Sunday, May 5, 2013

Wanita Ini Membawa Senjata

Cerpen Sungging Raga

WANITA ini membawa senjata. Wanita yang sedang tidur di hadapanku seraya menyandarkan kepalanya ke kaca jendela, membawa pistol jenis sand hawk. Pistol itu terselip di pinggang bagian kiri, aku melihatnya ketika ia sedikit menggeliat beberapa detik lalu. Mungkin ia akan membajak kereta ini, semisal memaksa masinis untuk membawa kereta sesuai perintahnya, lalu menabrakkannya di suatu tempat. Ah, apakah sebaiknya aku memberitahu masinis agar kereta cepat-cepat berhenti di stasiun terdekat sebelum wanita ini terjaga dan melancarkan aksinya?

Wanita ini jelas-jelas membawa senjata, bagaimana ia bisa lolos dari pengawasan? Bahkan aku tak yakin wanita ini hanya sendirian, pasti ada kawan-kawannya yang menyebar di setiap gerbong, mungkin wanita-wanita lain yang juga membawa senjata, satu komplotan penjahat sistematis, yang menunggu komando untuk beraksi bersama-sama. Atau ia adalah satu-satunya wanita di komplotan tersebut? Biasanya memang begitu, sebuah komplotan penjahat sering menyisipkan seorang wanita sebagai anggota, menjadi pemanis suasana, kadang malah wanita itu ketuanya.

Kalau wanita ini membawa senjata, mungkin ia bukan wanita baik-baik, dan aku tidak terbiasa dekat wanita yang tidak baik-baik, kalau wanita baik saja bisa melukai seorang lelaki, apalagi wanita yang tidak baik-baik? Namun aku sebenarnya bingung dengan definisi baik itu sendiri. Apakah semua wanita yang tak bersenjata adalah wanita yang baik? Apakah semua wanita yang ketahuan membawa senjata adalah wanita yang sama sekali tidak baik? Yang pasti, wanita ini membawa senjata, meski penampilannya cukup anggun, rambutnya tergerai panjang, bibirnya tipis dan tampak segar, antara dagu dan lehernya terlihat lekukan seperti putih telur, aku yakin bahwa wanita ini sangat jahat, mungkin ada tato di balik kemejanya yang berwarna merah itu, tato ular naga, atau ular kobra, atau gambar tengkorak dengan sepasang pedang menancap, pokoknya tato mengerikan yang ia sembunyikan entah di bagian tubuh yang mana, biasanya wanita semacam ini juga punya paku yang ditancapkan di lidah, hidung, atau dekat alis matanya. Ah, pasti paku-paku itu dilepas agar tidak terlalu mencurigakan.
                ***

Kereta terus melaju. Tak ada petugas kereta yang biasanya mondar-mandir, kalau ada satu di antara mereka yang kebetulan melintas, pasti akan kuberitahukan bahwa kereta ini tidak aman. Namun tak ada yang lewat, aku melongok ke lorong dekat pintu, tak ada sosok petugas. Mungkin aku yang harus bertindak, mungkin aku harus pura-pura ke kamar kecil, lalu menyelinap ke gerbong berikutnya, ke kamar kecil lagi, menyelinap lagi, sampai aku tiba di ruang petugas. Ya, ya, sepertinya itu lebih baik.

Perlahan aku bangkit dari tempat duduk, sangat perlahan, berharap wanita itu tidak terjaga, kuharap tidurnya sangat nyenyak seperti tokoh wanita di novel House of Sleeping Beauties karangan Kawabata. Aku maju beberapa langkah meninggalkan tempat dudukku, sesekali kulihat penumpang lain, wajah-wajah yang tak tahu apa-apa, sebagian juga sedang tertidur, barangkali mereka juga membawa senjata. Aku curiga pada beberapa tas bawaan penumpang yang diletakkan di bagian atas, jangan-jangan ada tumpukan shotgun di salah satunya.

Tak lama kemudian aku pun tiba di persambungan gerbong, kereta masih melaju kencang, seperti tak ada stasiun yang mengharuskannya berhenti. Aku baru saja hendak masuk ke dalam toilet ketika tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.

“Mas?”

Jantungku terasa berhenti.

Kukira wanita itu, ternyata kondektur yang hendak memeriksa karcis. Sial, kenapa tidak sejak tadi ia muncul? Segera kuserahkan karcis, dan kulaporkan apa yang kulihat.

“Wanita yang duduk di depan saya kelihatan membawa senjata.”

“Senjata?”

“Ya. Mungkin dia akan membajak kereta ini.”

“Lho. Anda tidak tahu, ya? Semua wanita di kereta ini memang membawa senjata.”

Aku terkejut mendengar penuturan kondektur itu. Ia tersenyum, mengembalikan karcis, lantas masuk ke ruang gerbong.

Semua wanita di kereta ini membawa senjata? Kereta macam apa ini? Kereta pembajak? Apakah aku naik kereta yang salah? Tidak. Aku harus cepat-cepat lari, tetapi kereta seperti tak akan pernah berhenti. Tak ada cara lain, lebih baik aku melompat saja daripada harus kehilangan nyawa sia-sia.

Segera kubuka pintu gerbong, kurasakan angin berembus kencang. Dan pada saat yang kuanggap paling tepat, aku pun melompat ketika kereta sedikit mengurangi kecepatan karena sebuah tikungan, terjadi beberapa benturan keras, tubuhku berguling-guling, terasa ngilu di setiap sendi.

