Cerpen Satmoko Budi Santoso
Cerita Mini Pertama
KALAU ada yang tiba-tiba mengetuk pintu rumah saya entah pada pagi, siang, sore, atau malam, tentu saja itu bukanlah suatu kejutan. Karena adat orang bertamu memang mengetuk pintu ruang tamu. Yang mengherankan, dalam satu minggu terakhir ini, tiap ada yang mengetuk pintu rumah lantas saya, istri, atau anak membukakan, menengok siapakah yang mengetuk pintu, ternyata tidak ada siapa-siapa. Istri saya adalah orang yang sensitif terhadap peristiwa “kecil” yang mengherankan seperti itu dan akan meraba-raba kemungkinan maksud dan pelakunya.
“Rasanya, kalau dilakukan anak-anak tetangga tidak mungkinlah berturut-turut dalam setiap hari selama seminggu. Lagi pula, waktunya acak. Apakah maksudnya memang meneror, membuat kita tidak nyaman? Tapi, kita kan bukan pengontrak,” demikian analisa istriku suatu hari.
“Ya, ini sudah hari ketujuh dan tadi sore saya masih mendengar suara ketukan itu kemudian saya lihat tidak ada,” imbuh anak tunggal saya yang menginjak bangku SMA.
“Kalau hanya tetangga biasa, kenapa isengnya keterlaluan, ya,” saya ikut menimpali.
Perihal suara ketukan pintu yang misterius di rumah kami memang hanya menjadi agenda perbincangan kami sekeluarga saja. Kami tidak berusaha membawa obrolan tersebut ke orang-orang kampung, misalnya dengan sengaja membicarakan di warung atau gardu ronda. Kami khawatir, peristiwa tersebut akan menjadi perbincangan seru di tingkatan kampung. Tapi, sungguh, saya sendiri sebagai kepala rumah tangga sangat penasaran dengan peristiwa ketukan pintu tersebut. Suara ketukan pintu tersebut cukup keras, di antara saya, istri, dan anak saya yang pernah mendengar secara terpisah, tidak pernah bersamaan, bisa sangat jelas mendengarnya. Tapi, ya begitulah, jika ditengok, tidak ada siapa-siapa.
Sebegitu penasarannya terhadap peristiwa suara ketukan pintu yang misterius tersebut, saya mempunyai inisiatif memasang CCTV. Karena, kini, sudah menginjak hitungan hari ke 14 suara ketukan pintu misterius tersebut akan muncul dalam waktu yang acak.
***
CCTV telah dipasang di teras rumah. Otomatis jika ada orang yang mengetuk pintu akan kelihatan. Sembari menunggu jawaban secara logis dengan dipasangnya CCTV di teras rumah, pikiran saya melayang dengan ragam dugaan.
“Apakah karena profesi saya wartawan sehingga mendapatkan perlakuan teror seperti itu? Apakah karena istri saya bekerja di LSM perlindungan anak sehingga mendapatkan teror seperti itu? Apakah karena anak saya sebulanan lalu ikut demo di sekolahnya menuntut transparansi kebijakan dana BOS sehingga mendapatkan teror semacam itu?” saya bersolilokui, bicara dengan diri sendiri.
Saya cuma bersolilokui tiga hal itu saja. Saya tidak memperpanjang prasangka di dalam diri saya sendiri, karena saya tahu kalau saya panjang-panjangkan justru hanya akan menyiksa diri. Terus terang, saya juga malas dengan kemungkinan memperlebar prasangka dengan menganggap ada hal gaib yang berkaitan dengan suara ketukan pintu yang misterius itu. Wah, jika prasangka saya sampai pada hal yang gaib, berarti saya telah memperlebar prasangka terhadap setan. Makin tidak jelas saja arahnya. Maka, logika yang paling masuk akal untuk membuktikan kemungkinan prasangka apa pun adalah dengan memasang CCTV itu.
