsan.
Pendeknya, Zainudin diberi maaf oleh Tuyuk Darsan dan ia diberi kepercayaan mengurusi kebun kopi di Pekon Bawang Heni, di kaki Gunung Pesagi. Zainudin kemudian menikah dengan gadis dari Pekon Balak, Mislena namanya. Mereka dikaruniai satu anak. Edison namanya. Edison adalah sosok guru sederhana, berambut klimis belah tengah, dan senang berpergian menunggangi sepeda jengki hijau tua.
***
Takbir menggema. Saat itu pukul 11 malam dan Edison baru pulang dari pawai keliling kampung. Saat tiba di rumah, ia lantas mencari bapaknya. Tapi bapaknya tak ada. Ia bertemu emaknya dan perempuan berjilbab itu berkata bahwa si bapak pergi ke rumah Tuyuk Darsan. Tak lama Edison pun menyusul ke sana dengan mengayuh jengkinya.
Sesampainya Edison di halaman rumah Tuyuk Darsan, segera ia parkirkan si jengki di bawah pohon kantil. Dan saat hendak menaiki jan (anak tangga), saat itu pulalah ia dihadang seekor macan kumbang. Mata macan itu kuning menyala. Taringnya yang basah oleh air liur nampak semakin tajam. Edison takut bukan kepalang. Ia berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh menuju langgar yang jaraknya kurang lebih 600 meter dari rumah Tuyuk Darsan. Sesampainya di sana, ia menceritakannya pada warga yang sedang takbiran.
“Tidak mungkin lemawong di sini,” tanggap seorang warga.
“Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Sumpah!”
“Enggak mungkinlah, Son. TNBBS (Taman Nasional Bukit Barisan Selatan) itu jauh dari sini. Lagi pula mana ada macan kumbang di sini. Kalau yang loreng banyak. Foto-fotonya ada di stan Dinas Kehutanan tiap pameran ulang tahun Lampung Barat.”
Singkatnya, beberapa warga beserta Edison pergi ke sana dan mengecek kebenaran cerita itu.
Setelah warga sampai di sana, lemawong yang Edison ceritakan tak ada. Yang ada hanya jengki yang sedari tadi ngelamun di bawah pohon kantil.
“Dipa lemawong ni? Kalau kerbau, itu ada di kandang, masih tidur,” ucap seorang warga sambil melihat-lihat sekitar rumah Tuyuk Darsan.
Datuk Hamrawi yang mendengar suara gaduh pun segera keluar rumah.
“Ngapi pai ajo kuti reramikan dija?”
“Tabik, Datuk. Kata Edison dia tadi melihat lemawong di sini.”
“Apa benar itu, Son?”
“Iya, Tuk,” jawab Edison.
“Lemawong hitam?”
Edison mengangguk.
“Jadi begini,” Datuk Hamrawi terbatuk sebentar. “Edison benar. Lemawong itu pengikutnya Tuyuk Darsan. Tapi kalian tidak perlu takut. Lemawong itu tidak akan mengganggu kalian. Tugas lemawong cuma menjaga rumah ini. Sekarang lebih baik kalian pulang, jangan ribut-ribut di sini. Tuyuk Darsan lagi sakit. Mantri Agus dan Pak Zainudin yang sedari tadi menjaganya. Ingat, kalian tidak boleh cerita pada siapa-siapa soal kejadian ini.”
“Iya, Tuk, kami pamit pulang dulu,” jawab mereka sebelum bubar.
Waktu itu pukul 04.30. Suara takbiran berhenti bukan karena suara azan. Tapi karena ada suatu pengumuman.
“Innalillahi’wainnaillaihiraji’un. Telah berpulang ke Rahmatullah. H. Darsan Bin H. Thabrani pada pukul 03.55 pagi. Jenazah akan dikebumikan sehabis zuhur di tempat pemakaman keluarga, Way Jawoh, RK III. Sekali lagi....”
***
“ITULAH kisah tentang tuyukmu, Nakan,” ucap Pakngah Zainudin sembari memijati pergelangan tanganku.
“Jadi Tuyukku sakti mandraguna?”
Zainudin mengangguk dan berkata, “Terlebih lagi dia sangat dermawan. Hampir semua harta yang kumiliki sekarang adalah pemberiannya.”
“Lantas perihal lemawong itu?”