Kereta telah jauh melaju ketika aku mencoba untuk bangkit, ada cukup banyak luka gores meski tak sampai mengucurkan darah. Aku mulai berdiri dan berjalan dengan sedikit tertatih, kukibaskan bajuku yang berdebu, lalu melangkah menjauhi rel.

Aku tiba di sebuah jalan pedesaan, ada sebuah warung pecel, tampak beberapa orang pembeli di situ, semuanya wanita, dan, ya Tuhan, masing-masing dari mereka memegang senjata! Ada yang membawa jenis SMG, prototype shotgun, bahkan yang agak gemuk itu, yang mengenakan daster ungu, memanggul bazooka. Mengapa mereka semua membawa senjata? Apakah mereka juga anggota komplotan wanita di kereta tadi? Atau jangan-jangan, mereka ini adalah sekumpulan wanita-wanita patah hati yang hendak sarapan nasi pecel sebelum membunuh lelakinya masing-masing?

Aku pernah mendengar kisah seorang wanita yang menunggu mantan kekasihnya di stasiun, ketika si lelaki keluar dari kereta, tanpa ba-bi-bu lagi, wanita itu menodongkan pistol, menembak dahi mantan kekasihnya itu sampai bocor. Apakah wanita jenis ini semakin menjamur? Aku penasaran, berapa jumlah wanita patah hati menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2013? Apakah meningkat drastis sejak tahun lalu? Apakah ada kenaikan signifikan pada kuartal pertama? Adakah lembaga survey yang mengalisis kecenderungan patah hati dan jumlah pembelian senjata? Bukankah senjata itu tak bisa dimiliki sembarangan? Apakah kepolisian memiliki undang-undang baru yang membolehkan wanita patah hati untuk membeli senjata?

Semakin banyak dugaan, rasanya semakin mencemaskan, aku berjalan menjauhi warung itu, mencoba untuk tak menarik perhatian mereka, sesekali aku juga berpapasan dengan orang-orang sekitar, tetapi aku lebih banyak menunduk, badanku masih sedikit nyeri, dan sepuluh menit kemudian aku tiba di sebuah pasar.

Ternyata di sini lebih menakjubkan lagi, ada begitu banyak wanita yang menyelempangkan senjata di punggung mereka, lalu bertransaksi seperti biasa. Ada yang meletakkan senjata itu di keranjang belanjanya, bertumpuk dengan sayuran. Sementara para lelaki terlihat normal, tidak ada senjata di tangan mereka, tetapi mengapa mereka tidak heran melihat para wanita membawa senjata?

Akhirnya, setelah mengumpulkan sisa keberanian, kudekati salah seorang wanita yang kebetulan sedang menyendiri di gerbang pasar, tangan kanan wanita ini memegang bullpup sniper dengan sangat kokoh, bahkan ia letakkan telunjuk di pelatuknya, seperti siap menembak kapan saja, apakah dia pernah bertugas di medan perang?

“Permisi, Mbak.”

“Ya.”

“Boleh saya tanya sesuatu?”

“Boleh.”

“Kenapa Mbak membawa senjata?”

“Oh, ini ya. Ini memang selalu saya bawa kemana-mana. Memangnya cuma laki-laki yang boleh pegang senjata?”

“Tapi buat apa Mbak?”

“Hm. Saya juga tidak tahu buat apa.”

Jawaban yang tak memuaskan. Aku lantas berpindah ke seorang nenek penjual kembang kuburan di sudut pasar, nenek itu menyandarkan senjata di kakinya, sebuah chrome shotgun.

“Nek, shotgun itu dipakai buat apa?”

“Shot apa Nak?”

“Shotgun. Itu yang ada di bawah.”

“Ooo. Aduh. Saya juga lupa ini dipakai untuk apa. Mungkin untuk mengusir lalat.”

Tidak masuk akal. Aku berpindah lagi ke seorang wanita yang baru turun dari sebuah angkot, ia membawa sebuah compact rifle.

“Mbak. Kenapa Mbak membawa senjata ke pasar?”

“Lho, kan memang harus begitu, Mas. Mana ada perempuan tidak bawa senjata? Melanggar kodrat itu namanya. Coba lihat, apa saya tampak lebih cantik dengan senjata ini? Lebih anggun?”

Astaga. Apakah aku sudah gila? Segera kutinggalkan pasar itu, aku berjalan menjauh, melangkah tak tentu arah, sampai akhirnya aku tiba di sebuah stasiun kereta yang cukup terpencil. Ada sebuah kereta berhenti di sana. Segera aku menuju loket.

“Mau kemana?” tanya penjaga loket.

“Ke mana saja, yang penting pergi jauh dari tempat ini!”

Si penjaga pun buru-buru mencetak tiket. Aku meraih dan membayarnya, lantas melompat ke dalam kereta yang mulai bergerak perlahan. Segera aku mencari nomor tempat duduk sesuai yang tetera di tiket.

Napasku masih tersengal ketika akhirnya aku menemukan tempat dudukku. Kereta sudah melaju, melintasi sawah-sawah hijau. Sekarang aku bisa beristirahat dengan tenang, menikmati pemandangan yang menyejukkan, langit biru dan pohon-pohon, sementara di hadapanku hanya ada seorang wanita yang sepertinya sedang tertidur pulas, ia menyandarkan kepalanya ke kaca jendela. n


Lampung Post, Minggu, 5 Mei 2013

No comments:

Post a Comment