Cerpen Rilda A.Oe. Taneko
Ada perpautan misterius yang terjalin kuat antara penulis dengan penggemar pertamanya. Setidaknya demikian yang dirasakan Amit ketika ia menggenggam tangan Porphyria, di sebuah pantai yang dibungkus senja. Amit mendekatkan wajah dan Porphyria memejam mata. Amit membelai rambut, merasakan perpautan yang menguat di dirinya dengan Porphyria, penggemar pertamanya.
BUKAN mudah bagi Amit untuk menerbitkan cerita pendeknya di koran. Ia butuh dua tahun buat itu. Dua tahun yang penuh penolakan dan kekhawatiran.
Amit telah selesai kuliah strata satu dan orang tuanya menginginkan Amit mencari kerja, seperti teman-temannya yang lain. Kerja apa saja: karyawan di perusahaan swasta, PNS, di bank, apa saja. Asal bukan sebagai penulis. Menurut mereka, hidup penulis tidak sejahtera: tidak ada penghasilan tetap, asuransi kesehatan, apalagi jaminan pensiun. Lebih-lebih, mereka tak suka pula melihat Amit menjadi pemuda asosial, sehari-hari berkurung diri di kamarnya saja.
Selama dua tahun mendengar keberatan dan keluhan kedua orang tuanya, Amit merasa tertekan. Terlebih lagi, dalam dua tahun itu, seluruh teman-temannya telah bekerja, ada yang sering ditugaskan kantor ke luar negeri, ada yang sudah kredit rumah-mobil, ada yang kawin dengan anak orang kaya dan hidup nyaman. Sementara itu, Amit tidak juga bisa membuktikan bahwa ia mampu menjadi penulis. Surat-surat penolakan dari redaktur sastra adalah kematian baginya, seperti pisau tajam yang dihujamkan ke jantungnya, berkali-kali. Amit hampir putus asa, dan hampir menerima ketetapan takdir bahwa ia tidak dilahirkan sebagai penulis, ketika akhirnya keajaiban itu datang. Cerpennya dimuat di sebuah koran lokal!
Sesungguhnya, honor yang ia dapat tidaklah seberapa. Sungguh pun demikian, rasa percaya diri Amit yang sempat terpuruk ke dasar laut, mendadak melambung setinggi langit, melewati tinggi pepohonan dan pegunungan. Ia adalah seorang penulis, akhirnya. Karyanya diakui seorang redaktur sastra! Ternyata Tuhan benar menggariskan ia sebagai penggembala kata-kata, pikir Amit. Mendadak, ia merasa seperti berada di bawah cahaya lampu sorot, segenap pandang orang-orang tertuju padanya, memuji karyanya. Walaupun perasannya itu ilusi semata dan kala hari berganti, seketika itu juga koran yang memuat cerpen Amit dilupakan orang-orang, menimbuni sampah daur ulang dan dijadikan pembungkus pecel atau kacang rebus, Amit tetap menikmati keberhasilannya benar-benar, detik demi detik, dari hari ke minggu, berbulan-bulan.
Orang tua Amit terlihat bangga pula. Mereka bercerita tentang cerpen Amit itu pada keluarga dan tetangga. Dan ini membuat Amit berlega. Selama beberapa waktu, ia tak lagi mendengar keluhan orang tuanya. Ia bisa dengan tenang menumpang tinggal dan makan, seolah dengan terbitnya cerpennya di koran, ia berhak memeroleh apa saja dari orang tuanya.
Amit bertambah rajin menulis. Ia menulis setiap hari. Sewaktu ia tidak menulis, ia akan membaca karya-karya penulis besar, dari dalam dan luar negeri, sembari berpikir: mengapa ia tidak menulis frasa sedemikian baik, dia harus menggambarkan hal lebih detil – seperti cerita yang sedang ia baca, ia bisa mencoba menggunakan plot dan struktur seperti cerita ini dan itu. Singkatnya, di saat tidak sedang menulis, Amit hanya memikirkan tentang menulis.