Aneh, setelah CCTV dipasang memang tidak ada lagi suara ketukan yang misterius. Kalau pun ada suara ketukan, kami tengok orang yang mengetuk memang ingin bertamu. Ketukan misterius yang jika kami tengok tidak ada orangnya tidak ada lagi. Yang menjadi puncak keanehan, yang tahu bahwa ada CCTV hanya saya, anak saya, dan istri saya. Jadi, siapakah yang sesungguhnya melakukan? Kami bertiga saling memandang mata secara bergantian dengan maksud saling menuduh...
Cerita Mini Kedua
BAYI itu menangis. Panjang. Pasti, tangis bayi itu menjadi bernilai aneh. Apalagi, suara tangisnya seperti tangis yang menakutkan, bukan tangisan haus atau karena gerah.
Nung, ibu bayi, pada mulanya kalut jika mendengar anaknya menangis. Nung kerap menghubung-hubungkan keberadaan kuburan yang berada tepat di samping kanan rumah kontrakannya.
“Mungkin anak pertama kita kesambet,” ucapnya berbisik, suatu kesempatan, kepada suaminya. Budya, suami Nung, melengos. Terus merokok.
Jika bayi itu menangis, memang ada satu-dua-tiga atau empat orang tetangga yang peduli, datang untuk sekadar menengok, menanyakan kenapa sampai menangis.
“Sudah disusui?” begitu biasanya para tetangga bertanya. Nung mengangguk sembari melirik anaknya. Bayi itu hanya memandang, tatapan matanya kosong, maklum matanya belumlah awas.
“Nggak apa-apa, barangkali saja ia melihat dan ingin bercanda dengan malaikat yang menjaganya,” begitulah Nung pada akhirnya menghibur diri dengan menelan ujaran orang-orang kampung jika kembali mendengar bayi itu menangis, terlebih pada malam hari.
Ya, Nung telah akrab dengan tangis anaknya. Nung pun semakin akrab dengan rumah yang ditempatinya, yang pada waktu-waktu tertentu bisa menyengatkan bau kemenyan, karena kuburan di sebelah rumahnya diziarahi.
“Santai saja, setiap orang bakalan merasa karib dengan yang sebelumnya tak dibayangkan, tak dirancang dalam angan,” cetus Budya, sengaja melontarkan kalimat yang sekiranya tak menambah gundah istri tersayang.
Bagi Budya, tangis bayi seperti apa pun tak berpengaruh apa-apa, bukan merupakan isyarat bakalan tiba malapetaka.
***
KINI bayi itu berumur lebih dari tiga puluh lima hari. Suara tangisnya tetap sama. Bagi Budya, hal itu malah bernilai keberuntungan. Bukti bahwa malapetaka tak sudi mampir.
“Ngomong-ngomong atas jenis suara tangis bayi, apakah suara tangis anak kita selama ini justru karena ia tak diadzani sewaktu lahir, ya?” cetus Nung.
“Hus…. Nggak usah dikait-kaitkanlah.”
“Lho, mungkin saja.”
“Kalau semuanya bisa mungkin, dengan tak diadzaninya anak kita sewaktu lahir, apa kamu percaya bahwa ia dijaga malaikat, seperti yang dibilang orang-orang kampung?”
Nung kelu. Tercekat kaku.
“Apakah masih ada malaikat yang mau menjaganya?”
Nung melotot. Budya mengepulkan asap rokok.
Ya, bayi itu memang selalu menangis, entah pagi-siang-sore atau malam hari. Nung perlahan-lahan mulai merasakan kecemasan dengan tangis anaknya. Mereka juga sama sekali belum tahu apa sesungguhnya makna tangis anaknya yang lebih dari sekadar haus atau lapar. Hidup berjalan, hari berganti. Seperti petuah sederet sajak milik “si burung merak” WS Rendra: …. Bencana dan keberuntungan sama saja/ Langit di luar langit di badan/ Bersatu dalam jiwa….