“Tentu saja. Lemawong tidak sembarangan menampakkan wujudnya. Ada waktunya sendiri.”
“Maksudnya?”
“Ya, saat tuannya terancam atau pada orang yang dianggapnya baik dan pantas untuk menjadi tuannya.”
“Maksud Pakngah?”
“Pada saat anakku, Edison, melihatnya, itu adalah saat lemawong merasa Tuyukmu dalam keadaan terancam. Lemawong dapat mencium aroma maut sang tuannya. Dia sangat tunduk kepada Tuyukmu dan cepat atau lambat dia akan mencari tuannya yang baru, garis keturunan dari Tuyukmu. Bisa saja garis keturunan itu kamu.”
”Aku masih belum mengerti.”
“Sudah 25 tahun sejak kepergian Tuyukmu, lemawong itu belum mendapatkan tuan yang baru.”
“Tapi, apakah lemawong itu pernah bertemu dengan Pakngah?”
“Ya. Tuyukmu menitipkannya padaku. Ini tambor berisi mantra yang ditulis oleh Tuyukmu. Ambillah. Ini milikmu, lemawong itu milikmu. Dua puluh lima tahun yang lalu, aku mengurusi Tuyukmu yang tengah terbaring sakit. Sekarang di malam takbir pula kau datang padaku untuk minta pijat. Aku rasa inilah waktunya.”
Aku diam dan mencoba mencerna kata demi kata.
“Ini, bawalah tambor berisi mantra ini. Baca dan rawatlah ia.”
***
DI lepau rumah panggung Tuyukku, di malam takbir, aku berbaring di bangku bambu. Kurenungkan lagi cerita Pakngah Zainudin. Sesakti itukah Tuyukku? Seseorang yang hanya bisa kulihat wajahnya melalui lukisan hitam putih 120 cm X 60 cm yang dipajang di ruang tengah lamban tuha ini? Mengapa aku justru mengenalnya melalui orang lain? Selama ini aku merasakan hasil kerja kerasnya melalui warisan tanah yang amat luas di Dusun Terbamban, Pekon Hanakau.
Jika dulu saat ia berikan kepada bapakku masih ditanami kopi, sekarang sudah jadi ladang kol, sawi, wortel atau tanaman lainnya.
Kubaca tambor pemberian Pakngah Zainudin. Kueja satu per satu had Lampung yang sudah agak buram. Tapi mataku berat, aku perlu istirahat. Kantuk makin menjadi dan aku pun tertidur.
Di masjid-masjid azan subuh bersahutan. Ada sesuatu yang menjilati pipiku. Mataku masih berat untuk dibuka. Aku belum puas tidur, tetapi jilatan itu mendarat lagi di pipi, bertubi-tubi. Karena penasaran, kukuatkan diri untuk membuka mata. Kulihat di sampingku ada sejenis kucing hitam sebesar kerbau jantan. Ia berusaha menjilatiku lagi. Aku terkejut bercampur takut. Tapi aku diam saja. Kucing besar itu memandangiku. Kini kami saling pandang. Apa dia lemawong yang kupanggil lewat mantra yang tertulis di tambor tadi?
“Tuyuk?” kataku.
Kucubit paha dan pipiku, sakit. Berarti aku tak sedang bermimpi. Kucubit pipi kucing besar itu, tapi matanya malah memejam. Kepalanya mengelus-elus dadaku. Mahkluk itu berusaha menjilat lagi, aku menghindar. Kubaca lagi tambor tadi dalam hati. Sontak tubuhku bergetar hebat sebelum melemah seperti setumpuk kain belacu. Kucing besar itu memasuki tubuhku. Aku tak kuasa melawannya. Rasanya seluruh tubuhku panas seperti dibaluri balsem. Aku memejam sambil menggeram. Kurasakan dirinya telah menjadi bagian dari diriku dan diriku telah menjadi bagian dirinya. n
Bandar Lampung, 2015
Catatan:
tuyuk : Kakek Buyut
datuk : Kakek
lemawong : Macan/ Harimau
tambo : Tulisan kuno yang biasa ditulis di kulit kayu, kulit hewan, ataupun bambu.
lamban tuha: rumah tua
lepau: teras rumah
parruh : Alat untuk mengangkut air yang terbuat dari bambu
selimpok bungking : sejenis kue lambangsari tapi berbahan baku ketan
serimol : makhluk ghaib sejenis genderuwo
pancor pungah: pacoran pongah. Air mancur/mata air.
undom: batok kelapa.
Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2015
DI Pekon Tanjung ini tak ada yang tak kenal Tuyuk Darsan. Lelaki itu tinggi besar dengan sorot mata tajam dan kumis hitam lebat di atas bibirnya yang tebal. Ia jarang mengumbar senyum kecuali pada istrinya, Hj. Siti Aminah.
Darsan orang pertama yang mengubah belantara Way Palakia menjadi perkampungan. Ia berhasil menundukkan Serimol dan Siluman Lemawong yang sejak zaman Tumi menguasai sebagian besar kawasan gaib di daerah itu. Ia tak kecut menghadapi lawan-lawan yang mencoba menggeser patok tanahnya. Tak sedikit orang yang jauh-jauh datang ke rumahnya untuk meminta jampi dan arahan-arahan agar mendapat ilmu kanuragan atau sekadar mengambil hati sang tuan tanah yang memang dermawan.
Tuyuk Darsan tinggal di sebuah rumah panggung besar yang beranak tanggakan kayu kemit berjumlah lima tingkat. Jumlah tingkatan anak tangga ini katanya terilhami dari jumlah salat wajib yang harus dikerjakan setiap hari. Setelah kita menaiki tangga terakhir, kita segera mendapati lepau yang luas dengan kursi kayu panjang yang tidak dilapisi cat atau pernis. Kemudian di dekat meja tamu ada sebuah rak tempat menaruh kopi bubuk, gula aren, termos air panas, sendok dan juga beberapa gelas bersih.
Pada suatu ketika, Zainudin, perantau dari Blitar, datang ke rumah Tuyuk Darsan. Pria itu meminta supaya ia dapat dijadikan anak buah untuk mengurusi kebun lada. Pria itu menunjukkan selembar kulit macan beserta taring babi dan juga cangkul blitar sebagai tanda bahwa ia mampu mengurusi kebun lada yang luasnya berhektare-hektare. Tuyuk Darsan yang tidak suka dengan perlakuan Zainudin karena merasa ditantang ilmu kanuragannya, langsung naik pitam.
“Kik siwok yaddo siwok
Mak ngeba jadi biyas
Teduhmu nyak ji rinok
Kusani niku tiwas.”
Itulah kalimat yang diucapkan Tuyuk Darsan setelah kemarahannya memuncak. Lantas turunlah Tuyuk Darsan dari rumah panggungnya, segera ia cabut pedang yang ia selipkan di pinggang, lalu melompat ke atas pohon kantil sembari menari-narikan pedang yang sudah tak bersarung itu.
“Inji kehagamu? Teduhmu nyak ji merinok? Ha?”
Beberapa warga yang ikut menyaksikan langsung panik. Mereka ketakutan melihat Tuyuk Darsan yang hanya mengenakan sarung bugis hitam kotak-kotak tengah mengayun-ayunkan pedangnya di atas pohon kantil. Wajahnya seram, matanya merah nanar, dan kumis tebalnya semakin naik. Ia menggeram. Tapi untungnya itu tak berlangsung lama lantaran istrinya berlari keluar dengan tangan kiri memegangi sarung yang hampir melorot, dan tangan kanannya menggenggam rotan pemukul kasur berwarna gading sambil diacung-acungkan ke arah Tuyuk Darsan.
“Radu lagi Bang, radu!” teriak Hj. Siti Aminah sambil menangis.
Mendadak kemarahan Darsan mereda, seperti kemarau yang tiba-tiba diguyur hujan deras. Mungkin Darsan khawatir darah tinggi istrinya bakalan kambuh. Tapi yang terang, ia adalah suami yang sayang istri.
Zainudin? Tak usah ditanya lagi karena tubuhnya seperti teringgiling yang digencet besi. Dia meringkuk ketakutan sampai terkencing-kencing di lepau rumah panggung itu. Hingga akhirnya dia diamankan oleh Datuk Hamrawi, anak sulung Tuyuk Darsan.