Suatu pagi, sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggam milik Amit: dari seorang penggemar. Pesan itu berbunyi: 'Kak Amit, saya dapat nomor ponsel Kakak dari redaktur koran. Saya penggemar Kakak. Saya suka sekali dengan cerpen-cerpen Kakak. Salam, Ria.'
Hati Amit berbunga-bunga. Walaupun pengirim pesan itu menulis bahwa ia menyukai ‘cerpen-cerpen’nya dan bukan ‘cerpen’, Amit tidak peduli. Ia memang baru menerbitkan satu cerpen saja, tapi penulisan ‘cerpen-cerpen’ itu bukan prinsip bagi Amit. Yang terpenting adalah: ada orang, selain keluarga dan tetangganya, yang mengapresiasi karyanya! Ada orang yang mengaku sebagai penggemarnya!
Setelah bernapas dalam-dalam dan berdehem beberapa kali, Amit membalas pesan itu: 'Ria, terima kasih atas pujiannya. Saya cuma seorang manusia yang resah. Salam, Amit.'
Tidak ada balasan. Amit menunggu gelisah di dalam kamarnya. Setelah dua tahun, baru kali ini ada hal lain, selain menulis, yang memenuhi benaknya. Buku-buku kumpulan cerita pendek dan novel yang bertumpuk di meja belajar, memenuhi rak buku, dan berserak di lantai, tak lagi menarik baginya. Telepon genggam, dan hanya telepon genggamnya saja, yang ia pandangi berlama-lama, seolah dengan demikian telepon itu akan merespon, dengan bunyi masuknya pesan singkat atau, bahkan, dering. Seperti menunggu keputusan redaktur saja!
Dugaan berkelebat cepat, silih-berganti, memenuhi pikirannya: Apa balasannya tadi terlalu singkat? Apa ia salah menulis kata? Apa Ria berubah pikiran, dan tak ingin lagi menjadi penggemarnya? Apa Ria seorang yang hanya ingin menyampaikan perasaan tanpa menginginkan balasan? Ah, mungkin seharusnya ia tidak membalas pesan itu, dan membiarkan rasa bahagia lesap di hatinya. Selama ia tidak menerima balasan pesan dari Ria, selama itu juga Amit menyesali diri.
Tiga hari berlalu, dan akhirnya, ketika Amit masih tertidur, balasan singkat dari Ria masuk: ‘Kak Amit sedang apa?’. Meski singkat, pesan ini membuka hubungan baru bagi Amit dan Ria. Sejak itu mereka kerap berkorespondensi dan bertukar informasi mengenai apa saja: sedang apa, makan apa, baca apa. Kadang Amit mengirim baris puisi romantis, yang kemudian dibalas Ria dengan puisi yang juga romantis.
Bukan di atas kertas atau layar komputer, melainkan di telepon genggam, sekarang Amit banyak menuliskan cerita dan mengungkapkan rasa. Kapan saja dan di mana saja: tatkala matahari baru saja terbit, selama matahari bersinar cemerlang, ketika matahari terbenam dan waktu bulan naik ke langit; di kamar, di meja makan, di toilet, di pesta, di rumah duka. Kedua orang tua Amit bertambah cemas. Apabila kemarin mereka khawatir bercampur bangga, karena sesungguhnya mereka sadar anak mereka berjuang demi meraih mimpinya, tapi kini yang ada kekhawatiran semata.
Sampai Ria mengirimkan pesan, ‘Ria rindu baca cerpen Kak Amit di koran’, barulah secepat kilat Amit berjibaku menulis cerpen lagi. Berbeda dengan cerita yang pertama, yang dihuni tokoh-tokoh kriminal dan terkesan muram, cerpennya kali ini dihuni tokoh-tokoh yang sedang jatuh cinta dan bernuansa romantis. Tak lama, cerpen itu dimuat koran lokal yang lain!
Ria menjelma semangat Amit menulis, sumber inspirasi dan gelora hati. Amit menerima beberapa pesan singkat dari pengemar lain. Kendatipun begitu, semua tak seindah ketika ia mendapat pesan dari Ria dulu. Penggemar pertama, bagi Amit, seperti keajaiban, serupa sebuah titik terang di tengah lautan kelam kala ia tersesat.