***
PAGI-PAGI, seperti biasa, Nung maupun Budya keramas. Udara pagi masih setia seperti pagi-pagi yang silam, tak ada desir angin yang dirasakan berbeda. Begitu pula pas siang hari menohok, bagai siang-siang yang lewat, tetaplah gerah tak tertawar. Baru ketika sore hari, pas anak semata wayang mereka tertidur, mereka duduk santai di beranda rumah. Menyeruput teh, memandang kelengangan jalan kampung, seluas mata sebatas jarak, masih mereka lihat sawah pepadian kemuning menghampar, menyulut asa mata bajak para petani.
“Kapan kita menikah?” Nung sontak bertanya. Tiba-tiba.
“Kapan-kapanlah. Kenapa berubah pikiran? Karena punya anak?” jawab Budya sekadarnya.
“Aku ingin hidup kita diberkahi Tuhan. Lurus-lurus saja.”
Anak mereka kembali menangis. Rupa-rupanya bukan berarti malapetaka, bukan isyarat kutukan. Namun, Nung bersikeras untuk tetap menikah. Nung merasakan, ada aura lain di dalam rumah seandainya mereka tak menikah. Kalau anaknya memandang langit-langit rumah sehabis menangis, sorot matanya seperti gamang, ragu, padahal -- lagi-lagi kata orang -- anaknya bisa saja ditemani bahkan dijaga malaikat.
Nung mendadak yakin, untuk mengusir kegamangan sorot mata anaknya, ia harus menikah. Nung berubah mempercayai dugaannya, selama ini anaknya tak ditemani malaikat. Nung bersiteguh, tak ada malaikat yang pernah memasuki rumahnya, setiap malaikat pastilah jengah menemani anaknya.
“Kapan kita menikah?” Nung mengulang pertanyaan yang sama ketika Maghrib menjelang, dengan intonasi yang amat tegas.
Budya mematikan rokok. Sebuah jawaban yang sangat berarti sebentar lagi akan keluar dari mulutnya. n
Catatan:
Istilah cerita mini dipopulerkan oleh sastrawan Agus Noor.
Lampung Post, Minggu, 12 Mei 2013
Cerita Mini Pertama
KALAU ada yang tiba-tiba mengetuk pintu rumah saya entah pada pagi, siang, sore, atau malam, tentu saja itu bukanlah suatu kejutan. Karena adat orang bertamu memang mengetuk pintu ruang tamu. Yang mengherankan, dalam satu minggu terakhir ini, tiap ada yang mengetuk pintu rumah lantas saya, istri, atau anak membukakan, menengok siapakah yang mengetuk pintu, ternyata tidak ada siapa-siapa. Istri saya adalah orang yang sensitif terhadap peristiwa “kecil” yang mengherankan seperti itu dan akan meraba-raba kemungkinan maksud dan pelakunya.
“Rasanya, kalau dilakukan anak-anak tetangga tidak mungkinlah berturut-turut dalam setiap hari selama seminggu. Lagi pula, waktunya acak. Apakah maksudnya memang meneror, membuat kita tidak nyaman? Tapi, kita kan bukan pengontrak,” demikian analisa istriku suatu hari.
“Ya, ini sudah hari ketujuh dan tadi sore saya masih mendengar suara ketukan itu kemudian saya lihat tidak ada,” imbuh anak tunggal saya yang menginjak bangku SMA.
“Kalau hanya tetangga biasa, kenapa isengnya keterlaluan, ya,” saya ikut menimpali.
Perihal suara ketukan pintu yang misterius di rumah kami memang hanya menjadi agenda perbincangan kami sekeluarga saja. Kami tidak berusaha membawa obrolan tersebut ke orang-orang kampung, misalnya dengan sengaja membicarakan di warung atau gardu ronda. Kami khawatir, peristiwa tersebut akan menjadi perbincangan seru di tingkatan kampung. Tapi, sungguh, saya sendiri sebagai kepala rumah tangga sangat penasaran dengan peristiwa ketukan pintu tersebut. Suara ketukan pintu tersebut cukup keras, di antara saya, istri, dan anak saya yang pernah mendengar secara terpisah, tidak pernah bersamaan, bisa sangat jelas mendengarnya. Tapi, ya begitulah, jika ditengok, tidak ada siapa-siapa.