Pendeknya, Zainudin diberi maaf oleh Tuyuk Darsan dan ia diberi kepercayaan mengurusi kebun kopi di Pekon Bawang Heni, di kaki Gunung Pesagi. Zainudin kemudian menikah dengan gadis dari Pekon Balak, Mislena namanya. Mereka dikaruniai satu anak. Edison namanya. Edison adalah sosok guru sederhana, berambut klimis belah tengah, dan senang berpergian menunggangi sepeda jengki hijau tua.
***
Takbir menggema. Saat itu pukul 11 malam dan Edison baru pulang dari pawai keliling kampung. Saat tiba di rumah, ia lantas mencari bapaknya. Tapi bapaknya tak ada. Ia bertemu emaknya dan perempuan berjilbab itu berkata bahwa si bapak pergi ke rumah Tuyuk Darsan. Tak lama Edison pun menyusul ke sana dengan mengayuh jengkinya.
Sesampainya Edison di halaman rumah Tuyuk Darsan, segera ia parkirkan si jengki di bawah pohon kantil. Dan saat hendak menaiki jan (anak tangga), saat itu pulalah ia dihadang seekor macan kumbang. Mata macan itu kuning menyala. Taringnya yang basah oleh air liur nampak semakin tajam. Edison takut bukan kepalang. Ia berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh menuju langgar yang jaraknya kurang lebih 600 meter dari rumah Tuyuk Darsan. Sesampainya di sana, ia menceritakannya pada warga yang sedang takbiran.
“Tidak mungkin lemawong di sini,” tanggap seorang warga.
“Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Sumpah!”
“Enggak mungkinlah, Son. TNBBS (Taman Nasional Bukit Barisan Selatan) itu jauh dari sini. Lagi pula mana ada macan kumbang di sini. Kalau yang loreng banyak. Foto-fotonya ada di stan Dinas Kehutanan tiap pameran ulang tahun Lampung Barat.”
Singkatnya, beberapa warga beserta Edison pergi ke sana dan mengecek kebenaran cerita itu.
Setelah warga sampai di sana, lemawong yang Edison ceritakan tak ada. Yang ada hanya jengki yang sedari tadi ngelamun di bawah pohon kantil.
“Dipa lemawong ni? Kalau kerbau, itu ada di kandang, masih tidur,” ucap seorang warga sambil melihat-lihat sekitar rumah Tuyuk Darsan.
Datuk Hamrawi yang mendengar suara gaduh pun segera keluar rumah.
“Ngapi pai ajo kuti reramikan dija?”
“Tabik, Datuk. Kata Edison dia tadi melihat lemawong di sini.”
“Apa benar itu, Son?”
“Iya, Tuk,” jawab Edison.
“Lemawong hitam?”
Edison mengangguk.
“Jadi begini,” Datuk Hamrawi terbatuk sebentar. “Edison benar. Lemawong itu pengikutnya Tuyuk Darsan. Tapi kalian tidak perlu takut. Lemawong itu tidak akan mengganggu kalian. Tugas lemawong cuma menjaga rumah ini. Sekarang lebih baik kalian pulang, jangan ribut-ribut di sini. Tuyuk Darsan lagi sakit. Mantri Agus dan Pak Zainudin yang sedari tadi menjaganya. Ingat, kalian tidak boleh cerita pada siapa-siapa soal kejadian ini.”
“Iya, Tuk, kami pamit pulang dulu,” jawab mereka sebelum bubar.
Waktu itu pukul 04.30. Suara takbiran berhenti bukan karena suara azan. Tapi karena ada suatu pengumuman.
“Innalillahi’wainnaillaihiraji’un. Telah berpulang ke Rahmatullah. H. Darsan Bin H. Thabrani pada pukul 03.55 pagi. Jenazah akan dikebumikan sehabis zuhur di tempat pemakaman keluarga, Way Jawoh, RK III. Sekali lagi....”
***
“ITULAH kisah tentang tuyukmu, Nakan,” ucap Pakngah Zainudin sembari memijati pergelangan tanganku.
“Jadi Tuyukku sakti mandraguna?”
Zainudin mengangguk dan berkata, “Terlebih lagi dia sangat dermawan. Hampir semua harta yang kumiliki sekarang adalah pemberiannya.”
“Lantas perihal lemawong itu?”
“Tentu saja. Lemawong tidak sembarangan menampakkan wujudnya. Ada waktunya sendiri.”
“Maksudnya?”
“Ya, saat tuannya terancam atau pada orang yang dianggapnya baik dan pantas untuk menjadi tuannya.”