Ria mengajaknya bertemu. Ini pertama kali dalam hidupnya Amit mengkhawatirkan penampilan. Ia mengamati wajah pucatnya, jerawat di pipi, kurus tubuh. Ia takut jikalau secara jasmani ia akan mengecewakan Ria. Di hari pertemuan, Amit mencuci sedan hitam milik ibunya lalu rambut gondrongnya bersih-bersih. Ia mengenakan kemeja dan jins merek terkenal lalu menyemprotkan parfum termahal yang dimiliki ayahnya.
Mereka bertemu di sebuah kafe milik hotel bintang lima, yang terletak di tepi laut. Ria gadis yang cantik: berkulit cerah, berhidung mancung, bibir merah muda tipis, yang selalu terlihat basah. Dan yang paling mengesankan bagi Amit adalah rambutnya. Rambut Ria hitam-berkilau dan panjang sekali, melewati pinggul, hampir menyentuh paha. Ria kuliah bahasa Indonesia semester tiga.
Setelah berkenalan dan menghabiskan minum, mereka berjalan bersisian menyusuri pantai. Dibungkus teduh awal senja, mereka berbincang tentang sastra dan cinta, memandang matahari yang memerah-keemasan. Ria memuji-puji keindahan laut, matahari, nyamannya angin, lembutnya pasir, bentuk umang-umang dan kerang. Perasaan Amit terusik. Ternyata Ria mudah sekali terkesan dan merasa senang. Bukan melulu pada cerpen yang ia tulis, tapi juga kagum pada hal-hal, yang menurut Amit, remeh-temeh belaka.
Saat mereka kembali ke kafe untuk memesan makanan, terdengar bunyi pesan singkat masuk dari dalam tas tangan kulit ungu milik Ria. Ria membuka tasnya, mengambil telepon genggam dan membaca pesan. Perlahan senyum Ria melebar, pipinya bersemu merah muda.
“Robert membalas SMS-ku,” katanya dengan kegembiraan kanak-kanak. Ria menyodorkan telepon genggamnya pada Amit. Pesan itu berbunyi: ‘Ria yang baik, terima kasih telah menyukai novel saya. Salam, RB’.
Amit terhenyak, tapi ia berusaha tak menampakkan kekagetannya. Ia tersenyum, membuka pesan-pesan yang lain. Dan tahulah ia, bahwa Ria bukan hanya mengagumi karyanya belaka, tetapi juga banyak karya penulis lain. Perlahan Amit mengembalikan telepon genggam itu pada Ria, senyum tak lepas dari wajahnya.
“Baik sekali ya. Dia seorang penulis terkenal, tapi masih mau membalas SMS pengemar,” ujar Ria, riang.
Amit meminta Ria pulang bersama. Tapi sebelum mengantarnya ke rumah, dengan alasan ingin melihat mentari terbenam, Amit mengajak Ria kembali ke pantai, kali ini dengan mengendarai mobilnya. Ria tidak keberatan.
Di satu sudut pantai, di balik rimbun bunga ilalang dan leret pokok-pokok kelapa, Amit memarkir mobil. Tak lama, ia menggenggam tangan Ria, mendekatkan wajahnya pada wajah Ria. Ria bergeming, memejam mata, bibirnya perlahan terbuka. Amit membelai rambut Ria, membawa rambut itu melingkari leher Ria yang jenjang, membelit leher sebanyak tiga putaran. Setelah itu, Amit menarik ujung rambut Ria sekuat ia bisa. Ria tak sempat membuka mata, hanya dengkur halus yang terdengar dari mulutnya sebelum ia terkulai.
Amit memainkan tangan Ria, mengangkat-melepas, membuka-tutup mulut dan kelopak mata, seolah Ria cuma boneka tali belaka. Sesudah itu Amit tersenyum, menyandarkan kepala Ria di dadanya, mengelus wajah seraya menggumam lirih, “Ria, Ria, Ria. Penggemar pertamaku. Porphyria yang cantik.”
Lancaster, 14 Maret 2013.
Cerpen ini terinspirasi dari dua puisi Robert Browning: My Last Duchess dan Porphyria’s Lover.