Sebegitu penasarannya terhadap peristiwa suara ketukan pintu yang misterius tersebut, saya mempunyai inisiatif memasang CCTV. Karena, kini, sudah menginjak hitungan hari ke 14 suara ketukan pintu misterius tersebut akan muncul dalam waktu yang acak.
***
CCTV telah dipasang di teras rumah. Otomatis jika ada orang yang mengetuk pintu akan kelihatan. Sembari menunggu jawaban secara logis dengan dipasangnya CCTV di teras rumah, pikiran saya melayang dengan ragam dugaan.
“Apakah karena profesi saya wartawan sehingga mendapatkan perlakuan teror seperti itu? Apakah karena istri saya bekerja di LSM perlindungan anak sehingga mendapatkan teror seperti itu? Apakah karena anak saya sebulanan lalu ikut demo di sekolahnya menuntut transparansi kebijakan dana BOS sehingga mendapatkan teror semacam itu?” saya bersolilokui, bicara dengan diri sendiri.
Saya cuma bersolilokui tiga hal itu saja. Saya tidak memperpanjang prasangka di dalam diri saya sendiri, karena saya tahu kalau saya panjang-panjangkan justru hanya akan menyiksa diri. Terus terang, saya juga malas dengan kemungkinan memperlebar prasangka dengan menganggap ada hal gaib yang berkaitan dengan suara ketukan pintu yang misterius itu. Wah, jika prasangka saya sampai pada hal yang gaib, berarti saya telah memperlebar prasangka terhadap setan. Makin tidak jelas saja arahnya. Maka, logika yang paling masuk akal untuk membuktikan kemungkinan prasangka apa pun adalah dengan memasang CCTV itu.
Aneh, setelah CCTV dipasang memang tidak ada lagi suara ketukan yang misterius. Kalau pun ada suara ketukan, kami tengok orang yang mengetuk memang ingin bertamu. Ketukan misterius yang jika kami tengok tidak ada orangnya tidak ada lagi. Yang menjadi puncak keanehan, yang tahu bahwa ada CCTV hanya saya, anak saya, dan istri saya. Jadi, siapakah yang sesungguhnya melakukan? Kami bertiga saling memandang mata secara bergantian dengan maksud saling menuduh...
Cerita Mini Kedua
BAYI itu menangis. Panjang. Pasti, tangis bayi itu menjadi bernilai aneh. Apalagi, suara tangisnya seperti tangis yang menakutkan, bukan tangisan haus atau karena gerah.
Nung, ibu bayi, pada mulanya kalut jika mendengar anaknya menangis. Nung kerap menghubung-hubungkan keberadaan kuburan yang berada tepat di samping kanan rumah kontrakannya.
“Mungkin anak pertama kita kesambet,” ucapnya berbisik, suatu kesempatan, kepada suaminya. Budya, suami Nung, melengos. Terus merokok.
Jika bayi itu menangis, memang ada satu-dua-tiga atau empat orang tetangga yang peduli, datang untuk sekadar menengok, menanyakan kenapa sampai menangis.
“Sudah disusui?” begitu biasanya para tetangga bertanya. Nung mengangguk sembari melirik anaknya. Bayi itu hanya memandang, tatapan matanya kosong, maklum matanya belumlah awas.
“Nggak apa-apa, barangkali saja ia melihat dan ingin bercanda dengan malaikat yang menjaganya,” begitulah Nung pada akhirnya menghibur diri dengan menelan ujaran orang-orang kampung jika kembali mendengar bayi itu menangis, terlebih pada malam hari.
Ya, Nung telah akrab dengan tangis anaknya. Nung pun semakin akrab dengan rumah yang ditempatinya, yang pada waktu-waktu tertentu bisa menyengatkan bau kemenyan, karena kuburan di sebelah rumahnya diziarahi.