“Maksud Pakngah?”
“Pada saat anakku, Edison, melihatnya, itu adalah saat lemawong merasa Tuyukmu dalam keadaan terancam. Lemawong dapat mencium aroma maut sang tuannya. Dia sangat tunduk kepada Tuyukmu dan cepat atau lambat dia akan mencari tuannya yang baru, garis keturunan dari Tuyukmu. Bisa saja garis keturunan itu kamu.”
”Aku masih belum mengerti.”
“Sudah 25 tahun sejak kepergian Tuyukmu, lemawong itu belum mendapatkan tuan yang baru.”
“Tapi, apakah lemawong itu pernah bertemu dengan Pakngah?”
“Ya. Tuyukmu menitipkannya padaku. Ini tambor berisi mantra yang ditulis oleh Tuyukmu. Ambillah. Ini milikmu, lemawong itu milikmu. Dua puluh lima tahun yang lalu, aku mengurusi Tuyukmu yang tengah terbaring sakit. Sekarang di malam takbir pula kau datang padaku untuk minta pijat. Aku rasa inilah waktunya.”
Aku diam dan mencoba mencerna kata demi kata.
“Ini, bawalah tambor berisi mantra ini. Baca dan rawatlah ia.”
***
DI lepau rumah panggung Tuyukku, di malam takbir, aku berbaring di bangku bambu. Kurenungkan lagi cerita Pakngah Zainudin. Sesakti itukah Tuyukku? Seseorang yang hanya bisa kulihat wajahnya melalui lukisan hitam putih 120 cm X 60 cm yang dipajang di ruang tengah lamban tuha ini? Mengapa aku justru mengenalnya melalui orang lain? Selama ini aku merasakan hasil kerja kerasnya melalui warisan tanah yang amat luas di Dusun Terbamban, Pekon Hanakau.
Jika dulu saat ia berikan kepada bapakku masih ditanami kopi, sekarang sudah jadi ladang kol, sawi, wortel atau tanaman lainnya.
Kubaca tambor pemberian Pakngah Zainudin. Kueja satu per satu had Lampung yang sudah agak buram. Tapi mataku berat, aku perlu istirahat. Kantuk makin menjadi dan aku pun tertidur.
Di masjid-masjid azan subuh bersahutan. Ada sesuatu yang menjilati pipiku. Mataku masih berat untuk dibuka. Aku belum puas tidur, tetapi jilatan itu mendarat lagi di pipi, bertubi-tubi. Karena penasaran, kukuatkan diri untuk membuka mata. Kulihat di sampingku ada sejenis kucing hitam sebesar kerbau jantan. Ia berusaha menjilatiku lagi. Aku terkejut bercampur takut. Tapi aku diam saja. Kucing besar itu memandangiku. Kini kami saling pandang. Apa dia lemawong yang kupanggil lewat mantra yang tertulis di tambor tadi?
“Tuyuk?” kataku.
Kucubit paha dan pipiku, sakit. Berarti aku tak sedang bermimpi. Kucubit pipi kucing besar itu, tapi matanya malah memejam. Kepalanya mengelus-elus dadaku. Mahkluk itu berusaha menjilat lagi, aku menghindar. Kubaca lagi tambor tadi dalam hati. Sontak tubuhku bergetar hebat sebelum melemah seperti setumpuk kain belacu. Kucing besar itu memasuki tubuhku. Aku tak kuasa melawannya. Rasanya seluruh tubuhku panas seperti dibaluri balsem. Aku memejam sambil menggeram. Kurasakan dirinya telah menjadi bagian dari diriku dan diriku telah menjadi bagian dirinya. n
Bandar Lampung, 2015
Catatan:
tuyuk : Kakek Buyut
datuk : Kakek
lemawong : Macan/ Harimau
tambo : Tulisan kuno yang biasa ditulis di kulit kayu, kulit hewan, ataupun bambu.
lamban tuha: rumah tua
lepau: teras rumah
parruh : Alat untuk mengangkut air yang terbuat dari bambu
selimpok bungking : sejenis kue lambangsari tapi berbahan baku ketan
serimol : makhluk ghaib sejenis genderuwo
pancor pungah: pacoran pongah. Air mancur/mata air.
undom: batok kelapa.
Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2015
No comments:
Post a Comment