Lampung Post, Minggu, 26 Mei 2013
Ada perpautan misterius yang terjalin kuat antara penulis dengan penggemar pertamanya. Setidaknya demikian yang dirasakan Amit ketika ia menggenggam tangan Porphyria, di sebuah pantai yang dibungkus senja. Amit mendekatkan wajah dan Porphyria memejam mata. Amit membelai rambut, merasakan perpautan yang menguat di dirinya dengan Porphyria, penggemar pertamanya.
BUKAN mudah bagi Amit untuk menerbitkan cerita pendeknya di koran. Ia butuh dua tahun buat itu. Dua tahun yang penuh penolakan dan kekhawatiran.
Amit telah selesai kuliah strata satu dan orang tuanya menginginkan Amit mencari kerja, seperti teman-temannya yang lain. Kerja apa saja: karyawan di perusahaan swasta, PNS, di bank, apa saja. Asal bukan sebagai penulis. Menurut mereka, hidup penulis tidak sejahtera: tidak ada penghasilan tetap, asuransi kesehatan, apalagi jaminan pensiun. Lebih-lebih, mereka tak suka pula melihat Amit menjadi pemuda asosial, sehari-hari berkurung diri di kamarnya saja.
Selama dua tahun mendengar keberatan dan keluhan kedua orang tuanya, Amit merasa tertekan. Terlebih lagi, dalam dua tahun itu, seluruh teman-temannya telah bekerja, ada yang sering ditugaskan kantor ke luar negeri, ada yang sudah kredit rumah-mobil, ada yang kawin dengan anak orang kaya dan hidup nyaman. Sementara itu, Amit tidak juga bisa membuktikan bahwa ia mampu menjadi penulis. Surat-surat penolakan dari redaktur sastra adalah kematian baginya, seperti pisau tajam yang dihujamkan ke jantungnya, berkali-kali. Amit hampir putus asa, dan hampir menerima ketetapan takdir bahwa ia tidak dilahirkan sebagai penulis, ketika akhirnya keajaiban itu datang. Cerpennya dimuat di sebuah koran lokal!
Sesungguhnya, honor yang ia dapat tidaklah seberapa. Sungguh pun demikian, rasa percaya diri Amit yang sempat terpuruk ke dasar laut, mendadak melambung setinggi langit, melewati tinggi pepohonan dan pegunungan. Ia adalah seorang penulis, akhirnya. Karyanya diakui seorang redaktur sastra! Ternyata Tuhan benar menggariskan ia sebagai penggembala kata-kata, pikir Amit. Mendadak, ia merasa seperti berada di bawah cahaya lampu sorot, segenap pandang orang-orang tertuju padanya, memuji karyanya. Walaupun perasannya itu ilusi semata dan kala hari berganti, seketika itu juga koran yang memuat cerpen Amit dilupakan orang-orang, menimbuni sampah daur ulang dan dijadikan pembungkus pecel atau kacang rebus, Amit tetap menikmati keberhasilannya benar-benar, detik demi detik, dari hari ke minggu, berbulan-bulan.
Orang tua Amit terlihat bangga pula. Mereka bercerita tentang cerpen Amit itu pada keluarga dan tetangga. Dan ini membuat Amit berlega. Selama beberapa waktu, ia tak lagi mendengar keluhan orang tuanya. Ia bisa dengan tenang menumpang tinggal dan makan, seolah dengan terbitnya cerpennya di koran, ia berhak memeroleh apa saja dari orang tuanya.
Amit bertambah rajin menulis. Ia menulis setiap hari. Sewaktu ia tidak menulis, ia akan membaca karya-karya penulis besar, dari dalam dan luar negeri, sembari berpikir: mengapa ia tidak menulis frasa sedemikian baik, dia harus menggambarkan hal lebih detil – seperti cerita yang sedang ia baca, ia bisa mencoba menggunakan plot dan struktur seperti cerita ini dan itu. Singkatnya, di saat tidak sedang menulis, Amit hanya memikirkan tentang menulis.
Suatu pagi, sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggam milik Amit: dari seorang penggemar. Pesan itu berbunyi: 'Kak Amit, saya dapat nomor ponsel Kakak dari redaktur koran. Saya penggemar Kakak. Saya suka sekali dengan cerpen-cerpen Kakak. Salam, Ria.'