“Santai saja, setiap orang bakalan merasa karib dengan yang sebelumnya tak dibayangkan, tak dirancang dalam angan,” cetus Budya, sengaja melontarkan kalimat yang sekiranya tak menambah gundah istri tersayang.
Bagi Budya, tangis bayi seperti apa pun tak berpengaruh apa-apa, bukan merupakan isyarat bakalan tiba malapetaka.
***
KINI bayi itu berumur lebih dari tiga puluh lima hari. Suara tangisnya tetap sama. Bagi Budya, hal itu malah bernilai keberuntungan. Bukti bahwa malapetaka tak sudi mampir.
“Ngomong-ngomong atas jenis suara tangis bayi, apakah suara tangis anak kita selama ini justru karena ia tak diadzani sewaktu lahir, ya?” cetus Nung.
“Hus…. Nggak usah dikait-kaitkanlah.”
“Lho, mungkin saja.”
“Kalau semuanya bisa mungkin, dengan tak diadzaninya anak kita sewaktu lahir, apa kamu percaya bahwa ia dijaga malaikat, seperti yang dibilang orang-orang kampung?”
Nung kelu. Tercekat kaku.
“Apakah masih ada malaikat yang mau menjaganya?”
Nung melotot. Budya mengepulkan asap rokok.
Ya, bayi itu memang selalu menangis, entah pagi-siang-sore atau malam hari. Nung perlahan-lahan mulai merasakan kecemasan dengan tangis anaknya. Mereka juga sama sekali belum tahu apa sesungguhnya makna tangis anaknya yang lebih dari sekadar haus atau lapar. Hidup berjalan, hari berganti. Seperti petuah sederet sajak milik “si burung merak” WS Rendra: …. Bencana dan keberuntungan sama saja/ Langit di luar langit di badan/ Bersatu dalam jiwa….
***
PAGI-PAGI, seperti biasa, Nung maupun Budya keramas. Udara pagi masih setia seperti pagi-pagi yang silam, tak ada desir angin yang dirasakan berbeda. Begitu pula pas siang hari menohok, bagai siang-siang yang lewat, tetaplah gerah tak tertawar. Baru ketika sore hari, pas anak semata wayang mereka tertidur, mereka duduk santai di beranda rumah. Menyeruput teh, memandang kelengangan jalan kampung, seluas mata sebatas jarak, masih mereka lihat sawah pepadian kemuning menghampar, menyulut asa mata bajak para petani.
“Kapan kita menikah?” Nung sontak bertanya. Tiba-tiba.
“Kapan-kapanlah. Kenapa berubah pikiran? Karena punya anak?” jawab Budya sekadarnya.
“Aku ingin hidup kita diberkahi Tuhan. Lurus-lurus saja.”
Anak mereka kembali menangis. Rupa-rupanya bukan berarti malapetaka, bukan isyarat kutukan. Namun, Nung bersikeras untuk tetap menikah. Nung merasakan, ada aura lain di dalam rumah seandainya mereka tak menikah. Kalau anaknya memandang langit-langit rumah sehabis menangis, sorot matanya seperti gamang, ragu, padahal -- lagi-lagi kata orang -- anaknya bisa saja ditemani bahkan dijaga malaikat.
Nung mendadak yakin, untuk mengusir kegamangan sorot mata anaknya, ia harus menikah. Nung berubah mempercayai dugaannya, selama ini anaknya tak ditemani malaikat. Nung bersiteguh, tak ada malaikat yang pernah memasuki rumahnya, setiap malaikat pastilah jengah menemani anaknya.
“Kapan kita menikah?” Nung mengulang pertanyaan yang sama ketika Maghrib menjelang, dengan intonasi yang amat tegas.
Budya mematikan rokok. Sebuah jawaban yang sangat berarti sebentar lagi akan keluar dari mulutnya. n
Catatan:
Istilah cerita mini dipopulerkan oleh sastrawan Agus Noor.
Lampung Post, Minggu, 12 Mei 2013
No comments:
Post a Comment