Hati Amit berbunga-bunga. Walaupun pengirim pesan itu menulis bahwa ia menyukai ‘cerpen-cerpen’nya dan bukan ‘cerpen’, Amit tidak peduli. Ia memang baru menerbitkan satu cerpen saja, tapi penulisan ‘cerpen-cerpen’ itu bukan prinsip bagi Amit. Yang terpenting adalah: ada orang, selain keluarga dan tetangganya, yang mengapresiasi karyanya! Ada orang yang mengaku sebagai penggemarnya!
Setelah bernapas dalam-dalam dan berdehem beberapa kali, Amit membalas pesan itu: 'Ria, terima kasih atas pujiannya. Saya cuma seorang manusia yang resah. Salam, Amit.'
Tidak ada balasan. Amit menunggu gelisah di dalam kamarnya. Setelah dua tahun, baru kali ini ada hal lain, selain menulis, yang memenuhi benaknya. Buku-buku kumpulan cerita pendek dan novel yang bertumpuk di meja belajar, memenuhi rak buku, dan berserak di lantai, tak lagi menarik baginya. Telepon genggam, dan hanya telepon genggamnya saja, yang ia pandangi berlama-lama, seolah dengan demikian telepon itu akan merespon, dengan bunyi masuknya pesan singkat atau, bahkan, dering. Seperti menunggu keputusan redaktur saja!
Dugaan berkelebat cepat, silih-berganti, memenuhi pikirannya: Apa balasannya tadi terlalu singkat? Apa ia salah menulis kata? Apa Ria berubah pikiran, dan tak ingin lagi menjadi penggemarnya? Apa Ria seorang yang hanya ingin menyampaikan perasaan tanpa menginginkan balasan? Ah, mungkin seharusnya ia tidak membalas pesan itu, dan membiarkan rasa bahagia lesap di hatinya. Selama ia tidak menerima balasan pesan dari Ria, selama itu juga Amit menyesali diri.
Tiga hari berlalu, dan akhirnya, ketika Amit masih tertidur, balasan singkat dari Ria masuk: ‘Kak Amit sedang apa?’. Meski singkat, pesan ini membuka hubungan baru bagi Amit dan Ria. Sejak itu mereka kerap berkorespondensi dan bertukar informasi mengenai apa saja: sedang apa, makan apa, baca apa. Kadang Amit mengirim baris puisi romantis, yang kemudian dibalas Ria dengan puisi yang juga romantis.
Bukan di atas kertas atau layar komputer, melainkan di telepon genggam, sekarang Amit banyak menuliskan cerita dan mengungkapkan rasa. Kapan saja dan di mana saja: tatkala matahari baru saja terbit, selama matahari bersinar cemerlang, ketika matahari terbenam dan waktu bulan naik ke langit; di kamar, di meja makan, di toilet, di pesta, di rumah duka. Kedua orang tua Amit bertambah cemas. Apabila kemarin mereka khawatir bercampur bangga, karena sesungguhnya mereka sadar anak mereka berjuang demi meraih mimpinya, tapi kini yang ada kekhawatiran semata.
Sampai Ria mengirimkan pesan, ‘Ria rindu baca cerpen Kak Amit di koran’, barulah secepat kilat Amit berjibaku menulis cerpen lagi. Berbeda dengan cerita yang pertama, yang dihuni tokoh-tokoh kriminal dan terkesan muram, cerpennya kali ini dihuni tokoh-tokoh yang sedang jatuh cinta dan bernuansa romantis. Tak lama, cerpen itu dimuat koran lokal yang lain!
Ria menjelma semangat Amit menulis, sumber inspirasi dan gelora hati. Amit menerima beberapa pesan singkat dari pengemar lain. Kendatipun begitu, semua tak seindah ketika ia mendapat pesan dari Ria dulu. Penggemar pertama, bagi Amit, seperti keajaiban, serupa sebuah titik terang di tengah lautan kelam kala ia tersesat.
Ria mengajaknya bertemu. Ini pertama kali dalam hidupnya Amit mengkhawatirkan penampilan. Ia mengamati wajah pucatnya, jerawat di pipi, kurus tubuh. Ia takut jikalau secara jasmani ia akan mengecewakan Ria. Di hari pertemuan, Amit mencuci sedan hitam milik ibunya lalu rambut gondrongnya bersih-bersih. Ia mengenakan kemeja dan jins merek terkenal lalu menyemprotkan parfum termahal yang dimiliki ayahnya.
Mereka bertemu di sebuah kafe milik hotel bintang lima, yang terletak di tepi laut. Ria gadis yang cantik: berkulit cerah, berhidung mancung, bibir merah muda tipis, yang selalu terlihat basah. Dan yang paling mengesankan bagi Amit adalah rambutnya. Rambut Ria hitam-berkilau dan panjang sekali, melewati pinggul, hampir menyentuh paha. Ria kuliah bahasa Indonesia semester tiga.
Setelah berkenalan dan menghabiskan minum, mereka berjalan bersisian menyusuri pantai. Dibungkus teduh awal senja, mereka berbincang tentang sastra dan cinta, memandang matahari yang memerah-keemasan. Ria memuji-puji keindahan laut, matahari, nyamannya angin, lembutnya pasir, bentuk umang-umang dan kerang. Perasaan Amit terusik. Ternyata Ria mudah sekali terkesan dan merasa senang. Bukan melulu pada cerpen yang ia tulis, tapi juga kagum pada hal-hal, yang menurut Amit, remeh-temeh belaka.
Saat mereka kembali ke kafe untuk memesan makanan, terdengar bunyi pesan singkat masuk dari dalam tas tangan kulit ungu milik Ria. Ria membuka tasnya, mengambil telepon genggam dan membaca pesan. Perlahan senyum Ria melebar, pipinya bersemu merah muda.
“Robert membalas SMS-ku,” katanya dengan kegembiraan kanak-kanak. Ria menyodorkan telepon genggamnya pada Amit. Pesan itu berbunyi: ‘Ria yang baik, terima kasih telah menyukai novel saya. Salam, RB’.
Amit terhenyak, tapi ia berusaha tak menampakkan kekagetannya. Ia tersenyum, membuka pesan-pesan yang lain. Dan tahulah ia, bahwa Ria bukan hanya mengagumi karyanya belaka, tetapi juga banyak karya penulis lain. Perlahan Amit mengembalikan telepon genggam itu pada Ria, senyum tak lepas dari wajahnya.
“Baik sekali ya. Dia seorang penulis terkenal, tapi masih mau membalas SMS pengemar,” ujar Ria, riang.
Amit meminta Ria pulang bersama. Tapi sebelum mengantarnya ke rumah, dengan alasan ingin melihat mentari terbenam, Amit mengajak Ria kembali ke pantai, kali ini dengan mengendarai mobilnya. Ria tidak keberatan.
Di satu sudut pantai, di balik rimbun bunga ilalang dan leret pokok-pokok kelapa, Amit memarkir mobil. Tak lama, ia menggenggam tangan Ria, mendekatkan wajahnya pada wajah Ria. Ria bergeming, memejam mata, bibirnya perlahan terbuka. Amit membelai rambut Ria, membawa rambut itu melingkari leher Ria yang jenjang, membelit leher sebanyak tiga putaran. Setelah itu, Amit menarik ujung rambut Ria sekuat ia bisa. Ria tak sempat membuka mata, hanya dengkur halus yang terdengar dari mulutnya sebelum ia terkulai.
Amit memainkan tangan Ria, mengangkat-melepas, membuka-tutup mulut dan kelopak mata, seolah Ria cuma boneka tali belaka. Sesudah itu Amit tersenyum, menyandarkan kepala Ria di dadanya, mengelus wajah seraya menggumam lirih, “Ria, Ria, Ria. Penggemar pertamaku. Porphyria yang cantik.”
Lancaster, 14 Maret 2013.
Cerpen ini terinspirasi dari dua puisi Robert Browning: My Last Duchess dan Porphyria’s Lover.
Lampung Post, Minggu, 26 Mei 2013